Menurut "kaba" dari urang tuo-tuo ambo dikampuang dulu, kelompok "Sitarok jo
Sitarakan" kalah dalam bertempur melawan kelompok Niniak nan 60 kurang Aso
diwilayah "Banuaran" sebuah perkampuangan kuno dihulu Batang Bangko Alam
Surambi Sungai Pagu, Solok Selatan ratusan tahun lalu yang kini sudah
menjadi kebun/ladang hasil garapan dari hutan belantara, mereka ini adalah
para penetap pertama di daerah yang sebelumnya bernama "Banda Lakun" ini
adalah juga orang-orang yang menyingkir dari Hiliran Batang Hari.

Setelah kalah lagi mereka melarikan diri menaiki bukit barisan, dan
terdampar di daerah Pesisir Selatan, tepatnya di daerah Kambang, namun untuk
mengusai dan mencari kehidupan, anak kemenakan dari Niniak yang 60 kurang
aso yang berasal dari daerah Luhak Nan Tigo ini, maka mereka sampai pula
diwilayah Kambang ini, sehingga anak keturunan "Sitarok jo Sitarakan" ini
terpaksa menyingkir ketengah laut dikarenakan tidak mungkin lagi lari
kedaerah di sekitar pantai Barat Minangkabau, sehingga mereka terdampar di
kepulauan Mentawai/Pulau Siberut.

Kisah pendek diatas adalah kisah asal muasal penduduk Kep. Mentawai menurut
cerita-cerita orang tua-tua dikampuang ambo dahulu, antahlah... Kito tidak
tau kebenarannya.
Tapi ambo pernah danga, bahwa dulu ado tim arkeolog nan meneliti Banuaran
sebagai pusat dari Banda Lakun ko, tapi sampai kini antah sampai dima
hasianyo.

Salam.
=====

Jumat, 14/11/2008 17:54 WIB
Fenomena Budaya Sikerei di Era Modernisasi
Oleh: Iswanto JA

ANTARA SUMBAR/Iswanto/08.
Nenek moyang orang Mentawai mungkin datang ke Pulau Siberut sekitar 300
tahun yang lalu. Asal usul mereka belum diketahui, namun beberapa literatur
dan penili mengarahkan menduga kuat, mereka berasal dari Batak, Sumatera
Utara.

Tipe kebudayaan ini mungkin menyebar di seluruh Indonesia pada masa lampau,
tetapi telah dipengaruhi oleh kebudayaan lain (Hindu, Budha dan Islam yang
datang dari daerah luar).

Sampai saat ini kebudayaan Mentawai masih cukup asli karena kepulauan
Mentawai terpisah, dan orangnya tidak dipengaruhi oleh kebudayaan lain.

Struktur sosial masyarakat Mentawai bersifat patrilinial dan kehidupan
sosialnya dalam suku di sebut Uma. Struktur sosial tradisional adalah
kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang juga disebut Uma di tengah
tanah suku mereka.

Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa
Uma mempunyai hak yang sama, kecuali "SIKEREI" (atau dukun) yang mempunyai
hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara
kagamaan.

Makanan poko adalah sagu, pisang dan keladi. Makanan lainnya seperti
buah-buahan, madu dan jamur dikumpul dari hutan atau ditanam di ladang.
Sumber protein seperti rusa, burung dan monyet diburu, dan ikan dipancing
dari kolam dan sungai.

Secara tradisional Uma mempunyai wewenang tertinggi di Siberut. Tetapi
karena pengaruh program permukiman pemerintah dan aparat pemerintah desa,
mengharuskan perubahan organisasi sosial masyrakat Mentawai.

Akibatnya, pola kehidupan tradisional berkurang dibeberapa daerah. Namun Uma
masih mempunyai aspek yang penting sekali bagi masyarakat Mentawai.

Menurut agama tradisional (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala
yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisah dari
tubuhnya dan berjalan sendiri.

Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dilestarikan roh akan pergi.
Di samping itu dapat menyebabkan penyakit.

Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari di Siberut.
Kegiatan sehari-hari dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di
alam. Upacara agama dikenal sebagai punen, puliaijat atau lia harus
mengikuti kegiatan manusia supaya gangguan tersebut berkurang.

Upacara tersebut dipimpin oleh para Sikerei yang dapat berkomunikasi dengan
roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Baik roh dari makhluk
hidup maupun yang telah mati akan diberikan sesajian, dan makanan yang
banyak disediakan untuk semua anggota suku.

Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disediakan dan ada tarian (turuk)
untuk menyenangkan roh, sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan.
Selama upacara, hal-hal yang tabu (kekei) dilarang.

Selama 3 abad terakhir ini, agama tradisional Mentawai khususnya "tabu"
(ritual-ritual adat dan agama) dilarang, padahal hal itu bagi mereka adalah
alat pengontrol pertambahan populasi penduduk.

Pada momen-momen ini, kepala suku dan tetua-tetua adat bisa memantau jumlah
penduduk dari jumlah mereka yang hadir. Jika terlihat sudah terlalu banyak,
akan dikeluarkan kebijakan pengaturan kelahiran secara adat. Selain itu,
lewat Tabu ini juga akan ada nasehat untuk tidak merusak dan eksploitasi
hasil hutan secara berlebihan.

Namun sekarang, tradisi itu sudah mulai hilang. Akibatnya, penduduk
meningkat cepat dan sumber daya alam mulai dieksploitasi tanpa memperhatikan
peraturan adat. (*)

http://www.antara-sumbar.com
========================


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke