Paralu bantuaknyo kito sigi juo mengenai hak pengelolaan pesisir dibawah 
berdasarkan pendekatan ulayat lauik di Minangkabau. Apokah 
konsekuensinyo " Kalauik ba bungo karang, ubua-ubua gantuang kamudi" 
bagi nagari-nagari pantai sehubungan jo rezim hak nan baru lahia ko.

Sakian dari ambo Ajo

Andiko ST. Mancayo
Baladang di Jakarta, Manaruko di Batam

____________________________________________________
*

HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN*
Problem Lebih Rumit Akan Muncul

Selasa, 15 September 2009 | 03:22 WIB

Jakarta, Kompas - Peraturan pemerintah tentang hak pengusahaan perairan 
pesisir sebaiknya tidak diterbitkan. Aturan ini dapat menimbulkan 
masalah baru yang lebih kompleks dalam pengelolaan perairan pesisir.

Pemerintah, menurut guru besar hukum agraria Fakultas Hukum Universitas 
Gadjah Mada, Yogyakarta, Maria SW Sumardjono di Yogyakarta, Senin 
(14/9), sebaiknya tetap menggunakan pola perizinan untuk pemanfaatan 
perairan yang ada selama ini.

Sesuai dengan ketentuan hukum, terminologi pemberian hak hanya dapat 
diterapkan untuk obyek sumber daya tanah. Untuk pemanfaatan sumber daya 
alam nontanah, hanya berupa izin dengan kewenangan terbatas.

”Bukan pemberian hak. Untuk pemanfaatan sumber daya air, misalnya, 
berupa hak guna air, meliputi hak guna pakai air dan hak guna usaha 
air,” kata Maria.

Pemerintah berencana menerapkan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) 
berdasarkan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan 
Pulau-pulau Kecil, yakni dengan memberikan hak eksklusif bagi orang, 
kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan perairan pesisir, 
sumber daya pesisir, dan pulau kecil pada areal tepi laut hingga jarak 
12 mil dari pantai.

Maria mengingatkan, HP3 berpotensi berbenturan dengan perizinan di 
bidang kehutanan, pertambangan, dan pariwisata yang memanfaatkan 
perairan. Benturan aturan itu akan menambah ketidakpastian hukum.

Awalnya, kata Maria, HP3 tidak tercantum dalam draf rancangan UU No 
27/2007, tetapi kini muncul dalam ketentuan UU itu sewaktu disahkan. Isi 
UU No 27/2007 yang dinilai kontroversial antara lain Pasal 20 yang 
memungkinkan HP3 dialihkan dan dijadikan agunan.

Selain itu, Pasal 60 yang menyebutkan, masyarakat adat berhak 
mendapatkan kompensasi karena hilangnya akses terhadap sumber daya 
pesisir dan pulau kecil akibat pemberian HP3 kepada pihak lain.

Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza 
Damanik, pasal itu menunjukkan pemerintah menyederhanakan peran perairan 
pesisir bagi masyarakat adat, yaitu hanya sebagai lapangan kerja.

Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan 
Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad, 
penyusunan PP HP3 tetap berjalan meski sejumlah substansi ditunda 
pengaturannya. (LKT)

Sumber: http://cetak.
kompas.com/read/xml/2009/09/15/03225365/problem.lebih.rumit.akan.muncul..

----------------------------------------------------------


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke