[Keuangan] RUU pengaturan dan pengelolaan utang I

2009-07-29 Terurut Topik Hok An
Kawan2 keuangan,

Dibawah ada berita tentang aktualisasi dari RUU penataan uang pemerintah.
Sebab masalah ini penting saya kirim beberapa berita tentang masalah ini.

Dibawah ada review tentang RUU itu di Kompas.
Bisa dilihat sudut pandang Kompas kurang lengkap. Ada beda antara utang 
pemerintah  dan utang negara.  Pada kenyataan yang penting adalah utang 
negara, jadi termasuk SBI, peredaran Rupiah  dan juga utang swasta, 
sebab pembayaran  utang dalam devisa pada kenyataannya dijamin  (bisa 
dibaca juga disubvensi) BI dengan nilai tukar yang pasti dengan operasi 
pasar uang.

Jadi RUU sebenarnya sangat kompleks dan perlu dilihat dari beberapa 
sudut, sebab itu masing2 yang punya pendapat berbeda silahkan 
mengemukakan pendapatnya berdasarkan kepentingannya masing2.

Salam

Hok An


http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/06/30/19511085/ruu.pengelolaan.utang.segera.diajukan
 


Pemerintah sebab regulasi pengelolaan dan pemanfaatan utang saat ini 
dinilai sudah kurang mampu mengakomodasi permasalahan utang pemerintah.

Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI Rama Pratama di Jakarta, 
Selasa, menyatakan, salah satu kelemahan dalam pengelolaan utang 
pemerintah saat ini adalah tidak adanya regulasi yang betul-betul 
komprehensif, tegas, dan terintegrasi dalam pengaturannya.

Saat ini, regulasi yang betul-betul mengatur penataan utang pemerintah 
adalah setingkat Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP Nomor 2/2006 
tentang pencatatan dan penerimaan utang dan hibah luar negeri.

Sementara PP Nomor 2/2006 ini tidak mengatur (selengkap) yang 
diharapkan. Ini yang membuat RUU luar negeri yang ada di Departemen 
Keuangan kontekstual kembali. Ini yang harusnya disodorkan pemerintah. 
Ini juga harusnya menjadi inisiatif DPR selanjutnya, tentang bagaimana 
sebetulnya mekanisme persetujuan utang dari parlemen, katanya.

Menurut Rama, regulasi setingkat UU memungkinkan utang yang ditarik 
pemerintah dilakukan dengan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan lebih 
jelas, terlebih lagi komposisi utang pemerintah juga mulai banyak 
ditutup oleh utang luar negeri seperti melalui pinjaman dana siaga 
(/standby loan/).

Baik pemerintah maupun parlemen, lanjutnya, mulanya menilai tidak 
relevan lagi keberadaan RUU Utang menyusul komposisi banyak didominasi 
utang dalam negeri.

Namun dengan krisis global yang mendorong utang luar negeri, itu 
menempatkan kembali signifikansi RUU ini yang mengatur secara luas 
mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan utang dibanding hanya PP yang 
lebih banyak mengatur soal-soal administratif, katanya.

Selain regulasi yang lebih tegas, pemerintah juga disarankan membentuk 
lembaga pengelolaan utang (/debt management office/) yang terintegrasi 
untuk mengatasi masalah daya serap utang, dan temuan-temuan biaya 
komitmen, lembaga ini juga diharapkan meningkatkan kelengkapan 
pencatatan utang pemerintah.

Selama ini, selain masih adanya masalah di sisi penyerapan, pencatatan 
utang dan hibah luar negeri pemerintah juga masih berbeda antara Bank 
Indonesia, Departemen Keuangan, dan Bappenas.

Sedangkan sumber dayanya bisa diambil dari Departemen Keuangan, 
Bappenas, dan BI, sehingga risiko-risiko di sisi keseimbangan primer 
juga bisa diantisipasi, katanya.

Sementara itu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala 
Bappenas Paskah Suzetta mengakui, pemerintah sebelumnya sudah menyiapkan 
RUU pengaturan dan pengelolaan utang, tetapi pengajuan kembali RUU masih 
harus didasarkan pertimbangan signifikansinya.

Pemerintah selama ini telah mengupayakan pengaturan pengelolaan utang, 
salah satunya melalui PP 6/2006 dan Peraturan Menteri Bappenas Nomor 
5/2006 tentang Pengelolaan Hibah.

Melalui regulasi ini, menurut Paskah, pengusulan PHLN lewat satu pintu 
yaitu kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas, memenuhi penilaian 
administrasi, teknis, dan kapasitas pendanaan. Juga harus memenuhi 
kriteria kesiapan.

Kalau dulu surat pinjaman luar negeri terkadang hanya ditandatangani 
Kasub Direktorat, tapi sekarang dengan PP Nomor 2, harus ditandatangani 
menteri di tingkat departemen, dirut di tingkat BUMN, atau gubernur di 
tingkat daerah, katanya.

Menurut dia, dari sisi pendayagunaan utang, Bappenas juga telah 
melakukan pemantauan pelaksanaan pendanaan. Dalam hal ini, Menteri PPN 
punya tugas monitoring dan evaluasi berkala untuk diambil tindaklanjut 
kalau ada masalah di sisi penyerapan.

Hasil pemantauan jadi dasar identifikasi dana yang tidak termanfaat 
(/potential loan surplus/) akibat perubahan desain, sisa dana akibat 
perubahan kurs tetapi bila tidak termanfaatkan bisa diusulkan dibatalkan.

Ini dapat diusulkan Bappenas ke Departemen Keuangan. Selain itu, juga 
dilakukan pembatalan pinjaman pada proyek yang rendah penyerapannya 
untuk mengurangi beban keuangan negara, katanya.

Untuk menghindari kepentingan debitor dan penyesuaian pemanfaatan dana 
utang, pemerintah telah mengimplementasikan Jakarta Commitment yang 
wajib ditandatangani debitor.

Intinya, pendanaan mereka dalam 

[Keuangan] RUU pengaturan dan pengelolaan utang II

2009-07-29 Terurut Topik Hok An
  Kawan2,

dibawah ada pendapat dari pihak Departemen Keuangan mengenai masalah utang.
Silahkan dibahas.

Hok An

Warta ekonomi: Selasa, 28 Juli 2009 12:04 Redaksi-1
Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai 
dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang 
di media massa, ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, tetapi ada 
juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota tim sukses capres 
tertentu. Perang argumen ini makin diperkaya dengan hadirnya Koalisi 
Anti Utang (KAU).
file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1

Subtopik yang diangkat, di antaranya, adalah penambahan jumlah utang 
baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati Soekarnoputri maupun 
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta tolok ukur dalam menentukan batas 
aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang, dan masalah 
transparansi penggunaan utang.


*Tiga Masalah Utama *

/Pertama, /sebagaimana diketahui, berdasarkan data pada Departemen 
Keuangan, total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp1.636 
triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp1.700 triliun. Dengan 
demikian, dalam tempo lima bulan, jumlah utang pemerintah mengalami 
peningkatan sebesar Rp64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah 
menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di 
negara berkembang. Setidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan 
Committee for Abolition Third World Debt, yang/ /menempatkan Indonesia 
sebagai negara berkembang pengutang terbesar setelah Meksiko, Brasil, 
dan Turki.

Sementara itu, perang prestasi keberhasilan para capres dalam menurunkan 
jumlah utang pemerintah diukur dengan rasio utang terhadap Produk 
Domestik Bruto (PDB). Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati, 
rasio utang terhadap PDB mencapai 100% (1999) lalu turun menjadi 89% 
(2000). Pada masa pemerintahan Megawati-Hamzah Haz turun dari 77% (2001) 
menjadi 57% (2004) dan pada masa SBY-JK diprediksi turun dari 47% (2005) 
menjadi 32% (2009).

Tolok ukur penurunan jumlah utang terhadap PDB ini mendapat reaksi yang 
cukup keras. Ada yang berpendapat bahwa perekonomian Indonesia masih 
didominasi asing, sehingga kalau tolok ukur PDB yang dipakai, 
seolah-olah rasio utang pemerintah masih aman. Padahal, kalau dilihat 
dari utang per kapita mengalami kenaikan dari Rp5,5 juta menjadi Rp8,5 
juta, artinya tanggungan per orang atas utang pemerintah mengalami 
kenaikan. Sebagai solusinya, ditawarkan pendekatan Produk Nasional Bruto 
(PNB). Pendapat ini mendapatkan reaksi bahwa selama utang tersebut 
digunakan untuk kegiatan produktif sebenarnya tidak menjadi masalah. 
Argumen yang digunakan adalah, pada 2004 dengan utang per kapita Rp5 
juta, mampu menghasilkan pendapatan per kapita Rp10 juta, dan pada 2008 
dengan utang per kapita Rp7 juta, pendapatan per kapitanya meningkat 
menjadi Rp21 juta. Di sisi lain, ada juga yang memberikan solusi untuk 
meminta negara-negara pemberi utang agar membiarkan Indonesia mengurangi 
beban utang melalui program seperti penyehatan lingkungan, pengurangan 
emisi gas, kredit karbon, dan pelaksanaan /Millennium Development Goals/ 
(MDG’s). Di samping itu, pasangan capres-cawapres JK-Win juga akan 
melakukan /refinance/ utang dalam negeri.

/Kedua/, masalah ketergantungan pada utang juga mendapat sorotan cukup 
tajam. Menurut mereka yang berdebat, ada kemungkinan pemerintah tidak 
terlalu mempermasalahkan utang luar negeri karena menganggap utang 
tersebut sebagai salah satu sumber pendanaan untuk pembangunan negara. 
Akibatnya, untuk menolong warga miskin pun dananya bersumber dari utang. 
Pola seperti ini, menurut mereka, akan berakibat utang terus bertambah. 
Argumen ini mendapat reaksi bahwa selama pemerintah masih memiliki 
pendapatan, utang tidak menjadi masalah. Namun, yang penting adalah 
bagaimana memelihara agar tingkat pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, ada 
stimulus fiskal, dan menjaga inflasi. Sementara itu, ada yang menawarkan 
alternatif solusi penurunan ketergantungan pada utang dengan cara 
pengefektifan belanja dan memaksimumkan penerimaan pajak untuk membiayai 
belanja negara. Tanpa ada terobosan baru, maka beban utang baru dan 
pembayaran utang tidak akan kunjung habis.


/Ketiga/, masalah transparansi penggunaan utang. Pemerintah dinilai 
sudah ada inisiatif untuk menata utang, tetapi, dalam pelaksanaannya, 
yang dilaporkan hanya sisi baiknya, sementara sisi buruknya ditutupi. 
Pengelolaan utang diharapkan makin membaik, sehingga akan tampak jelas 
utang tersebut digunakan untuk apa. Selama ini belum ada transparansi 
dalam pengelolaan utang, sehingga pemerintah dinilai melakukan 
kebohongan publik.

Terlepas dari pendapat siapa yang paling benar, debat antar-tim sukses 
maupun pendapat dari berbagai pengamat ekonomi di atas, debat ini sangat 
baik karena bisa menjadi ajang pembelajaran bagi masyarakat awam dan 
sekaligus akan menambah wawasan masyarakat 

[Keuangan] RUU pengaturan dan pengelolaan utang III

2009-07-29 Terurut Topik Hok An
Kawan2,

Debt managment kita memang mahal. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan 
antara bunga yang perlu dibayar untuk obligasi SUN dibandingkan dengan 
ongkos yang terjadi dinegara lain seperti yang bisa dilihat di alinea2 
terakhir tulisan dibawah.

Tingginya ongkos bunga ini sedikit banyak menyebabkan aliran hutang luar 
negeri. Untuk proyek2 infrastruktur sesungguhnya biaya kredit luar 
negeri bisa ditekan rendah kalau mau bekerja sama dengan Bank Dunia. 
Dengan alasan banyaknya syarat2 yang terikat pada kredit2 ini negara 
kita akhir2 ini lebih suka membeli kredit dipasar bebas yang biayanya 
bisa berlipat dua.
Pada kenyataannya malah ada obligasi luar negeri yang mahal yang 
digunakan untuk menutup defisit anggaran. Padahal dulu penarikan kredit 
luar negeri hampir selalu digunakan untuk macam2 investasi dan terutama 
dibidang infrastruktur

Bisa saja hal ini dibatasi dengan UU, tetapi sebaiknya yang pertama 
diusahakan adalah bagaimana kondisi pasar uang bisa diatur sedemikian 
sehingga bunga SUN jangan terlalu jauh bedanya  dengan obligasi luar negeri.

Salam


Hok An


Rabu, 29/07/2009 11:28 WIB


Pasar SUN diduga dipengaruhi optimisme pemerintah

oleh : Irvin Avriano

JAKARTA (Bloomberg): Pasar surat utang negara (SUN) diprediksi akan 
dipengaruhi optimisme pemerintah yang akan meningkatkan inisiatif 
investasi dalam negeri.

Berdasarkan prediksi harian Bloomberg terhadap pasar obligasi, beberapa 
bentuk pengembangan investasi itu berupa proyek infrastruktur, jaring 
pengaman sosial, dan penetapan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% 
dalam jangka waktu 5 tahun ke depan.

Hal itu disampaikan Boediono sebagai wakil presiden terpilih yang 
mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Yudhoyono dipastikan terpilih kembali sebagai presiden RI setelah Komisi 
Pemilihan Umum (KPU) selesai melakukan penghitungan suara dan 
mengumumkan hasilnya dengan perolehan 60% lebih bagi pasangan 
capres-cawapres bernomor urut 2 itu.

Harga SUN bertenor 10 tahun menguat pada perdagangan sekunder efek utang 
itu kemarin, dan menekan imbal hasil (yield) sebesar empat basis poin 
(bps) ke level 10,08%.

Adapun kondisi pasar obligasi pemerintah China diprediksi akan membaik 
seiring dengan pengumuman Bank Rakyat China yang mengindikasikan laju 
inflasi akan meningkat pada semester II tahun ini, yang memastikan 
perbaikan ekonomi di negara tersebut.

Bank sentral negara itu berhasil melepas surat perbendaharaan negara 
yang bertenor 1 tahun sebesar 15 miliar yuan, setara dengan US$2,2 
miliar, pada pekan lalu pada yield tertinggi tahun ini di level 1,69%.

Yield obligasi pemerintah China yang akan jatuh tempo pada 2012 menguat 
2 bps ke level 2,46% dan menekan harga efek utang tersebut.(er)

*bisnis.com*






=
Join Facebook AKI dimana Anda bisa ber social interactive sambil bermain games 
atau just have fun together. Compulsory bagi new members start 1 Jan 2008. 
http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045
=
Perhatian: Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. 
Anggota yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas.
=
Arsip Milis AKI online, demi kenyamanan Anda semua
http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
-
Untuk kenyamanan bersama, dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor posting 
sebelumnyaYahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/

* Your email settings:
Individual Email | Traditional

* To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/join
(Yahoo! ID required)

* To change settings via email:
mailto:ahlikeuangan-indonesia-dig...@yahoogroups.com 
mailto:ahlikeuangan-indonesia-fullfeatu...@yahoogroups.com

* To unsubscribe from this group, send an email to:
ahlikeuangan-indonesia-unsubscr...@yahoogroups.com

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/



[Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II

2009-07-29 Terurut Topik Jerry Matanari
Dear Pak Hok An,
 
Kiranya berkenan, saya ingin menyampaikan pendapat.
 
Menurut saya pribadi, berhutang tidak masalah. Secara kacamata individu maupun 
pengusaha orang-orang sering mengatakan hutang itu bisa mengungkit manfaat 
modal yang dimiliki saat ini. Ada pemeo mengatakan, selama kreditur masih 
percaya untuk ngasih ngutang, dan kira-kira si peminjam sanggup bayar 
cicilannya, ya ngutang saja.

Ada juga yang mengatakan, kita mesti boleh ngutang kalau imbal hasil proyek 
infrasktur yg dibiayai lebih besar dari bunga pinjaman. Karna itu adanya 
korupsi jelas-jelas akan menimbulkan uang yg 'idle' atau tidak bermanfaat, 
sementara bunga utang jalan terus. Karna itu korupsi harus diberantas. Saya 
terima pendapat ini ada benarnya juga.
 
Pendapat ketiga yg ekstrim mengatakan sebuah negara harus berdikari alias 
berdiri di atas kaki sendiri. Idealnya sih memang begitu Pak. Namun di dunia 
yang disebut para nabi sebagai penuh dosa ini, tidak ada yang ideal. 
Orang-orang pengen capai hasil maksimal, tapi selalu ada constraint atau 
keterbatasan sumber daya. Karna itulah orang-orang tidak bisa capai yang 
maksimal, harus hitung-hitung dulu pakai model matematika, karena hasil yang 
hanya bisa dicapai adalah hasil yang optimal.
 
Mungkin untuk solusi ke depannya saya pikir pertanyaannya bukan kita mesti 
ngutang atau ngga, atau ngutangnya ke siapa, tapi lebih ke arah seberapa besar 
sih kira-kira level hutang yang 'optimal'. Jawabannya gak bisa dengan 'feeling' 
aja Pak tapi benar2 harus dihitung para expert untuk mencari solusi yg optimal, 
dengan mengingat tujuan2 (goals) yg harus dicapai , dan aneka keterbatasan 
(constraints) yang dihadapi.
 
Sekedar pendapat pribadi saya saja Pak. Kurang dan lebih nya mungkin Bapak Hok 
An dan Rekan-Rekan lainnya dapat menambahkan.
 

Salam,

Jerry









--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Hok An ho...@... wrote:

   Kawan2,
 
 dibawah ada pendapat dari pihak Departemen Keuangan mengenai masalah utang.
 Silahkan dibahas.
 
 Hok An
 
 Warta ekonomi: Selasa, 28 Juli 2009 12:04 Redaksi-1
 Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai 
 dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang 
 di media massa, ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, tetapi ada 
 juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota tim sukses capres 
 tertentu. Perang argumen ini makin diperkaya dengan hadirnya Koalisi 
 Anti Utang (KAU).
 file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1
 
 Subtopik yang diangkat, di antaranya, adalah penambahan jumlah utang 
 baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati Soekarnoputri maupun 
 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta tolok ukur dalam menentukan batas 
 aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang, dan masalah 
 transparansi penggunaan utang.
 
 
 *Tiga Masalah Utama *
 
 /Pertama, /sebagaimana diketahui, berdasarkan data pada Departemen 
 Keuangan, total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp1.636 
 triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp1.700 triliun. Dengan 
 demikian, dalam tempo lima bulan, jumlah utang pemerintah mengalami 
 peningkatan sebesar Rp64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah 
 menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di 
 negara berkembang. Setidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan 
 Committee for Abolition Third World Debt, yang/ /menempatkan Indonesia 
 sebagai negara berkembang pengutang terbesar setelah Meksiko, Brasil, 
 dan Turki.
 
 Sementara itu, perang prestasi keberhasilan para capres dalam menurunkan 
 jumlah utang pemerintah diukur dengan rasio utang terhadap Produk 
 Domestik Bruto (PDB). Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati, 
 rasio utang terhadap PDB mencapai 100% (1999) lalu turun menjadi 89% 
 (2000). Pada masa pemerintahan Megawati-Hamzah Haz turun dari 77% (2001) 
 menjadi 57% (2004) dan pada masa SBY-JK diprediksi turun dari 47% (2005) 
 menjadi 32% (2009).
 
 Tolok ukur penurunan jumlah utang terhadap PDB ini mendapat reaksi yang 
 cukup keras. Ada yang berpendapat bahwa perekonomian Indonesia masih 
 didominasi asing, sehingga kalau tolok ukur PDB yang dipakai, 
 seolah-olah rasio utang pemerintah masih aman. Padahal, kalau dilihat 
 dari utang per kapita mengalami kenaikan dari Rp5,5 juta menjadi Rp8,5 
 juta, artinya tanggungan per orang atas utang pemerintah mengalami 
 kenaikan. Sebagai solusinya, ditawarkan pendekatan Produk Nasional Bruto 
 (PNB). Pendapat ini mendapatkan reaksi bahwa selama utang tersebut 
 digunakan untuk kegiatan produktif sebenarnya tidak menjadi masalah. 
 Argumen yang digunakan adalah, pada 2004 dengan utang per kapita Rp5 
 juta, mampu menghasilkan pendapatan per kapita Rp10 juta, dan pada 2008 
 dengan utang per kapita Rp7 juta, pendapatan per kapitanya meningkat 
 menjadi Rp21 juta. Di sisi lain, ada juga yang memberikan solusi untuk 
 meminta negara-negara pemberi utang agar 

Re: [Keuangan] Re: RUU pengaturan dan pengelolaan utang II

2009-07-29 Terurut Topik Hok An
Bung Jerry,

Mungkin kita bisa setuju bahwa masalahnya adalah hasil (kinerja) dari 
suatu proyek.
Kalau hasilnya optimal mengapa tidak. Masalahnya bukan sumber dana 
(misalnya hutang) tetapi manfaat penggunaan dana.

Yang mungkin bisa jadi pertanyaan adalah penggunaan hutang luar negeri 
untuk menutup defisit anggaran. Memang secara umum harusnya sebab 
defisit anggaran itu dulu yang harus dibedah dengan tajam dan sebab2nya 
diatasi dengan tuntas. Dikita salah satu sebabnya memang adalah korupsi 
yang demikian hebatnya sehingga ada keraguan akan kwalitas proyek, jadi 
apakah masih ada proyek yang berguna dan apakah ada BUMN yang tidak korupsi.
Masalah2 ini harusnya dipantau dengan keras dan bilamana perlu dibikin 
sistem yang mengukur effektivitas kerja aparat pemerintah. Jadi kita 
perlu indeks kinerja aparat negara yang jelas sebagai tambahan dari 
indeks transparansi internasional dan ICOR (yang membandingkan investasi 
dengan pertumbuhan ekonomi).

Di RUU ini setahu saya ada usul pembatasan defisit sebesar 3% PDB. Kalau 
kita melihat kebutuhan2 pada saat krismon atau program2 penyelamatan 
bank di Eropa dan USA maka batas2 seperti ini terlalu kaku, tidak sesuai 
dengan keadaan kritis saat itu. Kita perlu kriteria2 lain untuk mengukur 
kelayakan suatu proyek dan anggarannya.

Salam

Hok An

Jerry Matanari schrieb:

 Dear Pak Hok An,

 Kiranya berkenan, saya ingin menyampaikan pendapat.

 Menurut saya pribadi, berhutang tidak masalah. Secara kacamata 
 individu maupun pengusaha orang-orang sering mengatakan hutang itu 
 bisa mengungkit manfaat modal yang dimiliki saat ini. Ada pemeo 
 mengatakan, selama kreditur masih percaya untuk ngasih ngutang, dan 
 kira-kira si peminjam sanggup bayar cicilannya, ya ngutang saja.

 Ada juga yang mengatakan, kita mesti boleh ngutang kalau imbal hasil 
 proyek infrasktur yg dibiayai lebih besar dari bunga pinjaman. Karna 
 itu adanya korupsi jelas-jelas akan menimbulkan uang yg 'idle' atau 
 tidak bermanfaat, sementara bunga utang jalan terus. Karna itu korupsi 
 harus diberantas. Saya terima pendapat ini ada benarnya juga.

 Pendapat ketiga yg ekstrim mengatakan sebuah negara harus berdikari 
 alias berdiri di atas kaki sendiri. Idealnya sih memang begitu Pak. 
 Namun di dunia yang disebut para nabi sebagai penuh dosa ini, tidak 
 ada yang ideal. Orang-orang pengen capai hasil maksimal, tapi selalu 
 ada constraint atau keterbatasan sumber daya. Karna itulah orang-orang 
 tidak bisa capai yang maksimal, harus hitung-hitung dulu pakai model 
 matematika, karena hasil yang hanya bisa dicapai adalah hasil yang 
 optimal.

 Mungkin untuk solusi ke depannya saya pikir pertanyaannya bukan kita 
 mesti ngutang atau ngga, atau ngutangnya ke siapa, tapi lebih ke arah 
 seberapa besar sih kira-kira level hutang yang 'optimal'. Jawabannya 
 gak bisa dengan 'feeling' aja Pak tapi benar2 harus dihitung para 
 expert untuk mencari solusi yg optimal, dengan mengingat tujuan2 
 (goals) yg harus dicapai , dan aneka keterbatasan (constraints) yang 
 dihadapi.

 Sekedar pendapat pribadi saya saja Pak. Kurang dan lebih nya mungkin 
 Bapak Hok An dan Rekan-Rekan lainnya dapat menambahkan.


 Salam,

 Jerry

 --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com 
 mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com, Hok An ho...@... 
 wrote:
 
  Kawan2,
 
  dibawah ada pendapat dari pihak Departemen Keuangan mengenai masalah 
 utang.
  Silahkan dibahas.
 
  Hok An
 
  Warta ekonomi: Selasa, 28 Juli 2009 12:04 Redaksi-1
  Sejak masa kampanye para capres dimulai, salah satu topik yang ramai
  dibicarakan adalah masalah utang pemerintah. Mereka yang saling serang
  di media massa, ada yang mengatasnamakan pengamat ekonomi, tetapi ada
  juga yang terang-terangan mengatasnamakan anggota tim sukses capres
  tertentu. Perang argumen ini makin diperkaya dengan hadirnya Koalisi
  Anti Utang (KAU).
  
 file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1
  
 file:///index.php?option=com_contentview=articleid=2677%3Adebat-kusir-seputar-utang-pemerintahcatid=53%3Aaumumshowall=1
 
  Subtopik yang diangkat, di antaranya, adalah penambahan jumlah utang
  baik pada masa pemerintahan dipegang oleh Megawati Soekarnoputri maupun
  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta tolok ukur dalam menentukan 
 batas
  aman jumlah utang, masalah ketergantungan pada utang, dan masalah
  transparansi penggunaan utang.
 
 
  *Tiga Masalah Utama *
 
  /Pertama, /sebagaimana diketahui, berdasarkan data pada Departemen
  Keuangan, total utang pemerintah pada akhir 2008 mencapai Rp1.636
  triliun dan per 29 Mei 2009 telah mencapai Rp1.700 triliun. Dengan
  demikian, dalam tempo lima bulan, jumlah utang pemerintah mengalami
  peningkatan sebesar Rp64 triliun. Besarnya utang pemerintah ini telah
  menempatkan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar keempat di
  negara berkembang. Setidaknya inilah hasil kajian yang dilakukan
  Committee for Abolition Third World Debt, 

[Keuangan] Turut prihatin : Keputusan Pengadilan Coroner Singapura

2009-07-29 Terurut Topik Oka Widana
Kawan-kawan,

Setelah berjuang sekian lama di Singapura, keluarga David hartano (dan
mestinya bangsa Indonesia secara keseluruhan) harus menelan pil pahit. David
Hartanto dinyatakan tewas bunuh diri.

 

Saya pribadi menyayangkan ketiadaan perhatian Pemerintah Indonesia. Pernah
pak JK, setelah keluarga Hartanto dan tim advokasi menghadap, menunjukkan
greget perhatian dan bahkan sempat menelpon kedubes. Spt biasa perhatian
semacam itu tak cukup, jika tidak terus difollow up oleh pak JK sendiri.
Sayang, mungkin karena beliau sibuk dengan urusan Pilpres agenda David
Hartanto tidak menjadi prioritas.

 

Pak Budiono yang baru terpilih menjadi Capres, persis satu hari sebelum
diputuskan menunjukkan perhatian. Keluarga sempat menghadap beliau di
Singapura. Bahkan pak Bud sempat berpidato didepan komunitas dan salah satu
menteri Singapura. Akan tetapi jelas sudah tidak bisa mempengaruhi apa2.
Wong dia belum jadi Wapres, dan pidatonya pun baru disampaikan diakhir
proses.

 

Nampak sekali, bahwa Pemerintah, terlalu sibuk sampai urusan anak bangsa
yang sangat potensial seperti David tak tersentuh sama sekali.  Kecuali
petugas pemungut pajak, yang sangat terampil, nampaknya dalam hal lain
ketrampilan Pemerintah Indonesia patut dipertanyakan.

 

Salam,

 

 

 

Keluarga David Tak Menyerah, Lawan Singapura Lewat Jalur Internasional
Anwar Khumaini - detikNews

 

Jakarta - Meski pengadilan koroner Singapura memutus David Hartanto Widjaja
tewas bunuh diri, namun keluarga David pantang menyerah. Yakin David tewas
akibat dibunuh, keluarga akan terus melakukan upaya hukum untuk memperoleh
keadilan terhadap mendiang pemuda jenius tersebut.

Saya akan maju terus menempuh segala cara untuk bisa mengungkap kasus ini.
Saya akan ambil jalur internasional, ujar ayah David, Hartono Widjaja,
kepada detikcom via telepon, Rabu (29/7/2009) malam.

Langkah hukum yang dimaksud Hartono adalah dengan mengajukan kasus ini ke
pengadilan internasional. Pihak pemerintah Singapura akan menjadi lawan
Hartono dalam kelanjutan kasus ini nantinya.

Karena saya lawannya pemerintah Singapura, jadi kalau nggak dibantu, jelas
saya tidak bisa berbuat banyak, tutur pria paruh baya tersebut.

Hartono, mewakili seluruh keluarga besar David Hartanto, merasa sangat
kecewa dengan putusan Pengadilan Koroner Singapura. Terlebih, pemerintah
Indonesia tidak banyak memberikan bantuan terahdap penyelesaian kasus ini.

Pengadilan ini dari awal sudah penuh dengan kebohongan. Ada konspirasi
antara pemerintah Singapura dengan pihak kampus NTU, ujarnya.

Pada Rabu 29 Juli kemarin, Pengadilan Koroner Singapura memutuskan David
Hartanto Widjaja tewas karena bunuh diri. Jaksa membantah submission yang
diajukan keluarga tentang keganjilan kematian  mahasiswa Nanyang
Technolgical University (NTU) asal RI itu.

David dinyatakan suicide (bunuh diri), tidak bisa open verdict, ujar Ketua
Tim Verifikasi Independen kasus Kematian David, Iwan Piliang, dalam pesan
singkat yang diterima redaksi detikcom, Rabu (29/7/2009).

Open verdict adalah keputusan hakim untuk memerintahkan Kepolisian Koroner
Singapura melanjutkan penyelidikan bila berdasarkan fakta-fakta hukum di
persidangan majelis menilai David bukan bunuh diri melainkan ada yang
membunuh.



[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Why had Nobody Noticed that the Credit Crunch Was on its Way?

2009-07-29 Terurut Topik sidqy suyitno
Why had
Nobody Noticed that the Credit Crunch Was on its Way?
http://media.ft.com/cms/3e3b6ca8-7a08-11de-b86f-00144feabdc0.pdf

A letter
to the Queen attempting to explain why economists missed the
financial crisis:

Her Majesty The Queen
Buckingham Palace
London
SW1A 1AA
MADAM,
When Your Majesty visited the London School of Economics last November, you
quite rightly asked: why had nobody noticed that the credit crunch was on its
way? The British Academy convened a forum on 17 June 2009 to debate your 
question... This letter summarises the views of the participants
... and we hope that it offers an answer to your question.
Many people did foresee the crisis. However, the exact form that it would
take and the timing of its onset and ferocity were foreseen by nobody. ...
There were many warnings about imbalances in financial markets... But the
difficulty was seeing the risk to the system as a whole rather than to any
specific financial instrument or loan. Risk calculations were most often
confined to slices of financial activity, using some of the best mathematical
minds in our country and abroad. But they frequently lost sight of the bigger
picture.
Many were also concerned about imbalances in the global economy ... known as
the ‘global savings glut’. ... This ... fuelled the increase in house prices
both here and in the USA.
There were many who warned of the dangers of this.
But against those who warned, most were convinced that ... the financial
wizards had found new and clever ways of managing risks. Indeed, some claimed
to have so dispersed them through an array of novel financial instruments that
they had virtually removed them. It is difficult to recall a greater example of
wishful thinking combined with hubris. There was a firm belief, too, that
financial markets had changed. ... A generation of bankers and financiers
deceived themselves and those who thought that they were the pace-making
engineers of advanced economies.
All this exposed the difficulties of slowing the progression of such
developments in the presence of a general ‘feel-good’ factor. Households
benefited from low unemployment, cheap consumer goods and ready credit.
Businesses benefited from lower borrowing costs. Bankers were earning bumper
bonuses... The government benefited from high tax revenues... This was bound to
create a psychology of denial. It was a cycle fuelled, in significant measure,
... by delusion.
Among the authorities charged with managing these risks, there were difficulties
too. ... General pressure was for more lax regulation – a light touch. ...
There was a broad consensus that it was better to deal with the aftermath of
bubbles ... than to try to head them off in advance. Credence was given to this
view by the experience, especially in the USA ... when a recession was more or 
less avoided after the ‘dot com’ bubble burst.
This fuelled the view that we could bail out the economy after the event.
Inflation remained low and created no warning sign of an economy that was
overheating. ... But this meant that interest rates were low by historical
standards. And some said that policy was therefore not sufficiently geared
towards heading off ... risks. ... But on the whole, the prevailing view was
that monetary policy was best used to prevent inflation and not to control
wider imbalances in the economy.
So where was the problem? Everyone seemed to be doing their own job
properly... And according to standard measures of success, they were often
doing it well. The failure was to see how collectively this added up to a
series of interconnected imbalances over which no single authority had
jurisdiction. This, combined with the psychology of herding and the mantra of
financial and policy gurus, lead to a dangerous recipe. Individual risks may
rightly have been viewed as small, but the risk to the system as a whole was
vast.
So in summary, Your Majesty, the failure..., while it had many causes, was
principally a failure of the collective imagination of many bright people, both
in this country and internationally, to understand the risks to the system as a
whole. ...
We have the honour to remain, Madam,
Your Majesty’s most humble and obedient servants
Professor Tim Besley, FBA 
Professor Peter Hennessy, FBA
 
BritishAcademyForum, 17 June 2009
The Global Financial
Crisis – Why Didn’t Anybody Notice?
List of Participants
Professor Tim Besley,
FBA, London School of Economics; Bank of England Monetary Policy
Committee
Professor Christopher Bliss, FBA, University of Oxford
Professor Vernon Bogdanor, FBA, University of Oxford
Sir Samuel Brittan, Financial Times
Sir Alan Budd
Dr Jenny Corbett, University of Oxford
Professor Andrew Gamble, FBA, University of Cambridge
Sir John Gieve, Harvard Kennedy School
Professor Charles Goodhart, FBA, London School of Economics
Dr David Halpern, Institute for Government
Professor José Harris, FBA, University of Oxford
Mr Rupert Harrison, Economic Adviser to the Shadow
Chancellor
Professor Peter 

[Keuangan] Fw: CS Indo: Upgrade 12-mo MSCI Asia Target 500- Favour Indo Energy Consumer Cyclicals!

2009-07-29 Terurut Topik Hendra Bujang





Best Regards
 
Hendra Bujang

0878 7828 7808 
0856 190 9109 
 
 

--- On Wed, 7/29/09, patricia.sumamp...@cimb.com patricia.sumamp...@cimb.com 
wrote:


From: patricia.sumamp...@cimb.com patricia.sumamp...@cimb.com
Subject: Fw: CS Indo: Upgrade 12-mo MSCI Asia Target 500- Favour Indo Energy  
Consumer Cyclicals!
To: 
Date: Wednesday, July 29, 2009, 9:40 AM



  
  




From 
  
  
 
 
Indonesia Equity Sales 
CS Indo: Upgrade 12-mo MSCI Asia Target 500- Favour Indo Energy  Consumer 
Cyclicals! 
ASIAN STRATEGY: MXASJ 12 month target set at 500- Another 20% upside for Asia 

iSay: In Indonesia, Sakthi Siva reiterates favourites on Indonesia Energy and 
Indonesia Consumer Cyclicals. Therefore, Sakthi Siva (GEM and Asian Strategist) 
is having Top-3 Indonesian Stock picks (ASII, BUMI, UNTR). Arief Wana 
(Indonesia Strategist) is having Top-5 Indonesian Stock picks (ASII, BBRI, 
INDF, PGAS, UNTR), with similar themes Domestic Consumption Growth (both 
Staples and Discretion) and Cheap Resources (Coal, Gas and CPO lately), in 
addition to Long-Term Infrastructure Development! At JCI 2,186pts, CS Indonesia 
Universe is trading on 14.8x-12.8x 2009F-2010F PER, with EPS Growth of +1% and 
16% respectively. Assuming 14x 2010F PER, the 12-month JCI Index Target will be 
2,391pts (currently Arief Wana has 2.9x PBR 2,276pts JCI Target for year-end 
2009F). 
  
·         Sakthi Siva (Daily): With MXASJ (MSCI Asia ex-Japan) almost at our 
year-end target of 425, we are introducing our 12-month index target for MXASJ 
of 500. This suggests a further 20% potential upside to Asia. Our 500 target is 
based on a prospective P/E of 14x and assumes 30% EPS growth in 2010E. 
·         This target is driven by four factors: 
1.      our Asian six-factor valuation indicator is still 16% undervalued, 
2.      three consecutive months of broad-based upgrades to consensus EPS which 
we expect to continue. We highlight that these upgrades are the strongest since 
2004, 
3.      many signs of domestic demand recovery within Asia and we emphasise 
that this is not just in China. 
4.      a lower risk of a US double-dip given the health of US non-financial 
corporate cashflows and the rise in the US personal savings ratio. 
·         We continue to favour Chinese and Thai banks, Hong Kong property and 
“cheap” cyclicals (Indonesia, Korea, steel, selected small caps). As August 
historically is seasonally the worst month for MXASJ, we suggest buying on 
dips. 
  
Best Regards, 
Dharwin Yuwono, CFA 
Director- Indonesia Equity Sales 
  
PT Credit Suisse Securities Indonesia 
Sampoerna Strategic Square, South Tower, 23rd Floor, 
Jl. Jend Sudirman Kav.45/46, Jakarta 12930, Indonesia 
Dealing: +6221 2553 7920 
Toll Free: 001 800 1233 2526 (HK) 
Toll Free: +800 1233 2526 (SIN/UK/US) 
Office : +6221 2553 7978       Fax : +6221 2553 7990 
Mobile : +62811 979 788         Email: dharwin.yuw...@credit-suisse.com 
  
Please follow the attached hyperlink to an important disclaimer 
http://www.csfb.com/legal_terms/market_commentary_disclaimer_asia.shtml 
  
  
== 
Please access the attached hyperlink for an important electronic communications 
disclaimer: 
  
http://www.credit-suisse.com/legal/en/disclaimer_email_ib.html 
== 


*** DISCLAIMER ***

This e-mail message and any attachments thereto is intended only for the use of 
the individual or entity to whom it is addressed and others authorized to 
receive it and may contain information that is confidential, priviledged and/or 
exempt from disclosure under applicable law. If you are not the intended 
recipient you are hereby notified that any review, disclosure, copying, 
distribution or other use of any of the information contained in this strictly 
prohibited and may be unlawful. If you have received this communication in 
error, please notify us immediately by responding to this email and then delete 
this from your system. The content of the message and/or attachments may not 
reflect the view and opinions of the originating company or any party it is 
representing.

Trimegah Securities cannot guarantee that e-mail communications are secure or 
error-free, as information could be intercepted, corrupted, amended, lost, 
destroyed, arrive late or incomplete, or contain viruses.


 
Disclaimer:
This email may contain privileged and/or confidential information intended only 
for the use of the addressee. If you are not the addressee, or the person 
responsible for delivering it to the addressee, you may not use, copy or 
deliver this to anyone else. If you receive this email by mistake, please 
immediately notify us.
Opinions contained herein may be the personal opinion of the sender and do not 
necessarily represent the views of the Company. If you are in any