Ibu Evy dan dunsanak yth.
Falsafah 'jua indak makan bali, gadai indak makan sando' sebenarnya konsep 
pertanahan yang paling ilahiat sejauh yang saya ketahui; dan beruntung sekali 
kita di Minangkabau memiliki dasar budaya seperti ini. Konsep ini tumbuh dari 
masa Nabi Adam as hingga Habil, dan telah terhenti sampai di situ. Saya 
teruskan sebuah postingan milis yang pernah menguraikan hal tersebut sbb :
 
"... Tergelitik dengan diskusi profesi tua ini, saya teringat dengan buku yang 
saya baca sekitar 20 tahun yang lalu. Kalau tidak salah judul bukunya "Tugas 
Cendekiawan Muslim", karya Ali Shariati yang diterjemahkan oleh Amien Rais. 
 
Saya kira rujukannya adalah dari kitab-kitab suci, dan juga Genesis dari Musa, 
tentang Habil dan Qabil, atau Abel and Cain. Satu sudut pandang Ali Shariati 
cukup berkesan bagi saya, ketika dikotomi ala Marx mengemuka dalam analisis 
sejarah masa silam. 
 
Ringkas saja saya sebutkan, bila Shariati mengungkapkan 2 profesi tertua di 
dunia: 'bertani' dan 'memburu'. Atau terkadang saya simplifikasi menjadi: 
'reproduksi' vs 'ekstraksi'; 'manaruko' vs 'meramu', 'mengolah dulu untuk 
mendapatkan hasil' vs 'mengambil apa yang disediakan oleh alam'; negara 
industri vs agraris, Jawa vs Papua; dst. Dilakukan oleh dua anak manusia: Habil 
vs Qabil, Abel vs Cain, petani vs pemburu. Akhir cerita telah kita ketahui 
bersama. 
 
Yang menarik adalah penilaian Shariati tentang 'kenapa hasil kedua profesi 
tersebut menjadi berbeda, walau dilahirkan dari rahim yang sama?'. Suatu 
penilaian profesi dilakukan, bila kegiatan reproduksi cenderung mengolah dan 
membina, menjaga dan mengembangkan; sehingga harus 'menentukan batas-batas'. 
Supaya tanaman tidak dimakan binatang, maka harus diciptakan 'pagar'. Dalam 
teks masa kini kita sebut sebagai 'teritori' atau 'properti'. 
 
Untuk kegiatan ekstraksi, tidak dibutuhkan 'batas'; sebatas kemampuan mengambil 
dari alam. Dalam teks masa kini kita sebut sebagai 'globalisasi'. 
 
Pertanyaan Shariati adalah: kenapa Qabil sang Petani mempersembahkan sayuran 
layu sesuai pesan ayahnya, sedangkan Habil sang Pemburu atau Peternak 
mempersembahkan hewan buruan yang gemuk dan segar? Tak lebih karena 'sifat' 
dari profesi. Untuk kegiatan reproduksi, karena adanya 'properti' dan 'pagar', 
cenderung bersikap lebih protektif, malah disebutkan dengan istilah 'tamak'. 
Dalam pola pikir seperti itu, telah dapat memisahkan antara beras dan antah, 
serta membedakan emas dengan loyang. 
 
Untuk kegiatan ekstraksi, karena ketiadaan batas serta meletakkan sepenuhnya 
pada properti Tuhan, jiwanya cenderung bebas dan merdeka, serta ikhlas. 
 
Pertanyaannya adalah: kita berada di galur yang mana? Shariati prihatin bila 
kita sebenarnya berada pada galur Qabil, karena Habil terbunuh. Artinya: kita 
adalah keturunan seorang pembunuh yang tangannya berlumuran darah, bermental 
kerdil yang mementingkan teritori dan pagar sendiri, suka menciptakan 'batas', 
dst. Bila seandainya Habil tetap hidup dan melahirkan keturunan, tentunya saat 
ini tidak ada batas properti, batas negara, dst; setidak-tidaknya di dalam hati 
kita ..." 

 
Dalam konsep Hukum Tanah Adat yang telah sampai kepada kita bentuk penguasaan 
terhadap tanah ini telah diolah sedemikian rupa dengan berbagai variasi di 
dalamnya. Sudah merupakan tugas dari Penghulu Andiko dibantu MKW untuk 
menyelenggarakan pemanfaatan atas tanah secara berkeadilan sehingga dapat 
menjalankan kesejahteraan di dalam kaumnya. Batas-batas wilayat 'ke luar' 
diperlukan mengingat semakin banyak juga kelompok-kelompok masyarakat. Namun 
batas-batas peruntukan 'di dalam' mengacu pada falsafah 'ganggam bauntuak, 
iduik bapangadok' yaitu sebatas tanah tersebut dapat menopang kehidupan berumah 
tangga secara wajar. Sehingga tanah pangatuo (pangka tuo/pusako tinggi) 
tersebut sebenarnya bersifat relatif dan tidak mutlak.
 
Dalam kondisi tertentu (4 persyaratan), tanah tersebut dapat dijual-gadaikan, 
namun jua indak makan bali, gadai indak makan sando. Dengan kata lain hak 
asal-usul tetap kembali kepada pemegang ulayat. Di masa Hindia Belanda dulu 
karena kepentingan cultuur stelsel hal ini telah dipahami, sehingga 
diterbitkanlah hak erfpacht atau HGU sekarang ini. Jadi erfpacht memang 
merupakan suatu terobosan yang cerdas di masa lampau dalam mengatasi stagnasi 
pemanfaatan tanah oleh pihak ketiga. Konsep erfpacht atau HGU adalah konsep 
gadai, jadi berjangka waktu. Walaupun kemudian terjadi kecurangan dalam 
penggunaan konsep ini.
 
Untuk ke depan dalam rangka investasi dan pembangunan, kita perlu mengembangkan 
konsep gadai ini secara tepat untuk kondisi Minangkabau. Bila pembangunan itu 
berjangka pendek, maka dapat diberikan gadai untuk waktu 20-30 tahun. Dan untuk 
jangka panjang bisa sampai 50 tahun. Batas waktu ini terkait dengan jenis 
investasi yang akan dilakukan, katakanlah untuk perkebunan dengan jenis tanaman 
tertentu maka diperhitungkan untuk 2-3 kali panen dst. Selama kurun waktu itu 
pemegang ulayat masih dimungkinkan untuk menerima hasil dalam skala tertentu, 
sehingga bersifat royalti, atau penyertaan modal.
 
Dalam kaitannya dengan hubungan dengan pihak ketiga, pemegang ulayat dalam hal 
ini harus mendapatkan persetujuan dari Penghulu dan MKW-nya mengingat beberapa 
hal :
- Penghulu adalah pemangku kaum yang akan mewakili kaum dalam berhadapan dengan 
pihak di luar kaum. Jadi bila berhadapan dengan pihak ketiga kepentingan 
pemegang ulayat harus diwakili oleh Penghulu Andiko/Kaum.
- Terpakainya tanah ulayat itu mengakibatkan Penghulu dan MKW harus mencari dan 
mengalokasikan bidang tanah lain sebagai pengganti sementara untuk pemegang 
ulayat tersebut, sebagai tanda anak-kemenakannya tetap berdiri di lingkungan 
adat.
 
Karena itu di masa lampau telah jelas pula pembagian hasil tentang "penyerahan 
sementara tanah ulayat" ini, sebagaimana saya pernah sinyalir sebelumnya. 
Sehingga sebenarnya masalahnya tinggal hitung-hitungan saja. Untuk lahan hunian 
dan lahan pertanian tentunya berbeda cara perhitungannya, dan hal-hal seperti 
ini yang perlu diatur dalam Perda.
 
Untuk tanah yang akan hancur oleh pemanfaatan dalam gadai itu, seperti untuk 
pertambangan, industri, perkantoran, dll yang akan berlangsung sangat lama, 
maka perlu kebijakan sendiri oleh Penghulu Kaum untuk relokasi dan alokasi 
ganggam bauntuak tersebut. Bila hal ini tidak dilakukan maka dikhawatirkan akan 
putus pula hubungan pemegang ulayat tersebut dengan ulayatnya, dan dapat 
mengakibatkan renggangnya hubungan kekeluargaan di dalam kaum. Untuk kondisi 
seperti ini kita perlu mendiskusikan dan merumuskan secara khusus.
 
Sementara demikian dulu Ibu Evy, mudah-mudahan kita lanjutkan lagi.
 
Wassalam,
-datuk endang
 

--- On Fri, 4/3/09, Evy Nizhamul <hy...@yahoo.com> wrote:






Yth Pak Datuk Endang dan Sanak Andiko serta sanak sapalanta yang berminat atas 
diskusi ini .....

1. Mengamati Perda Tanah Ulayat ini, ada yang membuat saya merenung bahwa tidak 
ada kekawatiran bahwa kelak kemudian hari semakin sulit inevestor yang akan 
menanamkan investasinya di Sumbar, sebagaimana dikatakan bahwa 




tanah ulayat bersifat tetap berdasarkan filosofi adat Minangkabau “ jua ndak 
makan
bali, gadai ndak makan sando”. 

Termasuk didalam pengertian tanah ulayat itu adalah tanah yang diuraikan dalam 
pasal 1 Perda no 6 tahun 2008 diantaranya tanah kaum dan mungkin tanah-tanah 
yang dalam kedudukan " ganggam nan bauntuak untuak kalangan bundokanduang di 
ranah minang.



........
Demikianlah tanggapan saya dan semoga ada tanggapan dari sanak-sanak yang lain.




Wassalam,


  Evy Nizhamul bt Djamaludin
(Tangerang, suku Tanjung, asal : Kota Padang)


http://bundokanduang.wordpress.com

 


      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke