Anak Belajar dari Kesalahan Penulis: Sismanto Email: sirilwafa (at) gmail.com
Menumbuhkan pada diri anak rasa kecil hati, takut, gelisah, dan keluh kesah sebagaimana yang kita lakukan sehari-hari dan kita perhatikan terhadap metode kita dalam mendidik anal, yaitu selalu manukut-nakuti anak bila menangis dengan harapan supaya ia diam. Kita menakut-nakuti mereka dengan hantu, orang jahat, setan, suara-suara yang menakutkan, dan lain sebagainya. Lebih buruk lagi, kita menakut-nakuti mereka dengan sekolahnya atau dengan gurunya. Padahal, kebanyakan anak lebih menurut keada gurunya daripada orang tuanya sendiri. Sehingga, ia selalu dihantui rasa takut dari sesuatu yang mestinya tidak perlu ditakuti. Dan, yang lebih serius lagi ialah kita merasa gelisah ketika anak itu jatuh ke atas tanah sehingga darah mengalir dari mukanya, tangannya atau lututnya. Yang semestinya, ibu berusaha senyum, menenangkan kecemasan anaknya, dan memberikan pengertian kepada anak bahwa itu masalah ringan. Namun, kita dapatkan ibu itu merasa gelisah, terkejut, memukul-mukul mukanya, memukul-mukul dadanya, meminta bantuan dari keluarga, dan membesar-besarkan masalah tersebut sehingga anak itu bertambah nangis dan bertambah takut karena melihat darah atau karena kesakitan. Michelle Kennedy (2004), dalam bukunya "Last Straw Strategies, Crying" memberikan pelajaran berharga pada kita untuk mengenali terlebih dahulu apa yang menjadi penyebab anak menangis. Yang kemudian membuat orang tua agak bingung adalah anak kita masih bayi belum bisa berkomunikasi dengan orang tua apa yang menjadi maksud dan keinginannya. Seorang bayi, satu-satunya jalan dalam berkomunikasinya adalah dengan cara menangis. Tujuannya adalah menyampaikan bahwa si bayi merasa kecapaian, kelelahan, merasa lapar, tidak nyaman, kedinginan, kepanasan, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan anak yang sudah mumayiz (pintar), mereka anak menyampaikan maksudnya kepada orang tua di rumah maupun gurunya di sekolahnya tentang keinginannya. Hal ini semakin mudah diidentifikasi, sehingga kita dapat memberikan perlakuan dan metode mendidik yang sesuai dengan keinginan anak. Bukan lantas menakut-nakuti anak seperti yang sudah saya sampaikan di atas. Setiap anak nantinya akan hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Sebagai orang tua tentu ingin meliat anaknya bisa beradaptasi di lingkungan keluarga, sekolah,dan masyarakat. Oleh itu, mulai sekarang biasakan mendidik anak, mengajarinya dengan keberanian tanpa kecil hati, yang nantinya itu akan digunakan anak untuk bekal di kemudian hari. Anak berhak menentkan pilihan atas hidupnya, kita sebagai orang tua hanya mengarahkan atas pilihan yang dipilihnya. Pilihan anak ini kadangkala memberikan resiko bahwa anak akan melakukan kesalahan nantinya. Michelle Kennedy dalam bukunya "Last Straw Strategies, Letting Go" menjelaskan hal ini secara sepintas. Hal ini akan membuat anak menjadi percaya diri. Jadi, biarkan anak-anak memanjat pohon meskipun nantinya dia akan jatuh atau biarkan dia tidak memakai jaket, meskipun udara di luar sangat dingin. Namun, sebagai orang tua tetap saja kita mendampingi dan menyiapkan segala kebutuhan sebelum anak akan bertanya mengapa orang tuanya membiarkan. Ketika anak mengeluh kedinginan, usahakan tidak mengeluarkan kata-kata "tuh....khan sudah mama bilang" tapi segera lakukan dan katakan "Bagaimana kalau adik memakai ini?" Dengan demikian, rasa percaya diri anak akan meningkat dan anak akan terbiasa dan tidak merasa bersalah apabila melakukan kesalahan. Rasa percaya diri anak-anak ini dapat membuat mereka mampu membedakan antara kebenaran dan kejahatan, kebaikan dan kesalahan, serta keindahan dan keburukan. Mereka akan memiliki kemampuan untuk menyingkirkan segala bentuk penyimpangan moral dan menyediakan kehidupan yang aman dan membahagiakan buat dirinya dan keluarganya. Sehingga, tercipta suatu pranata sosial yang lebih beradap dengan didominasi oleh generasi-generasi penerus kita yang shaleh dan amanah. Semoga (*) Sangatta, 31 Juli 2008 http://mkpd.wordpress.com