Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,
 
Sebagai sambungan dari Seri Nan Dilua Tampuruang  48 yang lalu, di bawah ini 
saya kutipkan sebuah artikel bagus dalam harian 'Kompas" Minggu, tanggal 8 
Februari 2009 ini, tentang hubungan antara pertanyaan dan pemikiran filsafat. 
 
Saya percaya tulisan ini -- serta buku yang diresensi -- akan banyak membantu 
kita dalam memetakan kehidupan kita sehari-hari serta dalam merancang masa 
depan kita.
 
Mengenai pemikiran filsafat ini rasanya perlu kita ingat peranan historis umat 
Islam sebagai perantara antara pemikiran filsafat Yunani dengan dunia modern, 
karena selama sepuluh abad -- antara abad ke 5 dan abad ke 15 -- Eropa Barat 
yang kini maju pesat malah berada dalam 'zaman kegelapan' (The Dark Ages). 
Justru dalam zaman kegelapan Eropa Barat itu umat Islam menjadi 'mercu 
suar'-nya dunia. [Perlu kita pertanyakan mengapa keadaannya sekarang seperti 
terbalik ?]
 
Rasanya 'zaman keemasan' Minangkabau  dalam tahun 1920-1930-an -- yang sering 
kita banggakan -- mungkin sekali disebabkan karena meriahnya pemikiran filsafat 
di Minangkabau, mengenai masalah-masalah mendasar dalam masyarakat.
 
Saya harap ada para sanak yang bersedia meng-upload artikel-artikel yang 
terkait dengan peranan umat Islam dalam memelihara dan memajukan pemikiran 
filsafat yang dirintis oleh orang Yunani itu, baik pada kurun abad ke 5 sampai 
dengan abad ke 15 dahulu, maupun pada saat ini.


Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo)
Alternate e-mail address: saaf10...@gmail.com;
saafroedin.ba...@rantaunet.org


Melacak Muasal Pikiran Kita
 

Kompas, Minggu, 8 Februari 2009 | 00:33 WIB 
 

DONNY GAHRAL ADIAN
 
Percaya atau tidak, meski manusia sudah menghuni jagat ini triliunan tahun 
lamanya, dia baru belajar berpikir lebih kurang 2.500 tahun yang lalu. 
Sebelumnya, manusia sekadar beradaptasi dengan alam demi keselamatan diri 
semata. Sehingga lahirlah berbagai kisah mistis yang berkelindan dengan 
keyakinan religius dan mengisi peradaban.
 
Sejatinya, 2.500 tahun sejarah pikiran manusia adalah sejarah filsafat. 
Disiplin tertua di muka bumi ini yang lebih banyak bertanya ketimbang 
menjawab.. Disiplin yang bertolak dari rasa heran.
 
Seperti disiplin ilmu lainnya, filsafat pun memiliki sejarahnya sendiri. Buku 
The Story of Philosophy karya Brian Magee mencoba melacak muasal pikiran 
manusia dengan sederhana sehingga murah hati terhadap keawaman kita semua.
 
Pada Mulanya Yunani
The Story of Philosophy bermula dari masa Yunani kuno. Para filsuf pada waktu 
itu terbagi dua: pra-Sokrates dan Sokrates seterusnya. Tali yang mengikat 
mereka sama: rasa heran terhadap berbagai gejala semesta.
 
Raden Mas Said alias Pangeran Samber Nyowo pernah berpesan: ”Ojo Gumunan” atau 
”Jangan Mudah Takjub”. Heran dan takjub adalah dua hal yang terpisah. Heran 
adalah muasal pertanyaan, sementara takjub keyakinan. Ketakjuban bahkan bisa 
dibilang sebangun dengan keyakinan. Seorang yang takjub dengan karisma seorang 
kiai berarti meyakini begitu saja apa yang dikatakan beliau.
 
Para filsuf pra-Sokrates heran terhadap semesta ini dan mulai mengajukan 
berbagai pertanyaan: apa bahan dasar dunia ini, apa yang sejati: perubahan atau 
permanensi, prinsip utama apa yang mengatur dunia ini.
 
Berbagai jawaban pun bermuntahan. Namun, tidak ada yang permanen. Sebab, selalu 
ada saja filsuf yang merasa heran dengan jawaban-jawaban para pendahulunya. 
Sokrates heran terhadap berbagai jawaban para filsuf pendahulunya. Ia pun 
melontarkan pertanyaan aneh, namun lebih fundamental: apakah itu kebenaran? 
Selama ini para filsuf melontarkan klaim-klaim kebenaran, namun tak satu pun 
yang mengajukan pertanyaan Sokratean tentang kebenaran. Tradisi ini kemudian 
melahirkan satu cabang filsafat yang bernama epistemologi: filsafat tentang 
pengetahuan.
 
Memasuki abad pertengahan, filsafat mendapat pekerjaan tambahan tanpa bayaran. 
Dominasi gereja yang begitu kuat membuat para filsuf harus menjawab pertanyaan: 
mampukah iman dan akal didamaikan. Para filsuf Kristiani seperti Thomas Aquinas 
mengatakan bahwa keduanya tidak perlu dipertentangkan. Akal manusia mampu 
membuktikan keyakinan atau iman terhadap eksistensi Tuhan. Khazanah filosofis 
Yunani kuno dan Kristianitas pun bersinergi dengan indah di tangan Aquinas.
 
Namun, tetap ada yang membandel. Sains modern tumbuh dalam suasana 
pemberontakan terhadap keyakinan skriptural. Copernicus, misalnya, menolak 
keyakinan skriptural bahwa bumi adalah pusat semesta. Dia sebaliknya, 
membuktikan bahwa mataharilah sang pusat itu.
 
Klaim sains tidak didasarkan pada kitab suci, melainkan realitas empiris 
melalui pengamatan yang terkontrol. Pertentangan keras antara ayat dan realitas 
empiris kemudian mengguncang hubungan harmonis antara filsafat dan 
Kristianitas. Sehingga lahirlah para filsuf garis keras yang senantiasa 
melontarkan kritik tajam terhadap keyakinan agama. Francis Bacon, Thomas 
Hobbes, dan Machiavelli adalah sedikit dari sederet filsuf kritis tersebut.
 
Para filsuf kritis itu pun terbelah menjadi dua kubu: rasionalisme dan 
empirisme. Rasionalisme bersandar pada klaim bahwa pengetahuan dunia dapat 
diperoleh lewat kerja akal semata. Descartes menggariskan bahwa aku yang 
berpikir (Cogito) adalah kepastian terakhir yang tak dapat digugat lagi.
 
Para filsuf rasionalis mengidolakan cara kerja matematika yang mencapai 
kepastian tanpa perlu menoleh pada realitas indrawi. Empirisme memiliki 
pendapat berbeda. Segala bentuk pengetahuan bermula dari realitas indrawi.
 
Saat manusia pertama, Adam, melemparkan batu ke kolam, misalnya, dia tidak tahu 
bahwa berat jenis batu lebih besar dari air. Dia baru tahu bahwa batu akan 
tenggelam pada lemparan berikutnya. Sebab, dia sudah memiliki pengalaman 
mengenai tenggelamnya batu. Pengetahuan harus bermula dari pengalaman indrawi 
kita tentang dunia. Locke, Berkeley, Hume, dan Burke ada dalam kubu ini.
 
Filsafat Ringan Tangan
Ada satu kala ketika kritisisme filsafat mampu merontokkan monarki yang sudah 
berumur ratusan tahun. Para filsuf Perancis, seperti Voltaire, Diderot, dan 
Rousseau adalah biang keladi intelektual hancurnya monarki Perancis. Mereka 
mampu membuat filsafat menjadi operasional sehingga memiliki daya dobrak untuk 
menggulingkan dominasi ganda gereja-raja.
 
Gagasan Rousseau mengenai kehendak umum bisa dibilang sebagai cikal bakal 
demokrasi modern. Bahwasanya kekuasaan bukan mandat dari langit, melainkan dari 
kehendak umum rakyat. Filsafat pada masa itu adalah gagasan berkaki yang secara 
ringan tangan membantu setiap upaya perubahan.
 
Di Jerman sengkarut filosofis berjalan dengan keras. Bertolak dari Kant yang 
menyintesakan rasionalisme dan empirisme, para filsuf seperti Fichte, 
Schelling, dan Hegel mengguratkan filsafat baru: Idealisme.
 
Idealisme berpandangan bahwa dunia dan ide atau gagasan adalah sama. Ketika 
seorang pematung membuat patung, dia sedang mematerialisasikan gagasannya. Dia 
dan patung bukan dua hal yang berbeda. Kerja pabrikan yang kemudian 
mengasingkan keduanya. Si pematung pabrik tidak dapat lagi mengenali ”dirinya” 
di patung yang dibuat secara massal.
Marx memahami betul keterasingan ini dan menuangkannya dalam filsafat yang 
bertolak belakang dengan para pendahulunya: dialektika material. Bahwasanya 
aktivitas material (ekonomi) yang menghasilkan gagasan (agama, ideologi, hukum, 
politik). Manusia terkena hukum besi sejarah yang tak dapat dielakkan bahkan 
oleh inisiatif individu.
 
Hal inilah yang kemudian ditolak Nietzsche, filsuf Jerman lainnya. Nietzsche 
meneriakkan individualisme keras yang menggumpal dalam gagasannya mengenai 
kehendak berkuasa. Kehendak yang tidak dapat didamaikan dengan eksistensi yang 
Maha Kuasa: Tuhan. Pikiran-pikiran Nietzsche ini kemudian mewujud dalam gerakan 
filsafat di abad ke-20 yang disebut eksistensialisme.
 
Filsafat memang tidak berdenyut di ruang hampa. Situasi sosial, ekonomi, dan 
politik turut memberi warna pada filsafat. Aliran filsafat Utilitarianisme 
contohnya. Utilitarianisme sangat dipengaruhi oleh industrialisasi dan 
demokratisasi yang berjalan berbarengan di Eropa dan Amerika. Industrialisasi 
menuntut agar kebebasan manusia dalam mengejar kebahagiaan dijamin mutlak. 
Setiap orang boleh mengecat warna pagarnya dengan warna apa saja tanpa rasa 
takut.
 
Namun, demokrasi menuntut adanya kesepakatan-kesepakatan sosial demi jalannya 
politik. Bagaimana kesepakatan sosial dibangun dari keragaman gagasan orang 
mengenai kebahagiaan? Utilitarianisme mengajukan formula: kesepakatan sosial 
harus memajukan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Orang-orang 
yang bahagia tinggal di pinggir kali harus mengalah demi kebahagiaan sebagian 
besar orang apabila rumahnya tidak kebanjiran.
 
Filsafat pun semakin operasional. Aliran pragmatisme yang berkembang di Amerika 
mengguratkan prinsip bahwa gagasan tidak mengandung kebenaran sebelum 
berinteraksi dengan realitas dan segenap persoalannya. Kita tidak belajar 
sepeda dengan membaca buku manual, melainkan menaikinya langsung. Belajar dan 
melakukan adalah sama.
Operasionalisasi ini kemudian mendapat tanggapan dari para filsuf abad ke-20 
yang disebut filsuf analitik. Para filsuf analitik menolak filsafat yang 
dipraktiskan sehingga mirip dengan resep masakan. Para filsuf analitik mengajak 
kita untuk memeriksa bahasa dan hukum-hukum yang mengaturnya. Analisa bahasa 
lebih penting ketimbang membebaskan masyarakat lewat filsafat.
 
Frege dan Wittgenstein adalah tokoh garis keras filsafat analitik.
Di tangan para filsuf analitik, filsafat mengambil jarak dengan sengkarut 
sosial, ekonomi, dan politik. Operasionalisasi filsafat tidak masuk akal karena 
filsafat bermula dari rasa heran, bukan keinginan untuk menyelamatkan.
 
Apa pun, saya berharap pembaca tidak parno terlebih dahulu sebelum membaca buku 
The Story of Philosophy karya Brian Magee ini. Memang, kita pasti dibuat 
bingung dengan silang sengketa para filsuf yang terkesan tidak ada habisnya. 
Namun, itulah watak utama filsafat. Filsafat tidak bekerja dengan mengamini 
segalanya. Dia bekerja dengan pertanyaan-pertanyaan kritis.
 
Membaca The Story of Philosophy sama dengan mempelajari dua hal: sejarah 
filsafat dan bagaimana berfilsafat. Bahwasanya sejarah filsafat tidak sama 
dengan filsafat yang tinggal sejarah. Ditolaknya sebuah gagasan filosofis tidak 
membuat kita serta-merta meninggalkannya. Rasa heran tidak dikurung oleh zaman 
atau epos.
 
Belajar filsafat adalah belajar mengenai keheranan-keheranan kuno dan bertanya: 
mengapa sekarang kita tidak lagi heran.
 
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia








#yiv157088130 html .fb_share_link {padding:0px 0 0 
20px;margin-top:5px;height:16px;background:url(http://static.ak.fbcdn.net/images/share/facebook_share_icon.gif?2:26981)
 no-repeat top left;font:normal 11px arial;}
Share on Facebook 

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke