Antara Semburan Lumpur Lapindi dan Kebocoran Minyak Di Teluk Meksiko Selasa, 13 Juli 2010 |Editorial
"Hanya setelah pohon terakhir telah mati, sungai telah teracuni, dan ikan terakhir telah ditangkap barulah kita menyadari bahwa kita tidak bisa makan uang," demikian pepatah masyarakat asli Amerika. Kemanusiaan kita seolah tak berdaya untuk merenungkan kerusakan yang ditimbulkan lumpur Lapindo di desa Porong, Sidoarjo, ataupun kasus kebocoran minyak milik British Petroleum di pantai Pensacola, Florida, yang dijuluki "pantai terputih di dunia". Akibat semburan lumpur milik Bakrie di Sidoarjo, setidaknya 12 desa sudah lenyap dan berubah menjadi lautan lumpur, sedangkan 9 desa lainnya masuk dalam zona bahaya. Selain itu, Sebanyak 50 ribu jiwa mengungsi. Sementara kerugian akibat luapan lumpur Lapindo mencapai Rp45 triliun per tahunnya. Demikian pula dengan kasus kebocoran minyak di Teluk Meksiko, yang sejak ledakan anjungan minyak milik BP pada tanggal 20 April lalu, telah merubah kawasan ini menjadi zona mati; ikan-ikan telah mati, biota laut mati, air laut berwarna keruh dan bercampur minyak, dan pariwisata pun ikut mati. Dalam kasus Lapindo, setelah negara memutuskan bahwa kejadian ini merupakan bencana alam, maka uang negara pun mengalir deras untuk mengatasi berbagai kerusakan yang terjadi. Setidaknya, setelah empat tahun lumpur Lapindo, negara kelihatannya telah kalah dihadapan korporasi milik Bakrie ini. Dan, apa yang sangat memalukan dari alur cerita lumpur Lapindo ini, adalah persekutuan memalukan antara presiden SBY dan Aburizal Bakrie dalam menggolkan koalisi reaksioner bernama Sekretariat Gabungan (Setgab). Terakhir, presiden pun meluncurkan ide cemerlangnya untuk menjadikan kawasan semburan lumpur Lapindo sebagai objek wisata. Ini sangat menggelikan. Dalam kasus tumpahan minyak di Teluk Meksiko, Presiden Obama justru terlihat berusaha mengambil hati rakyatnya, bahwa pemerintahannya akan berusaha keras untuk segera menghentikan kebocoran itu, yang salah satu pembuktian dari keinginannya itu, adalah pembatalan kunjungan presiden Obama ke Indonesia atas alasan menomor-satukan kepentingan nasionalnya. Meski begitu, publik pun segera mengetahui keterbatasan keseriusan presiden Obama, setelah sang Presiden bersama pihak BP menolak tawaran "kemanusiaan" ilmuwan Rusia, Anatole Sagalevich, dari institute akademi ilmu sains Rusia. Anatole Sagalevich dan sejumlah ilmuwan Rusia merasa yakin, bahwa metode ledakan nuklir-mini di kedalaman laut akan memindahkan bebatuan dan menutupi lubang, sebuah metode yang diyakini 80% akan berhasil. Sayang sekali, Obama dan BP menolaknya, hanya karena yang menawarkan adalah orang Rusia dan yang bersangkutan akan membawa Kapal selam mini-MIRs. Kedua kejadian di atas membuktikan, bahwa selama dunia diperintah oleh logika "profit", maka selama itu pula nasib rakyat akan dipertaruhkan dengan bencana dan kerusakan yang berdampak mematikan. Sebuah bencana yang sama sekali tidak berasal dari tuhan, melainkan diturunkan oleh tangan-tangan yang merasa dirinya tuhan baru di dunia ini, yaitu korporasi multinasional dan korporasi domestik. Terkait kasus Lapindo, ada pihak yang berusaha membela dan mengatakan, bahwa pihak Bakrie tidak bisa dibebani terlalu besar, karena mereka sudah berkontribusi besar dalam menyerap lapangan kerja dan bagian dari industri nasional. Pendapat itu salah kaprah. Aburizal Bakrie bukanlah kapitalis nasional yang memihak kepada kepentingan nasional, buktinya dia telah mengemplang pajak yang seharusnya diterima dan dipergunakan negara untuk membiayai pembangunan. Sebagian besar bisnis Bakrie dibiayai oleh pemodal asing dan kegiatan bisnisnya sangat bergantung kepada imperialisme. Untuk menghukum Lapindo, kami menganggap tidak cukup dengan pengembalian bakrie Award semata, tetapi harus memaksa negara untuk menggunakan kekuasaannya. Sehingga, sebagai bentuk penyelesaian yang adil terhadap rakyat Sidoarjo dan perasaan keadilan rakyat Indonesia, maka seluruh asset perusahaan Bakrie harus diambil-alih oleh negara dan dipergunakan untuk membayar kerugian yang diderita rakyat akibat kejahatan korporasi itu; membayar ganti rugi warga korban lumpur, memperbaiki infrastruktur di sana, membayar tunggakan utang Bakrie, dan sisanya untuk mendanai pendidikan dan kesehatan rakyat Indonesia. Anda dapat menanggapi editorial kami di: redaksiberdikari@ yahoo.com http://berdikarionl ine.com/editoria l/20100713/ antara-semburan- lumpur-lapindo- dan-kebocoran- minyak-di- teluk-meksiko. html [Non-text portions of this message have been removed]