Sabananyo bukan bidang ambo. Tetapi mungkin cukup menarik untuk dibaca sekedar 
"tahu-tahuan" aja ttp sedikit prinsip jurnalistik... Happy weekend...:)

Salam,
Nofrins



----- Forwarded Message ----
From: mediacare <mediac...@cbn.net.id>
To: mediacare yahoogroups <mediac...@yahoogroups.com>; media-jakarta 
<media-jaka...@yahoogroups.com>; media-jo...@yahoogroups.com; 
media-ja...@yahoogroups.com; media-b...@yahoogroups.com; 
media-jat...@yahoogroups.com; media-su...@yahoogroups.com
Sent: Saturday, April 18, 2009 4:20:26 PM
Subject: [media-sumut] TV Pool Pidato SBY: Berapa dibayar?




Tulisan dibawah 
ini berasal dari:

http://jakartabeat. net/index. php?option= com_content& 
view=article& id=200:ekstravag anza-tv-pool- pidato-sby& catid=43: 
artikel&Itemid= 65

Ekstravaganza ‘TV Pool’ Pidato SBY

Oleh: Dandhy D Laksono 
(freelance journalist)

Sekitar pukul sebelas malam (Kamis, 16 April 
2009), RCTI menyiarkan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berdurasi 
20-an menit. Isinya klarifikasi SBY sebagai Kepala Negara atas tudingan 
berbagai pihak bahwa rezimnya telahbertindak curang dalam pemilihan umum 
legislatif, 9 April lalu.

Dalam pidato itu, SBY juga membabat habis 
argumen para lawan politiknya yang menuding pemerintah berada di balik 
kacaunya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Juga mematahkan tudingan bahwa Pemilu 
2009 adalah pemilu terburuk setelahreformasi.

RCTI mengemasnya dalam 
program bertajuk “Presiden Bicara”.

Di saat yang nyaris bersamaan, 
ternyata hampir semua stasiun televisi
seperti TPI, Trans TV, ANTV, Indosiar, 
dan TV One juga menayangkan pidato yang direkam di Istana Negara siang 
harinya itu. TPI—satu grup dengan RCTIdi bawah bendera MNC—bahkan 
mengemasnya dalam “Breaking News”.

Breaking news atau di media cetak 
dikenal dengan stop press biasanya dipakai untuk jenis berita yang 
benar-benar mendesak untuk disiarkan. Misalnya, malam itu Presiden SBY 
mengumumkan penurunan harga BBM saat TPI sedang memutar sinetron, maka bisa 
saja program itu dihentikan untuk menyiarkan halitu. Atau ada bencana besar 
seperti gempa bumi dan tsunami.

Karena itu, sulit membayangkan mengapa 
redaksi TPI masih nekat menggunakan breaking news untuk sebuah pidato yang 
sudah disiarkan televisi lain sekitarlima jam sebelumnya.

Stasiun 
televisi lain yang dimaksud adalah SCTV. Stasiun milik keluarga
pengusaha 
Sariaatmadja itu sudah menayangkan pidato SBY sejak sore di
program Liputan 6 
Petang, jam 17.30 – 18.00 WIB. Program berita yang
durasinya hanya 30 menit 
itu didominasi pidato SBY sehingga hanya tersisa
1-2 item berita saja setelah 
adzan maghrib.

Usut punya usut ternyata tim SCTV-lah yang merekam pidato 
itu, dan hasil
rekamannya dibagi-bagikan kepada ruang redaksi televisi lain. 
Komposisi
kamera yang seragam setidaknya menguatkan hal ini.

Singkat 
kata, fenomena ini seperti TV pool di mana semua saluran televisi
telestrial 
menyiarkan program yang sama di waktu yang hampir bersamaan.
Secara teori, TV 
pool hanya bisa digerakkan oleh dua hal saja: pemasang
iklan komersial dan 
alasan sosiologis-politis.

Saat Tien Soeharto meninggal pada April 1996, 
misalnya, semua televisi
terkena “wajib relay”. Pusat kontrol siaran saat itu 
berada di RCTI,
langsung di bawah pengawasan pengusaha Peter 
Gontha.

TV pool memang memerlukan koordinasi terpusat. Di masa Orde Baru 
barangkali tidak sulit mengorganisasi TV pool karena pemiliknya relatif sama: 
keluarga dan kroni Cendana.

Tapi kini tentu tingkat kesulitan 
politisnya lebih tinggi. Dibutuhkan sebuah
super-body untuk bisa menggerakkan 
ruang-ruang redaksi televisi yang
pemiliknya sudah relatif beragam ini. 
Dibutuhkan invisible hand yang mampu
meng-gerilya para pengambil kebijakan di 
redaksi agar menyediakan durasi
yang mahal itu, untuk memutar 20 menit pidato 
SBY.

Dalam struktur televisi, pemimpin redaksi tidak punya otoritas 
untuk
menghentikan tayangan sinetron tanpa persetujuan direktur progam 
atau
direktur utama, betapa pun informasi itu memiliki nilai berita 
tinggi.
Karena itu, bisa dipastikan bahwa penayangan pidato SBY secara 
serentak
Kamis malam, digerakkan oleh instruksi yang datangnya dari otoritas 
yang
lebih tinggi. Dalam kalimat langsung: para pemilik televisi lah 
yang
mengotorisasi tayangan tersebut.

Apakah para pemilik televisi 
membuat konsensus atau hanya menjalankan
perintah top down dari Istana? 
Itulah yang mesti dicari tahu.

Apa Salahnya ‘TV Pool’?
Lantas apa yang 
salah dengan siaran serentak pidato presiden?

Ini adalah masalah 
kaidah-kaidah jurnalistik yang ditabrak beramai-ramai
oleh para pengelola 
stasiun televisi. Liputan 6 Petang SCTV, misalnya,
mengalokasikan 20 menit 
lebih dari (hanya) 30 menit program beritanya untuk
pidato SBY.

Dus 
itu berarti, ada lusinan berita lain yang dipangkas, dan berita-berita
itu 
pastilah menyangkut kepentingan publik seperti flu Singapura,
perkembangan 
ketegangan di Papua, gempa di Mentawai atau perkembangan
kasus-kasus korupsi 
yang sedang ditangani KPK.

Publik membutuhkan informasi lain selain 
urusan pemilu dan konflik para elit
politik. Dan ini yang dengan sengaja 
diabaikan.

Tapi baiklah, mungkin saja redaksi SCTV menganggap 20 menit 
pidato itu
isinya memang penting semua dan memiliki kandungan nilai berita 
tinggi (news
value), sehingga tidak perlu di-edit atau dicuplik bagian-bagian 
tertentu,
melainkan digelundungkan begitu saja.

Demikian juga dengan 
kebijakan redaksi televisi lain. Saking tingginya nilai
berita pernyataan SBY 
itu, sampai-sampai tidak sabar menunggu program berita regular malam atau 
pagi harinya, dan harus disampaikan saat itu juga, tanpa editing.

Tapi 
argumen ini tetap tidak bisa diterima secara jurnalistik. Selain
janggal dari 
sisi alokasi durasi, ‘TV pool’ pidato SBY juga tidak
mencerminkan sikap media 
yang obyektif dan imparsial.

Dalam konteks kisruh hasil DPT atau tudingan 
kecurangan pemilu, pemerintah
(dalam hal ini presiden) hanyalah salah satu 
pihak dari sekian banyak pihak
seperti KPU, Bawaslu, parpol peserta pemilu, 
organisasi non pemerintah
pemantau pemilu, dan (terutama) para 
pemilih.

Bila dalam posisinya sebagai kepala negara saja, SBY secara 
jurnalistik
hanyalah salah satu pihak, konon lagi sebagai Ketua Dewan Pembina 
Partai
Demokrat.

Apalagi, Presiden SBY sendiri-lah yang menyatakan 
dalam pidatonya malam itu, bahwa pemerintah bukanlah penanggung jawab pemilu, 
melainkan KPU. Bilademikian, lalu di mana letak nilai berita pidato SBY 
untuk mendapatkan
durasi sepanjang itu?

Secara jurnalistik, semua 
pihak harus dipandang sejajar. Tidak ada yang
lebih tinggi kastanya antara 
satu dengan yang lain. Opini Prabowo atau
Megawati tentang kekacauan DPT, 
secara substansi memiliki bobot yang sama dengan keluh kesah (maaf) tukang 
becak bernama Bejo yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar. Juga sama 
bobotnya dengan pembelaan KPU, kritisismeBawaslu, atau penjelasan Depdagri 
dan pemerintah.

Maka, bila SBY diberi durasi 20 menit di sebuah program 
berita reguler atau
program khusus seperti di SCTV, RCTI, Trans TV, dan TPI, 
bagaimana bila para stake holder yang lain juga menuntut hal yang 
sama?

Katakanlah 10 elit parpol esok atau lusa menunjuk satu juru bicara 
untuk
membalas argumen-argumen SBY, apakah stasiun televisi itu akan 
melakukan
kebijakan yang sama? Atau akan memilih-milih yang dianggap penting 
saja, dan membungkusnya di program berita biasa?

Bagaimana pula bila 
Ketua KPU yang akan memberikan penjelasan rinci dan
panjang lebar. Adakah 
ruang untuknya, sama seperti ruang untuk Presiden SBY?

Proporsionalitas 
tentu bukan soal durasi yang sama, tapi apakah pihak lain
sudah mendapat 
kesempatan untuk mengutarakan semua perspektifnya. Inilah
yang sangat 
diragukan bisa dilakukan secara adil oleh para pengelola
televisi. Sama 
meragukannya dengan apakah Metro TV bisa memberikan porsi yang sama kepada 
pimpinan partai lain, selain menayangkan pidato-pidato politik Surya Paloh 
yang juga politikus Golkar.

Di facebook, seorang rekan jurnalis menulis: 
“Kok waktu tragedi Situ
Gintung, tsunami, dan bencana lainnya, tidak ada 
permintaan durasi tayang
sebanyak itu dari Istana, ya?”

Ini bukan soal 
siapa menjadi pemilik media apa. Stasiun-stasiun televisi itu
menggunakan 
gelombang frekuensi yang sebenarnya adalah domain publik. Karena itu, 
industri televisi diatur sedemikian rupa melalui Undang Undang
Penyiaran, 
Kode Etik Jurnalistik (Dewan Pers), maupun Pedoman Perilaku
Penyiaran yang 
dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Maka, publik sangat 
berhak mengkritisi apa yang ditayangkan oleh
stasiun-stasiun televisi 
terestrial itu.

Permainan Politik Pemilik Televisi
Sulit untuk tidak 
menduga bahwa ‘TV pool’ pidato SBY adalah buah dari
patronase politik yang 
sedang dijalankan para bos-bos televisi yang merasa
perlu merapat ke Istana. 
Tekanan dari Istana agar menyiarkan ini dan itu
tidak akan terlalu banyak 
berpengaruh andai para pemilik media dan para elit
redaksi memiliki dignity 
dan independensi.

Tapi bila di antara mereka sedang mengincar proyek 
tertentu, atau malah
memiliki kasus hukum, maka tak heran bila layar 
televisi-nya dijadikan alat
tawar menawar (bargaining) untuk mencari dukungan 
politik.

Hubungan politik dan ruang redaksi televisi sebenarnya bukan 
barang baru.
Pergantian direksi TVRI selalu diwarnai kericuhan karena 
terjadi
tarik-menarik kepentingan hingga di DPR. Karyawan TVRI di masa Orde 
Baru adalah juga kader Golkar.

Pada tahun 2003, Wakil Pemimpin Redaksi 
RCTI, Ivan Haris, mengundurkan diri karena menganggap stasiun televisi itu 
tidak independen dengan mengangkat pemimpin redaksi yang diduga akan 
mengusung kepentingan partai politik tertentu.

Tentu saja tudingan itu 
dibantah berbagai pihak. Tetapi, entah berhubungan
atau tidak, sang pemimpin 
redaksi yang dipersoalkan itu memang diganti
setelah Pemilu 2004 
usai.

Istana atau mungkin konsultan-konsultan politik di sekitarnya, 
barangkali
bisa berargumen bahwa pidato SBY sebagai kepala negara penting 
untuk
mendinginkan suasana agar tidak terjadi perpecahan politik yang 
mengarah
pada instabilitas. Dan nilai itu tentu jauh lebih prioritas 
dibandingkan
‘altruisme nilai-nilai jurnalistik’.

Argumen itu adalah 
tafsir politik. Benarkah bangsa ini lebih teduh dan
tentram setelah pidato 
SBY?Atau justru makin riuh rendah dan gayung
bersambut kontroversi 
ini?

Tugas jurnalisme bukan mengakomodasi tafsir-tafsir politik sepihak 
semacam
ini dengan menyediakan durasi berapa pun yang diminta negara atau 
yang
mewakilinya. Jurnalisme tidak terikat dengan jargon-jargon semacam 
ini.

Tugas jurnalisme adalah memastikan apakah semua perspekif sudah 
terwakili
sehingga penilaian salah benar akan ditentukan oleh publik. 
Jurnalisme tidak
terikat dengan patriotisme kewilayahan NKRI melebihi, 
misalnya, nilai-nilai
kemanusiaan universal dan fakta-fata lapangan tentang 
pelanggaran HAM.

Pasal 9 Pedoman Perilaku Penyiaran menyebut, “lembaga 
penyiaran harus
menyajikan informasi dalam program faktual dengan senantiasa 
mengindahkan
prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan 
(imparsialitas)” .

Oleh pasal 11 ditandaskan bahwa “lembaga penyiaran 
harus menghindari
penyajian informasi yang tidak lengkap dan tidak 
adil”.

Sementara di Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers pasal 1 menyebut, 
“wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, 
berimbang,
dan tidak beritikad buruk”.

Saking pentingnya prinsip ini, 
Dewan Pers menempatkannya di pasal 1,
melebihi pasal lain. Dan tidak ada satu 
pun pasal dalam kedua aturan itu
yang membolehkan hal tersebut dilanggar 
dengan pengecualian untuk
kepentingan pemerintah atau tentara. Pengecualian 
hanya untuk kepentingan
publik.

Seperti halnya profesi dokter yang 
menolong siapa pun yang terluka akibat
perang, jurnalis tidak terikat dengan 
klaim-klaim politik siapa pun, baik
formal kenegaraan maupun informal pinggir 
jalan.

Pemberitaan yang berimbang tentu tidak berarti harus memberikan 
porsi durasi yang sama, melainkan bagaimana semua perspektif telah diwakili. 
Namun durasi 20 menit hanya untuk satu versi, jelas mengindikasikan 
ketidak berimbanganyang telanjang.

Bila presiden merasa selama ini 
dirinya dimarjinalkan dalam pemberitaan
seputar kisruh DPT dan tudingan 
kecurangan pemilu, maka ada 1001 cara untuk merespon hal tersebut, dan tidak 
perlu dengan gaya Orde Baru yang mendikteruang-ruang redaksi televisi untuk 
menayangkan versinya sendiri.

Para pembisik atau konsultan politik di 
sekeliling SBY mestinya tahu hal ini
dan tidak justru menjemuruskan reputasi 
kliennya yang baru saja memengani
pemilu legislatif.

Masyarakat sedang 
menanti, apakah Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia cukup bertaring 
untuk mempersoalkan dan menjatuhkan sanksi kepada stasiun-stasiun televisi 
dalam kasus ini. Dan tidak hanya tegas dalam kasus Thukul Arwana dengan Empat 
Mata-nya atau almarhum Lativi dengan programSmack Down-nya, 
***


Please add my Facebook: 
Radityo Indonesia
Mediacare Indonesia   


      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain harap mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi;
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke