Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Jangan mendongeng, warna dan inte kelihatn.
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Aaach, ... ini maaah pernyataan mengadu-domba saja! Diajukan saja kasus perkasus dengan perdebatan yang dianggap saling maki dan membunuh karakter itu! Jadi, tidak menggeneralisasi begitu saja, bahkan mengangkat pembicaraan dibvawah, yg menurut saya masih boleh-boleh saja! Atau hanya karena ci Martha sudah jadi terlalu sensitive saja? Baapeeer? Hehehee, ... marthaja...@yahoo.com [GELORA45] 於 11/10/2019 5:08 寫道: Hahahaha.. milis ini makin lama makin huebat. Ada yang menjadikannya entah untuk apa, serius nulisnya, harus serius ditanggapi dll. Ada yang jadi tukang pukul presidennya. Semua yang berani kritik akan dibabat habis, bukan hanya didebat tapi juga dimaki, dibunuh karakternya dll. Kata2 tolol lu, katak dalam tempurung dll. yang sudah tidak ethis lagi untuk berdebat. Hebat, hebat ya. selamat melanjutkan debatan tingkat elit di waroeng kopi ala warteg. Selamat buat si ko Chan. Milis ini makin lama makin bermutu. ---In gelora45@yahoogroups.com, wrote : Buat anda, apa yang saya tulis tentang Mao merupakan chotbah???. baik, itu hak anda untuk berpendapat begitu...Anggapan "khotbah" dari seseorang yang merasa dirinya "biasa" dan tidak revolusioner sudah tentu sangat sangat logis!!! Kalau memang sudah merasa tidak tahu tentang revolusi dan teori revolusioner, sebaiknya tutup mulut saja dari pada memberi komentar pendek-pendek asal jeplak!! Karena saya menulis bukan karena iseng ..Jadi kalau mau menanggapi, tanggapi dengan serius!! On Thursday, October 10, 2019, 08:44:11 PM GMT+2, Sunny ambon ilmesengero@... [GELORA45] wrote: Saya orang biasa tidak revolusioner seperti Anda yang berchobat tentang Mao dsbnya, sekalipun saya tidak tahu tentang revolusi dan terori revoluisioner seperti Anda. Adios and good luck. -- 此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。 http://www.avg.com
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Hahahaha.. milis ini makin lama makin huebat. Ada yang menjadikannya entah untuk apa, serius nulisnya, harus serius ditanggapi dll. Ada yang jadi tukang pukul presidennya. Semua yang berani kritik akan dibabat habis, bukan hanya didebat tapi juga dimaki, dibunuh karakternya dll. Kata2 tolol lu, katak dalam tempurung dll. yang sudah tidak ethis lagi untuk berdebat. Hebat, hebat ya. selamat melanjutkan debatan tingkat elit di waroeng kopi ala warteg. Selamat buat si ko Chan. Milis ini makin lama makin bermutu. ---In gelora45@yahoogroups.com, wrote : Buat anda, apa yang saya tulis tentang Mao merupakan chotbah???. baik, itu hak anda untuk berpendapat begitu...Anggapan "khotbah" dari seseorang yang merasa dirinya "biasa" dan tidak revolusioner sudah tentu sangat sangat logis!!! Kalau memang sudah merasa tidak tahu tentang revolusi dan teori revolusioner, sebaiknya tutup mulut saja dari pada memberi komentar pendek-pendek asal jeplak!! Karena saya menulis bukan karena iseng ..Jadi kalau mau menanggapi, tanggapi dengan serius!! On Thursday, October 10, 2019, 08:44:11 PM GMT+2, Sunny ambon ilmesengero@... [GELORA45] wrote: Saya orang biasa tidak revolusioner seperti Anda yang berchobat tentang Mao dsbnya, sekalipun saya tidak tahu tentang revolusi dan terori revoluisioner seperti Anda. Adios and good luck.
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Buat anda, apa yang saya tulis tentang Mao merupakan chotbah???. baik, itu hak anda untuk berpendapat begitu...Anggapan "khotbah" dari seseorang yang merasa dirinya "biasa" dan tidak revolusioner sudah tentu sangat sangat logis!!! Kalau memang sudah merasa tidak tahu tentang revolusi dan teori revolusioner, sebaiknya tutup mulut saja dari pada memberi komentar pendek-pendek asal jeplak!! Karena saya menulis bukan karena iseng ..Jadi kalau mau menanggapi, tanggapi dengan serius!! On Thursday, October 10, 2019, 08:44:11 PM GMT+2, Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] wrote: Saya orang biasa tidak revolusioner seperti Anda yang berchobat tentang Mao dsbnya, sekalipun saya tidak tahu tentang revolusi dan terori revoluisioner seperti Anda. Adios and good luck. #yiv1741054724 #yiv1741054724 -- #yiv1741054724ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp #yiv1741054724hd {color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp #yiv1741054724ads {margin-bottom:10px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp .yiv1741054724ad {padding:0 0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp .yiv1741054724ad p {margin:0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp .yiv1741054724ad a {color:#ff;text-decoration:none;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-sponsor #yiv1741054724ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-sponsor #yiv1741054724ygrp-lc #yiv1741054724hd {margin:10px 0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-sponsor #yiv1741054724ygrp-lc .yiv1741054724ad {margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724actions {font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity {background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity span {font-weight:700;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity span:first-child {text-transform:uppercase;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity span a {color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity span span {color:#ff7900;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity span .yiv1741054724underline {text-decoration:underline;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach {clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 0;width:400px;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach div a {text-decoration:none;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach img {border:none;padding-right:5px;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach label {display:block;margin-bottom:5px;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach label a {text-decoration:none;}#yiv1741054724 blockquote {margin:0 0 0 4px;}#yiv1741054724 .yiv1741054724bold {font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv1741054724 .yiv1741054724bold a {text-decoration:none;}#yiv1741054724 dd.yiv1741054724last p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv1741054724 dd.yiv1741054724last p span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv1741054724 dd.yiv1741054724last p span.yiv1741054724yshortcuts {margin-right:0;}#yiv1741054724 div.yiv1741054724attach-table div div a {text-decoration:none;}#yiv1741054724 div.yiv1741054724attach-table {width:400px;}#yiv1741054724 div.yiv1741054724file-title a, #yiv1741054724 div.yiv1741054724file-title a:active, #yiv1741054724 div.yiv1741054724file-title a:hover, #yiv1741054724 div.yiv1741054724file-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv1741054724 div.yiv1741054724photo-title a, #yiv1741054724 div.yiv1741054724photo-title a:active, #yiv1741054724 div.yiv1741054724photo-title a:hover, #yiv1741054724 div.yiv1741054724photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv1741054724 div#yiv1741054724ygrp-mlmsg #yiv1741054724ygrp-msg p a span.yiv1741054724yshortcuts {font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv1741054724 .yiv1741054724green {color:#628c2a;}#yiv1741054724 .yiv1741054724MsoNormal {margin:0 0 0 0;}#yiv1741054724 o {font-size:0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724photos div {float:left;width:72px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724photos div div {border:1px solid #66;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724photos div label {color:#66;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724reco-category {font-size:77%;}#yiv1741054724 #yiv1741054724reco-desc {font-size:77%;}#yiv1741054724 .yiv1741054724replbq {margin:4px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-actbar div a:first-child {margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mlmsg {font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mlmsg select, #yiv174
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Anda sudah baca seluruh tulisan saya yang terakhir? komentar yang hanya satu kalimat itu bisa menunjukkan dua kemungkinan: sudah baca tapi tidak mengerti apa yang dibaca, atau sama sekali belum baca, tapi sok tahu!! On Thursday, October 10, 2019, 06:40:55 PM GMT+2, Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] wrote: Apakah maksudnya Papua rasis pewaris Van Mook, kalau begitu pecat saja Papua pisah dari NKRI. ---In GELORA45@yahoogroups.com, wrote : Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya sendiripewaris dari gubernur jenderal Van Mook!! On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij jonathangoeij@... [GELORA45] wrote: Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu depak Papua dari NKRI. ---In GELORA45@yahoogroups.com, wrote : https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak menghendaki tulisan ini dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di sini betul-betul melukai orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu. Saya yakin sebagian pokok yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh orang Papua, seperti halnya yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah kota yang dihuni orang-orang non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap "terbelakang" dan "pemabuk". Tak ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tak ada pembicaraan soal bagaimana negara ini—benda asing yang disodorkan secara paksa kepada kami ini—hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan tanah, penggusuran lapak mama-mama, serta gelombang pendatang yang kian besar. Yang paling buruk dari itu semua: mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan orang Papua. Ada pandangan-pandangan tertentu terhadap orang Papua yang sebetulnya enggan saya sebutkan. Pandangan-pandangan ini berfokus pada "kekurangan" orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang "cantik" atau "tampan", minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang "beradab".. Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” jadi lema favorit. Karena berangkat dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” adalah solusinya. Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali sejak para ilmuwan pasca-kolonial (khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan kolonial” (colonial gaze). Saya tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga ada masanya ketika saya tak memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan orang lain, orang-orang di luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya alami sebelum saya menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa "terbelakangnya" kami orang Papua.. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa kami membutuhkan pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara berpakaian. Tinggal di luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai stereotip orang Papua. Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. Saya sudah mendengar bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih santun di Papua. Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. Atau alkoholik atau tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu ada kesadaran bahwa di luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua saya adalah representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan saya bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin diusung sebagai "orang Papua yang pantas"; tak berkulit terlampau gelap (baca: tak kelihatan Papuanya), tak berisik, tak tajam tutur katanya, atau tak terlalu percaya diri. Berkat warna kulitlah saya terhindar dari hal-hal terburuk yang disodorkan rasisme Indonesia (kasus akhir pekan lalu telah membuktikannya). Saya kira ora
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Saya orang biasa tidak revolusioner seperti Anda yang berchobat tentang Mao dsbnya, sekalipun saya tidak tahu tentang revolusi dan terori revoluisioner seperti Anda. Adios and good luck.
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Apakah maksudnya Papua rasis pewaris Van Mook, kalau begitu pecat saja Papua pisah dari NKRI. ---In GELORA45@yahoogroups.com, wrote : Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya sendiripewaris dari gubernur jenderal Van Mook!! On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij jonathangoeij@... [GELORA45] wrote: Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu depak Papua dari NKRI. ---In GELORA45@yahoogroups.com, wrote : https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak menghendaki tulisan ini dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di sini betul-betul melukai orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu. Saya yakin sebagian pokok yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh orang Papua, seperti halnya yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah kota yang dihuni orang-orang non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap "terbelakang" dan "pemabuk". Tak ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tak ada pembicaraan soal bagaimana negara ini—benda asing yang disodorkan secara paksa kepada kami ini—hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan tanah, penggusuran lapak mama-mama, serta gelombang pendatang yang kian besar. Yang paling buruk dari itu semua: mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan orang Papua. Ada pandangan-pandangan tertentu terhadap orang Papua yang sebetulnya enggan saya sebutkan. Pandangan-pandangan ini berfokus pada "kekurangan" orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang "cantik" atau "tampan", minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang "beradab".. Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” jadi lema favorit. Karena berangkat dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” adalah solusinya. Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali sejak para ilmuwan pasca-kolonial (khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan kolonial” (colonial gaze). Saya tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga ada masanya ketika saya tak memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan orang lain, orang-orang di luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya alami sebelum saya menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa "terbelakangnya" kami orang Papua. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa kami membutuhkan pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara berpakaian. Tinggal di luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai stereotip orang Papua. Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. Saya sudah mendengar bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih santun di Papua. Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. Atau alkoholik atau tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu ada kesadaran bahwa di luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua saya adalah representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan saya bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin diusung sebagai "orang Papua yang pantas"; tak berkulit terlampau gelap (baca: tak kelihatan Papuanya), tak berisik, tak tajam tutur katanya, atau tak terlalu percaya diri. Berkat warna kulitlah saya terhindar dari hal-hal terburuk yang disodorkan rasisme Indonesia (kasus akhir pekan lalu telah membuktikannya). Saya kira orang dengan warna kulit seperti yang saya punya ini tidak akan ditangani dengan kekerasan sebagaimana yang dialami orang asli Papua. Tapi, warna kulit tak melindungi saya dari unsur-unsur rasisme lainnya. Saya mendudukkan Jawa sebagai ibu kota kolonialisme Indonesia. Cukup lama saya tinggal di Jawa sampai-sampai ada bagian dari diri saya y
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Siapa sih yang tidak tahu Van Mook sudah jadi cacing. rupanya anda tidak baca kalimat terakhir tulisan saya. Orangnya bisa mati tapi idenya kan tidak ikut mati!! gimana, anda kan orang yang kenal teori-teori revolusioner...Penggagasnya sudah pada mati, tapi idenya masih bisa hidup terus...Contohnya seabrek-abrekKok mikirnya cetek gitu??? Saya tidak perlu lagu hiburan...Saya punya banyak sekali lagu-lagu yang tidak saja menghibur tapi menggugah semangat dan pikiran supaya tidak loyo, lumpuh dan jadi goblok walaupun usia terus bertambah The Dutch Governor, Van Mook, had moved to heaven or hell, but his dream of dividing and separating Papua from Indonesia has the support of even leftists and revolutionaries!!! Lucky him!! On Thursday, October 10, 2019, 01:14:06 PM GMT+2, Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] wrote: Meneer Van Mook is al lang weg, sudah lama peot dimakan cacin, orang tidak siap itu dia. Mungkin hanya Anda, jadi apa urusannyaa dengan rasisme dan penindasan yang dilakukan oleh rezim neo-Mojopahit? Untuk menghibur hati Anda dengarlah lagu ini : | | Sunny ambon | | Wed, Oct 9, 9:37 AM (1 day ago) | | | | | to me | | https://www.youtube.com/watch?v=pXGfcgaTZr0 #yiv8694723371 #yiv8694723371 -- #yiv8694723371ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp #yiv8694723371hd {color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp #yiv8694723371ads {margin-bottom:10px;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp .yiv8694723371ad {padding:0 0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp .yiv8694723371ad p {margin:0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp .yiv8694723371ad a {color:#ff;text-decoration:none;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-sponsor #yiv8694723371ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-sponsor #yiv8694723371ygrp-lc #yiv8694723371hd {margin:10px 0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-sponsor #yiv8694723371ygrp-lc .yiv8694723371ad {margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371actions {font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity {background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity span {font-weight:700;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity span:first-child {text-transform:uppercase;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity span a {color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity span span {color:#ff7900;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity span .yiv8694723371underline {text-decoration:underline;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach {clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 0;width:400px;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach div a {text-decoration:none;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach img {border:none;padding-right:5px;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach label {display:block;margin-bottom:5px;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach label a {text-decoration:none;}#yiv8694723371 blockquote {margin:0 0 0 4px;}#yiv8694723371 .yiv8694723371bold {font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv8694723371 .yiv8694723371bold a {text-decoration:none;}#yiv8694723371 dd.yiv8694723371last p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv8694723371 dd.yiv8694723371last p span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv8694723371 dd.yiv8694723371last p span.yiv8694723371yshortcuts {margin-right:0;}#yiv8694723371 div.yiv8694723371attach-table div div a {text-decoration:none;}#yiv8694723371 div.yiv8694723371attach-table {width:400px;}#yiv8694723371 div.yiv8694723371file-title a, #yiv8694723371 div.yiv8694723371file-title a:active, #yiv8694723371 div.yiv8694723371file-title a:hover, #yiv8694723371 div.yiv8694723371file-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv8694723371 div.yiv8694723371photo-title a, #yiv8694723371 div.yiv8694723371photo-title a:active, #yiv8694723371 div.yiv8694723371photo-title a:hover, #yiv8694723371 div.yiv8694723371photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv8694723371 div#yiv8694723371ygrp-mlmsg #yiv8694723371ygrp-msg p a span.yiv8694723371yshortcuts {font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv8694723371 .yiv8694723371green {color:#628c2a;}#yiv8694723371 .yiv8694723371MsoNormal {margin:0 0 0 0;}#yiv8694723371 o {font-size:0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371photos div {float:left;width:72px;}#yiv8694723371 #yiv8694723371photos div div {border:1px solid #66;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv8694723371 #yiv8694723371photos div label {color:#66;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv8694723371 #yiv8694723371reco-category {font-size:77%;}#
RE: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Nah sekarang bung sudah tahu ya siapa si OON ini? Termasuk dimana posisinya yang dikamuflasekan tadinya sbg pahlawan HAM, demokrasi dll Nesare From: GELORA45@yahoogroups.com Sent: Thursday, October 10, 2019 3:33 AM To: Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] ; Yahoogroups Subject: Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya sendiripewaris dari gubernur jenderal Van Mook!! On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij <mailto:jonathango...@yahoo.com> jonathango...@yahoo.com [GELORA45] < <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> GELORA45@yahoogroups.com> wrote: Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu depak Papua dari NKRI. ---In <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> GELORA45@yahoogroups.com, < <mailto:ilmesengero@...> ilmesengero@...> wrote : <https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9> https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak menghendaki tulisan ini dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di sini betul-betul melukai orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu.. Saya yakin sebagian pokok yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh orang Papua, seperti halnya yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah kota yang dihuni orang-orang non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap "terbelakang" dan "pemabuk". Tak ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tak ada pembicaraan soal bagaimana negara ini—benda asing yang disodorkan secara paksa kepada kami ini—hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan tanah, penggusuran lapak mama-mama, serta gelombang pendatang yang kian besar. Yang paling buruk dari itu semua: mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan orang Papua. Ada pandangan-pandangan tertentu terhadap orang Papua yang sebetulnya enggan saya sebutkan. Pandangan-pandangan ini berfokus pada "kekurangan" orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang "cantik" atau "tampan", minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang "beradab". Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” jadi lema favorit. Karena berangkat dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” adalah solusinya. Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali sejak para ilmuwan pasca-kolonial (khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan kolonial” (colonial gaze). Saya tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga ada masanya ketika saya tak memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan orang lain, orang-orang di luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya alami sebelum saya menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa "terbelakangnya" kami orang Papua. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa kami membutuhkan pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara berpakaian. Tinggal di luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai stereotip orang Papua. Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. Saya sudah mendengar bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih santun di Papua. Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. Atau alkoholik atau tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu ada kesadaran bahwa di luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua saya adalah representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan saya bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin di
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Meneer Van Mook is al lang weg, sudah lama peot dimakan cacin, orang tidak siap itu dia. Mungkin hanya Anda, jadi apa urusannyaa dengan rasisme dan penindasan yang dilakukan oleh rezim neo-Mojopahit? Untuk menghibur hati Anda dengarlah lagu ini : Sunny ambon Wed, Oct 9, 9:37 AM (1 day ago) to me https://www.youtube.com/watch?v=pXGfcgaTZr0
Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua
Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya sendiripewaris dari gubernur jenderal Van Mook!! On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] wrote: Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu depak Papua dari NKRI. ---In GELORA45@yahoogroups.com, wrote : https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak menghendaki tulisan ini dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di sini betul-betul melukai orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu. Saya yakin sebagian pokok yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh orang Papua, seperti halnya yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah kota yang dihuni orang-orang non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap "terbelakang" dan "pemabuk". Tak ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tak ada pembicaraan soal bagaimana negara ini—benda asing yang disodorkan secara paksa kepada kami ini—hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan tanah, penggusuran lapak mama-mama, serta gelombang pendatang yang kian besar. Yang paling buruk dari itu semua: mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan orang Papua. Ada pandangan-pandangan tertentu terhadap orang Papua yang sebetulnya enggan saya sebutkan. Pandangan-pandangan ini berfokus pada "kekurangan" orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang "cantik" atau "tampan", minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang "beradab".. Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” jadi lema favorit. Karena berangkat dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” adalah solusinya. Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali sejak para ilmuwan pasca-kolonial (khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan kolonial” (colonial gaze). Saya tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga ada masanya ketika saya tak memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan orang lain, orang-orang di luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya alami sebelum saya menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa "terbelakangnya" kami orang Papua. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa kami membutuhkan pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara berpakaian. Tinggal di luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai stereotip orang Papua. Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. Saya sudah mendengar bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih santun di Papua. Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. Atau alkoholik atau tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu ada kesadaran bahwa di luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua saya adalah representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan saya bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin diusung sebagai "orang Papua yang pantas"; tak berkulit terlampau gelap (baca: tak kelihatan Papuanya), tak berisik, tak tajam tutur katanya, atau tak terlalu percaya diri. Berkat warna kulitlah saya terhindar dari hal-hal terburuk yang disodorkan rasisme Indonesia (kasus akhir pekan lalu telah membuktikannya). Saya kira orang dengan warna kulit seperti yang saya punya ini tidak akan ditangani dengan kekerasan sebagaimana yang dialami orang asli Papua. Tapi, warna kulit tak melindungi saya dari unsur-unsur rasisme lainnya. Saya mendudukkan Jawa sebagai ibu kota kolonialisme Indonesia. Cukup lama saya tinggal di Jawa sampai-sampai ada bagian dari diri saya yang menjelma sesuatu yang Fanon takutkan. Saya menjadi orang Papua yang menginternalisasi tatapan kolonial itu. Anggapan