[Millis AKI- stop smoking] Sekilas Tentang Draf RUU OJK

2010-03-15 Terurut Topik Infobank infobanknews.com
http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1889
Tanggal:  15 Maret 2010 - 13:16 WIB
Sumber: infobanknews.com

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdiri atas amanat undang-undang. Pendiriannya 
pun akan diperkuat payung hukum. Seperti apa draf payung hukum OJK? Karnoto 
Mohamad

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sudah lama memunculkan 
kontroversi sudah ada di depan mata. Sebab, batas waktu pendirian OJK seperti 
diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI) 
adalah akhir 2010.

Jika OJK atau di luar negeri disebut Financial Services Authority (FSA) 
dibentuk, bukan hanya lembaga perbankan yang pengawasannya diambil alih OJK, 
melainkan juga institusi jasa keuangan lain.

 Di dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK yang diperoleh 
infobanknews.com pada Februari 2010 lalu dijelaskan bahwa OJK akan mengawasi 
lembaga jasa keuangan yang terdiri atas bank, perusahaan asuransi, dana 
pensiun, bursa efek, bursa berjangka, dan badan penyelenggara program jaminan 
sosial, asuransi, atau pensiun yang bersifat wajib.

RUU yang terdiri atas 106 pasal itu menyebutkan, tujuan pembentukan OJK adalah 
agar sektor jasa keuangan dalam melakukan kegiatannya dapat berfungsi secara 
sehat, kompetitif, stabil, dan aman. Pasal 51 RUU itu menjelaskan, tugas OJK 
sebagai berikut:

a. Mengatur dan mengawasi pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan yang 
diselenggarakan lembaga jasa keuangan.

b. Menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan.

c. Melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pemahaman dan memelihara 
kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan.

d. Melakukan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan yang wajar terhadap 
konsumen dari sektor jasa keuangan.

e. Mengurangi tingkat kejahatan keuangan.

Sedangkan kewenangannya dijelaskan pada pasal 52, yakni:

a. Membuat dan menetapkan peraturan sebagai pelaksanaan peraturan 
perundang-undangan di bidang jasa keuangan.

b. Memberi dan mencabut izin untuk melakukan kegiatan di bidang jasa keuangan.

c. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan.

d. Melakukan tindakan tertentu untuk mengurangi pelanggaran terhadap peraturan 
perundang-undangan di bidang jasa keuangan dan tingkat kejahatan keuangan.

e. Melakukan wewenang lain yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan 
di bidang jasa keuangan.

f. Mengenakan sanksi atas pelanggaran terhadap perundang-undangan di bidang 
jasa keuangan.

 Secara kelembagaan, OJK akan dipimpin dewan komisioner sebagai pemimpin OJK 
yang namanya diusulkan presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dewan 
komisioner akan dipimpin seorang ketua dewan komisioner yang merangkap sebagai 
anggota dewan komisioner.

Secara operasional, kegiatan OJK akan diselenggarakan kepala eksekutif yang 
juga merangkap sebagai dewan komisioner.

 Dalam hal koordinasi, OJK bekerja sama dengan BI untuk mendukung pelaksanaan 
tugas dan wewenang masing-masing demi mendukung stabilitas sistem keuangan.

 Dalam membuat kebijakan di bidang perbankan yang berdampak pada bidang moneter 
dan sistem pembayaran, OJK berkonsultasi dengan BI.

 Kedua lembaga ini juga wajib saling memberi informasi dalam membantu 
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing.

Selain dengan BI, OJK bekerja sama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan 
wajib memberikan informasi berkala kepada LPS tentang laporan keuangan bank 
yang telah diaudit, hasil pemeriksaan bank, dan kondisi kesehatan bank.

 OJK juga secara berkala menyampaikan laporan secara tertulis kepada menteri 
keuangan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan efisiensi, keamanan, stabilitas 
sistem keuangan, dan kewajaran di bidang jasa keuangan atau kejahatan keuangan.

Jika ada indikasi terjadinya kesulitan pada sebuah bank yang berpotensi 
menimbulkan risiko sistemik terhadap perekonomian keuangan, OJK segera memberi 
tahu menteri keuangan sekaligus memintanya untuk memimpin rapat dengan BI, OJK, 
dan LPS.

Dalam hal kepentingan nasional, OJK juga bisa mendapat pengarahan dari 
presiden. (*)




  

[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Tantangan BUMN 2010

2010-02-11 Terurut Topik Infobank infobanknews.com

http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1593
Tanggal:  11 Februari 2010 - 14:49 WIB
Sumber: infobanknews.com

Suka tidak suka, kita perlu menyadari bahwa BUMN kita jauh tertinggal. Bahkan, 
dibandingkan dengan BUMN negara lain, khususnya BUMN negeri jiran yang dulu 
belajar dari kita. Riant Nugroho

Mustafa Abubakar, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memulai pekerjaannya 
dengan prinsip yang patut diapresiasi: transparansi. Sebuah konferensi awal 
tahun Kementerian BUMN dengan tema “Refleksi 2009 dan Proyeksi 2010” dihelat 
pada awal Januari 2010.

Dipaparkan bahwa target BUMN 2010, laba bersih Rp90 triliun, naik dari laba 
(prognosis) 2009 senilai Rp74 triliun, sedangkan pendapatan usaha naik 13% 
dibandingkan dengan 2009 (prognosis) senilai Rp930 triliun menjadi Rp1.050 
triliun.

Menarik pendekatan yang ditawarkan Menneg BUMN, yakni mengurangi jumlah BUMN 
yang merugi, dari 20 BUMN menjadi 10 BUMN (separuhnya). Strategi yang 
ditawarkan, antara lain rightsizing, merger, hingga penyuntikan modal 
antar-BUMN.

Sebelum menilik strategi yang ditawarkan Menneg BUMN tersebut, ada baiknya kita 
menilik BUMN milik negara tetangga. Salah satu yang hendak kita jadikan 
perbandingan adalah Petronas, perusahaan pertambangan minyak bumi dan gas alam 
milik Malaysia, perusahaan yang didirikan dengan belajar dari Indonesia.

 Fortune edisi Juli 2009 menampilkan 500 perusahaan terbesar dunia. Petronas 
berada pada ranking 80 dengan total revenue dalam rupiah sekitar Rp750 triliun 
dan laba sekitar Rp150 triliun.

 

Dalam hal pendapatan usaha, Petronas “seorang diri” saja sudah 75% dari total 
pendapatan BUMN yang ditargetkan pada 2010. Laba bersih Petronas pun lebih 
besar daripada laba seluruh BUMN yang ditargetkan pada 2010.

Belum lagi dibandingkan dengan Sinopec, “Pertamina”-nya Cina yang pada 2009 
dilaporkan memiliki pendapatan usaha US$207 miliar (setara dengan Rp2.000 
triliun), mendekati aset total BUMN 2009, yaitu Rp2.150 triliun.

 Ada tiga pelajaran yang dapat kita petik. Satu, suka atau tidak, kita perlu 
menyadari bahwa BUMN kita jauh tertinggal. Bahkan, dibandingkan dengan BUMN 
negara lain, khususnya BUMN negeri jiran yang dahulu belajar dari kita.

Saya teringat, pada pertemuan chief executive officer (CEO) BUMN di Bali pada 
2003, seorang pejabat tinggi Petronas diundang sebagai pembicara untuk 
menceritakan kisah suksesnya.

Dengan suara merendah, ia berkata, “Bagaimana saya harus bercerita, karena kami 
dulu diajari oleh Indonesia.” Saya percaya, beliau tidak bermaksud menyinggung, 
apalagi menyakiti. Tapi, di situ saya tetap terpukul malu.

 

Dua, korporasi tetap korporasi. Jadi, untuk maju tetap relevan melakukan 
benchmarking kepada korporasi lain. Pernah seorang pejabat tinggi BUMN berkata, 
“BUMN Indonesia itu berbeda dengan BUMN di negara lain mana pun. Jadi, jangan 
pernah membuat perbandingan. Tidak ada gunanya.” Mungkin ada benarnya.

Namun, tampaknya pelajaran terbaik untuk maju adalah belajar kepada yang lebih 
baik. Benchmarking mencegah kita terbelenggu tempurung keyakinan semu.

Tiga, strategi yang dikemukakan di atas adalah baik. Namun, sesungguhnya kita 
memerlukan lebih dari sekadar strategi tersebut untuk membuat BUMN benar-benar 
menjadi korporasi yang dapat dibanggakan.

Untuk itu, ditawarkan empat strategi. Pertama, reorientasi, yaitu 
sungguh-sungguh mengubah cara pandang tentang BUMN. BUMN adalah korporasi atau 
entitas bisnis, terlepas dari apa pun amanat kebangsaan yang dilekatkan 
kepadanya.

 

Inti dari reorientasi adalah korporatisasi BUMN. Konsekuensinya, BUMN tidak 
boleh secara sewenang-wenang diintervensi oleh politik dan birokrasi.

 

Penetapan direksi tidak lagi menjadi mandat tunggal dari kekuasaan politik dan 
birokrasi. Direksi tidak lagi boleh dengan sewenang-wenang dipanggil ke Senayan.

 Untuk melakukan aksi korporasi, BUMN tidak lagi harus “sowan-sowan” ke 
birokrasi dan menunggu “kebaikan hati” dari birokrasi untuk mengizinkan BUMN 
bersangkutan melakukan aksi korporasinya.

Selama BUMN dianggap sebagai bagian dari politik dan birokrasi, BUMN tetap 
merupakan kepanjangan dari badan usaha milik naon wae. Badan usaha milik siapa 
saja, deh.

 

Kedua, restrukturisasi, yang dimulai dengan memisahkan BUMN yang profit 
oriented (PO) dan non for profit oriented (NfPO). BUMN PO diarahkan ke strategi 
holdingisasi ke dalam 10-12 superholding.

 

Teori bisnis klasik: size matter. Baik dalam mencari akses permodalan maupun 
aksi korporasi yang lain. Holding adalah sinergi, dalam hal ini satu tambah 
satu hasilnya lebih dari dua. BUMN yang siap membentuk superholding adalah 
perkebunan dan pupuk.

 Ketiga, profitisasi, yaitu menjadikan setiap superholding menjadi entitas 
bisnis yang memberikan laba luar biasa. Jika BUMN sudah menjadi badan usaha 
yang sehat dan memiliki laba yang besar, ia akan memberikan hasil yang optimal 
kepada pemegang saham pada saat diprivatisasi.

Privatisasi adalah langkah keempat yang perlu dilakukan agar 

[Keuangan] Privatisasi BUMN Tidak Sekedar Kejar Setoran

2010-02-10 Terurut Topik Infobank infobanknews.com

http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1574
Tanggal:  10 Februari 2010 - 14:14 WIB
Sumber: infobanknews.com

Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merilis sebuah kebijakan untuk 
mendorong korporasi yang sehat. Menurut Mustafa Abubakar, Menteri BUMN, serta 
141 BUMN, prosesnya membutuhkan pendataan mana perusahaan yang harus dimerger 
atau ditata ulang, re-grouping, dan di-holding.

Tahapannya dimulai dari maping, re-grouping, right sizing, hingga holding. Pada 
tahap right sizing akan tampak dan terjadi peningkatan profitisasi, kemudian 
baru dilakukan privatisasi.

“Efisiensi dan sinergitas antar-BUMN sangat penting. Selain meningkatkan 
produktifitas, juga kualitas pelayanan. Era 2010 adalah momentum bagus untuk 
meningkatkan kinerja BUMN,” tegas Mustafa Abubakar. 

Sebenarnya, konsep privatisasi yang ditawarkan pemerintahan jilid II tidak jauh 
berbeda dengan sebelumnya. Program privatisasi BUMN akan terus bergulir selama 
memenuhi aturan yang berlaku.

Jika pemerintah mengandalkan privatisasi guna memenuhi anggaran pendapatan dan 
belanja negara (APBN), sepertinya tahun ini hal itu tidak bisa diharapkan 
sepenuhnya.

 Dana hasil privatisasi tersebut digunakan untuk ekspansi dan APBN. Dalam jumpa 
pers awal tahun, Kementerian BUMN menyampaikan, pemerintah dan Dewan Perwakilan 
Rakyat (DPR) tidak lagi menargetkan dana Rp500 miliar dari privatisasi BUMN. 
Sebagai gantinya, setoran dividen BUMN-BUMN dinaikkan dari Rp26,1 triliun 
menjadi Rp28,6 triliun.

BUMN yang telah mendapatkan persetujuan DPR untuk privatisasi pada 2009, antara 
lain PT BTN, PT Garuda Indonesia, PT Pembangunan Perumahan (PP), PT Krakatau 
Steel, PT Waskita Karya, dan PT Adhi Karya. PT BTN dan PP sudah melakukan 
initial public offering (IPO). Sedangkan, tiga lainnya diproses pada 2010.

Privatisasi melalui jalan IPO sepertinya menjadi alternatif yang dipilih 
beberapa BUMN. Dengan masuknya 14 BUMN di lantai bursa, IPO BTN dan PP akan 
menambah deretan saham BUMN di Bursa Efek Indonesia (BEI). IPO dinilai paling 
efektif untuk meraih dana murah.  

Parameternya adalah BTN sebagai satu-satunya BUMN yang go public pada 2009 dan 
mengantongi dana hasil IPO mencapai Rp1,88 triliun.

 PP berencana mengikuti jejak BTN dengan target dana hasil IPO sebesar Rp832 
miliar. Ekuitasnya akan berjumlah Rp1,2 triliun. Nantinya, sekitar 41% dari 
dana hasil IPO akan digunakan PP untuk memperkuat modal kerja.

 Sisanya dianggarkan untuk dana investasi. PP akan membangun proyek pembangkit 
listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 2 x 150 megawatt milik PT Krakatau Daya 
Listrik. PP mesti menyetor porsi modal 20%-49% dari total nilai proyek yang Rp 
3,3 triliun. Selain itu, PP akan menyelesaikan proyek hotel di Bali dan Bandung 
serta pusat komersial di Surabaya.

Lalu, bagaimana komitmen perusahaan BUMN yang sudah go public, terutama dalam 
hal setoran ke kas negara melalui dividen? Apakah dana IPO sudah dioptimalkan 
atau belum digunakan alias mengendap di perusahaan tersebut?

Frans S. Sunito, Direktur Utama PT Jasa Marga, mengakui, belum semua dana hasil 
IPO dipergunakan karena masih banyak hambatan dalam investasi jalan tol. Hasil 
IPO yang sebesar Rp3,4 triliun memang untuk memperkuat permodalan. 

 Sedangkan, menurut Frans, komitmen terhadap para pemegang saham sudah 
terpenuhi, bahkan setiap tahun meningkat. Sebagai gambaran, pembagian dividen 
pada 2007 sebesar 35% dan 50% pada 2008. Pembagian dividen 2009 akan diputuskan 
dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) pada Februari 2010.

 “Kami rasa (pembagiannya) pada 2009 tak jauh berbeda dari sebelumnya. Namun, 
sebenarnya kami berharap dividennya juga tidak terlalu banyak. Sebab, masih ada 
yang harus dikembalikan untuk memperkuat modal,” ungkapnya.

 Selain PP, PT Garuda Indonesia akan menyusul melakukan IPO. Dana yang akan 
diraup dari hasil penawaran saham tersebut diharapkan mencapai US$300 juta 
hingga US$400 juta.

 Rencana penawaran saham perusahaan penerbangan terbesar milik BUMN ini akan 
berlangsung sesuai dengan jadwal, yakni pada semester pertama 2010. Penjualan 
saham maksimal 40% itu untuk memperkuat permodalan, pengembangan usaha, dan 
penyewaan pesawat.

 Mustafa Abubakar mengakui sudah ada BUMN yang masuk kategori go regional dan 
go global. PT Garuda Indonesia memang sudah pantas melakukan IPO, apalagi 
kinerjanya dua tahun terakhir cukup gemilang.

 Kinerja keuangan perusahaan yang dipimpin Emirsya Star sebagai direktur utama 
tersebut terus membaik dari tahun ke tahun. Kerugian selama 2004 hingga 
sekarang mulai berkurang.

Bahkan, pada 2007 mampu mencetak laba bersih Rp60 miliar dan pada 2008 labanya 
naik signifikan menjadi Rp670 miliar. (*)





  

[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Daftar BUMN Penyumbang Deviden Terbesar

2010-02-08 Terurut Topik Infobank infobanknews.com
Daftar BUMN Penyumbang Deviden Terbesar
Tanggal:  09 Februari 2010 - 09:33 WIB
Sumber: infobanknews.com

Diperkirakan, BTN dan BNI akan lebih banyak menyetor dividen yang lebih besar. 
Bisa jadi persentasenya tidak akan turun, namun jumlahnya akan naik karena 
labanya juga naik besar. Tim Infobank

Data-data dari kantor Kementerian BUMN menyebutkan, 2010 hampir tidak berubah 
kontribusi laba dari BUMN gemuk. Sektor pertambangan, misalnya, dari Pertamina, 
Bukit Asam, dan Aneka Tambang; sektor perbankan dari Bank Rakyat Indonesia 
(BRI), Bank Mandiri, BNI, dan Bank Tabungan Negara (BTN); sementara sektor 
telekomunikasi disumbang Telkom dan Indosat. Merakalah yang selama lima tahun 
terakhir menyumbang dividen besar buat negara.

 Pada 2009 Pertamina yang sempat menyumbang laba besar mengalami penurunan, dan 
PLN yang sebelumnya merugi besar kini sudah dapat bernapas karena mendapat 
suntikan subsidi dari pemerintah. 

 Secara keseluruhan, seperti terungkap dalam laporan keuangan BUMN, terjadi 
penurunan perusahaan yang merugi yang kini menjadi 20 perusahaan dari 30 
perusahaan (sebelumnya).

 Peta setoran dividen pada 2009 diperkirakan tidak berubah jika dilihat dari 
sektornya. Namun, dari sisi persentase bisa jadi akan terjadi perubahan, 
terutama sumbangan dividen dari bank-bank pelat merah, yang saat ini 
membutuhkan tambahan modal untuk memperkuat struktur modal dan ekspansi.

 Sektor perbankan, seperti lazimnya sebuah bank yang terus-menerus membutuhkan 
modal untuk berkembang, tentu tidak bisa lagi diharapkan terlalu banyak. Jika 
2007 dividen yang disetor bank-bank pelat merah ke negara masih 50%, pada 2008 
angkanya menurun menjadi 35% (Bank Mandiri dan BRI). 

 Pada 2009, direksi Bank Mandiri mengusulkan pembagian dividen sebesar 20%-35%, 
tergantung keputusan RUPS tahunan.

 
Kami minta kepada pemerintah agar setoran dividen 2010 bisa diturunkan. 
Apalagi pada tahun 2010 kami memiliki rancana yang membutuhkan tambahan modal 
yang relatif banyak,” kata Agus Martowardojo, beberapa waktu lalu, di Jakarta. 

 Jauh sebelum RUPS bank pelat merah, ternyata Menteri BUMN Mustafa Abubakar 
memberi lampu hijau usulan Bank Mandiri. Namun, itu pun sejauh untuk 
meningkatkan kapasitas modal guna ekspansi bank-bank pelat merah. 

 ”Kalau memang pengurangan dividen memiliki prospek untuk pengembangan usaha, 
nanti kita coba lakukan pembahasan dengan Departemen Keuangan. Kita lihat case 
by case,” kata Mustafa Abubakar kepada wartawan, beberapa waktu lalu.

 Mesti belum menentukan penurunan porsinya, menurut Mustafa Abubakar, 
setidaknya setorannya akan naik dari tahun sebelumnya. Pendeknya, kendati 
porsinya turun, jumlah setorannya naik karena pertumbuhan labanya mengalami 
kenaikan.

 Sebagai simulasi, jika pada 2009 laba Bank Mandiri sebesar Rp6 triliun, untuk 
menyamai setoran dividen Bank Mandiri pada 2008 yang Rp1,85 triliun, maka 
dividen yang harus disetor sekitar 32%. 

 
Itu sangat tergantung dari laba yang dipetik Bank Mandiri. Jika menginginkan 
20%, maka laba yang bisa diraih setidaknya mencapai Rp9,5 triliun. 

 Namun, agaknya Kementerian BUMN akan menyetujui setoran dividen Bank Mandiri 
pada kisaran 25% sampai dengan 30% jika mengacu pada keinginan Mustafa Abubakar 
agar setoran dividen meningkat karena perkiraan laba Bank Mandiri mencapai 
kisaran Rp6 triliun sampai dengan Rp6,5 triliun.

Persentase penurunan dividen ini tentu juga akan diikuti BRI. Selain untuk 
memperkuat struktur modal, untuk ekspansi usaha. BRI dengan perolehan laba yang 
juga meningkat tentu akan mengusulkan setoran dividen yang menurun. 

 Itu didasari kebutuhan BRI akan modal yang relatif mendesak untuk mendukung 
ekspansi yang luar biasa cepat selama lima tahun terakhir dengan pertumbuhan 
aset di atas 124% selama empat tahun terakhir.

 Pada 2008 BRI menyumbang dividen ke negara sebesar Rp2,09 triliun atau setara 
dengan 35% dari laba BRI yang mencapai Rp5,9 triliun. 

 Nah, jika laba BRI berkisar Rp7 triliun, maka setoran dividen cukup sekitar 
30%. Jika lebih laba yang diperoleh BRI, maka setoran dividen cukup 25% sampai 
dengan 30%. 

 Sementara, BNI dan BTN angkanya relatif kecil karena kedua bank ini masih 
membutuhkan modal relatif besar untuk ekspansi. BNI pada 2008 hanya memberi 
setoran dividen sebesar 10% dari laba Rp1,2 triliun, sedangkan BTN menyetor 
dividen sebesar 10% atau Rp43 miliar.

 Diperkirakan, BTN dan BNI akan lebih banyak menyetor dividen yang lebih besar. 
Bisa jadi persentasenya tidak akan turun, namun jumlahnya akan naik karena 
labanya juga naik besar. 

 Sektor keuangan selain perbankan adalah asuransi. Asuransi ini juga relatif 
besar menyetor dividen ke negara. Di asuransi ini ada Jamsostek, Jasindo, Jasa 
Raharja, Jiwasraya, dan Asuransi Kesehatan. 

Pada 2008 sektor asuransi menyetor dividen ke negara sebesar Rp3,29 triliun dan 
diperkirakan 2009 akan menyetor sebesar Rp4,55 triliun. Tapi, entah kenapa pada 
2010 diproyeksikan melorot menjadi Rp4,1 triliun. (*)






  

[Non-text 

[Keuangan] Apa Jadinya Kalau Ada Bank Gagal Lagi?

2010-02-04 Terurut Topik Infobank infobanknews.com
http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1494
 
Apa Jadinya Kalau Ada Bank Gagal Lagi?
Tanggal:  03 Februari 2010 - 11:03 WIB
Sumber: infobanknewsc.om
 
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)—yang lebih banyak audit 
legalnya—juga banyak mendapat respons negatif dari yang diaudit. Apalagi, hasil 
audit tahunan BPK terhadap LPS tentang penyertaan modal sementara di Bank 
Century sudah mendapat opini wajar tanpa pengecualian. Eko B. Supriyanto 
 
Judul di atas merupakan pertanyaan dari seorang bankir dalam sebuah seminar 
dalam rangka penyehatan perbankan. Pertanyaan itu dilandasi oleh kebijakan 
penyehatan perbankan yang dilakukan pemerintah yang dinilai dipolitisasi dan 
dikriminalisasi. 
 
Bahkan, sekarang masalah penyehatan atau penyelamatan (bailout) perbankan 
menjadi tontonan publik yang membingungkan dan mulai kehilangan substansi 
persoalan. Bahkan, industri perbankan yang membayar premi atas dana nasabah ke 
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seolah-olah tidak diajak bicara.
 
Kasus Bank Century adalah contoh yang terang-benderang bahwa kebijakan 
penyelamatan perbankan masuk wilayah politik dan juga masuk wilayah hukum. 
Padahal, kebijakan yang diambil kalau toh disebut kesalahan tidak otomatis 
dianggap sebagai sebuah kejahatan. Tidak serta-merta sebuah kebijakan yang 
salah langsung divonis menjadi sebuah tanggung jawab hukum atau sebuah 
kejahatan.
 
Sejatinya, lahirnya Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century dimaksudkan 
untuk penyelidikan politik, untuk mencari kebenaran.
 
Namun, dari pertanyaan para anggota pansus terhadap para saksi, terlihat para 
anggota pansus ini lebih banyak mencari pembenaran dari pikiran dan asumsinya 
sendiri. Atau, lebih condong mencari kesalahan dari para saksi. Pertanyaan yang 
kerap diajukan lebih dominan seperti pertanyaan seorang jaksa kepada tersangka.
 
Bahkan, jika ada jawaban dari saksi yang dianggap tidak sesuai dengan jalan 
pikiran penanya (anggota pansus), dengan cepat penanya menghardik saksi dengan 
mengatakan, “Saksi disumpah dan jangan sekali-kali berbohong”.
 
Banyak pula pertanyaan yang dilontarkan anggota pansus yang dasarnya berupa isu 
dan rumor serta lebih banyak pendapat, bukan sebuah fakta.
 
Semua dilihat dari waktu dan situasi yang melandasi kebijakan tersebut. 
Apalagi, sekarang ini dalam kebijakan penyelamatan Bank Century tidak ditemukan 
adanya kejahatan, kecuali yang dilakukan pemilik lama dengan berbagai 
akrobatnya.
 
Kebijakan penyertaan modal sementara LPS dilakukan dalam situasi krisis. 
Penyelamatan Bank Century bukan untuk menyelamatkan satu bank ataupun pemilik, 
melainkan menyelamatkan industri perbankan secara keseluruhan.
 
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)—yang lebih banyak audit 
legalnya—juga banyak mendapat respons negatif dari yang diaudit. Apalagi, hasil 
audit tahunan BPK terhadap LPS tentang penyertaan modal sementara di Bank 
Century sudah mendapat opini wajar tanpa pengecualian.
 
Sementara, berganti pemimpin, dalam audit investigasi BPK ditemukan beberapa 
pelanggaran. Kenyataan itulah yang membuat hasil audit BPK menimbulkan banyak 
pertanyaan.
 
Banyak analisis dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan penyelamatan 
Bank Century. Namun, ada dua hal yang bisa disebutkan di sini, yaitu kelompok 
yang tidak setuju dan kelompok yang setuju dengan penyelamatan Bank Century.
 
Kedua kelompok tersebut saling berargumentasi dengan pendapat yang sama-sama 
ilmiah. Salah satu masalah yang paling menonjol yaitu dalam melihat sistemik 
dan tidak sistemiknya Bank Century.
 
Kelompok yang tidak setuju penyelamatan menganggap bahwa Bank Century tidak 
sistemik, sementara kelompok yang pro kebijakan penyelamatan menganggap bahwa 
penutupan Bank Century bisa berdampak sistemik karena situasi pada saat itu 
sungguh mencekam.
 
Bank-bank pada saat itu satu sama lain saling tidak percaya untuk memberikan 
pinjaman antarbank, sehingga kalau ada bank yang ditutup dampaknya akan 
menjalar ke mana-mana. (*)
 
 


  

[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis

2010-02-03 Terurut Topik Infobank infobanknews.com

http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1497
Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis
Tanggal:  03 Februari 2010 - 12:31 WIB
Sumber: infobanknews.com

Jika sikap publik dan DPR terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami 
konspirasi kasus BLBI, maka pada masa-masa yang akan datang jika ada bank 
gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Eko B. 
Supriyanto 

 

Sistemik dan tidak sistemik merupakan wilayah perdebatan yang tak berpangkal. 
Namun, hampir semua pengamat ekonomi sepakat bahwa pada saat dilakukan 
penyelamatan Bank Century (20 November 2008) sedang dalam kondisi krisis.

 

Sementara, para ekonom yang tidak setuju penyehatan sekarang ini, ternyata pada 
saat dilakukan penyehatan hampir semua berpandangan pada waktu itu kita sedang 
dicekam krisis akibat krisis keuangan global.

 

Tidak hanya itu. Kelompok yang kontra kebijakan penyehatan menilai, LPS bakal 
merugi ketika dilakukan divestasi. Menurut mereka, dana yang digelontorkan ke 
Bank Century sebesar Rp6,7 triliun jika dimasukkan ke dalam Sertifikat Bank 
Indonesia (SBI) dengan suku bunga rata-rata 6,5% saja pada lima tahun mendatang 
bisa mencapai kisaran Rp9 triliun-Rp10 triliun.

 

Hitung-hitungan itu memang tidak salah. Tapi, menyesatkan publik sebab LPS 
bukanlah sebuah lembaga profit atau investment bank, melainkan lembaga yang 
tugasnya menjamin dan menyehatkan bank. Harusnya juga dihitung, kalau ditutup, 
berat ongkosnya.

 

Menurut data LPS, jika ditutup pada saat itu, biaya penjaminan sebesar Rp6,4 
triliun. Itu biaya langsung. Belum biaya yang akan muncul, seperti efek domino. 

 

Jadi, penyelamatan Bank Century harusnya dilihat juga efeknya bagi perbankan 
nasional. Situasi perbankan sekarang ini yang relatif tidak rusak tidak 
serta-merta karena penyehatan Bank Century.

 

 Namun, karena kebijakan pengambilalihan bank tersebut ternyata tidak berefek 
buruk terhadap bank-bank lain. Bank Century yang disehatkan itu suatu saat bisa 
dijual dan selama hidupnya Bank Century akan memberikan kredit, mendorong 
pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak.

 

Kenyataan itulah yang ditutupi para pengamat yang antipenyelamatan. Padahal, 
penyehatan perbankan bukan sebuah matematika tentang untung rugi, melainkan 
lebih banyak mengurangi biaya yang lebih besar.

 

Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata, 
melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran.

 

Pengalaman masa lalu, yaitu ditutupnya 16 bank yang berukuran kecil ternyata 
menjadi bencana yang tidak pernah terlupakan oleh perbankan. Biaya yang 
dibutuhkan hingga mencapai Rp650 triliun dengan menelan uang anggaran 
pendapatan dan belanja negara (APBN). 

 

Harusnya Pansus Hak Angket Bank Century tidak berputar-putar pada masalah 
apakah penutupan Bank Century berdampak sistemik atau tidak sistemik, tapi 
lebih fokus pada persoalan apakah ada aliran dana yang tidak semestinya atau 
tidak.

 

Sebab, kebijakan yang diambil bisa saja salah kalau toh dianggap salah. Tapi, 
kebijakan yang salah itu tidak bisa dikriminalisasi atau dianggap sebagai 
sebuah kejahatan.

 

Jika sikap publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap penyehatan bank 
senantiasa diilhami konspirasi kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), 
maka pada masa-masa yang akan datang, jika ada bank gagal, sulit rasanya akan 
diambil sebuah langkah penyelamatan. 

 

Bahkan, jika ada bank gagal, maka akan didor (dilikuidiasi) saja. Selesai 
persoalan. Jika hal itu menjadi pikiran pengambil keputusan, maka bank-bank 
sekarang rasanya tidak mempunyai payung jika terjadi krisis. Hati-hatilah.

 

Kenyataan itu tentu tidak menguntungkan industri perbankan yang selama ini 
membayar premi atas dana nasabahnya. Penyelesaian yang berlarut-larut atas 
kasus Bank Century juga tidak kondusif bagi perbankan.

 

Industri perbankan yang membayar premi atas dana nasabahnya tentunya 
menginginkan penyelesaian kasus Bank Century yang proporsional. Tidak harus 
menghukum kebijakan karena pada akhirnya perbankan yang akan merugi. (*)



  

[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Hasil Survei Gaji CEO Bank di Asia

2010-01-06 Terurut Topik Infobank infobanknews.com
Tanggal:  07 Januari 2010 - 09:52 WIB
Sumber: infobanknews.com


Sejumlah bank besar di Asia Pasifik saat ini masih dipimpin para ekspatriat. 
Namun, dalam aspek remunerasi, besar ternyata bukan berarti dibayar paling 
baik. Nugroho Irawan

 
Studi yang dilakukan The Asian Banker dan Hay Group menunjukkan, total 
penghasilan para chief executive officer (CEO) bank di Asia telah mengalami 
penurunan sebesar 11,3% sejak 2007.

 
“Dalam tahun yang sulit, penurunan penghasilan CEO dapat dipahami, terutama 
bagi para bankir yang lebih dari 75% total remunerasi mereka tergantung pada 
pencapaian kinerja bank,” seperti diutarakan studi tersebut.

 
The Asian Banker merupakan salah satu publikasi finansial terkemuka, sedangkan 
Hay Group adalah perusahaan konsultan manajemen global.

 
 “Dalam survei kami di tahun 2009, 50 CEO dengan penghasilan tertinggi menerima 
US$86,25 juta secara keseluruhan, sedangkan di dua tahun sebelumnya mereka 
menerima US$88,6 juta. Selisih penghasilan bagi 10 bankir tertinggi bahkan 
lebih besar, namun mereka menerima kombinasi US$50 juta di tahun 2009, 
dibandingkan dengan US$54,4 juta di tahun 2007, (mengalami) penurunan sebesar 
11,3%,” masih seperti diutarakan studi tersebut.

 
Semantara itu, kompensasi para CEO bank di Asia Pasifik (dan ekuivalennya) 
telah mengalami penurunan sejak terakhir kali survei ini dilakukan, yaitu pada 
2007, karena makin banyak bank yang mengadopsi remunerasi berbasis kinerja.

 
Studi itu juga menunjukkan bahwa para pemimpin bank besar milik negara yang 
pada umumnya memiliki keuntungan besar dibayar lebih rendah dibandingkan dengan 
rekan mereka di bank swasta.

 
“Bank-bank di Asia Pasifik patut berbangga karena mereka tetap memperoleh 
keuntungan di tengah krisis finansial global. Hal ini lebih dikarenakan mereka 
terkait dengan ekonomi yang bertumbuh, di mana mereka tidak perlu mengambil 
risiko berlebihan untuk memperoleh keuntungan,” tutur Peter Hoflich, Managing 
Editor The Asian Banker.

 
Peter menambahkan, top eksekutif mereka ternyata diberikan kompensasi yang 
lebih wajar dan budaya risikonya tidak terlalu mendorong mereka untuk mencari 
pertumbuhan dari aktivitas yang diragukan.

 
Namun, penekanan yang semakin besar pada matriks berbasis kinerja mungkin pada 
akhirnya akan mengarah pada praktik tidak tepat bila tidak terdapat 
perlindungan yang tepat.

 
Dari sembilan bank Australia dalam studi tersebut, tujuh di antaranya masuk 
dalam 10 besar, termasuk dalam empat urutan teratas. Mike Smith dari ANZ 
merupakan pemimpin bank dengan penghasilan tertinggi dengan total remunerasi 
hampir mencapai US$9 juta.

 
CEO Commonwealth Bank of Australia, Westpac Banking Corp, dan NAB ada di urutan 
berikutnya dengan penghasilan masing-masing sekitar US$6 juta.

 
Sejumlah bank besar di Pasifik telah atau saat ini masih dipimpin para 
ekspatriat. Namun, dalam aspek remunerasi, besar bukan berarti dibayar paling 
baik. Bahkan, CEO bank milik negara ICBC, bank dengan tingkat keuntungan 
terbesar di dunia pada 2008, hanya menerima total remunerasi yang relatif 
kecil, yakni sebesar US$225.000 per tahun.

 
Secara khusus, CEO bank badan usaha milik negara (BUMN) terbesar di Malaysia, 
Maybank, hanya memperoleh 5% dari tiga rekannya yang memimpin bank swasta 
dengan bayaran terbaik di bank-bank swasta dan kurang dari 10% dari total 
remunerasi yang diterima pendahulunya, Amirsham Aziz.

 
The Asian Banker pertama kali memublikasikan 50 CEO dengan penghasilan 
tertinggi (atau ekuivalennya) pada 2007. Saat itu daftar ini dirajai CEO 
Macquarie Bank, Alan Moss, yang membawa pulang US$15 juta. Tahun ini CEO 
Macquarie Bank saat ini, Nicholas Moore, jatuh pada posisi ketujuh dengan 
remunerasi hanya US$4,7 juta.

 
Kelima CEO bank dengan peringkat tertinggi dalam mengadopsi remunerasi berbasis 
kinerja adalah orang-orang yang baru diangkat. Hal ini menunjukkan bahwa 
kinerja merupakan faktor utama dalam suksesi.

 
Namun, hal ini berbeda bagi CEO baru UOB dan Macquarie Group. Meskipun mereka 
berada di posisi atas dalam tabel Performance-Based Pay, yaitu masing-masing 
91,6% (posisi pertama) dan 86,9% (posisi keempat), mereka sebenarnya memiliki 
persentase yang lebih rendah dibandingkan dengan pendahulu mereka.

 
Porsi performance-based pay telah mengalami kenaikan skala di sebagian besar 
grafik, baik bagi CEO yang telah ada maupun baru, terutama pada bagian teratas.

 
Bank-bank di Asia Tenggara sepertinya telah tertular performance-based bug, 
terutama bank terbesar di Malaysia, Maybank. CEO bank ini pada 2007, Amisham 
Aziz, menerima 52,1% dari total remunerasi berdasarkan kinerja.

 
Sedangkan CEO barunya, Abdul Wahid Omar, memperoleh 80,3% total pendapatannya 
dari remunerasi berdasarkan pencapaian tingkat kinerja. 

 
Penulis adalah Director of Hay Group.


http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1204





  

[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Lima Alasan Kenapa Century Berdampak Sistemik

2009-12-10 Terurut Topik Infobank infobanknews.com
Lima Alasan Kenapa Century Berdampak Sistemik

http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=960

Tanggal: 10 Desember 2009

Sumber: infobanknews.com

Jangan sampai, politisasi terhadap penyehatan bank akan
membuat pengambil keputusan takut mengambil keputusan jika ada bank
yang ukurannya lebih besar mengalami kegagalan. Biro Riset Infobank


 
Kasus Bank Century menimbulkan pertanyaan apakah berdampak sistemik
atau tidak jika diputuskan untuk ditutup pada November 2008 lalu? 
 
Kita lihat dampak pertama, yaitu kondisi sistem pembayaran.
Sistem pembayaran boleh jadi berjalan normal, namun dengan gejala
segmentasi di pasar uang antarbank (PUAB) yang makin meluas. 
 
Bukan hanya itu. Terdapat potensi kerentanan apabila terjadi flight to quality 
atau capital outflow yang mengakibatkan bank-bank menengah-kecil akan mengalami 
kesulitan likuditas. 
 
Bahkan, terdapat 18 bank yang berpotensi mengalami kesulitan
likuiditas bila hal tersebut terjadi. Di sisi lain, ada lima bank yang
memiliki karakteristik mirip Bank Century diduga akan mengalami
kesulitan likuiditas.
 
Kepanikan seperti itu membuat bank-bank cenderung menahan
likuiditas, baik rupiah maupun valuta asing (valas), untuk keperluan
likuiditasnya masing-masing. 
 
Kondisi seperti ini akan membahayakan bank-bank yang tidak memiliki kekuatan 
likuiditas yang cukup. 
 
Lebih mengerikan lagi, jika kemudian muncul rumor atau berita negatif mengenai 
kegagalan bank dalam settlement kliring/real time gross settlement (RTGS), hal 
ini akan dengan cepat memicu terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat dan 
berpotensi menimbulkan bank run. 





Disebut-sebut, dari 23 bank tersebut ada Rp30 triliun yang
berpotensi fligt to quality. Dari jumlah itu, ada sekitar Rp18 triliun
yang akan menjadi beban LPS jika dilakukan penutupan. 
 
Kedua, dampak terhadap pasar keuangan. Ketika itu, situasi pasar keuangan masih 
relatif labil dalam menyerap berita-berita negatif. 
 
Waktu itu terdapat potensi sentimen negatif di pasar keuangan,
terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap berita-berita
yang dapat merusak kepercayaan terhadap pasar keuangan.
 
Ketiga, dampak kepercayaan publik atau psikologis pasar.
Penutupan bank dapat menambah ketidakpastian pada pasar domestik dan
diyakini dapat berakibat fatal pada psikologi pasar yang sedang
sensitif. 
 
Pada waktu itu rumor kalah kliring dan situasi rawan fligt to quality sedang 
terjadi dengan isu-isu bank kekurangan likuiditas dan negera-negara tetangga 
menerapkan kebijkan penjaminan 100%. 
 
Psikologi pasar inilah yang bisa memorak-porandakan sistem keuangan, kendati 
bank tersebut berukuran kecil.
 
Keempat, berdampak pada bank lain. Jujur, harus diakui,
jika dilihat dari peran bank memang tidak signifikan dalam hal
fungsinya sebagai lembaga intermediasi atau pemberian kredit, ukuran
bank, substitutability, dan keterkaitan dengan bank atau lembaga keuangan lain. 
 
Namun, dari sisi jumlah nasabah dan jaringan kantor cabang, bank ini
termasuk memiliki jumlah nasabah yang cukup besar (65.000 nasabah) dan
jaringan cukup luas di seluruh Indonesia dengan 65 kantor. 
 
Itu artinya, dalam kondisi pasar yang normal, jika bank ini ditutup,
diperkirakan relatif tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank
lain. 
 
Namun, dalam kondisi pasar yang saat itu cenderung rentan terhadap 
berita-berita negatif, penutupan bank berpotensi menimbulkan contagion effect 
berupa upaya rush terhadap bank-bank lain, terutama peer banks atau bank yang 
lebih kecil.
 
Situasinya ketika itu sedang terjadi penurunan kepercayaan
masyarakat akibat psikologi pasar yang tidak menentu. Bahkan, akan
menimbulkan kekacauan yang lebih besar dan dapat menyeret bank-bank
lain.
 
Kelima, kondisi sektor riil dan sistem keuangan. Saat itu,
menurut data-data, kondisi sistem keuangan mengalami tekanan sejalan
dengan kondisi ekonomi dan keuangan global yang terus memburuk. 
 
Hal yang sama juga terjadinya penurunan cadangan devisa dan tekanan
terhadap nilai tukar rupiah. Namun, karena perannya pada pemberian
kredit terhadap sektor riil tidak signifikan, kegagalan bank ini
memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap sektor riil
 
Nah, jika memperhatikan kenyataan pada November 2008, permasalahan
yang terjadi pada Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik,
terutama melalui jalur psikologi pasar, sistem pembayaran, dan pasar
keuangan. Psikologi pasar bisa merembet ke bank-bank yang lebih besar
sehingga menimbulkan kekacauan (rush). 
 
Itu artinya, kondisi saat pengambilalihan perlu diperhatikan. Tidak
bisa dilihat dari kacamata sekarang ini. Hanya, sialnya, dalam situasi
yang sistemik dengan psikologi pasar yang tak menentu, celakanya
terjadi pada Bank Century, yang sebelum diambil alih dikelola dengan
penuh moral hazard. 
 
Penulis yakin, hal yang sama juga akan dilakukan jika terjadi pada
bank lain karena memang situasi pada setahun lalu sangat rawan rush.
Psikologi masyarakat sangat rentan akan terjadinya bank run.