RATING PALSU

Ibaratnya sebuah hakim , rating adalah kata penentu kemenangan atau
kekalahan dalam dunia pertelevisian di Indonesia. Hidup atau matinya
sebuah program televisi sangat tergantung oleh angka rating yang bagus.
Kalau sebuah program televisi mendapat rating yang tinggi, maka dapat
diasumsikan akan ada banyak pendapatan dari iklan yang akan masuk ke
televisi tersebut. Namun sebaliknya bila rating sebuah program turun,
televisi tersebut kehilangan pemasukan iklan.



Dengan demikian rating adalah TUHAN bagi para pekerja televisi. Mereka
rela berjumpalitan kerja siang malam demi memperoleh angka rating
tersebut. Di Indonesia ,SATU- SATUNYA jasa penyedia rating adalah AC
nielsen, perusahaan dari Amerika ini praktis menjadi tumpuan utama atau
MONOPOLI bagi semua stasiun televisi , biro iklan dan semua produsen
pemasang iklan.



Selama 14 tahun terakhir ini AC Nielsen juga selalu berhasil menampik
semua tudingan yang mempertanyakan keabsahan penelitiannya, maupun
validitas data responden yang telah ditebarnya. Namun sebenarnya jaminan
mutu internasional itu hanyalah lip servis semata. Kenyataannya sungguh
jauh dari tampilan make up luarnya.



Yang pertama  AC Nielsen Indonesia tidak memiliki tenaga handal
profesional yang direkrut dari luar negeri demi menjaga kerahasiaan
sistem mereka, seperti yang selalu diklaimnya. AC Nielsen Indonesia yang
sekarang banyak ditangani oleh para pekerja Indonesia , yang sebagian
besar dari mereka adalah fresh graduated ( sebagian besar adalah
lulusan statistik dan matematika ). Sehingga kerahasiaan sistem mereka
sebenarnya tidak benar- benar seperti benda suci yang selalu mereka jaga
kerahasiaannya. Mereka banyak merekrut tenaga dari dalam negeri dengan
anggapan bahwa tenaga dari Indonesia adalah jauh lebih murah dibanding
mempekerjakan tenaga dari negara mereka yang sudah berpengalaman. Bahkan
Hampir setengah dari tenaga lapangan AC Nielsen adalah para mahasiswa
yang belum lulus dengan hitungan tenaga magang. Sehingga dengan tujuan
efisiensi pada sumber daya manusia , mereka dapat lebih banyak mendapat
keuntungan.



Yang Kedua dengan banyak merekrut tenaga kerja baru lulus kuliah dan
mahasiswa magang, AC Nielsen banyak memberikan toleransi kesalahan data.
Terutama data- data yang ada di lapangan. Sering sekali saya alami
penyimpangan data terjadi hanya karena keteledoran SDM  semata- mata.



Yang Ketiga Untuk pemilihan demografis responden rating televisi
cenderung dilakukan dengan asal – asalan. Dan tidak diusahakan
pemerataan pada  sebaran datanya Misalnya , untuk mengetahui berapa
kecendrungan pemirsa untuk tayangan televisi A, mesti diambil jumlah
responden yang seimbang misalnya untuk kelas ekonomi atas 33,3%, kelas
ekonomi menengah 33,3 %, untuk kelas ekonomi bawah 33,3%, sehingga total
100%. Sehingga angka rating yg didapat adalah lebih obyektif. Namun pada
prakteknya , AC Nielsen Indonesia banyak mengambil data responden
sebagian besar dari kelas ekonomi rendah. Profil mereka sebagian besar
adalah : ekonomi kelas rendah, berpendidikan rendah, tidak mempunyai
pekerjaan, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima,
karyawan toko, buruh pabrik, dan lain- lain. Hal ini menjelaskan mengapa
sebagian besar tayangan televisi nasional yang memiliki rating tinggi
justru yang memiliki cita rasa rendah dan apresiasi seni yang rendah.
Seperti musik dangdut, tayangan gosip artis, tayangan mistik, film- film
hantu, dan sinetron – sinetron picisan.



Tayangan –tayangan televisi yang justru bersifat mendidik dan
mencerdaskan akan selalu mendapat nilai rating yang rendah dari AC
Nielsen. Kebijakan ini diambil AC Nielsen karena ia tidak mau membayar
uang imbalan untuk respondennya. Sehingga responden yang diambil adalah
kebanyakan dari kaum ekonomi bawah agar bisa dibayar murah.



Yang Keempat  Untuk pemilihan responden secara geografis juga dilakukan
dengan tidak merata. Sebaran data yang diambilnya tidak pernah dilakukan
dengan distribusi yang sama rata secara nasional, melainkan sekitar
lebih dari 60% datanya hanya terkumpul dari Jakarta saja.



Yang Kelima sebagai imbalan ( honor ), responden rating hanya mendapat
souvernir senilai Rp 30,000 s/d Rp 50,000,- saja per bulannya. Sehingga
responden cenderung ogah- ogahan untuk menjaga integritasnya.



Yang Keenam Idealnya sebuah keluarga atau sebuah rumah yang menjadi
responden televisi menjadi reponden selama 6 bulan saja atau maksimal
selama 1 tahun. Setelah itu AC Nielsen harus mencari responden baru.
Secara statistik hal itu perlu dilakukan demi menjaga obyektifitas data.
Agar secara psikologis , mood responden tidak mempengaruhi data
selanjutnya. Namun pada kenyataannya, seorang responden kebanyakan bisa
menjadi responden selama 7 TAHUN LEBIH. Untuk hal ini adalah murni
dikarenakan kemalasan dari manajemen AC Nielsen untuk melakukan
pemeriksaan ke lapangan.



Yang Ketujuh para responden rating AC Nielsen sama sekali tidak
mempunyai integritas. Dengan demikian , beberapa oknum televisi beserta
oknum AC Nielsen dapat memberikan "pesanan" kepada ratusan
responden sekaligus agar "memanteng " program televisi tertentu,
agar hitungan rating program tersebut menjadi tinggi. Biasanya jumlah
yang diajak adalah sekitar 100 s/d 700 orang dari total 3,500 responden.
dengan 700 orang berarti program tersebut diharapkan sudah memegang
rating 1/5 dari total rating. Biasanya tiap satu kali
"memanteng" ( demikian sebutannya ) tiap responden meminta
bayaran Rp 100,000,-. Sehingga dengan 700 orang x Rp 100,000,-, oknum
pihak televisi tersebut hanya mengeluarkan uang Rp 70,000,000 saja per
satu kali "manteng". Dengan begitu angka rating dapat
dimanipulasi dengan mengeluarkan biaya yang relatif murah sebenarnya
bagi para stasiun televisi.



PENUTUP

Demikianlah sebersit informasi dari saya sekitar rating. Karena memang
sebagai karyawan yang sudah bekerja 6 tahun disana ( AC Nielsen ) ,
sudah banyak orang yang bertanya- tanya pada saya mengenai bagaimana
cara rating itu bekerja, atau adakah penyimpangan didalamnya ? Dan juga
karena termotivasi melihat begitu banyaknya para pekerja televisi yang
sangat gigih dalam pekerjaan mereka, yang padahal selama ini para
pekerja televisi tersebut tidak mengejar apapun melainkan hanya RATING
PALSU !!!



Saya menjadi tidak tega melihat jahatnya skandal dan penipuan yang
dilakukan orang- orang didalam AC Nielsen. Secara organisasi itu sendiri
sebenarnya ia cukup baik sebagai barometer dunia pertelevisian kita agar
semakin maju dan menghasilkan tayangan- tayangan yang berkualitas. Bagi
ANDA yang sudah menerima pesan ini, tolonglah disebarkan terutama
apabila anda mempunya teman, saudara, keluarga ataupun rekan kerja yang
bekerja di televisi, biro iklan, dan media lainnya agar mereka tahu
kebenaran dari apa yang mereka usahakan selama ini !!!





Salam dari Saya , Steven Sterk ( nama samaran )





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke