Assalamualaikum w.w. para sanak sapalanta,
 
Saya teruskan thread tersebut di bawah ini -- yang semula diforward oleh putri 
saya untuk milis keluarga -- oleh karena saya rasa banyak manfaatnya bagi kita 
sekalian, dalam mendidik anak cucu.

Saya senang dengan kandungan kolom ini, karena saya rasa sesuai dengan konsep 
'positive thinking' yang saya praktekkan seama ini.
 
Semoga bermanfaat.
 
Wassalam,
Saafroedin Bahar Soetan Madjolelo
(Laki-laki, Tanjung, masuk 74 th, Jakarta) 
Taqdir di tangan Allah, nasib di tangan kita.



--- On Sat, 4/9/11, beauty sagita <beauty.sag...@yahoo.com> wrote:


From: beauty sagita <beauty.sag...@yahoo.com>
Subject: [saaf-fam] Born to be a Genius but Conditioned to be an Idiot
To: "milis family" <saaf-...@yahoogroups.com>
Date: Saturday, April 9, 2011, 5:33 PM


  








diambil dari website : http://www.mathe-magics.com 


Born to be a Genius but Conditioned to be an Idiot 


All children are born geniuses ; 9.999 out of every 10.000 are swiftly,
inadvertaently degeniusized by grownups

Buckminster Fuller

Minggu lalu saya memberikan pelatihan motivasi dan pengembangan diri di suatu 
perusahaan blue chip. Saat sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, 
?Pak, apa yang menjadi kunci sukses untuk bisa berhasil dalam penjualan / 
selling ??. ?Mengapa bapak mengajukan pertanyaan ini ??, saya balik bertanya. 
?Saya telah mengikuti sangat banyak pelatihan. Namun, saya merasakan ada 
sesuatu, di dalam diri saya, yang terus menghambat diri saya. Saya tidak bisa 
bekerja secara maksimal?, jawab peserta ini. 

Saya lalu menjelaskan mengenai Konsep Diri. Bagaimana pengaruh Konsep Diri 
terhadap kinerja kita. Bila Konsep Diri kita positip maka akan sangat mudah 
bagi kita untuk meraih keberhasilan. Sebaliknya, bila Konsep Diri buruk maka 
kita akan sangat sulit berhasil, di bidang apa saja yang kita lakukan. Prestasi 
hidup kita berbanding lurus dengan Konsep Diri kita. Konsep Diri sebenarnya 
adalah operating system yang menjalankan komputer mental kita. 

?Kalau memang Konsep Diri itu sedemikian penting, lalu mengapa kebanyakan orang 
Konsep Dirinya kurang baik ? Hal ini tercermin dari prestasi hidup mereka yang 
biasa-biasa. Bisa Bapak jelaskan asal muasal terbentuknya Konsep Diri ??, 
kejarnya lagi. 

Nah, pertanyaan saya pada anda, pembaca, ?Sejak kapankah Konsep Diri ini mulai 
terbentuk ? Faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan Konsep Diri ??

Apa yang saya uraikan di bawah ini adalah jawaban saya kepada peserta seminar 
itu.

Proses pembentukan Konsep Diri dimulai sejak kita dilahirkan. Ada dua masa 
kritis yang perlu kita, sebagai orangtua dan pendidik, cermati. Periode pertama 
adalah pada usia 0 ? 6 tahun. Periode ini sebenarnya terbagi dua, yaitu usia 0 
? 3 thn dan 3 ? 6 thn. Apa yang terbentuk pada tiga tahun pertama dalam hidup 
seorang anak merupakan fondasi yang akan digunakan sebagai landasan untuk 
mengkonstruksi dirinya pada tiga tahun ke dua. Selanjutnya apa yang telah 
terbentuk pada 6 tahun pertama hidup anak, akan digunakan sebagai fondasi untuk 
mengembangkan diri lebih lanjut. 

Masa kritis selanjutnya adalah saat anak masuk SD. Lima tahun pertama hidup 
anak di SD merupakan masa kritis yang jarang atau bahkan tidak pernah 
diperhatikan orangtua dan pendidik. Mengapa lima tahun di SD ini sangat penting 
?

Semua ini berhubungan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah. Di 
Indonesia, anak SD kelas 1 sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata 
pelajaran. Hebatnya lagi, anak-anak kita ?harus? bisa mencapai nilai yang 
bagus. Kalau tidak baik nilainya maka akan dicap anak bodoh, bloon, tolol, 
goblok, telmi, otak udang, idiot,dan masih banyak istilah ?keren? lainnya (maaf 
bila saya menggunakan kata-kata yang kurang santun)

Dari semua bidang studi, ada dua bidang studi yang menjadi kunci pembentukan 
Konsep Diri anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di 
Spanyol. 

Kedua bidang studi itu adalah matematika dan bahasa. Mengapa matematika dan 
bahasa? Di seluruh dunia, saat anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3R 
yaitu Reading, Writing, and Arithmetic. Atau kalau dalam bahasa Indonesia 
adalah 3M yaitu Membaca, Menulis, dan Menghitung. 

Saya setuju dengan pentingnya anak menguasi 3M dengan alasan berikut. Pertama, 
bahasa adalah kunci untuk memahami bahan ajar. Anak yang lemah kemampuan 
bahasanya akan sangat sulit untuk bisa mempelajari bahan ajar yang disampaikan 
guru. Mengapa ? Karena semua bahan ajar disampaikan dengan menggunakan bahasa 
sebagai media atau pengantar. Kedua, matematika sangat penting untuk 
mengembangkan logika berpikir dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan 
sehari-hari. 

Saya teringat saat dua tahun lalu saya dan istri ke Singapore untuk mencari 
buku Sains kelas 1 SD. Kami berencana menggunakan buku Sains ini di sekolah 
kami, Anugerah Pekerti. Oleh staff di toko buku itu kami diberi tahu bahwa di 
Singapore, selama 2 tahun pertama anak di SD, mereka hanya diajarkan 3 bidang 
studi, yaitu bahasa Inggris, Matematika, dan bahasa Ibu (misalnya Mandarin, 
Melayu, India). Bidang studi lainnya baru diajarkan mulai kelas 3 SD. 

Saya mendapat penjelasan bahwa hal ini disengaja agar saat anak mempelajari 
suatu materi, saat mereka kelas 3 SD, mereka telah mempunyai fondasi yang kuat 
yaitu kemampuan baca, tulis, dan hitung yang baik. Bandingkan dengan apa yang 
harus dijalani anak-anak kita di Indonesia. Saat kemampuan berbahasa mereka 
masih belum bagus anak, di Indonesia, telah dituntut untuk mempelajari sangat 
banyak materi. Ditambah lagi, pada umumnya anak didik kita lemah di Matematika. 

Anda mungkin bertanya, ?Mengapa kemampuan bahasa dan matematika yang kurang 
baik dapat berpengaruh negatip terhadap Konsep Diri seorang anak ??

Sebelum saya menjawab pertanyaan di atas, saya ingin menyampaikan hasil 
penelitian yang dilakukan di propinsi Almeria di Spanyol, dengan menggunakan 
SDQ Questionnaire. Penelitian ini dilakukan terhadap 245 murid SD. Hasil dari 
penelitian itu menyebutkan bahwa bidang studi yang mempunyai pengaruh paling 
besar terhadap Konsep Diri anak adalah bahasa dan matematika. 

Intisari dari penelitian itu adalah sebagai berikut:

1. Prestasi akademik menentukan konsep diri. Pengalaman akademik, baik 
keberhasilan maupun kegagalan, lebih mempengaruhi konsep diri anak, daripada 
sebaliknya.
2. Level konsep diri mempengaruhi level keberhasilan akademik
3. Konsep diri dan prestasi akademik saling mempengaruhi dan saling menentukan
4. Terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi konsep diri dan prestasi 
akademik

Sekarang coba kita cermati apa yang terjadi di sekolah ? Anak, sejak SD kelas 
1, telah dijejali dengan begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat 
itu, misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus. Lalu apa akibatnya ? 
Nilai yang dicapai anak kurang maksimal karena faktor bahasa yang menjadi 
penghambat. Karena sering mendapat nilai buruk, guru dan orangtua mulai memberi 
label ?bodoh? pada anak ini. Yang terjadi selanjutnya adalah proses pemrogramam 
atau lebih tepatnya ?pembodohan? anak karena Konsep Diri anak buruk. 

Lalu bagaimana dengan matematika. Ini setali tiga uang. Proses pembelajaran 
matematika di SD sangat tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar anak, 
dan sama sekali tidak fun. Di mana saja, bila saya memberikan seminar 
pendidikan, saya selalu bertanya pada orangtua maupun guru, ?Apa mata pelajaran 
yang paling dibenci atau ditakuti anak didik ??. Jawabannya selalu sama, 
?Matematika?. Mengapa anak sampai takut atau benci matematika ?

Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya bersifat abstrak. Apa 
maksudnya ? Jika kita mengacu pada Piaget (teori perkembangan kognitif) dan 
Montessori (proses konstruksi diri anak) maka pada usia SD anak harus belajar 
dengan cara konkrit. Konkrit maksudnya adalah ada benda yang bisa dilihat dan 
dipegang anak saat anak belajar simbol matematika. Angka ?1?, ?2?, ?3?, dan 
seterusnya, ini adalah simbol dan bersifat abstrak. Untuk bisa benar-benar 
memahami konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar adalah dari konkrit, 
semi abstak, dan abstrak. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya 
belajar dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan strategi yang 
berbeda. 

Saat ini banyak orangtua, khususnya para ibu, yang bangga karena anaknya, yang 
masih SD kelas 1 atau 2, dapat dengan cepat menghitung perkalian 3 digit x 3 
digit, karena ikut kursus menghitung cepat. Hal yang sering mereka abaikan 
adalah mereka tidak tahu apakah anak menguasai konsep dengan benar atau tidak. 
Saya pernah bertanya pada seorang ibu yang sedemikian bangga dengan anaknya 
yang bisa menghitung cepat, ?Bu, 3 x 1 itu artinya apa ??. ?Lha, 3 x 1 sama 
dengan 3?, jawabnya cepat. ?Benar. Saya tahu bahwa 3 x 1 itu sama dengan 3. Dan 
1 x 3 juga sama dengan 3. Tapi, secara konsep ini berbeda. 3 x 1 itu apakah 
1-nya 3 kali (1+1+1) atau 3-nya satu kali (3)?, tanya saya lagi. 

Setelah berpikir sejenak dan mungkin agak kaget karena mendapat pertanyaan yang 
sangat ?remeh? ini akhirnya ia menjawab, ?Lha, 3 x 1 itu berarti 3-nya satu 
kali?. ?Ibu yakin dengan jawaban ini?, tanya saya lagi. ?Yakin Pak?, jawabnya. 
Saya tahu kalau ia tidak yakin dengan membaca bahasa tubuhnya. 

?Bu, kalau di resep dokter tertulis 3x1, ini apakah ibu akan memberi anak ibu 3 
kapsul sekali minum atau satu kapsul sebanyak 3 x. Satu di pagi hari, satu di 
siang hari, dan satu di malam hari ??, tanya saya lagi. 

Mendengar pertanyaan ini wajahnya langsung merah dan ia tersenyum kecut sambil 
berkata, ?Ya sudah tentu satu kapsul satu kali minum. Lha kalo tiga kapsul 
sekali minum anak saya bisa overdosis. Bapak ini nggak tahu atau pura-pura 
nggak ngerti ??, jawabnya sambil cepat berlalu. 

Hal yang tampak remeh ini akan berakibat sangat fatal terutama saat anak duduk 
di SD kelas 4 dan seterusnya. Saat ini, bila dasar matematika dan bahasanya 
tidak kuat, maka prestasi akademiknya akan jelek. Prestasi akademik yang buruk, 
sekali lagi, sangat berpengaruh terhadap Konsep Diri anak. Persis sama seperti 
hasil penelitian di Spanyol. Konsep Diri yang buruk akan terbawa hingga dewasa 
dan mengakibatkan anak tidak bisa berprestasi maksimal dalam hidupnya. 

Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah lagi kemampuan bahasanya 
masih minim, lalu anak diberi soal cerita, apa yang terjadi ? Habislah anak 
kita. Nilainya pasti jeblok. Hal ini, kalau terjadi berulang kali (repetisi), 
ditambah lagi orangtua atau guru mengatakan dirinya bodoh (informasi dari figur 
yang dipandang memiliki otoritas), ditambah lagi emosi yang intens yang terjadi 
dalam diri seorang anak, maka langsung menghasilkan pemrograman pikiran bawah 
sadar yang sangat powerful. Celakanya lagi, ini program negatip, dalam bentuk 
Konsep Diri yang buruk. 

Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk ? Pertama, anak tidak 
atau kurang percaya diri. Kedua, anak takut berbuat salah. Ketiga, anak tidak 
berani mencoba hal-hal baru. Keempat, anak takut penolakan. Dan yang kelima, 
anak tidak suka belajar dan benci sekolah. 

Ada satu buku bagus yang ditulis kawan karib saya, Ariesandi Setyono, yang 
berjudul ?Mathemagics ? Cara Jenius Belajar Matematika?, yang perlu anda baca. 
Buku ini menjelaskan secara detil proses pembelajaran matematika yang benar. 
Aries, dengan cara yang sangat luar biasa , mampu membuat anak didiknya, dengan 
hati gembira, mengerjakan soal latihan matematika sebanyak 26 (dua puluh enam) 
halaman non stop. Baru-baru ini Aries kembali mampu membuat anak didiknya, 
murid SD kelas 1 dan 2, mengerjakan soal-soal latihan matematika selama 120 
(seratus dua puluh) menit non stop. Saat diminta berhenti, muridnya malah 
ngomel dan minta terus. Murid mengerjakan soal dengan hati riang, sama sekali 
tanpa ada tekanan atau stress. Untuk soal ujian akhir semester, Aries 
memberikan 200 (dua ratus) soal yang harus dikerjakan muridnya, bukan pilihan 
ganda. Semua anak mampu mengerjakan hanya dalam waktu rata-rata 45 menit dengan 
nilai rata-rata kelas 85. 

Konsep Diri yang positip sangat penting bagi seorang anak dan juga untuk orang 
dewasa. Fondasi yang rapuh (Konsep Diri jelek) tidak memungkinkan kita untuk 
bisa membangun gedung bertingkat (sukses) di atasnya. 
Anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius namun proses ?pendidikan? 
yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara 
optimal. Saya menamakan kondisi ini sebagai ?idiot?. Kita tidak menyadari 
potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini 
kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal. 


Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah 
pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di 
dalam dan luar negeri. Ia telah menulis best seller Born to be a Genius, Genius 
Learning Strategy, Manage Your Mind for Success, Apakah IQ Anak Bisa 
Ditingkatkan , dan Hypnosis: The Art of Subconscious Communication. Adi dapat 
dihubungi melalui email a...@adiwgunawan.com


__._,_.___

Reply to sender | Reply to group | Reply via web post | Start a New Topic 
Messages in this topic (1) 
Recent Activity: 

Visit Your Group 
 
Switch to: Text-Only, Daily Digest • Unsubscribe • Terms of Use


. 

__,_._,___



-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke