Palestina, Setelah Arafat Wafat

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


BARU-baru ini penulis terlibat percakapan dengan seseorang yang mengenal
betul bangsa Palestina. Ia katakan, kematian Arafat akan membawa bangsa
Palestina kepada era baru, terutama dengan rencana Marwan Barghouti menjadi
calon presiden Palestina dalam pemilihan 9 Januari mendatang.


Rencana itu disampaikan istri Marwan, seusai menjenguk suaminya yang
dipenjara seumur hidup oleh pengadilan Israel karena dituduh melakukan
tindakan teroristik terhadap sebuah komunitas Yahudi. Maka bisa dibayangkan,
jika Marwan menang, akan terjadi perubahan besar di Palestina.


PERTANYAANNYA kini, mungkinkah itu terjadi? Mengapa tidak. Menurut orang
itu, tidak ada larangan bagi seseorang dalam penjara Israel dan dijatuhi
hukuman oleh pengadilan atas tindakan teroristik. Kemungkinan Marwan menang
dalam pemilihan itu juga amat besar, karena ia adalah seorang "pejuang"
Palestina yang amat populer, terutama di kalangan kaum muda Palestina.


Bagaimana dengan hukumannya? Bila ia memperoleh kemenangan dan terpilih
menjadi Presiden Palestina, kawan bicara penulis itu yakin, Marwan akan
dibebaskan oleh Pemerintah Israel. Demikian kuat penghargaan bangsa Israel
atas keputusan politik yang dicapai melalui sebuah pemilihan, sehingga kawan
penulis itu yakin atas keputusan Pemerintah Israel . Penulis tidak membantah
karena ia juga tahu sikap dasar bangsa Israel.


Mengingat percakapan berlangsung di sebuah ruang tunggu kelas utama lapangan
terbang Changi, Singapura, dan karena ia harus segera keluar, penulis tidak
dapat bertanya lebih jauh tentang hal itu. Penulis hanya memperkirakan
keadaan menurut apa yang diketahuinya, sebagai bahan ramuan yang membentuk
pandangan penulis tentang berbagai hal setelah bangsa Palestina ditinggalkan
Yasser Arafat untuk selama-lamanya.


Banyak yang penulis ketahui, tetapi tidak dapat dikatakan dalam tulisan
karena akan "merugikan" perjuangan bangsa Palestina mendirikan negara
sendiri yang independen dan berdaulat. Namun, apa yang akan dikemukakan
dalam tulisan ini, menunjang perjuangan itu.


Di antara hal-hal yang jarang diketahui di negeri kita adalah kenyataan
bahwa kepemimpinan Yasser Arafat dalam kehidupan bangsa Palestina juga
berarti kepemimpinan "kelompok Tunisia" di lingkungan gerakan Al-Fatah, yang
menjadi tulang punggung Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine
Liberation Organization/PLO). Karena pimpinan formal bangsa Palestina
umumnya datang dari gerakan Al-Fatah, dengan sendirinya pimpinan PLO juga
"amat diwarnai" kelompok itu, yang biasanya dijuluki "kelompok pengasingan
dari Tunisia".


Yasser Arafat sendiri, Mahmud Abbas (Abu Mazen), dan Ahmad Qorei (Abu 'Ala )
adalah tokoh-tokoh utama kelompok itu. Mereka tidak memiliki pengalaman
pahit yang diperlukan untuk perjuangan yang harus dilakukan.


Karena itu, jika nanti bangsa Palestina memilih Marwan Barghouti sebagai
presiden dan Pemerintah Israel melepaskannya dari penjara, dengan sendirinya
akan muncul kepemimpinan baru di kalangan bangsa Palestina yang mengalami
sendiri pahit getirnya perjuangan bersenjata melawan Israel, yang sering
melakukan tindak kekerasan terhadap mereka.


DIBANDINGKAN dengan perjuangan bersenjata yang dilakukan Marwan dan
kawan-kawan, perjuangan "kelompok Tunisia" di bawah Arafat, terlihat hanya
bersifat perjuangan diplomatik yang tidak begitu dirasakan warga awam bangsa
Palestina. Itu pun sering dilakukan dengan keragu-raguan, seperti saat
Arafat menolak penandatanganan sebuah naskah perdamaian di hadapan mendiang
Yitzhak Rabin (saat itu Perdana Menteri Israel) dan Presiden Hosni Mubarak
dari Mesir.


Keengganan Arafat itu membuat Presiden Mesir Mubarak marah dan membuatnya
membubuhkan tanda tangan. Tetapi karena ia "terpaksa" membubuhkan tanda
tangan, maka ia tidak melaksanakan isi kesepakatan yang ditandatanganinya.
Cara kerja dan sikap main-main dalam mengambil keputusan seperti itu,
akhirnya membuat para pemimpin muda Palestina yang tidak termasuk dalam
"kelompok Tunisia" itu tidak begitu percaya kepada kepemimpinan Arafat.
Inilah yang sebenarnya membuat para pemimpin muda Palestina mengambil sikap
teroristik, seperti dalam kasus Brigade Al Aqsa dan Intifadah.


Karena itu, kunci untuk menghilangkan tindakan-tindakan teoristik, seperti
serangan bom bunuh diri (suicidal bombing), terletak pada pergantian
kepemimpinan kelompok lebih muda yang lahir dan dibesarkan di tanah
Palestina (kawasan Gaza, tepian barat Sungai Jordan).


DARI uraian itu tampak situasi di Palestina amat kompleks, selain bangsa
Palestina mengalami pertentangan strategi perjuangan di antara para
pemimpinnya, juga ada perpecahan berkepanjangan di kalangan bangsa Israel.
Hal ini terlihat dalam perbedaan sikap yang diambil para pemimpin Israel.
Misalnya, Perdana Menteri Ariel Sharon dari Partai Likud yang memerintah,
menjalankan langkah-langkah yang oleh sebagian besar dunia dianggap penuh
kekerasan. Sebaliknya, strategi yang diambil Partai Buruh pimpinan Simon
Perez mendasarkan diri pada upaya mencari perdamaian dengan bangsa
Palestina. Situasi yang sudah kompleks itu bertambah rumit oleh perbedaan
sikap Amerika Serikat dari kebijakan Uni Eropa di satu sisi, dan para
pemimpin bangsa Arab di sisi lain.


Sementara itu, orang-orang awam Paletina mengalami diskriminasi lebih besar.
Mereka yang memiliki kebolehan atau kelebihan profesional dielu-elukan oleh
bangsa-bangsa Arab maupun masyarakat Israel. Jika kita ada di kawasan negara
Israel , kita akan lihat betapa besar kebutuhan mereka akan kecakapan
profesional itu. Tetapi mereka yang tidak memiliki kecakapan atau keahlian
profesional akan berada dalam kamp pengungsian yang terletak di kawasan Gaza
maupun Tepi Barat Sungai Jordan.


Sebagai bangsa yang terbilang paling pandai dan berkecakapan profesional di
kalangan bangsa-bangsa Arab, tentu saja kalangan pejuang bangsa Palestina
sendiri (terutama kaum muda), timbul pertanyaan: sudahkah strategi dasar
perjuangan bangsa Palestina untuk mendirikan negara yang berdaulat secara
politis dan maju secara ekonomis, tercapai?


Hal-hal seperti itulah yang merupakan kebutuhan utama untuk dijawab para
pemimpin bangsa Palestina. Nah, jika Abu Mazen atau Abu Ala yang memenangi
pemilihan presiden sebagai pengganti Arafat, maka situasi muram yang
dihadapi bangsa Palestina tidak banyak berubah. Tetapi, jika orang- orang
muda menggantikan Arafat dalam pemilihan nanti, maka akan terjadi perubahan
amat besar, penuh berbagai kemungkinan yang diharapkan oleh bangsa itu. Ini
adalah proses lumrah tentang pelestarian atau perubahan yang dilakukan atas
strategi dasar bagi kemerdekaan bangsa Palestina. Proses yang biasa terjadi
dalam sejarah umat manusia.



Jakarta, 3 Desember 2004


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke