---------- Forwarded message ----------
From: Achmad Solichin <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Sun, 9 Jan 2005 11:38:12 +0700
Subject: Fwd: [PHP_mySQL_indo-TekTips] OOT: Relawan Elit, Relawan Politis
To: Achmad Solichin <[EMAIL PROTECTED]>


---------- Forwarded message ----------
From: ias <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Mon, 3 Jan 2005 00:46:33 -0800 (PST)
Subject: [PHP_mySQL_indo-TekTips] OOT: Relawan Elit, Relawan Politis
To: csit jakarta <[EMAIL PROTECTED]>, ibnu muakhori
<[EMAIL PROTECTED]>, php mysql
<[EMAIL PROTECTED]>, phpug milis
<[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED]

Relawan Elit, Relawan Politis

Bahwa sebuah bencana bisa menjadi sebuah kesempatan politis, agaknya
telah sejak awal kekhawatiran itu sudah banyak disampaikan oleh para
elit sendiri. Dalam rangkaian perjalanan ke Aceh ini, Tim Relawan IT
Air Putih menjumpai sendiri kenyataan tersebut.

Kita merasakan sejak awal hal ini. Banyak pengiriman relawan
ditumpangi oleh kepentingan politis. Demikian juga motif-motif
operasional mereka di lokasi bencana. Semua seperti berlomba
mendapatkan credit point dengan tingkah egosentrisme yang keterlaluan,
bahkan cenderung memalukan dan bikin muak.

Banyak pihak memanfaatkan situasi ini untuk tujuan yang kurang tulus,
memperoleh simpati dan kepahlawanan. Sesuatu yang absurd dalam kondisi
darurat dan kritis semacam ini. Sebab pahlawan  sesungguhnya adalah
para korban dan survivor, bukan relawan atau petugas dan pejabat
publik.

Menjadi relawan adalah panggilan kewajiban kemanusiaan, bukan sebuah
sikap untuk tujuan lain. Para petugas dan pejabat publik, bahkan
politisi, mereka harus melakukan ini karena itulah tugasnya. Mereka
digaji oleh negara, uang rakyat dan menjalankan kewajiban politis dari
jabatan yang harus dipertanggungjawabkan pada publik. Sekali lagi, itu
juga bukan bagian dari sikap kepahlawanan.

Sehingga ketika mereka ini memposisikan diri sebagai elit yang harus
dapat prioritas dan karenanya membuat misi-misi yang lebih tulus
terpaksa minggir atau dijadwal ulang bahkan batal berangkat, maka itu
adalah suatu pengkhianatan terhadap saudara-saudara kita yang sedang
menderita. Tim Air Putih mengalami dan melihat kenyataan ini dengan
sangat sedih.

Di Bandara Halim, tumpukan bantuan seperti tidak ada yang
memperhatikan ataupun mengurusnya. Baik di terminal maupun dalam area
runaway lanud. Sejumlah pesawat TNI justru sibuk memfasilitasi pejabat
dan rombongannya serta para relawan elit yang tidak jelas apa
urusannya ke Aceh. Bahkan menjadi suatu acara selebritis ketika media
elektronik meliputnya dengan skenario ekspos dan dramatisasi.
Melupakan etika jurnalistik terdistorsi pesanan politis.

Di sisi lain, puluhan dan ratusan relawan dari segenap penjuru negeri,
nampak terlantar menunggu giliran pemberangkatan yang tidak pasti.
Bahkan dengan semena-mena di-cancel, diusir bahkan dimarahi oleh
petugas-petugas yang sok kuasa. Apa mereka itu sudah tidak memiliki
nurani lagi dan memandang dirinya jauh lebih mulia dari para relawan
yang menyediakan jiwa raga serta harta bendanya itu? Mereka
mengulurkan tangan dengan tulus sementara para petugas itu hanya
menjalankan tugas yang itupun tidak dilakukannya dengan becus!

Kondisi di daerah pun sama, dari Yogya, Malang dan daerah-aerah lain
masuk kabar bahwa mereka tidak mendapatkan jadwal keberangkatan yang
pasti baik itu melalui jalur komersial maupun pemerintah/militer.
Padahal, konsentrasi bantuan dan relawan menumpuk di mana-mana. Semua
butuh segera ke Aceh dan tak ada satu pun lini birokrasi yang mampu
memberikan solusi. Akhirnya mereka harus berangkat dengan berbagai
cara, persis supporter bola yang hendak "ngelurug", menonton
kesebelasan pujaannya bertanding.

Sesungguhnya para petugas dan pejabat itu, mereka jauh hina, karena
dalam situasi genting semacam ini tak melakukan apa-apa sementara
mereka punya kekuasaan yang memungkinkan mereka menyediakan resource
dan manfaat yang besar bagi semua pihak demi pertolongan pada Aceh
yang sedang menangis

darah. Setiap detik di Aceh harus dibayar dengan nyawa! Dan sangat
sedikit birokrasi di negeri ini yang memiliki kesadaran intelektual
semacam ini.

Justru armada asing (Australia, AS) dengan tegas memprioritaskan
angkutan bantuan serta relawan. Tanpa seleksi dan diskriminasi politis
bahkan dengan sikap pelayanan bak maskapai Internasional kelas utama!

Tim AirPutih merasakan sendiri, bagaimana sebuah tim militer Australia
dapat bersikap sangat ramah dan perhatian walaupun terkendala bahasa
dan budaya. Jauh lebih ramah dari layanan penerbangan kelas utama
negeri ini. Sebelum dan selama perjalanan mereka sangat melayani,
bahkan urusan toilet dalam pesawat Hercules pun mereka perhatikan dan
memberi notice pada setiap relawan yang menumpang.

Ketika lewat sepanjang garis pantai barat Aceh, mereka memberi
kesempatan para relawan untuk melakukan observasi medan dari udara.
Terbang dalam jarak dekat dengan ketinggian rendah yang kita tahu itu
sangat beresiko dan mereka tetap lakukan! Sehingga mereka menunjukkan
kualitas mental sesungguhnya sebagai Tim yang bekerja untuk tugas
kemanusiaan. Saya dan sejumlah rekan relawan Air Putih maupun PMI yang
ada di situ, sesungguhnya merasa malu, karena bangsa kita sendiri
ternyata tidak memililiki kesadaran dan mental persaudaraan dalam
kemanusiaan semacam itu.

Di bandara Aceh, kondisi serupa kita alami lagi. Di satu sisi,
sejumlah besar petugas asing, helikopter US Navy dan alat-alat angkut
barang nampak bekerja tanpa henti tanpa banyak ba bi bu, bahkan mereka
seperti robot yang sudah tahu persis apa yang harus dilakukan secara
efektif dan efisien. Tanpa banyak bicara!

Di sisi lain, sejumlah besar petugas dan pejabat kita justru nampak
sibuk dan saling bersitegang hanya untuk mengurusi kunjungan para
pejabat termasuk presiden SBY. Mereka bekerja keras hanya agar Bapak
senang. Sementara sejumlah besar bantuan untuk rakyatnya, tidak mereka
urus. Bahkan justru sejumlah birokrasi rumit tetap dilakukan dan
menjadi hambatan luar biasa.

Penulis menjumpai banyak sekali Tim Relawan yang sudah menunggu
berjam-jam bahkan berhari-hari dan harus bolak balik ke bandara hanya
untuk mendapatkan barang-barang mereka, termasuk distribusi
obat-obatan yang sangat diperlukan. Sedang angkutan berat sangat sulit
didapatkan. Semua petugas yang seharusnya bertanggung jawab nampak
lepas tangan.

Sejumlah Tim Relawan, nampak bekerja dengan inisiatif sendiri tanpa
suatu koordinasi. Misalnya dari PMI gabungan dari berbagai daerah,
bekerja keras merawat pengungsi dengan kondisi mengenaskan dan serba
seadanya. Tenda darurat mereka nampak sudah tak mampu lagi menampung,
sementara tidak jauh dari lokasi itu, sejumlah tenda mentereng berdiri
untuk supporting kunjungan pejabat dan kelompok relawan elit. Yang
bahkan untuk melayani masyarakat pun mereka mendapat suatu pengawalan
khusus. Sungguh sebuah situasi paradoks.

Tim PMI gabungan di bandara, mengaku, sejak mereka tiba (dengan
berbagai kesulitan yang sama), beberapa hari yang lalu, mereka belum
sekalipun ke lokasi utama bencana (pusat kota Banda Aceh). Pertama,
mereka tidak memiliki supporting tim di lokasi, kedua tak ada
transportasi dan ketiga tak ada yang mengkoordinir penyaluran relawan.
Mereka bekerja dengan inisiatif sendiri dan tidak tahu ke mana harus
pergi untuk mendapatkan peralatan medis dan obat-obatan yang mereka
perlukan. Padahal di seberang mereka tumpukan barang bantuan dan tentu
saja di dalamnya ada obat-obatan, teronggok begitu saja tak terurus.

Mereka akhirnya memutuskan menugaskan diri sendiri di areal bandara
karena tak tersedia tim medis yang memadai di situ meskipun pengungsi
banyak bertebaran di sekitar bandara. Termasuk orang-orang terlantar
yang ingin keluar dari Aceh.

Demikian juga sejumlah besar Tim Relawan yang baru tiba, nampak
bingung, tak tahu harus kemana dan bagaimana. Transportasi tak
tersedia dan tidak ada satu pun petugas bandara maupun birokrasi yang
merasa bertanggung jawab melayani mereka. Sekali lagi, mereka lebih
concern pada kunjungan pejabat ataupun hanya mau melayani tim relawan
elit yang disponsori oleh pejabat ataupun membawa misi-misi politis.

Jawaban yang sangat menyedihkan kami terima, semua transportasi bahkan
truk militer seluruhnya habis digunakan untuk evakuasi jenazah di
sekitar lokasi d imana presiden SBY akan berkunjung. Bahkan sejumlah
besar mayat ini direlokasi ke tempat-tempat yang tak terlihat.
Jalan-jalan dibersihkan dengan effort yang luar biasa. Mendadak, semua
fasilitas tersedia, listrik, air, komunikasi, dan sebagainya.
Pendeknya semua barang langka yang sebelumnya seperti mustahil bisa
diselenggarakan di Banda Aceh.

Pertanyaannya, apabila mereka mampu melakukan itu, mengapa baru saat
ini dilakukan? Hanya karena pejabat berkunjung? Dan mengapa upaya dan
juga fasilitas itu lantas dihentikan lagi ketika presiden sudah
kembali ke Jakarta? Padahal jenazah-jenazah itu bagaimana pun tetap
harus secepatnya dievakuasi.

Padahal, rakyat membutuhkan itu semua justru setelah semua pejabat
minggat dari bumi Aceh.

Kami melihat dan mendengar cerita, bahwa posko-posko resmi di pusat
kota kini dikuasai oleh tim relawan elit dengan pakaian seragam
mentereng dan juga mendapatkan fasilitas luar biasa. Ketika rakyat
kesulitan air bersih, mereka justru masih bisa mandi dan berdandan.
Mereka bisa makan di depan rakyat yang telah kelaparan selama seminggu
penuh. Bahkan posko gubernuran, dari laporan Anjar dan Valens, sudah
berubah menjadi studio infotainment multinasional dengan fasilitas
yang luar biasa lengkap dan relawan-relawan kosmetik yang bekerja
untuk kepentingan politis, pencitraan, dramatisasi,kapitalisasi media,
dan sebagainya.

Sementara di seluruh penjuru lokasi bencana, relawan, para jurnalis,
juga relawan asing sesungguhnya bekerja keras dengan kondisi yang sama
lusuhnya dengan korban yang mereka layani dan terus berjuang
mendapatkan resource-resource yang selalu diprioritaskan untuk
kepentingan-kepentingan yang tidak jelas. Resource yang dibutuhkan
untuk rakyat Aceh.

Semalam, saya sempat merenung di posko dan menitikkan airmata, melihat
kemalangan Aceh, sebuah negeri yang sangat indah dengan rakyatnya yang
demikian kuat dan tabah namun terjebak dalam kebusukan pengelolaan
bencana di sebuah negara yang luar biasa brengsek. Saya berdoa, semoga
para korban dan relawan sejati mendapatkan kekuatan dan jalan untuk
menuntaskan misi kemanusian ini.

Saya dan teman-teman di Tim AirPutih merasa malu dan kecil di hadapan
pekerjaan kemanusiaan besar yang telah, sedang dan akan terus mereka
(relawan dan korban) lakukan. Kami sama sekali belum melakukan apa-apa
dan merasa tidak pantas hadir di sini.

________________________________
Do you Yahoo!?
Meet the all-new My Yahoo! â Try it today!

Dapatkan tips, tutorial seputar dunia programming (PHP, mySQL, Oracle,
VB, ASP, Java, JSP, UML, XP, XML, HTML, dan masih banyak lagi) hanya
di :
http://www.indo-tektips.com

________________________________
Yahoo! Groups Links
To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/PHP_mySQL_indo-TekTips/

To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.

--
"Qulil chaqqo walau kanaa murro"
Berkatalah yang benar walau terasa pahit


-- 
Allohummahdii wa 'alaa jami'i ashhabii wa ashhabatii

_______________________________________________
Reuni mailing list
Reuni@smun1sumpiuh.com
http://smun1sumpiuh.com/mailman/listinfo/reuni_smun1sumpiuh.com

Kirim email ke