Berani beda, berani benar! (www.indrapiliang.com)

-----Original Message-----
From: Koran Digital <korandigi...@gmail.com>
Date: Mon, 21 Sep 2009 15:55:58 
To: Koran Digital<koran-digi...@googlegroups.com>
Subject: [Koran-Digital] Wajah Lain Pondok Pesantren


Wajah Lain Pondok Pesantren
Pondok pesantren tak hanya mengajarkan agama, tapi juga bisnis.
Sebagian lagi menjadi pelopor pemberdayaan masyarakat sekitarnya.
Inilah fikih sosial mereka.

PESANTREN dan terorisme. Dua kata ini kerap dikait-kaitkan saat aksi
terorisme mewabah di Indonesia belakangan ini. Harap maklum, sebagian
besar pelaku dan tersangka tindak kejahatan itu memang alumni pondok
pesantren.

”Stigmatisasi terhadap pesantren saat ini luar biasa dan telah menjadi
sebentuk kebencian terhadap Islam,” kata Choirul Fuad Yusuf, Direktur
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama, dalam
diskusi di kantor majalah Tempo pada 3 September lalu.

Diskusi itu juga dihadiri Masdar Farid Mas’udi, Direktur Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M); Khaeroni, Kepala
Subdirektorat Pemberdayaan Santri dan Layanan pada Masyarakat; dan
Undang Sumantri, Kepala Subbagian Tata Usaha Direktorat Pendidikan
Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama.

Fuad menyatakan stigmatisasi itu muncul, misalnya, ketika dia
menyampaikan makalah berjudul ”Pertumbuhan Luar Biasa Pesantren di
Indonesia” dalam konferensi tahunan National Association of Foreign
Student Advisers di Los Angeles, Amerika Serikat, akhir Mei lalu.

”Pertanyaan yang muncul dalam konferensi itu kebanyakan soal
radikalisme, madrasah sebagai tempat pengkaderan teroris, apalagi
pesantren. Jadi, madrasah disamakan dengan madrasah di Afganistan,”
kata Fuad. Madrasah di Afganistan mendapat cap miring karena banyak
militan Taliban direkrut dari madrasah tersebut.

Madrasah di Indonesia, kata Fuad, sama dengan sekolah umum, dengan
muatan khusus pendidikan Islam. ”Dari 21 ribu lebih pesantren saat
ini, tidak ada yang mengajarkan kekerasan, apalagi yang mengarah pada
terorisme,” katanya.

Departemen Agama mencatat saat ini ada 21.521 pesantren dengan
3.818.469 santri. Jumlah pesantren itu naik hampir empat kali lipat
dalam 20 tahun terakhir dan dua kali lipat dalam 6 tahun terakhir.
Pada 1985 tercatat ada 6.239 pesantren dengan 1 juta lebih santri dan
pada 2001 ada 11.312 pesantren dengan 2.737.805 santri. Ini tidak
termasuk pesantren yang belum terdaftar di departemen tersebut.

Pondok-pondok pesantren itu tak berwajah tunggal. Ada yang mengajarkan
pentingnya merawat harmoni sosial dan toleransi antar-umat beragama.
Ada pula yang menggendong ideologi politik Timur Tengah, seperti
Wahabisme, Ikhwanul Muslimin, dan Talibanisme. Tak sedikit dari
pesantren ini yang mengintroduksi jalan-jalan kekerasan dalam
menjalankan ajaran Islam.

Menurut Fuad, pemerintah berupaya mendorong pondok-pondok pesantren
agar tak hanya menjadi tempat belajar agama Islam, tapi juga menjadi
agen perubahan sosial, motivator, dan aktor bagi masyarakat
sekitarnya. Peran itu sudah dilakukan oleh beberapa pesantren, seperti
Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Babakan Jampang, Ciwidey, Bandung, yang
mengajak masyarakat sekitar mengelola sayur-mayur, dari budi daya
hingga pemasarannya.

”Pesantren itulah yang menyalurkan produk pertanian masyarakat ke
supermarket-supermarket. Para santrinya juga diajari pemasaran dengan
berdasi. Jadi, jangan dikira bahwa para santri kini cuma bersarung dan
berkerudung,” kata Choirul.

Masdar Farid Mas’udi, yang juga Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
menuturkan bahwa peran pesantren dalam memberdayakan masyarakat sudah
berlangsung lama. ”Bahkan sebenarnya pesantren umumnya didirikan
dengan tujuan memberdayakan masyarakat sekitarnya,” kata pengasuh
Pesantren Unggul Al-Bayan di Sukabumi, Jawa Barat, itu.

Gerakan pemberdayaan itu menguat pada 1970-an dan 1980-an, bersamaan
dengan dijalankannya banyak program kemasyarakatan oleh pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat melalui pesantren, seperti yang dilakukan
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES), Bina Desa, Bina Swadaya, dan P3M yang dipimpin Masdar. ”Namun
program pemberdayaan masyarakat ini hanya meletakkan pesantren sebagai
pintu masuk atau batu loncatan,” kata Masdar.

Masdar mencontohkan program Keluarga Berencana yang diperkenalkan ke
masyarakat melalui pintu pesantren, sehingga masyarakat tak lagi
mempermasalahkannya. ”Legitimasinya sudah tidak dipertanyakan lagi
karena sudah didukung kiai,” katanya.

Nah, beberapa kiai kemudian berembuk untuk membentuk P3M dengan tujuan
memberdayakan masyarakat melalui, oleh, dan bersama pesantren.
Dasarnya adalah fikih sosial, yakni pengembangan dan kepedulian kepada
masyarakat itu sebenarnya dilakukan bukan karena ada pesanan atau
program atau dana dari luar, melainkan sebagai tanggung jawab
pesantren itu sendiri sebagai pusat keagamaan. ”Kami berharap
pengembangan masyarakat oleh pesantren itu menjadi agenda pesantren
itu sendiri, bukan sekadar pintu masuk atau lampiran dari pesantren,”
katanya.

Secara historis pun pesantren muncul karena ingin mengasuh masyarakat.
Masdar mencontohkan peran Pesantren Tebuireng yang berdiri di tengah
Kota Jombang ketika ada masalah antara petani tebu dan pabrik gula
karena pabrik menetapkan harga yang rendah. Pemimpin pesantren itu
menyokong pembentukan paguyuban petani, yang kemudian mendatangi pihak
pabrik untuk memperbaiki harga dan budi daya tebu.

Pesantren masa kini, kata Masdar, juga merupakan perkembangan dari
intervensi pemerintah melalui kurikulum dan standardisasi pendidikan,
yang mulai terlihat pada 1980-an. Hal ini menyebabkan ongkos sekolah
di pesantren jadi mahal dan membuat mereka berpaling ke sumber dana
yang ada, yakni pemerintah.

”Inilah mulai hilangnya independensi pesantren terhadap kekuasaan.
Padahal independensi menjadi ciri pesantren dan keulamaan, yaitu duduk
setara dengan umara (pemimpin), jadi bisa mengatakan tidak dalam hal
harus mengatakan tidak, dan mengatakan ya bila harus ya,” ujarnya.

Dampak dari formalisasi pendidikan pesantren ini juga berpengaruh pada
hubungan santri-kiai. Dulu, kalau santri datang ke pesantren, pasti ia
diserahkan sepenuhnya oleh orang tuanya kepada sang kiai. ”Sekarang
santri datang ke pesantren itu bukan ke kiai lagi, tapi ke bagian tata
usaha. Jadi, kalau urusan bagian tata usaha sudah selesai, bisa datang
sowan ke kiai bisa tidak. Kiai sudah tidak pegang otoritas apa-apa di
situ,” kata Masdar.

Meski demikian, masih banyak pesantren yang mencoba mandiri dengan
cara masing-masing, bahkan mampu memberdayakan masyarakat sekitarnya.
Untuk memotret kepeloporan pesantren itulah Tempo menurunkan laporan
sejumlah pesantren di Tanah Air. Sebagian besar merupakan masukan dari
Departemen Agama dan sebagian lagi muncul dalam diskusi redaksi.

Ada delapan pesantren yang diangkat kali ini, yakni Pesantren Sidogiri
di Pasuruan, Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Pesantren Al-
Amin di Tasikmalaya, Pesantren As-Salafiyyah di Mlangi, Yogyakarta,
Pesantren Qamarul Huda di Lombok, Pesantren Darul Arafah dan Pesantren
Ar-Raudhatul Hasanah di Sumatera Utara, serta Pesantren Salafiyah
Safi’iyah di Gorontalo.

Lembaga-lembaga itu mencerminkan wajah lain pondok pesantren.
Pesantren Sidogiri, misalnya, memelopori wirausaha melalui koperasi di
pesantren, yang ternyata juga mendorong perekonomian masyarakat
setempat. Kini mereka telah memiliki sedikitnya sepuluh unit usaha,
dari toko buku hingga studio foto. Sayap usaha lain adalah produksi
air minum kemasan bermerek Santri, penerbitan kitab, dan busana
muslim.

Adapun Pondok Pesantren Qamarul Huda di Lombok mengkampanyekan
lingkungan hijau dengan mengajak warga menanam pohon di halaman rumah
masing-masing. Mereka juga menjadi mitra pemerintah dalam menangani
kerusakan hutan dengan menanami lahan seluas 200 hektare.

Lain lagi dengan Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah di Desa
Banuroja, Kecamatan Randangan, Provinsi Gorontalo. Pesantren ini aktif
membina kerukunan dengan warga Hindu, yang dianut hampir separuh warga
desa, dan warga Kristen. Pondok itu juga memelopori pembangunan desa
dengan mendorong berbagai usaha, termasuk agrobisnis dan peternakan
sapi. Warga juga dilibatkan dalam pemeliharaan sapi dengan metode bagi
hasil.

Pesantren-pesantren ini hanya potret kecil dari begitu beragam dan
banyaknya pesantren di Indonesia. Namun kepeloporan mereka setidaknya
dapat menjadi inspirasi bagi pesantren dan lembaga pendidikan
keagamaan lain di Nusantara.

Kurniawan
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/21/LU/mbm.20090921.LU131455.id.html
“Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang 
sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan.” -- Otto Von 
Bismarck
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke