---Salah satu tulisan lawas jaman
kuliah---
 
Bumi Butuh Minum
 
“Panas banget !!” gerutuku sambil
berjalan menuju tempat mangkal angkutan MM. Begitu sampai di lokasi, mataku
menemukan satu angkutan sedang menanti penumpang. Di dalam hanya terlihat sang
sopir sedang duduk santai di balik kemudi.
 
“Waduh, bakal lama neh?!” 
 
Namun apa lah daya. Hari ini kakiku
tak menunjukkan persahabatan dan tak rela sekedar diajak jalan beberapa meter
ke depan untuk mendapatkan angkutan yang langsung jalan. 
 
“Tak apalah,” aku pun mengambil
posisi wenak di sebelah sopir. 
”Pak, ini nanti
lewat Ringin ya?” tanyaku kepada Pak Sopir.
”Iya Mbak”
”Nanti saya
diturunkan di situ ya Pak”
”Lho...baru
pertama kali Mbak”
”Hehehe...iya
Pak,” jawabku.
”Emang orang
mana?”
”Malang”
Terlihat wajah Pak
Sopir memancarkan pandangan tak percaya. Aku hanya bisa menafsir bahasa
wajahnya berbicara, ”beneran nih Malang?! Koq gak meyakinkan gini.”
Hehehe....
 
Tak berapa lama seorang
ibu masuk ke angkutan mengambil posisi persis di belakang Pak Sopir.
”Alhamdulillah...nambah
juga,” batinku.
 
”Koq macet ya
Pak di sana,” kata di Ibu sambil mengarahkan pandangan ke jalan menuju Pasar
Besar.
”Biasalah Bu
wajar kalau macet, lha wong mau
lebaran”
Dari arah
berlawanan muncul rombongan mobil pejabat.
”Nah, ini juga
suka bikin macet,” kata Pak Sopir tersenyum.
”Iya Pak, mobil
pejabat lewat, koq kita jadi ikutan
susah. Iya kan mbak?” tanya sang ibu kepadaku.
Aku bisa
tersenyum mempertontonkan gigi ---nyengir mode on---
”Kalau di
Singapura mbak, ada jalan khusus untuk pejabat. Jadinya gak ada yang namanya
macet-macetan,” lanjut sang Ibu, ”trus mbak, jalannya itu bersiiiiihhhh. Kalo 
sampeyan buang sampah pasti langsung
ketangkep, karena ada kamera di mana-mana.” Walaupun aku gak tau rupa Singapura
kayak apa, aku mendengarkan sambil ngangguk-ngangguk sok ngerti. Kesian si Ibu 
sudah semangat banget
ceritanya.
 
Tiba-tiba Pak
Sopir ikut nimbrung, ”Kenapa peraturan pemerintah seringkali merusak
lingkungan?” Telingaku beralih ke Pak Sopir ”Kenapa Pak?”
 
”Mbak lihat,
jalan-jalan sudah penuh di aspal, terus air ini mau dikemanakan?” protes Pak
Sopir sambil melihat ke depan, melihat jalan panjang beraspal. Kering. Panas.
”Kan ada selokan
Pak,” jawabku tanpa berpikir.
Si bapak
tersenyum, ”Mbak, air itu harusnya diresapkan bukan dibuang” Plak...Sarjana
Pengairan tertampar omongan Sopir Angkutan. Konsep yang seharusnya ada di
kepalaku malah terlontar mulus dari mulut polos Bapak Sopir. *Gratis satu
tonyoran buat Sinta*
 
”Bukankah lebih
baik kalo jalan raya ini dibuat bentuk makadam? Jadi air masih bisa meresap” 
”Lah Pak, klo
dimakadam nanti jalannya gak nyaman donk”
Kembali si Bapak
mengeluarkan senyum mautnya, ”Teknologi sudah canggih Mbak, batu kali bisa
diratakan dan lagi beberapa tahun ke depan jalan akan ditumbuhi rumput
untuk menutup celah bebatuan, lalu jadilah jalan alami. Tinggal perawatannya
dimaksimalkan.”
 
Glek. Aku
termenung, pemikiran yang maju ke depan. Aku yang sedang muter-muter di sekolah 
yang katanya maha, gak kepikiran sejauh itu.
 
Si Bapak
tersenyum melihat aku terdiam, ”Bumi butuh minum Mbak.” 
 
* ditulis di
hari sang sarjana bertekuk lutut di hadapan sopir angkutan. Blek!
Malang, Ramadhan
1428H
 
Keindahan selalu muncul saat kepala manusia berpikir positif 
^_^

www.sinthionk.rezaervani.com
www.sinthionk.multiply.com



      

Kirim email ke