Manusia Indonesia, Sebuah Cermin

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Di waktu yang lalu, banyak diantara kita orang Indonesia yang dengan
bangga menyebut kepribadian orang Indonesia yang ramah, santun dan
toleran dan bahkan religius. Atribut itu bukan hanya dipromosikan oleh
Departemen Komunikasi Dan Informasi dan Departemen Luar Negeri, tetapi
sebagian besar kita seperti membenar­kan pernyataan itu. Gelombang
reformasi menjelang Milenium ketiga memporak-porandakan semua citra
itu. Peristiwa yang terjadi selama kurun reformasi seperti penjarahan
massal atas milik orang lain, tindakan main hakim sendiri secara amat
sadis kepada pelaku kriminal, fatsoen politik anggauta parlemen (dan
demonstran) yang sangat vulgar, amuk massa dan pembakaran rumah-rumah
penduduk, pembunuhan massal dan sadis dalam konflik antar etnik
mencerminkan watak dari manusia yang tidak ramah, tidak santun dan
tidak menghargai hak azazi manusia, dan tidak juga men­cerminkan
masyarakat beragama. Memang masih dipertanyakan, apakah fenomena ini
sekedar eforia reformasi atau justeru merupakan jatidiri asli bangsa
Indonesia.

Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang memiliki tingkat
paternalisme yang tinggi dimana rakyat mempunyai hubungan yang sangat
emosionil dengan pemimpinnya. Dari segi pembentukan karakter bangsa
(nation building), sifat paternalis bangsa bisa dipandang sebagai aset
positip, yakni perilaku bangsa akan sangat mudah dibentuk manakala
para pemimpin­nya mampu menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya.
Kekuatan keteladanan pemimpin bagi rakyat paternalis itu sangat tinggi
efektifitasnya dibanding sistem administrasi. 

Oleh karena itu pada kasus bangsa In­donesia, membangun jati diri
bangsa harus dipusatkan pada mengawasi dan menjaga moralitas pemimpin.
Pelanggaran nilai moral dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
pemimpin sama sekali tidak boleh ditolerir. Penegakan hukum dan sanksi
moral kepada elit pemimpin harus menjadi prioritas utama dari
pe­negakan sistem tersebut. Dengan itu maka rakyat di bawahnya yang
paternalis itu secara psikologis akan mematuhi nilai-nilai hukum dan
nilai-nilai kepatutan. Sistem keteladanan ini akan sangat kecil
biayanya dibanding biaya menyediakan infrastruktur pengawas­an secara
nasional.

Apa yang disebutkan diatas, baru sebatas gagasan. Ketika gagasan itu
akan diterapkan di Indonesia, timbul pertanyaan, mana yang harus
dilaksanakan lebih dahulu, mengingat problem kehancuran moral bangsa
dewasa ini sudah sangat kompleks. Idealnya pem­bangunan jati diri
bangsa itu melalui sistem pendidi­kan dan dimulai dari anak-anak dan
generasi muda. Akan tetapi, disamping membutuhkan waktu yang panjang,
komplexitas moral masyarakat akan dapat menghilangkan makna pendidikan
generasi muda karena pasca pendidikan, mereka akan dengan mudah
terkontaminasi oleh keadaan masyarakat yang ber­tentangan dengan
nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka. 

Di kalangan komunitas pendidikan, meski terlambat, sudah tumbuh
kesadaran bahwa sistem pendidikan nasional yang diberlakukan selama
ini gagal melahirkan anak didik yang sanggup berkompetisi di dunia
global, bahkan juga gagal melahirkan anak didik yang mampu memahami
potensi daerahnya, karena selama satu generasi sistem pendidikan
nasional kita lebih menekankan keseragaman. Problem pendidikan dewasa
ini menyerupai telor dan ayam, mana yang harus didahulukan. Oleh
karena itu diperlukan adanya pemikiran kreatif dan bersifat alternatif
dalam pen­didikan yang komprehensip, serentak, menyangkut seluruh
lapisan masyarakat. Meskipun tingkat kerusakan moral masyarakat
sifatnya menyeluruh, tetapi pasti ada kata kunci untuk mengurai
problem tersebut.

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com


Salam Cinta,
agussyafii

==============================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
[EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com
==============================================




Kirim email ke