[Keuangan] RUU pengaturan dan pengelolaan utang I
Kawan2 keuangan, Dibawah ada berita tentang aktualisasi dari RUU penataan uang pemerintah. Sebab masalah ini penting saya kirim beberapa berita tentang masalah ini. Dibawah ada review tentang RUU itu di Kompas. Bisa dilihat sudut pandang Kompas kurang lengkap. Ada beda antara utang pemerintah dan utang negara. Pada kenyataan yang penting adalah utang negara, jadi termasuk SBI, peredaran Rupiah dan juga utang swasta, sebab pembayaran utang dalam devisa pada kenyataannya dijamin (bisa dibaca juga disubvensi) BI dengan nilai tukar yang pasti dengan operasi pasar uang. Jadi RUU sebenarnya sangat kompleks dan perlu dilihat dari beberapa sudut, sebab itu masing2 yang punya pendapat berbeda silahkan mengemukakan pendapatnya berdasarkan kepentingannya masing2. Salam Hok An http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/06/30/19511085/ruu.pengelolaan.utang.segera.diajukan Pemerintah sebab regulasi pengelolaan dan pemanfaatan utang saat ini dinilai sudah kurang mampu mengakomodasi permasalahan utang pemerintah. Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI Rama Pratama di Jakarta, Selasa, menyatakan, salah satu kelemahan dalam pengelolaan utang pemerintah saat ini adalah tidak adanya regulasi yang betul-betul komprehensif, tegas, dan terintegrasi dalam pengaturannya. Saat ini, regulasi yang betul-betul mengatur penataan utang pemerintah adalah setingkat Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP Nomor 2/2006 tentang pencatatan dan penerimaan utang dan hibah luar negeri. Sementara PP Nomor 2/2006 ini tidak mengatur (selengkap) yang diharapkan. Ini yang membuat RUU luar negeri yang ada di Departemen Keuangan kontekstual kembali. Ini yang harusnya disodorkan pemerintah. Ini juga harusnya menjadi inisiatif DPR selanjutnya, tentang bagaimana sebetulnya mekanisme persetujuan utang dari parlemen, katanya. Menurut Rama, regulasi setingkat UU memungkinkan utang yang ditarik pemerintah dilakukan dengan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan lebih jelas, terlebih lagi komposisi utang pemerintah juga mulai banyak ditutup oleh utang luar negeri seperti melalui pinjaman dana siaga (/standby loan/). Baik pemerintah maupun parlemen, lanjutnya, mulanya menilai tidak relevan lagi keberadaan RUU Utang menyusul komposisi banyak didominasi utang dalam negeri. Namun dengan krisis global yang mendorong utang luar negeri, itu menempatkan kembali signifikansi RUU ini yang mengatur secara luas mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan utang dibanding hanya PP yang lebih banyak mengatur soal-soal administratif, katanya. Selain regulasi yang lebih tegas, pemerintah juga disarankan membentuk lembaga pengelolaan utang (/debt management office/) yang terintegrasi untuk mengatasi masalah daya serap utang, dan temuan-temuan biaya komitmen, lembaga ini juga diharapkan meningkatkan kelengkapan pencatatan utang pemerintah. Selama ini, selain masih adanya masalah di sisi penyerapan, pencatatan utang dan hibah luar negeri pemerintah juga masih berbeda antara Bank Indonesia, Departemen Keuangan, dan Bappenas. Sedangkan sumber dayanya bisa diambil dari Departemen Keuangan, Bappenas, dan BI, sehingga risiko-risiko di sisi keseimbangan primer juga bisa diantisipasi, katanya. Sementara itu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengakui, pemerintah sebelumnya sudah menyiapkan RUU pengaturan dan pengelolaan utang, tetapi pengajuan kembali RUU masih harus didasarkan pertimbangan signifikansinya. Pemerintah selama ini telah mengupayakan pengaturan pengelolaan utang, salah satunya melalui PP 6/2006 dan Peraturan Menteri Bappenas Nomor 5/2006 tentang Pengelolaan Hibah. Melalui regulasi ini, menurut Paskah, pengusulan PHLN lewat satu pintu yaitu kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas, memenuhi penilaian administrasi, teknis, dan kapasitas pendanaan. Juga harus memenuhi kriteria kesiapan. Kalau dulu surat pinjaman luar negeri terkadang hanya ditandatangani Kasub Direktorat, tapi sekarang dengan PP Nomor 2, harus ditandatangani menteri di tingkat departemen, dirut di tingkat BUMN, atau gubernur di tingkat daerah, katanya. Menurut dia, dari sisi pendayagunaan utang, Bappenas juga telah melakukan pemantauan pelaksanaan pendanaan. Dalam hal ini, Menteri PPN punya tugas monitoring dan evaluasi berkala untuk diambil tindaklanjut kalau ada masalah di sisi penyerapan. Hasil pemantauan jadi dasar identifikasi dana yang tidak termanfaat (/potential loan surplus/) akibat perubahan desain, sisa dana akibat perubahan kurs tetapi bila tidak termanfaatkan bisa diusulkan dibatalkan. Ini dapat diusulkan Bappenas ke Departemen Keuangan. Selain itu, juga dilakukan pembatalan pinjaman pada proyek yang rendah penyerapannya untuk mengurangi beban keuangan negara, katanya. Untuk menghindari kepentingan debitor dan penyesuaian pemanfaatan dana utang, pemerintah telah mengimplementasikan Jakarta Commitment yang wajib ditandatangani debitor. Intinya, pendanaan mereka dalam
[Keuangan] RUU pengaturan dan pengelolaan utang II
Kawan2, dibawah ada pendapat dari pihak Departemen Keuangan mengenai masalah utang. Silahkan dibahas. Hok An Warta ekonomi: Selasa, 28 Juli 2009 12:04 Redaksi-1 Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang di media massa, ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, tetapi ada juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota tim sukses capres tertentu. Perang argumen ini makin diperkaya dengan hadirnya Koalisi Anti Utang (KAU). file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1 Subtopik yang diangkat, di antaranya, adalah penambahan jumlah utang baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati Soekarnoputri maupun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta tolok ukur dalam menentukan batas aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang, dan masalah transparansi penggunaan utang. *Tiga Masalah Utama * /Pertama, /sebagaimana diketahui, berdasarkan data pada Departemen Keuangan, total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp1.636 triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp1.700 triliun. Dengan demikian, dalam tempo lima bulan, jumlah utang pemerintah mengalami peningkatan sebesar Rp64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di negara berkembang. Setidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan Committee for Abolition Third World Debt, yang/ /menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang pengutang terbesar setelah Meksiko, Brasil, dan Turki. Sementara itu, perang prestasi keberhasilan para capres dalam menurunkan jumlah utang pemerintah diukur dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati, rasio utang terhadap PDB mencapai 100% (1999) lalu turun menjadi 89% (2000). Pada masa pemerintahan Megawati-Hamzah Haz turun dari 77% (2001) menjadi 57% (2004) dan pada masa SBY-JK diprediksi turun dari 47% (2005) menjadi 32% (2009). Tolok ukur penurunan jumlah utang terhadap PDB ini mendapat reaksi yang cukup keras. Ada yang berpendapat bahwa perekonomian Indonesia masih didominasi asing, sehingga kalau tolok ukur PDB yang dipakai, seolah-olah rasio utang pemerintah masih aman. Padahal, kalau dilihat dari utang per kapita mengalami kenaikan dari Rp5,5 juta menjadi Rp8,5 juta, artinya tanggungan per orang atas utang pemerintah mengalami kenaikan. Sebagai solusinya, ditawarkan pendekatan Produk Nasional Bruto (PNB). Pendapat ini mendapatkan reaksi bahwa selama utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif sebenarnya tidak menjadi masalah. Argumen yang digunakan adalah, pada 2004 dengan utang per kapita Rp5 juta, mampu menghasilkan pendapatan per kapita Rp10 juta, dan pada 2008 dengan utang per kapita Rp7 juta, pendapatan per kapitanya meningkat menjadi Rp21 juta. Di sisi lain, ada juga yang memberikan solusi untuk meminta negara-negara pemberi utang agar membiarkan Indonesia mengurangi beban utang melalui program seperti penyehatan lingkungan, pengurangan emisi gas, kredit karbon, dan pelaksanaan /Millennium Development Goals/ (MDG’s). Di samping itu, pasangan capres-cawapres JK-Win juga akan melakukan /refinance/ utang dalam negeri. /Kedua/, masalah ketergantungan pada utang juga mendapat sorotan cukup tajam. Menurut mereka yang berdebat, ada kemungkinan pemerintah tidak terlalu mempermasalahkan utang luar negeri karena menganggap utang tersebut sebagai salah satu sumber pendanaan untuk pembangunan negara. Akibatnya, untuk menolong warga miskin pun dananya bersumber dari utang. Pola seperti ini, menurut mereka, akan berakibat utang terus bertambah. Argumen ini mendapat reaksi bahwa selama pemerintah masih memiliki pendapatan, utang tidak menjadi masalah. Namun, yang penting adalah bagaimana memelihara agar tingkat pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, ada stimulus fiskal, dan menjaga inflasi. Sementara itu, ada yang menawarkan alternatif solusi penurunan ketergantungan pada utang dengan cara pengefektifan belanja dan memaksimumkan penerimaan pajak untuk membiayai belanja negara. Tanpa ada terobosan baru, maka beban utang baru dan pembayaran utang tidak akan kunjung habis. /Ketiga/, masalah transparansi penggunaan utang. Pemerintah dinilai sudah ada inisiatif untuk menata utang, tetapi, dalam pelaksanaannya, yang dilaporkan hanya sisi baiknya, sementara sisi buruknya ditutupi. Pengelolaan utang diharapkan makin membaik, sehingga akan tampak jelas utang tersebut digunakan untuk apa. Selama ini belum ada transparansi dalam pengelolaan utang, sehingga pemerintah dinilai melakukan kebohongan publik. Terlepas dari pendapat siapa yang paling benar, debat antar-tim sukses maupun pendapat dari berbagai pengamat ekonomi di atas, debat ini sangat baik karena bisa menjadi ajang pembelajaran bagi masyarakat awam dan sekaligus akan menambah wawasan masyarakat
[Keuangan] RUU pengaturan dan pengelolaan utang III
Kawan2, Debt managment kita memang mahal. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan antara bunga yang perlu dibayar untuk obligasi SUN dibandingkan dengan ongkos yang terjadi dinegara lain seperti yang bisa dilihat di alinea2 terakhir tulisan dibawah. Tingginya ongkos bunga ini sedikit banyak menyebabkan aliran hutang luar negeri. Untuk proyek2 infrastruktur sesungguhnya biaya kredit luar negeri bisa ditekan rendah kalau mau bekerja sama dengan Bank Dunia. Dengan alasan banyaknya syarat2 yang terikat pada kredit2 ini negara kita akhir2 ini lebih suka membeli kredit dipasar bebas yang biayanya bisa berlipat dua. Pada kenyataannya malah ada obligasi luar negeri yang mahal yang digunakan untuk menutup defisit anggaran. Padahal dulu penarikan kredit luar negeri hampir selalu digunakan untuk macam2 investasi dan terutama dibidang infrastruktur Bisa saja hal ini dibatasi dengan UU, tetapi sebaiknya yang pertama diusahakan adalah bagaimana kondisi pasar uang bisa diatur sedemikian sehingga bunga SUN jangan terlalu jauh bedanya dengan obligasi luar negeri. Salam Hok An Rabu, 29/07/2009 11:28 WIB Pasar SUN diduga dipengaruhi optimisme pemerintah oleh : Irvin Avriano JAKARTA (Bloomberg): Pasar surat utang negara (SUN) diprediksi akan dipengaruhi optimisme pemerintah yang akan meningkatkan inisiatif investasi dalam negeri. Berdasarkan prediksi harian Bloomberg terhadap pasar obligasi, beberapa bentuk pengembangan investasi itu berupa proyek infrastruktur, jaring pengaman sosial, dan penetapan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dalam jangka waktu 5 tahun ke depan. Hal itu disampaikan Boediono sebagai wakil presiden terpilih yang mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yudhoyono dipastikan terpilih kembali sebagai presiden RI setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) selesai melakukan penghitungan suara dan mengumumkan hasilnya dengan perolehan 60% lebih bagi pasangan capres-cawapres bernomor urut 2 itu. Harga SUN bertenor 10 tahun menguat pada perdagangan sekunder efek utang itu kemarin, dan menekan imbal hasil (yield) sebesar empat basis poin (bps) ke level 10,08%. Adapun kondisi pasar obligasi pemerintah China diprediksi akan membaik seiring dengan pengumuman Bank Rakyat China yang mengindikasikan laju inflasi akan meningkat pada semester II tahun ini, yang memastikan perbaikan ekonomi di negara tersebut. Bank sentral negara itu berhasil melepas surat perbendaharaan negara yang bertenor 1 tahun sebesar 15 miliar yuan, setara dengan US$2,2 miliar, pada pekan lalu pada yield tertinggi tahun ini di level 1,69%. Yield obligasi pemerintah China yang akan jatuh tempo pada 2012 menguat 2 bps ke level 2,46% dan menekan harga efek utang tersebut.(er) *bisnis.com* = Join Facebook AKI dimana Anda bisa ber social interactive sambil bermain games atau just have fun together. Compulsory bagi new members start 1 Jan 2008. http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045 = Perhatian: Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. Anggota yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas. = Arsip Milis AKI online, demi kenyamanan Anda semua http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com - Untuk kenyamanan bersama, dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor posting sebelumnyaYahoo! Groups Links * To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/ * Your email settings: Individual Email | Traditional * To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/join (Yahoo! ID required) * To change settings via email: mailto:ahlikeuangan-indonesia-dig...@yahoogroups.com mailto:ahlikeuangan-indonesia-fullfeatu...@yahoogroups.com * To unsubscribe from this group, send an email to: ahlikeuangan-indonesia-unsubscr...@yahoogroups.com * Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II
Dear Pak Hok An, Kiranya berkenan, saya ingin menyampaikan pendapat. Menurut saya pribadi, berhutang tidak masalah. Secara kacamata individu maupun pengusaha orang-orang sering mengatakan hutang itu bisa mengungkit manfaat modal yang dimiliki saat ini. Ada pemeo mengatakan, selama kreditur masih percaya untuk ngasih ngutang, dan kira-kira si peminjam sanggup bayar cicilannya, ya ngutang saja. Ada juga yang mengatakan, kita mesti boleh ngutang kalau imbal hasil proyek infrasktur yg dibiayai lebih besar dari bunga pinjaman. Karna itu adanya korupsi jelas-jelas akan menimbulkan uang yg 'idle' atau tidak bermanfaat, sementara bunga utang jalan terus. Karna itu korupsi harus diberantas. Saya terima pendapat ini ada benarnya juga. Pendapat ketiga yg ekstrim mengatakan sebuah negara harus berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. Idealnya sih memang begitu Pak. Namun di dunia yang disebut para nabi sebagai penuh dosa ini, tidak ada yang ideal. Orang-orang pengen capai hasil maksimal, tapi selalu ada constraint atau keterbatasan sumber daya. Karna itulah orang-orang tidak bisa capai yang maksimal, harus hitung-hitung dulu pakai model matematika, karena hasil yang hanya bisa dicapai adalah hasil yang optimal. Mungkin untuk solusi ke depannya saya pikir pertanyaannya bukan kita mesti ngutang atau ngga, atau ngutangnya ke siapa, tapi lebih ke arah seberapa besar sih kira-kira level hutang yang 'optimal'. Jawabannya gak bisa dengan 'feeling' aja Pak tapi benar2 harus dihitung para expert untuk mencari solusi yg optimal, dengan mengingat tujuan2 (goals) yg harus dicapai , dan aneka keterbatasan (constraints) yang dihadapi. Sekedar pendapat pribadi saya saja Pak. Kurang dan lebih nya mungkin Bapak Hok An dan Rekan-Rekan lainnya dapat menambahkan. Salam, Jerry --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An ho...@... wrote: Kawan2, dibawah ada pendapat dari pihak Departemen Keuangan mengenai masalah utang. Silahkan dibahas. Hok An Warta ekonomi: Selasa, 28 Juli 2009 12:04 Redaksi-1 Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang di media massa, ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, tetapi ada juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota tim sukses capres tertentu. Perang argumen ini makin diperkaya dengan hadirnya Koalisi Anti Utang (KAU). file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1 Subtopik yang diangkat, di antaranya, adalah penambahan jumlah utang baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati Soekarnoputri maupun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta tolok ukur dalam menentukan batas aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang, dan masalah transparansi penggunaan utang. *Tiga Masalah Utama * /Pertama, /sebagaimana diketahui, berdasarkan data pada Departemen Keuangan, total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp1.636 triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp1.700 triliun. Dengan demikian, dalam tempo lima bulan, jumlah utang pemerintah mengalami peningkatan sebesar Rp64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di negara berkembang. Setidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan Committee for Abolition Third World Debt, yang/ /menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang pengutang terbesar setelah Meksiko, Brasil, dan Turki. Sementara itu, perang prestasi keberhasilan para capres dalam menurunkan jumlah utang pemerintah diukur dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati, rasio utang terhadap PDB mencapai 100% (1999) lalu turun menjadi 89% (2000). Pada masa pemerintahan Megawati-Hamzah Haz turun dari 77% (2001) menjadi 57% (2004) dan pada masa SBY-JK diprediksi turun dari 47% (2005) menjadi 32% (2009). Tolok ukur penurunan jumlah utang terhadap PDB ini mendapat reaksi yang cukup keras. Ada yang berpendapat bahwa perekonomian Indonesia masih didominasi asing, sehingga kalau tolok ukur PDB yang dipakai, seolah-olah rasio utang pemerintah masih aman. Padahal, kalau dilihat dari utang per kapita mengalami kenaikan dari Rp5,5 juta menjadi Rp8,5 juta, artinya tanggungan per orang atas utang pemerintah mengalami kenaikan. Sebagai solusinya, ditawarkan pendekatan Produk Nasional Bruto (PNB). Pendapat ini mendapatkan reaksi bahwa selama utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif sebenarnya tidak menjadi masalah. Argumen yang digunakan adalah, pada 2004 dengan utang per kapita Rp5 juta, mampu menghasilkan pendapatan per kapita Rp10 juta, dan pada 2008 dengan utang per kapita Rp7 juta, pendapatan per kapitanya meningkat menjadi Rp21 juta. Di sisi lain, ada juga yang memberikan solusi untuk meminta negara-negara pemberi utang agar
Re: [Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II
Bung Jerry, Mungkin kita bisa setuju bahwa masalahnya adalah hasil (kinerja) dari suatu proyek. Kalau hasilnya optimal mengapa tidak. Masalahnya bukan sumber dana (misalnya hutang) tetapi manfaat penggunaan dana. Yang mungkin bisa jadi pertanyaan adalah penggunaan hutang luar negeri untuk menutup defisit anggaran. Memang secara umum harusnya sebab defisit anggaran itu dulu yang harus dibedah dengan tajam dan sebab2nya diatasi dengan tuntas. Dikita salah satu sebabnya memang adalah korupsi yang demikian hebatnya sehingga ada keraguan akan kwalitas proyek, jadi apakah masih ada proyek yang berguna dan apakah ada BUMN yang tidak korupsi. Masalah2 ini harusnya dipantau dengan keras dan bilamana perlu dibikin sistem yang mengukur effektivitas kerja aparat pemerintah. Jadi kita perlu indeks kinerja aparat negara yang jelas sebagai tambahan dari indeks transparansi internasional dan ICOR (yang membandingkan investasi dengan pertumbuhan ekonomi). Di RUU ini setahu saya ada usul pembatasan defisit sebesar 3% PDB. Kalau kita melihat kebutuhan2 pada saat krismon atau program2 penyelamatan bank di Eropa dan USA maka batas2 seperti ini terlalu kaku, tidak sesuai dengan keadaan kritis saat itu. Kita perlu kriteria2 lain untuk mengukur kelayakan suatu proyek dan anggarannya. Salam Hok An Jerry Matanari schrieb: Dear Pak Hok An, Kiranya berkenan, saya ingin menyampaikan pendapat. Menurut saya pribadi, berhutang tidak masalah. Secara kacamata individu maupun pengusaha orang-orang sering mengatakan hutang itu bisa mengungkit manfaat modal yang dimiliki saat ini. Ada pemeo mengatakan, selama kreditur masih percaya untuk ngasih ngutang, dan kira-kira si peminjam sanggup bayar cicilannya, ya ngutang saja. Ada juga yang mengatakan, kita mesti boleh ngutang kalau imbal hasil proyek infrasktur yg dibiayai lebih besar dari bunga pinjaman. Karna itu adanya korupsi jelas-jelas akan menimbulkan uang yg 'idle' atau tidak bermanfaat, sementara bunga utang jalan terus. Karna itu korupsi harus diberantas. Saya terima pendapat ini ada benarnya juga. Pendapat ketiga yg ekstrim mengatakan sebuah negara harus berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. Idealnya sih memang begitu Pak. Namun di dunia yang disebut para nabi sebagai penuh dosa ini, tidak ada yang ideal. Orang-orang pengen capai hasil maksimal, tapi selalu ada constraint atau keterbatasan sumber daya. Karna itulah orang-orang tidak bisa capai yang maksimal, harus hitung-hitung dulu pakai model matematika, karena hasil yang hanya bisa dicapai adalah hasil yang optimal. Mungkin untuk solusi ke depannya saya pikir pertanyaannya bukan kita mesti ngutang atau ngga, atau ngutangnya ke siapa, tapi lebih ke arah seberapa besar sih kira-kira level hutang yang 'optimal'. Jawabannya gak bisa dengan 'feeling' aja Pak tapi benar2 harus dihitung para expert untuk mencari solusi yg optimal, dengan mengingat tujuan2 (goals) yg harus dicapai , dan aneka keterbatasan (constraints) yang dihadapi. Sekedar pendapat pribadi saya saja Pak. Kurang dan lebih nya mungkin Bapak Hok An dan Rekan-Rekan lainnya dapat menambahkan. Salam, Jerry --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com, Hok An ho...@... wrote: Kawan2, dibawah ada pendapat dari pihak Departemen Keuangan mengenai masalah utang. Silahkan dibahas. Hok An Warta ekonomi: Selasa, 28 Juli 2009 12:04 Redaksi-1 Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang di media massa, ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, tetapi ada juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota tim sukses capres tertentu. Perang argumen ini makin diperkaya dengan hadirnya Koalisi Anti Utang (KAU). file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1 file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1 Subtopik yang diangkat, di antaranya, adalah penambahan jumlah utang baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati Soekarnoputri maupun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta tolok ukur dalam menentukan batas aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang, dan masalah transparansi penggunaan utang. *Tiga Masalah Utama * /Pertama, /sebagaimana diketahui, berdasarkan data pada Departemen Keuangan, total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp1.636 triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp1.700 triliun. Dengan demikian, dalam tempo lima bulan, jumlah utang pemerintah mengalami peningkatan sebesar Rp64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di negara berkembang. Setidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan Committee for Abolition Third World Debt,
[Keuangan] Turut prihatin : Keputusan Pengadilan Coroner Singapura
Kawan-kawan, Setelah berjuang sekian lama di Singapura, keluarga David hartano (dan mestinya bangsa Indonesia secara keseluruhan) harus menelan pil pahit. David Hartanto dinyatakan tewas bunuh diri. Saya pribadi menyayangkan ketiadaan perhatian Pemerintah Indonesia. Pernah pak JK, setelah keluarga Hartanto dan tim advokasi menghadap, menunjukkan greget perhatian dan bahkan sempat menelpon kedubes. Spt biasa perhatian semacam itu tak cukup, jika tidak terus difollow up oleh pak JK sendiri. Sayang, mungkin karena beliau sibuk dengan urusan Pilpres agenda David Hartanto tidak menjadi prioritas. Pak Budiono yang baru terpilih menjadi Capres, persis satu hari sebelum diputuskan menunjukkan perhatian. Keluarga sempat menghadap beliau di Singapura. Bahkan pak Bud sempat berpidato didepan komunitas dan salah satu menteri Singapura. Akan tetapi jelas sudah tidak bisa mempengaruhi apa2. Wong dia belum jadi Wapres, dan pidatonya pun baru disampaikan diakhir proses. Nampak sekali, bahwa Pemerintah, terlalu sibuk sampai urusan anak bangsa yang sangat potensial seperti David tak tersentuh sama sekali. Kecuali petugas pemungut pajak, yang sangat terampil, nampaknya dalam hal lain ketrampilan Pemerintah Indonesia patut dipertanyakan. Salam, Keluarga David Tak Menyerah, Lawan Singapura Lewat Jalur Internasional Anwar Khumaini - detikNews Jakarta - Meski pengadilan koroner Singapura memutus David Hartanto Widjaja tewas bunuh diri, namun keluarga David pantang menyerah. Yakin David tewas akibat dibunuh, keluarga akan terus melakukan upaya hukum untuk memperoleh keadilan terhadap mendiang pemuda jenius tersebut. Saya akan maju terus menempuh segala cara untuk bisa mengungkap kasus ini. Saya akan ambil jalur internasional, ujar ayah David, Hartono Widjaja, kepada detikcom via telepon, Rabu (29/7/2009) malam. Langkah hukum yang dimaksud Hartono adalah dengan mengajukan kasus ini ke pengadilan internasional. Pihak pemerintah Singapura akan menjadi lawan Hartono dalam kelanjutan kasus ini nantinya. Karena saya lawannya pemerintah Singapura, jadi kalau nggak dibantu, jelas saya tidak bisa berbuat banyak, tutur pria paruh baya tersebut. Hartono, mewakili seluruh keluarga besar David Hartanto, merasa sangat kecewa dengan putusan Pengadilan Koroner Singapura. Terlebih, pemerintah Indonesia tidak banyak memberikan bantuan terahdap penyelesaian kasus ini. Pengadilan ini dari awal sudah penuh dengan kebohongan. Ada konspirasi antara pemerintah Singapura dengan pihak kampus NTU, ujarnya. Pada Rabu 29 Juli kemarin, Pengadilan Koroner Singapura memutuskan David Hartanto Widjaja tewas karena bunuh diri. Jaksa membantah submission yang diajukan keluarga tentang keganjilan kematian mahasiswa Nanyang Technolgical University (NTU) asal RI itu. David dinyatakan suicide (bunuh diri), tidak bisa open verdict, ujar Ketua Tim Verifikasi Independen kasus Kematian David, Iwan Piliang, dalam pesan singkat yang diterima redaksi detikcom, Rabu (29/7/2009). Open verdict adalah keputusan hakim untuk memerintahkan Kepolisian Koroner Singapura melanjutkan penyelidikan bila berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan majelis menilai David bukan bunuh diri melainkan ada yang membunuh. [Non-text portions of this message have been removed]
[Keuangan] Why had Nobody Noticed that the Credit Crunch Was on its Way?
Why had Nobody Noticed that the Credit Crunch Was on its Way? http://media.ft.com/cms/3e3b6ca8-7a08-11de-b86f-00144feabdc0.pdf A letter to the Queen attempting to explain why economists missed the financial crisis: Her Majesty The Queen Buckingham Palace London SW1A 1AA MADAM, When Your Majesty visited the London School of Economics last November, you quite rightly asked: why had nobody noticed that the credit crunch was on its way? The British Academy convened a forum on 17 June 2009 to debate your question... This letter summarises the views of the participants ... and we hope that it offers an answer to your question. Many people did foresee the crisis. However, the exact form that it would take and the timing of its onset and ferocity were foreseen by nobody. ... There were many warnings about imbalances in financial markets... But the difficulty was seeing the risk to the system as a whole rather than to any specific financial instrument or loan. Risk calculations were most often confined to slices of financial activity, using some of the best mathematical minds in our country and abroad. But they frequently lost sight of the bigger picture. Many were also concerned about imbalances in the global economy ... known as the ‘global savings glut’. ... This ... fuelled the increase in house prices both here and in the USA. There were many who warned of the dangers of this. But against those who warned, most were convinced that ... the financial wizards had found new and clever ways of managing risks. Indeed, some claimed to have so dispersed them through an array of novel financial instruments that they had virtually removed them. It is difficult to recall a greater example of wishful thinking combined with hubris. There was a firm belief, too, that financial markets had changed. ... A generation of bankers and financiers deceived themselves and those who thought that they were the pace-making engineers of advanced economies. All this exposed the difficulties of slowing the progression of such developments in the presence of a general ‘feel-good’ factor. Households benefited from low unemployment, cheap consumer goods and ready credit. Businesses benefited from lower borrowing costs. Bankers were earning bumper bonuses... The government benefited from high tax revenues... This was bound to create a psychology of denial. It was a cycle fuelled, in significant measure, ... by delusion. Among the authorities charged with managing these risks, there were difficulties too. ... General pressure was for more lax regulation – a light touch. ... There was a broad consensus that it was better to deal with the aftermath of bubbles ... than to try to head them off in advance. Credence was given to this view by the experience, especially in the USA ... when a recession was more or less avoided after the ‘dot com’ bubble burst. This fuelled the view that we could bail out the economy after the event. Inflation remained low and created no warning sign of an economy that was overheating. ... But this meant that interest rates were low by historical standards. And some said that policy was therefore not sufficiently geared towards heading off ... risks. ... But on the whole, the prevailing view was that monetary policy was best used to prevent inflation and not to control wider imbalances in the economy. So where was the problem? Everyone seemed to be doing their own job properly... And according to standard measures of success, they were often doing it well. The failure was to see how collectively this added up to a series of interconnected imbalances over which no single authority had jurisdiction. This, combined with the psychology of herding and the mantra of financial and policy gurus, lead to a dangerous recipe. Individual risks may rightly have been viewed as small, but the risk to the system as a whole was vast. So in summary, Your Majesty, the failure..., while it had many causes, was principally a failure of the collective imagination of many bright people, both in this country and internationally, to understand the risks to the system as a whole. ... We have the honour to remain, Madam, Your Majesty’s most humble and obedient servants Professor Tim Besley, FBA Professor Peter Hennessy, FBA BritishAcademyForum, 17 June 2009 The Global Financial Crisis – Why Didn’t Anybody Notice? List of Participants Professor Tim Besley, FBA, London School of Economics; Bank of England Monetary Policy Committee Professor Christopher Bliss, FBA, University of Oxford Professor Vernon Bogdanor, FBA, University of Oxford Sir Samuel Brittan, Financial Times Sir Alan Budd Dr Jenny Corbett, University of Oxford Professor Andrew Gamble, FBA, University of Cambridge Sir John Gieve, Harvard Kennedy School Professor Charles Goodhart, FBA, London School of Economics Dr David Halpern, Institute for Government Professor José Harris, FBA, University of Oxford Mr Rupert Harrison, Economic Adviser to the Shadow Chancellor Professor Peter
[Keuangan] Fw: CS Indo: Upgrade 12-mo MSCI Asia Target 500- Favour Indo Energy Consumer Cyclicals!
Best Regards Hendra Bujang 0878 7828 7808 0856 190 9109 --- On Wed, 7/29/09, patricia.sumamp...@cimb.com patricia.sumamp...@cimb.com wrote: From: patricia.sumamp...@cimb.com patricia.sumamp...@cimb.com Subject: Fw: CS Indo: Upgrade 12-mo MSCI Asia Target 500- Favour Indo Energy Consumer Cyclicals! To: Date: Wednesday, July 29, 2009, 9:40 AM From Indonesia Equity Sales CS Indo: Upgrade 12-mo MSCI Asia Target 500- Favour Indo Energy Consumer Cyclicals! ASIAN STRATEGY: MXASJ 12 month target set at 500- Another 20% upside for Asia iSay: In Indonesia, Sakthi Siva reiterates favourites on Indonesia Energy and Indonesia Consumer Cyclicals. Therefore, Sakthi Siva (GEM and Asian Strategist) is having Top-3 Indonesian Stock picks (ASII, BUMI, UNTR). Arief Wana (Indonesia Strategist) is having Top-5 Indonesian Stock picks (ASII, BBRI, INDF, PGAS, UNTR), with similar themes Domestic Consumption Growth (both Staples and Discretion) and Cheap Resources (Coal, Gas and CPO lately), in addition to Long-Term Infrastructure Development! At JCI 2,186pts, CS Indonesia Universe is trading on 14.8x-12.8x 2009F-2010F PER, with EPS Growth of +1% and 16% respectively. Assuming 14x 2010F PER, the 12-month JCI Index Target will be 2,391pts (currently Arief Wana has 2.9x PBR 2,276pts JCI Target for year-end 2009F). · Sakthi Siva (Daily): With MXASJ (MSCI Asia ex-Japan) almost at our year-end target of 425, we are introducing our 12-month index target for MXASJ of 500. This suggests a further 20% potential upside to Asia. Our 500 target is based on a prospective P/E of 14x and assumes 30% EPS growth in 2010E. · This target is driven by four factors: 1. our Asian six-factor valuation indicator is still 16% undervalued, 2. three consecutive months of broad-based upgrades to consensus EPS which we expect to continue. We highlight that these upgrades are the strongest since 2004, 3. many signs of domestic demand recovery within Asia and we emphasise that this is not just in China. 4. a lower risk of a US double-dip given the health of US non-financial corporate cashflows and the rise in the US personal savings ratio. · We continue to favour Chinese and Thai banks, Hong Kong property and “cheap” cyclicals (Indonesia, Korea, steel, selected small caps). As August historically is seasonally the worst month for MXASJ, we suggest buying on dips. Best Regards, Dharwin Yuwono, CFA Director- Indonesia Equity Sales PT Credit Suisse Securities Indonesia Sampoerna Strategic Square, South Tower, 23rd Floor, Jl. Jend Sudirman Kav.45/46, Jakarta 12930, Indonesia Dealing: +6221 2553 7920 Toll Free: 001 800 1233 2526 (HK) Toll Free: +800 1233 2526 (SIN/UK/US) Office : +6221 2553 7978 Fax : +6221 2553 7990 Mobile : +62811 979 788 Email: dharwin.yuw...@credit-suisse.com Please follow the attached hyperlink to an important disclaimer http://www.csfb.com/legal_terms/market_commentary_disclaimer_asia.shtml == Please access the attached hyperlink for an important electronic communications disclaimer: http://www.credit-suisse.com/legal/en/disclaimer_email_ib.html == *** DISCLAIMER *** This e-mail message and any attachments thereto is intended only for the use of the individual or entity to whom it is addressed and others authorized to receive it and may contain information that is confidential, priviledged and/or exempt from disclosure under applicable law. If you are not the intended recipient you are hereby notified that any review, disclosure, copying, distribution or other use of any of the information contained in this strictly prohibited and may be unlawful. If you have received this communication in error, please notify us immediately by responding to this email and then delete this from your system. The content of the message and/or attachments may not reflect the view and opinions of the originating company or any party it is representing. Trimegah Securities cannot guarantee that e-mail communications are secure or error-free, as information could be intercepted, corrupted, amended, lost, destroyed, arrive late or incomplete, or contain viruses. Disclaimer: This email may contain privileged and/or confidential information intended only for the use of the addressee. If you are not the addressee, or the person responsible for delivering it to the addressee, you may not use, copy or deliver this to anyone else. If you receive this email by mistake, please immediately notify us. Opinions contained herein may be the personal opinion of the sender and do not necessarily represent the views of the Company. If you are in any