Iko ciek lai, Pak Prof, nan babaun2 Malin Kundang juo.

Sorry kalau lah pernah dapek.

 

Malin Marajo

syafr...@mkpi.panasonic.co.id <mailto:syafr...@mkpi.panasonic.co.id>  --
+207969  -- Panasonic Shikoku Electronics Batam --Indonesia

I. Nama dan Gelar

 

Sejak abak mati karena kerja rodi sebagai seorang anak aku bertekat
untuk menjadi anak yang berguna. Membela ibuku. Niat itu kusampaikan
pada ibu setelah dia kembali dari kota Gede, dan segera ibu merobah
namaku dari si Buyung menjadi "Gunawan". Anak yang berguna. Kemudian,
setelah Islam masuk, tanpa setahuku ibu memberikan nama tambahan di
depan namaku itu dengan "Muhammad". Dan setelah aku menaiki pelaminan,
orang-orang memanggil gelarku "Malin", maksudnya mungkin orang yang
soleh.

 

Maka pergilah aku merantau. sewaktu aku pulang sebentar melihat ibu, aku
sempat bertanya kepadanya: "Mak, kenapa sewaktu Belanda masuk atau
Jepang datang namaku tidak ditambah pula dengan "Albert atau Yamaguci"
misalnya. Ibuku menjadi marah dan dia menggerutu.   

 

Mamakmu sendiri bergelar Datuk Bana Tan Tapo, tetapi secuil pun tak
pernah dia berusaha menegakkan kebenaran dan takutnya pada orang kalau
diuji pendapatnya bukan main. Sekarang kau sudah dipanggil orang si
Malin. Padahal apa yang kau kerjakan di rantau menjadi "pancacak" !?.

 

O !, kalau begitu tahulah aku kini. Tampaknya antara nama dan gelar
seperti tidak ada hubungan sama sekali dengan  tingkah laku dan
perbuatan.

 

II. Merantau Cina

 

Sewaktu aku akan pergi merantau, ibuku berpesan: "Malin, jangan lah kamu
merantau Cina. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri awak,
lebih baik juga negeri awak". Aku mengangguk mengiyakan. Tapi sewaktu
orang-orang Cina sudah mulai membeli tanah pusaka kami, ibuku segera
mengirim surat kilat khusus yang isinya: "Malin, merantaulah seperti
Cina !. Beli tanah dimana saja. Tanah pusaka kita ternyata telah
dikapling-kapling mereka !".

  

Surat kilat khusus itu dibaca istriku, Puti Manih Talonsong (sebelum
menjadi isteriku, nama kecilnya Cian Phao). Setelah surat itu dibacanya,
dia tersenyum. "Jangan tanahmu, kau sendiri kan sudah ku kapling jauh
sebelum itu" 

   

Maaf mamak Datuk !, kata aku kepada mamakku, aku terpaksa kawin dengan
Puti Manih Talonsong itu karena aku dulu jadi anak semang Baba Laweh,
bapaknya.  

 

III. Anak dipangku Kemanakan... ?

 

Restoran "Bim Bing" suasananya enak dan remang-remang. Aku pelanggan
restoran itu tanpa setahu Cian Phao, soalnya ada Puti Basusual Intan
disana. Aku yakin dia sama asal atau sekampung dengan ku, tapi separo
mati pula dia bertahan mengatakan tidak. Dalam pertengkaran itu aku
pangku dia habis-habisan.

 

Tiba-tiba seorang tua tertelungkup di depan kami, pingsan. Seteleh
ditelentangkan, Puti Basusual Intan terperanjat "Ayahku !" teriaknya.
Kuraba kepala yang pingsan itu. Ternyata dia Datuk Bana Tan Tapo
mamakku. Rupanya dia jatuh pingsan melihat aku begitu penuh nafsu
memangku Puti Basusual Intan. Insiden kecil ini di jadikan Head Line
Surat Kabar "Datuk Bana Tan Tapo pingsan karena Anak dipangku kemanakan
di Bim Bing" ?. Pada mulanya insiden, akhirnya menjadi petuah adat
sampai sekarang gara-gara wartawan.

 

IV. "Rumah Gadang bapaga Adat"

 

Aku sudah mengirimkan sejumlah uang berkali-kali sebagaimana yang
diminta mamakku Dt. Bana Tan Tapo untuk menyiapkan "rumah gadang" kaum
kami. Kemudian ibuku mengirim surat pula supaya mengirimkan uang lagi
untuk membuat pagar rumah gadang itu.

 

Semuanya aku penuhi. Tapi sewaktu aku pulang ke kampung melihat rumah
gadang itu, ternyata tidak ada pagar atau tanda akan diberi pagar.
segera kutemui mamakku Dt. Bana Tan Tapo menanyakan kenapa pagar belum
juga dibikin sedangkan uangnya sudah dikirim lebih.

 

"Rumah gadang bapagar Adat" Malin !, bukan berpagar besi seperti rumah
sekarang !, jawabnya tenang. Dan uang yang telah kukirimkan digunakan
buat apa ?, kan buat bikin pagar !, kataku kesal.

 

Sambil menangis merangkulku dia berbisik "Kau saja sanggup beristeri
sampai lima, pada hal kau belum jadi Datuk !". Aku bingung !.

 

"Uangmu telah kugunakan untuk kawin lagi, gengsi kalau penghulu seperti
aku tidak punya banyak isteri, sepertinya aku tidak laku !"

 

Mungkin inilah sebabnya rumah gadang di Minangkabau semakin berkurang,
kalau kemanakan di rantau selalu mengirimkan uang disalah gunakan oleh
mamaknya.

 

V. "Masyarakat Ilmiah"

 

Datu-datuk yang selalu mengadakan rapat atau sidang di Balai Adat
mempunyai tata cara tersendiri. Setiap kata harus dijelaskan arti dan
maksudnya supaya tidak terjadi kesalah pengertian. Dan bagi yang
memberikan jawaban, mengulang kembali penjelasan itu dan setelah
disepakati bahwa arti dan maksudnya sama, baru persoalan dilanjutkan.

 

Jika sekiranya yang dibicarakan tentang perkawinan, terlebih dahulu
disamakan pendapat tentang "kawin" itu, apa yang dilakukan bila kawin,
kawin cara siapa dan seterusnya. Setelah itu baru persoalan  dilanjutkan
"siapa yang akan kawin", bagaimana kawinnya, dimana dan kapan ? dan
seterusnya.

 

Kadang-kadang rapat itu hanya membicarakan tentang sebuah durian yang
jatuh ke halaman orang lain, terpaksa mereka rapat sampai lima atau enam
hari.

 

Repot !, tapi kata Datukku itu adalah sikap ilmiah. Semua harus punya
rujukan yang jelas. Kalau mengutip pendapat orang lain harus di
konfirmasikan sampai benar-benar diakui sebagai pendapat, bukan pendapat
kita. Aku mengangguk membenarkan. 

 

Sewaktu dia tersinggung karena aku kawin lagi sedangkan isterinya
sebagai Datuk baru tiga, dia memakiku; "Anjiang kamu Malin !".

 

Aku tenang saja, tapi ketenangan ku membuat kemarahannya melimpah ruah;
"Hei Malin ! Hanya Datuk yang boleh bersiteri banyak ! Kau telah
menghina semua Datuk yang ada di negeri ini !"

 

"Anjing !, Anjiang kau !", suaranya semakin serak dan akhirnya menangis.

 

Setelah reda kemarahannya lalu ku katakan, bahwa kita harus bersikap
ilmiah. Kita ini masyarakat ilmiah. Segala sesuatunya harus jelas. Jika
mamak Datuk mengatakan anjing, supaya dijelaskan anjingnya anjing apa,
kurapan atau hitam, jantan atau betina dan turunan anjiang apa !?

  

Tiba-tiba dia berdiri; "Baik !", katanya dengan geram. Tubuhnya
bergoyang menahan kemarahannya. "Anjiang kamu ! Anjing kumbang ! Anjing
milik Datuk Perpatih Nan Sabatang ! Yang menggigit dubalang Datuk
Ketumanggungan !. Tapi anjing tidak dihukum ! Yang namanya anjing !
Tentu tidak dimakan hukum ! Hanya anjing yang memakan hukum ! 

 

Akhirnya Dt. Bana Tan Tapo mamakku tertawa terpingkel-pingkel sendiri.

  

Wisran Hadi

(dikutip dari "Majalah Adat dan Kebudayan Minangkabau LIMBAGO", terbitan
Desember 1986)

 

 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke