http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/02/utama/1860477.htm


Kisah Sedih di Hari Kelulusan


Pengumuman kelulusan ujian nasional tak selamanya disambut 
dengan wajah ceria. Di tengah asyiknya rekan-rekan mereka 
melonjak kegirangan dan melakukan aksi corat-coret, 
Liawati, Abdul, dan Khairil Ikhwani Akbar (ketiganya 
berusia 14-15 tahun) justru menangis pilu.

Meskipun dinyatakan lulus, ketiga siswa SMP Negeri 271, 
Kebon Jeruk, Jakarta Barat, itu tak menampakkan wajah 
ceria. Kegirangan serta kesibukan teman mereka mengisi 
formulir pendaftaran untuk masuk SMA/SMK dalam waktu dekat 
ini justru membuat dada mereka sesak.

Jangankan bermimpi untuk melanjutkan pendidikan ke bangku 
SLTA yang biayanya sampai jutaan bahkan belasan juta 
rupiah, menebus ijazah di SMP yang baru saja ia lalui 
adalah sebuah beban berat.

Untuk memperoleh selembar ijazah, mereka harus terlebih 
dulu membayar ke manajemen sekolah Rp 500.000-Rp 700.000. 
Angka itu adalah akumulasi dari tunggakan pembayaran 
sejumlah kewajiban selama mereka duduk di bangku kelas 
III. Cakupannya, mulai dari uang komite sekolah, uang 
buku, lembar kerja siswa, ulangan umum, persiapan ujian 
akhir, darmawisata, perpisahan, hingga legalisasi ijazah.

Ketiga anak remaja tersebut hanyalah sebagian dari sekitar 
50 siswa SMP Negeri 271 yang terpaksa mengubur impiannya 
untuk mengenyam bangku SLTA karena alasan ekonomi. Bila 
skalanya dilebarkan ke seantero Tanah Air, tentulah jumlah 
anak-anak yang bernasib serupa akan berderet panjang.

Banting tulang

â??Boro-boro mikirin kelanjutan sekolah saya, buat makan 
sehari-hari saja orangtua saya harus ngutang sana-sini,â?? 
ujar Liawati dengan air mata berlinang.

Marni (37), ibunda Liawati, sesenggukan mendengar 
penuturan putrinya itu. Marni menceritakan bahwa untuk 
menyambung hidup keluarga, Liaâ?"panggilan akrab putri 
sulungnya ituâ?"ikut membanting tulang. Maklum penghasilan 
ayahnya, Japret, sebagai buruh bangunan tak cukup untuk 
menghidupi tiga anak.

Sepulang dari sekolah, gadis remaja itu langsung bekerja 
di sebuah perusahaan garmen. Lokasinya tak jauh dari rumah 
kontrakan yang dihuni Lia bersama ayah, ibu, dan dua 
adiknya, di RT 003 RW 005, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, 
Jakarta Barat. Sehabis ujian nasional, di kala umumnya 
siswa SMP kelas III sedang menikmati liburan dan merancang 
persiapan melanjutkan sekolah ke SLTA, Lia justru bergumul 
dengan pekerjaan itu.

Saban hari ia bekerja pukul 08.00-17.00 dan kerap 
disambung lembur pukul 19.00-21.00. Upah Rp 10.000 per 
hari dari pekerjaan tersebut tak cukup untuk ditabung. 
â??Langsung habis buat beli beras,â?? papar Lia.

Nasib Khairil Ikhwani Akbar setali tiga uang. Remaja putra 
ini tertunduk lesu saat ditanya mau ke mana setelah tamat 
SMP. Sang ayah, Mohamad Isa, hanya menghela napas berat.

Bagi Isa, ongkos sekolah terlalu mahal jika dibandingkan 
dengan penghasilannya sebagai tukang ojek. â??Mungkin 
sudah takdir, anak saya tidak bisa hidup lebih baik dari 
orangtuanya,â?? papar warga Jalan Gang Naimun, Kelurahan 
Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, itu.

Abdul, yang orangtuanya hidup sebagai tukang jahit, pun 
menelan ludah. â??Tidak saban hari ayah menerima order 
jahitan. Mana mungkin ayah punya uang untuk menebus ijazah 
dan memikirkan kelanjutan pendidikan saya,â?? tuturnya.

Jika Lia, Khairil, dan Abdul masih sempat duduk hingga 
kelas III SMP dan ikut ujian nasional, nasib Kusnanto jauh 
lebih pilu. Anak pemulung yang bertubuh ceking ini malah 
sudah menyerah sejak masih di bangku kelas I. Tahun 2004 
lalu ia terpaksa putus sekolah lantaran tak kuat membayar 
uang komite sekolah Rp 45.000 per bulan.

â??Tiga bulan nunggak, akhirnya anak saya dikeluarkan,â?? 
papar Rastim, warga Jalan Pilar I RT 01 RW 01 Kebon Jeruk.

â??Begitulah kondisi umumnya siswa sekolah kami,â?? kata 
Yuniar Seniwati, guru Bimbingan Penyuluhan SMP Negeri 271. 
Mereka, tambahnya, adalah kaum marjinal yang tinggal di 
kawasan kumuh dengan penghasilan tak menentu.

Ungkapan kepedihan murid dan orangtua mereka serta guru 
SMP Negeri 271 tersebut mengemuka di Lembaga Bantuan Hukum 
(LBH) Jakarta, bertepatan dengan hari pengumuman hasil 
ujian nasional SLTP dan SLTA tanggal 30 Juni lalu. Mereka 
diadvokasi oleh Koalisi Pendidikan dan LBH Pendidikan 
untuk menggugah keberpihakan pemerintah dalam kebijakan 
pendidikan.

â??Pendidikan kita sudah kembali ke zaman kolonialisme. 
Hak untuk bersekolah hanya milik orang tertentu,â?? ujar 
Lodi Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan.

Kisah sedih yang terungkap di LBH Jakarta tersebut sungguh 
bertolak belakang dengan fenomena pascapengumuman ujian.

Setelah dinyatakan lulus dari SMP Negeri 56, Jeruk Purut, 
Jakarta Selatan, Ana Fitri, misalnya, bergegas mengisi 
formulir pendaftaran untuk melanjutkan sekolah ke SLTA. 
Demikian pula Noor Octaviani dan Noviani, yang baru saja 
lulus dari SMP Negeri 271. Ketiga remaja putri tersebut 
larut dalam mimpi-mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke 
SLTA.

Mereka itu anak-anak yang beruntung, lahir dan dibesarkan 
dalam keluarga mapan secara ekonomi. Dengan sokongan 
materi memadai dari orangtua, mereka berhak mengidam- 
idamkan pendidikan lanjutan tak hanya di sekolah dalam 
negeri, tetapi juga di luar negeri.

Tentu saja, kisah sedih di hari kelulusan tak ada dalam 
kamus hidup mereka.... (Nasrullah Nara)
========================================================================================
Dapatkan kemudahan layanan Mobile Email dari VENTUS untuk Personal, VENTUS 
Easy. 

Klik http://easy.ventusmobile.com
========================================================================================
 


* http://www.sarikata.com/ * http://www.sarikata.biz/ * 
http://www.sarikata.net/ * 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/sarikata/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke