Belajar dari Budaya Baca-Tulis Jepang
http://thecafe.blogsome.com/2006/06/18/belajar-dari-budaya-baca-tulis-jepang/

by Nurhadi
email: nurh...@ep.its.ac.id

"Gak ono sing ngiro". Tidak ada yang mengira, jika sehabis dihajar
habis-habisan oleh bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9
agustus 1945, Jepang bisa bangun kembali dan sejajar dengan bangsa-bangsa
maju lainnya dalam tempo yang relatif singkat. Keberhasilan ini, selain
didorong oleh watak kerja keras, pantang menyerah, gigih dalam berusaha juga
dipengaruhi oleh penguasaan teknologi tinggi (high technology) hasil
kebijakan Restorasi Meiji yang sudah digulirkan sejak tahun 1868 silam.

Penguasaan dan ketrampilan (skill) masyarakat jepang dalam mendayagunakan
teknologi tinggi ini juga tidak lepas dari keunggulan budaya baca tulis
(literacy) yang dibangun sejak masa Restorasi Meiji berlangsung. Pada massa
itu, dibawah kebijakan sang kaisar, dimulailah penerbitan buku-buku secara
massal, juga usaha melakukan penerjemahan (translation) berbagai macam buku
dari barat mulai buku tentang sastra, ekonomi, politik, teknik,ilmu dasar,
aplikasi teknologi maupun filsafat. Usaha didukung dengan pengiriman
sejumlah pemuda terpilih untuk dikirim belajar ke luar negeri (Eropa dan
Amerika) sesuai dengan bidang minatnya. Setelah tamat mereka wajib kembali
ke tanah air untuk mengabdikan hasil pendidikannya. Jadilah, Jepang menjadi
bangsa yang pembaca yang siap melahap berbagai literatur belahan dunia.

Tulisan ini hendak menyajikan secara sekilas bagaimana budaya baca tulis di
Jepang dan korelasinya terhadap kemajuan masyarakatnya. Dengan harapan,
semoga membawa inspirasi bagi semua pihak, utamanya warga kampus dan
masyarakat Surabaya untuk lebih peduli dengan dunia pendidikan, khususnya
dengan tradisi membaca dan menulis.

KAYA SUMBER BACAAN
Seorang teman korespondensi saya, yang sekarang masih tinggal di Jepang
pernah mengatakan bahwa ia sangat menikmati ketika mengunjungi toko buku di
negeri sakura tersebut. Apa pasal? ternyata ia bisa membaca sepuasnya, tanpa
harus membeli buku dan yang lebih penting: ia tidak ditegur, apalagi
'dipelototi' oleh satpam, sebagaimana lazimnya di sejumlah toko buku di
Surabaya.

Darinya saya tahu, jika kegiatan ini biasa disebut dengan Tachiyomi. Istilah
ini berarti membaca sambil berdiri meski tidak membeli. Aksi Tachiyomi ini
menjadi pemandangan yang lumrah disetiap toko buku, baik yang menyediakan
buku baru maupun bekas. Para owner (pemilik toko) juga mendukung sepenuhnya,
karena mereka sudah membuktikan sendiri bahwa Tachiyomi ternyata berkorelasi
positif dengan angka penjualan. Makin banyak yang melakukan Tachiyomi, makin
banyak buku yang terjual.

Perpustakaan umum (yang umumnya dikelola oleh pemerintah daerah/pusat) juga
sangat memanjakan pengunjungnya. Keberadaanya bukan hanya terletak di pusat
kota, namun juga menjangkau hingga ke pelosok. Jika buku yang hendak
dipinjam tidak ada pada perpustakaan dekat tempat tinggal, pengguna bisa
memesan ke perpustakaan lain lewat pustaka lokalnya. Inilah yang
menyebabkan, akses buku masyarakat di desa tidak kalah dengan masyarakat
kota.

Jejaring perpustakaan publik disinergikan dengan pengembangan bentuk-bentuk
aplikasi model perpustakaan modern yang berbasis digital, seperti
pembentukan e-library yang menyediakan bacaan, artikel populer, buku hingga
jurnal dalam bentuk online yang bisa diakses kapan saja dan dimana saja.
Menggandeng University of Tokyo, pemerintah Jepang pada tahun 2002 telah
sukses meluncurkan e-library for community, ini adalah sebuah program
pemberdayaan perpustakaan digital dengan basis pengembangan masyarakat,
dimana selain pengguna bisa mengakses, mereka juga dilibatkan sebagai
kontributor untuk mengisi naskah/tulisan dalam program tersebut. Yang perlu
dicatat, semua bentuk layanan baca tulis ini disedikan secara gratis,
jikalaupun ada beberapa item yang harus dibayar, umumnya dengan harga yang
terjangkau oleh pengguna kelas bawah sekalipun.

Dengan pola seperti ini, masyarakat Jepang  tumbuh menjadi bangsa yang "gila
baca". Adalah umum dijumpai penumpang kereta api yang membaca buku bersampul
rapi, kepala tertunduk dan khusyuk membaca. Begitu juga di bis-bis, taman
dan berbagai tempat umum, banyak orang yang asyik dengan buku bacaan
ditangan.

Jangan heran, jika produksi buku di Jepang tergolong tinggi. Berdasarkan
catatan dari Japan Economic Monthly Vol. 4 tahun 2004 disebutkan bahwa tahun
2003 terdapat sekitar 72.608 judul buku yang dihasilkan dengan dukungan
sekitar 4.300 penerbit aktif. Jumlah toko bukunya mencapai 23.000 buah
dengan standar harga yang hampir seragam.

TRADISI MENULIS
Mengapa minat baca masyarakat Jepang begitu tinggi? Salah satunya disebabkan
tradisi menulis yang sudah mengakar sejak lama. Budaya menulis sudah
dikenalkan sejak usia dini. Di sekolah dasar, siswa-siswinya kerap
mendapatkan tugas mengarang ketika masa liburan tiba. Mereka diberikan tugas
mengerjakan writing project yang berisi rekaman kegiatan selama liburan.
Isinya bebas. Tergantung kemana dan dimana anak-anak (bersama keluarga
tentunya) menghabiskan masa liburan itu.

Hasilnya kemudian dibacakan didepan teman-temannya. Seringkali kumpulan
tugas  mengarang ini dijadikan satu untuk didokumentansikan. Sehingga, kelak
jika mereka lulus dapat melakukan nostalgia mengenai kenangan masa kecil.
Tak heran jika rata-rata remaja Jepang memiliki kecapakan menulis yang lebih
baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Penegasan ini bisa dilihat dari
hasil studi Center for Japan Development pada tahun 2002 yang menyebutkan
bahwa 8 dari 10 pemuda Jepang memiliki skill menulis. Ini lebih baik jika
dibandingkan dengan Amerika yang hanya 5:10 atau Jerman 6:10.

Yang patut kita catat (utamanya bagi pelaku pendidikan), Jepang menghasilkan
buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditulis dalam bahasa Jepang
sendiri. Literatur karya ilmuwan dan praktisi lokal tentu lebih mudah
dicerna jika dibandingkan dengan buku-buku impor yang umumnya berbahasa
asing, belum lagi harganya cukup mahal.

KONTEKS KE-SURABAYA-AN
Rasanya memang tidak fair, jika kita membanding-bandingkan kondisi riil
kita, utamanya di kota Surabaya dengan apa yang terjadi di Jepang. Tetapi,
lebih tidak bijak lagi jika kita lamban belajar dari keberhasilan orang
lain. Jika di Jepang bisa, mengapa disini tidak?

Kita punya potensi untuk itu. Secara formal, kita memiliki Perpustakaan
Daerah Jatim dan Perpustakaan Kota Surabaya sebagai ujung tombak memberikan
layanan baca tulis secara publik. Perguruan Tinggi juga membuka akses yang
luas kepada warga sekitar untuk memanfaatkan fasilitas yang ada.

Yang mungkin kurang hanya soal pembiayaan dan pemberdayaan. Koleksi buku
yang minim harus segera dilengkapi. Pelayanan yang belum nyaman harus
dibenahi. Perpustakaan harus didesain sedemikian rupa sehingga bisa menjadi
rumah kedua bagi warga kota. Untuk melepas lelah di hari sabtu, mereka
harusnya tak perlu keluar kota. Cukup mengunjungi perpustakaan bersama
seluruh anggota keluarga.

Di Depok ada sebuah rumah yang disebut Rumah Cahaya (
http://rumahcahaya.multiply.com), ini adalah tempat dimana warga bisa
membaca koleksi buku dengan sepuasnya. Konsepnya memang dari warga dan untuk
warga. Saya membayangkan jika disetiap RT atau kelurahan di Surabaya bisa
didirikan masing-masing rumah seperti ini tentunya warga kota tidak perlu
jauh-jauh untuk sekedar membaca-baca. Untuk merealisasikannya tidak perlu
dengan biaya mahal, bisa secara swadaya. Lokasinya bisa di Balai RT/RW atau
�ndompleng� di kantor kelurahan. Buku-bukunya pun bisa dari sumbangan warga
setempat.

Kalau kecintaan membaca sudah terpupuk, menulis tinggal menunggu waktu saja.
Yang jelas, meningkatkan minat membaca dan menulis merupakan sebuah
investasi jangka panjang. Layaknya sebuah investasi, hasilnya mungkin baru
bisa kita nikmati lima, sepuluh atau duapuluh tahun kedepan, namun dengan
jaminan akan generasi yang tanggap, cerdas dan cekatan.

Semoga makin banyak warga kampus yang mencintai dunia membaca dan menulis.

Surabaya, 12 Juni  2006.

Kirim email ke