Mak Darul,
Saya baru sadar betapa peliknya masalah ini. Kok bisa orang asing dg sukarela 
sudah mau mengajari, malah disuruh bayar pula. Jika memang selama ini laut kita 
menjadi objek rebutan antara kita sendiri, maka wajar kalau oknum2 tertentu 
dengan tanpa merasa dosa sering pula 'berkongkalingkong' dg pihak asing untuk 
mengeruk dan menjual isinya. Bagaimana jalan keluarnya, Mak Darul?
 
Wassalam,
Suryadi


--- Pada Ming, 3/1/10, Darul M <dar...@gmail.com> menulis:


Dari: Darul M <dar...@gmail.com>
Judul: RE: Bls: [...@ntau-net] 'Panglima Adat Laut Pesisir Minangkabau'
Kepada: rantaunet@googlegroups.com
Tanggal: Minggu, 3 Januari, 2010, 3:04 PM








Pak Saafroedin Bahar manulih:
 
Terima kasih atas info Bung Andiko tentang adanya semacam /panglima laot' di 
daerah pesisir Sumbar, khususnya di Pasaman. Ini sudah suatu permulaan yang 
baik. Tinggal kita tingkatkan, kita organisasikan, kita latih untuk tugas-tugas 
kesejahteraan, dan kalau perlu untuk tugas pertahanan. Sebagai orang  yang 
pernah bertugas dalam bidang teritorial, saya melihat ada tempat bagi para 
'panglima laot' a la Minang ini, apalagi oleh karena garis pantai kita demikian 
panjang. [Btw, bagaimana kalau masalah ini kita angkat dalam Kongres Kebudayaan 
Minangkabau Pertama, bulan Juni mendatang ? Kalau perlu kita angkat sekalian 
seorang 'panglima laot' Minang pertama, dari tokoh Pasaman ? ]
 
Darul komen:

Pak Saaf, sebagai urang samudra, ambo mandukuang kalau masalah maritimko 
diangkek juo dalam KKM pertama nantik. Dek luas lauik dan jadi ZEE Sumbar 
labiah laweh dari daratan nan alah sampik. Lauik adolah maso depan bangsa. 
Caliaklah bangsa nan manguasoi lauik adolah Negara nan besar. Mau tahu 
perusahaan pelayaran nan bermarkas di Swiss mengusai ruang kapal lebih besar 
dari yang berbendera merah putih, walau Indonesia dimana 70% wilayahnya adalah 
lautan. 
 
Malaysia saja mengklaim Negara mereka adalah Negara maritime, sedang negara pak 
Saaf eh Negara kita masih menganggap laut adalah penyambung darat. Karena 
memang 32 tahun Negara kita dikuasai oleh AD, sehingga cara fikirnya adalah 
land oriented, malah Mataramese. Maaf jika melihat komentar pak Saaf diatas, 
juga melihat laut dari darat, sehingga yang dikomentari adalah garis pantai, 
bukannya kita menguasai sebagian Samudra India.
 
Memang perjuangan jadi Negara maritime ini, sangat berliku dan berbenturan 
dengan tembok kuat selama ini. Jangankan Negara maritime, kata maritime saja 
tidak mau dipakai, sehingga Dewan Maritim yang dibentuk dimasa Gus Dur, diganti 
dengan Dewan Kelautan. Kita punya departemen Kelautan dan perikanan, tapi 
cendrung mengurus ikan saja, lautnya lupa.
 
Belum lagi kita punya sekitar 26 UU yang tumpang tindih mengusasai dan 
berkepentingan dilaut, sehingga untuk mmebentuk “Coast Guard” (di Malaysia 
sudah ada lho) terbentur kepentingan sektoral terus. Sehingga laut jadi rebutan 
sektoral. Bakarkomla nan dibentuk presiden saja nggak jalan. Eh nglanturnya 
jauh.
 
Suryadi manulih:
Sekarang kita dalam alam Indonesia modern. Laut kita luas, ikannya banyak. Tapi 
isinya kebanyakan DICURI OLEH NELAYAN ASING, belum lagi kandungan2 lain yg ada 
di dasarnya. ANAK2 MUDA KITA TAKUT MANDI DI OMBAK (LUCU!!!! PASTI INI  
'MENIJIKKAN' BAGI KAWAN SAYA SEPERTI JEPE). MEREKA DIBUAT LEMBEK OLEH  'KUDO 
JAPANG', HAPE BARU, dll. Mampukah pemimpin bangsa ini mengubah orientasi negara 
ini yang sudah cukup lama melupakan lautnya? Mampukan pemimpin bangsa ini 
menciptakan generasi muda yang GALINGGAMAN melihat ombak dan anyir ikan? 
Sukarno pernah memikirkan ini ketika dia mengirim ratusan pemuda kita 
bersekolah ke EropaTimur dan Rusia untuk mempelajari teknologi kelautan (saya 
bertemu dengan beberapa orang exile dari generasi ini di Rusia, Jerman dan 
Belanda). Tapi semua itu berantakan karena Revolusi 1965.
 
Darul komen:
Sanak Suryadi, kalau sudah berbicara apalagi dalam seminar kelautan, susah 
mencapai kata sepakat, kalau sudah disepakati, nanti di departemen masing2 tak 
jalan. Sektoral banyak nan mempertahankan pariuak nasi masiang2.
 
Anak muda indak takuik bakacimpuang dilauik doh, tapi jalan kian nan kadang 
seolah terhalangi, berbicara infrastruktur, menyedihkan. Coba lihat pemerintah 
lebih senang membangun dan memperbaiki jalan lintas Sumatra yang panjangnya 
beribu kilo meter daripada membangun pelabuhan, yang nota bene hanya perlu 
pelabuhan (terminal saja), jalannya (laut) nggak perlu diperbaiki.
 
Kalau berbicara pendidikan, wabilkhusus diklat dir perhubungan laut, malu saya 
merobek baju didada. Orang asing mau mendidik pelaut Indonesia, untuk izinnya 
harus bayar ke diklat hubla USD 1000 per orang. Sapa mau didik orang Indonesia, 
diberi pekerjaan dan gaji ribuan dollar, harus bayar lagi yang seribu tadi.
 
Salam
Dm St.P
 
 


      Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari 
Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

-- 
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali serta ingin merubah konfigurasi/settingan 
keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe

Kirim email ke