[Millis AKI- stop smoking] Sekilas Tentang Draf RUU OJK
http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1889 Tanggal: 15 Maret 2010 - 13:16 WIB Sumber: infobanknews.com Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdiri atas amanat undang-undang. Pendiriannya pun akan diperkuat payung hukum. Seperti apa draf payung hukum OJK? Karnoto Mohamad Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sudah lama memunculkan kontroversi sudah ada di depan mata. Sebab, batas waktu pendirian OJK seperti diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (BI) adalah akhir 2010. Jika OJK atau di luar negeri disebut Financial Services Authority (FSA) dibentuk, bukan hanya lembaga perbankan yang pengawasannya diambil alih OJK, melainkan juga institusi jasa keuangan lain. Di dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK yang diperoleh infobanknews.com pada Februari 2010 lalu dijelaskan bahwa OJK akan mengawasi lembaga jasa keuangan yang terdiri atas bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, bursa efek, bursa berjangka, dan badan penyelenggara program jaminan sosial, asuransi, atau pensiun yang bersifat wajib. RUU yang terdiri atas 106 pasal itu menyebutkan, tujuan pembentukan OJK adalah agar sektor jasa keuangan dalam melakukan kegiatannya dapat berfungsi secara sehat, kompetitif, stabil, dan aman. Pasal 51 RUU itu menjelaskan, tugas OJK sebagai berikut: a. Mengatur dan mengawasi pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan yang diselenggarakan lembaga jasa keuangan. b. Menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. c. Melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pemahaman dan memelihara kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan. d. Melakukan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan yang wajar terhadap konsumen dari sektor jasa keuangan. e. Mengurangi tingkat kejahatan keuangan. Sedangkan kewenangannya dijelaskan pada pasal 52, yakni: a. Membuat dan menetapkan peraturan sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. b. Memberi dan mencabut izin untuk melakukan kegiatan di bidang jasa keuangan. c. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan. d. Melakukan tindakan tertentu untuk mengurangi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan dan tingkat kejahatan keuangan. e. Melakukan wewenang lain yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. f. Mengenakan sanksi atas pelanggaran terhadap perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Secara kelembagaan, OJK akan dipimpin dewan komisioner sebagai pemimpin OJK yang namanya diusulkan presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dewan komisioner akan dipimpin seorang ketua dewan komisioner yang merangkap sebagai anggota dewan komisioner. Secara operasional, kegiatan OJK akan diselenggarakan kepala eksekutif yang juga merangkap sebagai dewan komisioner. Dalam hal koordinasi, OJK bekerja sama dengan BI untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing demi mendukung stabilitas sistem keuangan. Dalam membuat kebijakan di bidang perbankan yang berdampak pada bidang moneter dan sistem pembayaran, OJK berkonsultasi dengan BI. Kedua lembaga ini juga wajib saling memberi informasi dalam membantu kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing. Selain dengan BI, OJK bekerja sama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan wajib memberikan informasi berkala kepada LPS tentang laporan keuangan bank yang telah diaudit, hasil pemeriksaan bank, dan kondisi kesehatan bank. OJK juga secara berkala menyampaikan laporan secara tertulis kepada menteri keuangan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan efisiensi, keamanan, stabilitas sistem keuangan, dan kewajaran di bidang jasa keuangan atau kejahatan keuangan. Jika ada indikasi terjadinya kesulitan pada sebuah bank yang berpotensi menimbulkan risiko sistemik terhadap perekonomian keuangan, OJK segera memberi tahu menteri keuangan sekaligus memintanya untuk memimpin rapat dengan BI, OJK, dan LPS. Dalam hal kepentingan nasional, OJK juga bisa mendapat pengarahan dari presiden. (*) [Non-text portions of this message have been removed]
[Keuangan] Tantangan BUMN 2010
http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1593 Tanggal: 11 Februari 2010 - 14:49 WIB Sumber: infobanknews.com Suka tidak suka, kita perlu menyadari bahwa BUMN kita jauh tertinggal. Bahkan, dibandingkan dengan BUMN negara lain, khususnya BUMN negeri jiran yang dulu belajar dari kita. Riant Nugroho Mustafa Abubakar, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memulai pekerjaannya dengan prinsip yang patut diapresiasi: transparansi. Sebuah konferensi awal tahun Kementerian BUMN dengan tema “Refleksi 2009 dan Proyeksi 2010” dihelat pada awal Januari 2010. Dipaparkan bahwa target BUMN 2010, laba bersih Rp90 triliun, naik dari laba (prognosis) 2009 senilai Rp74 triliun, sedangkan pendapatan usaha naik 13% dibandingkan dengan 2009 (prognosis) senilai Rp930 triliun menjadi Rp1.050 triliun. Menarik pendekatan yang ditawarkan Menneg BUMN, yakni mengurangi jumlah BUMN yang merugi, dari 20 BUMN menjadi 10 BUMN (separuhnya). Strategi yang ditawarkan, antara lain rightsizing, merger, hingga penyuntikan modal antar-BUMN. Sebelum menilik strategi yang ditawarkan Menneg BUMN tersebut, ada baiknya kita menilik BUMN milik negara tetangga. Salah satu yang hendak kita jadikan perbandingan adalah Petronas, perusahaan pertambangan minyak bumi dan gas alam milik Malaysia, perusahaan yang didirikan dengan belajar dari Indonesia. Fortune edisi Juli 2009 menampilkan 500 perusahaan terbesar dunia. Petronas berada pada ranking 80 dengan total revenue dalam rupiah sekitar Rp750 triliun dan laba sekitar Rp150 triliun. Dalam hal pendapatan usaha, Petronas “seorang diri” saja sudah 75% dari total pendapatan BUMN yang ditargetkan pada 2010. Laba bersih Petronas pun lebih besar daripada laba seluruh BUMN yang ditargetkan pada 2010. Belum lagi dibandingkan dengan Sinopec, “Pertamina”-nya Cina yang pada 2009 dilaporkan memiliki pendapatan usaha US$207 miliar (setara dengan Rp2.000 triliun), mendekati aset total BUMN 2009, yaitu Rp2.150 triliun. Ada tiga pelajaran yang dapat kita petik. Satu, suka atau tidak, kita perlu menyadari bahwa BUMN kita jauh tertinggal. Bahkan, dibandingkan dengan BUMN negara lain, khususnya BUMN negeri jiran yang dahulu belajar dari kita. Saya teringat, pada pertemuan chief executive officer (CEO) BUMN di Bali pada 2003, seorang pejabat tinggi Petronas diundang sebagai pembicara untuk menceritakan kisah suksesnya. Dengan suara merendah, ia berkata, “Bagaimana saya harus bercerita, karena kami dulu diajari oleh Indonesia.” Saya percaya, beliau tidak bermaksud menyinggung, apalagi menyakiti. Tapi, di situ saya tetap terpukul malu. Dua, korporasi tetap korporasi. Jadi, untuk maju tetap relevan melakukan benchmarking kepada korporasi lain. Pernah seorang pejabat tinggi BUMN berkata, “BUMN Indonesia itu berbeda dengan BUMN di negara lain mana pun. Jadi, jangan pernah membuat perbandingan. Tidak ada gunanya.” Mungkin ada benarnya. Namun, tampaknya pelajaran terbaik untuk maju adalah belajar kepada yang lebih baik. Benchmarking mencegah kita terbelenggu tempurung keyakinan semu. Tiga, strategi yang dikemukakan di atas adalah baik. Namun, sesungguhnya kita memerlukan lebih dari sekadar strategi tersebut untuk membuat BUMN benar-benar menjadi korporasi yang dapat dibanggakan. Untuk itu, ditawarkan empat strategi. Pertama, reorientasi, yaitu sungguh-sungguh mengubah cara pandang tentang BUMN. BUMN adalah korporasi atau entitas bisnis, terlepas dari apa pun amanat kebangsaan yang dilekatkan kepadanya. Inti dari reorientasi adalah korporatisasi BUMN. Konsekuensinya, BUMN tidak boleh secara sewenang-wenang diintervensi oleh politik dan birokrasi. Penetapan direksi tidak lagi menjadi mandat tunggal dari kekuasaan politik dan birokrasi. Direksi tidak lagi boleh dengan sewenang-wenang dipanggil ke Senayan. Untuk melakukan aksi korporasi, BUMN tidak lagi harus “sowan-sowan” ke birokrasi dan menunggu “kebaikan hati” dari birokrasi untuk mengizinkan BUMN bersangkutan melakukan aksi korporasinya. Selama BUMN dianggap sebagai bagian dari politik dan birokrasi, BUMN tetap merupakan kepanjangan dari badan usaha milik naon wae. Badan usaha milik siapa saja, deh. Kedua, restrukturisasi, yang dimulai dengan memisahkan BUMN yang profit oriented (PO) dan non for profit oriented (NfPO). BUMN PO diarahkan ke strategi holdingisasi ke dalam 10-12 superholding. Teori bisnis klasik: size matter. Baik dalam mencari akses permodalan maupun aksi korporasi yang lain. Holding adalah sinergi, dalam hal ini satu tambah satu hasilnya lebih dari dua. BUMN yang siap membentuk superholding adalah perkebunan dan pupuk. Ketiga, profitisasi, yaitu menjadikan setiap superholding menjadi entitas bisnis yang memberikan laba luar biasa. Jika BUMN sudah menjadi badan usaha yang sehat dan memiliki laba yang besar, ia akan memberikan hasil yang optimal kepada pemegang saham pada saat diprivatisasi. Privatisasi adalah langkah keempat yang perlu dilakukan agar
[Keuangan] Privatisasi BUMN Tidak Sekedar Kejar Setoran
http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1574 Tanggal: 10 Februari 2010 - 14:14 WIB Sumber: infobanknews.com Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merilis sebuah kebijakan untuk mendorong korporasi yang sehat. Menurut Mustafa Abubakar, Menteri BUMN, serta 141 BUMN, prosesnya membutuhkan pendataan mana perusahaan yang harus dimerger atau ditata ulang, re-grouping, dan di-holding. Tahapannya dimulai dari maping, re-grouping, right sizing, hingga holding. Pada tahap right sizing akan tampak dan terjadi peningkatan profitisasi, kemudian baru dilakukan privatisasi. “Efisiensi dan sinergitas antar-BUMN sangat penting. Selain meningkatkan produktifitas, juga kualitas pelayanan. Era 2010 adalah momentum bagus untuk meningkatkan kinerja BUMN,” tegas Mustafa Abubakar. Sebenarnya, konsep privatisasi yang ditawarkan pemerintahan jilid II tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Program privatisasi BUMN akan terus bergulir selama memenuhi aturan yang berlaku. Jika pemerintah mengandalkan privatisasi guna memenuhi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sepertinya tahun ini hal itu tidak bisa diharapkan sepenuhnya. Dana hasil privatisasi tersebut digunakan untuk ekspansi dan APBN. Dalam jumpa pers awal tahun, Kementerian BUMN menyampaikan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak lagi menargetkan dana Rp500 miliar dari privatisasi BUMN. Sebagai gantinya, setoran dividen BUMN-BUMN dinaikkan dari Rp26,1 triliun menjadi Rp28,6 triliun. BUMN yang telah mendapatkan persetujuan DPR untuk privatisasi pada 2009, antara lain PT BTN, PT Garuda Indonesia, PT Pembangunan Perumahan (PP), PT Krakatau Steel, PT Waskita Karya, dan PT Adhi Karya. PT BTN dan PP sudah melakukan initial public offering (IPO). Sedangkan, tiga lainnya diproses pada 2010. Privatisasi melalui jalan IPO sepertinya menjadi alternatif yang dipilih beberapa BUMN. Dengan masuknya 14 BUMN di lantai bursa, IPO BTN dan PP akan menambah deretan saham BUMN di Bursa Efek Indonesia (BEI). IPO dinilai paling efektif untuk meraih dana murah. Parameternya adalah BTN sebagai satu-satunya BUMN yang go public pada 2009 dan mengantongi dana hasil IPO mencapai Rp1,88 triliun. PP berencana mengikuti jejak BTN dengan target dana hasil IPO sebesar Rp832 miliar. Ekuitasnya akan berjumlah Rp1,2 triliun. Nantinya, sekitar 41% dari dana hasil IPO akan digunakan PP untuk memperkuat modal kerja. Sisanya dianggarkan untuk dana investasi. PP akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 2 x 150 megawatt milik PT Krakatau Daya Listrik. PP mesti menyetor porsi modal 20%-49% dari total nilai proyek yang Rp 3,3 triliun. Selain itu, PP akan menyelesaikan proyek hotel di Bali dan Bandung serta pusat komersial di Surabaya. Lalu, bagaimana komitmen perusahaan BUMN yang sudah go public, terutama dalam hal setoran ke kas negara melalui dividen? Apakah dana IPO sudah dioptimalkan atau belum digunakan alias mengendap di perusahaan tersebut? Frans S. Sunito, Direktur Utama PT Jasa Marga, mengakui, belum semua dana hasil IPO dipergunakan karena masih banyak hambatan dalam investasi jalan tol. Hasil IPO yang sebesar Rp3,4 triliun memang untuk memperkuat permodalan. Sedangkan, menurut Frans, komitmen terhadap para pemegang saham sudah terpenuhi, bahkan setiap tahun meningkat. Sebagai gambaran, pembagian dividen pada 2007 sebesar 35% dan 50% pada 2008. Pembagian dividen 2009 akan diputuskan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) pada Februari 2010. “Kami rasa (pembagiannya) pada 2009 tak jauh berbeda dari sebelumnya. Namun, sebenarnya kami berharap dividennya juga tidak terlalu banyak. Sebab, masih ada yang harus dikembalikan untuk memperkuat modal,” ungkapnya. Selain PP, PT Garuda Indonesia akan menyusul melakukan IPO. Dana yang akan diraup dari hasil penawaran saham tersebut diharapkan mencapai US$300 juta hingga US$400 juta. Rencana penawaran saham perusahaan penerbangan terbesar milik BUMN ini akan berlangsung sesuai dengan jadwal, yakni pada semester pertama 2010. Penjualan saham maksimal 40% itu untuk memperkuat permodalan, pengembangan usaha, dan penyewaan pesawat. Mustafa Abubakar mengakui sudah ada BUMN yang masuk kategori go regional dan go global. PT Garuda Indonesia memang sudah pantas melakukan IPO, apalagi kinerjanya dua tahun terakhir cukup gemilang. Kinerja keuangan perusahaan yang dipimpin Emirsya Star sebagai direktur utama tersebut terus membaik dari tahun ke tahun. Kerugian selama 2004 hingga sekarang mulai berkurang. Bahkan, pada 2007 mampu mencetak laba bersih Rp60 miliar dan pada 2008 labanya naik signifikan menjadi Rp670 miliar. (*) [Non-text portions of this message have been removed]
[Keuangan] Daftar BUMN Penyumbang Deviden Terbesar
Daftar BUMN Penyumbang Deviden Terbesar Tanggal: 09 Februari 2010 - 09:33 WIB Sumber: infobanknews.com Diperkirakan, BTN dan BNI akan lebih banyak menyetor dividen yang lebih besar. Bisa jadi persentasenya tidak akan turun, namun jumlahnya akan naik karena labanya juga naik besar. Tim Infobank Data-data dari kantor Kementerian BUMN menyebutkan, 2010 hampir tidak berubah kontribusi laba dari BUMN gemuk. Sektor pertambangan, misalnya, dari Pertamina, Bukit Asam, dan Aneka Tambang; sektor perbankan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, BNI, dan Bank Tabungan Negara (BTN); sementara sektor telekomunikasi disumbang Telkom dan Indosat. Merakalah yang selama lima tahun terakhir menyumbang dividen besar buat negara. Pada 2009 Pertamina yang sempat menyumbang laba besar mengalami penurunan, dan PLN yang sebelumnya merugi besar kini sudah dapat bernapas karena mendapat suntikan subsidi dari pemerintah. Secara keseluruhan, seperti terungkap dalam laporan keuangan BUMN, terjadi penurunan perusahaan yang merugi yang kini menjadi 20 perusahaan dari 30 perusahaan (sebelumnya). Peta setoran dividen pada 2009 diperkirakan tidak berubah jika dilihat dari sektornya. Namun, dari sisi persentase bisa jadi akan terjadi perubahan, terutama sumbangan dividen dari bank-bank pelat merah, yang saat ini membutuhkan tambahan modal untuk memperkuat struktur modal dan ekspansi. Sektor perbankan, seperti lazimnya sebuah bank yang terus-menerus membutuhkan modal untuk berkembang, tentu tidak bisa lagi diharapkan terlalu banyak. Jika 2007 dividen yang disetor bank-bank pelat merah ke negara masih 50%, pada 2008 angkanya menurun menjadi 35% (Bank Mandiri dan BRI). Pada 2009, direksi Bank Mandiri mengusulkan pembagian dividen sebesar 20%-35%, tergantung keputusan RUPS tahunan. Kami minta kepada pemerintah agar setoran dividen 2010 bisa diturunkan. Apalagi pada tahun 2010 kami memiliki rancana yang membutuhkan tambahan modal yang relatif banyak,” kata Agus Martowardojo, beberapa waktu lalu, di Jakarta. Jauh sebelum RUPS bank pelat merah, ternyata Menteri BUMN Mustafa Abubakar memberi lampu hijau usulan Bank Mandiri. Namun, itu pun sejauh untuk meningkatkan kapasitas modal guna ekspansi bank-bank pelat merah. ”Kalau memang pengurangan dividen memiliki prospek untuk pengembangan usaha, nanti kita coba lakukan pembahasan dengan Departemen Keuangan. Kita lihat case by case,” kata Mustafa Abubakar kepada wartawan, beberapa waktu lalu. Mesti belum menentukan penurunan porsinya, menurut Mustafa Abubakar, setidaknya setorannya akan naik dari tahun sebelumnya. Pendeknya, kendati porsinya turun, jumlah setorannya naik karena pertumbuhan labanya mengalami kenaikan. Sebagai simulasi, jika pada 2009 laba Bank Mandiri sebesar Rp6 triliun, untuk menyamai setoran dividen Bank Mandiri pada 2008 yang Rp1,85 triliun, maka dividen yang harus disetor sekitar 32%. Itu sangat tergantung dari laba yang dipetik Bank Mandiri. Jika menginginkan 20%, maka laba yang bisa diraih setidaknya mencapai Rp9,5 triliun. Namun, agaknya Kementerian BUMN akan menyetujui setoran dividen Bank Mandiri pada kisaran 25% sampai dengan 30% jika mengacu pada keinginan Mustafa Abubakar agar setoran dividen meningkat karena perkiraan laba Bank Mandiri mencapai kisaran Rp6 triliun sampai dengan Rp6,5 triliun. Persentase penurunan dividen ini tentu juga akan diikuti BRI. Selain untuk memperkuat struktur modal, untuk ekspansi usaha. BRI dengan perolehan laba yang juga meningkat tentu akan mengusulkan setoran dividen yang menurun. Itu didasari kebutuhan BRI akan modal yang relatif mendesak untuk mendukung ekspansi yang luar biasa cepat selama lima tahun terakhir dengan pertumbuhan aset di atas 124% selama empat tahun terakhir. Pada 2008 BRI menyumbang dividen ke negara sebesar Rp2,09 triliun atau setara dengan 35% dari laba BRI yang mencapai Rp5,9 triliun. Nah, jika laba BRI berkisar Rp7 triliun, maka setoran dividen cukup sekitar 30%. Jika lebih laba yang diperoleh BRI, maka setoran dividen cukup 25% sampai dengan 30%. Sementara, BNI dan BTN angkanya relatif kecil karena kedua bank ini masih membutuhkan modal relatif besar untuk ekspansi. BNI pada 2008 hanya memberi setoran dividen sebesar 10% dari laba Rp1,2 triliun, sedangkan BTN menyetor dividen sebesar 10% atau Rp43 miliar. Diperkirakan, BTN dan BNI akan lebih banyak menyetor dividen yang lebih besar. Bisa jadi persentasenya tidak akan turun, namun jumlahnya akan naik karena labanya juga naik besar. Sektor keuangan selain perbankan adalah asuransi. Asuransi ini juga relatif besar menyetor dividen ke negara. Di asuransi ini ada Jamsostek, Jasindo, Jasa Raharja, Jiwasraya, dan Asuransi Kesehatan. Pada 2008 sektor asuransi menyetor dividen ke negara sebesar Rp3,29 triliun dan diperkirakan 2009 akan menyetor sebesar Rp4,55 triliun. Tapi, entah kenapa pada 2010 diproyeksikan melorot menjadi Rp4,1 triliun. (*) [Non-text
[Keuangan] Apa Jadinya Kalau Ada Bank Gagal Lagi?
http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1494 Apa Jadinya Kalau Ada Bank Gagal Lagi? Tanggal: 03 Februari 2010 - 11:03 WIB Sumber: infobanknewsc.om Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)—yang lebih banyak audit legalnya—juga banyak mendapat respons negatif dari yang diaudit. Apalagi, hasil audit tahunan BPK terhadap LPS tentang penyertaan modal sementara di Bank Century sudah mendapat opini wajar tanpa pengecualian. Eko B. Supriyanto Judul di atas merupakan pertanyaan dari seorang bankir dalam sebuah seminar dalam rangka penyehatan perbankan. Pertanyaan itu dilandasi oleh kebijakan penyehatan perbankan yang dilakukan pemerintah yang dinilai dipolitisasi dan dikriminalisasi. Bahkan, sekarang masalah penyehatan atau penyelamatan (bailout) perbankan menjadi tontonan publik yang membingungkan dan mulai kehilangan substansi persoalan. Bahkan, industri perbankan yang membayar premi atas dana nasabah ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seolah-olah tidak diajak bicara. Kasus Bank Century adalah contoh yang terang-benderang bahwa kebijakan penyelamatan perbankan masuk wilayah politik dan juga masuk wilayah hukum. Padahal, kebijakan yang diambil kalau toh disebut kesalahan tidak otomatis dianggap sebagai sebuah kejahatan. Tidak serta-merta sebuah kebijakan yang salah langsung divonis menjadi sebuah tanggung jawab hukum atau sebuah kejahatan. Sejatinya, lahirnya Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century dimaksudkan untuk penyelidikan politik, untuk mencari kebenaran. Namun, dari pertanyaan para anggota pansus terhadap para saksi, terlihat para anggota pansus ini lebih banyak mencari pembenaran dari pikiran dan asumsinya sendiri. Atau, lebih condong mencari kesalahan dari para saksi. Pertanyaan yang kerap diajukan lebih dominan seperti pertanyaan seorang jaksa kepada tersangka. Bahkan, jika ada jawaban dari saksi yang dianggap tidak sesuai dengan jalan pikiran penanya (anggota pansus), dengan cepat penanya menghardik saksi dengan mengatakan, “Saksi disumpah dan jangan sekali-kali berbohong”. Banyak pula pertanyaan yang dilontarkan anggota pansus yang dasarnya berupa isu dan rumor serta lebih banyak pendapat, bukan sebuah fakta. Semua dilihat dari waktu dan situasi yang melandasi kebijakan tersebut. Apalagi, sekarang ini dalam kebijakan penyelamatan Bank Century tidak ditemukan adanya kejahatan, kecuali yang dilakukan pemilik lama dengan berbagai akrobatnya. Kebijakan penyertaan modal sementara LPS dilakukan dalam situasi krisis. Penyelamatan Bank Century bukan untuk menyelamatkan satu bank ataupun pemilik, melainkan menyelamatkan industri perbankan secara keseluruhan. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)—yang lebih banyak audit legalnya—juga banyak mendapat respons negatif dari yang diaudit. Apalagi, hasil audit tahunan BPK terhadap LPS tentang penyertaan modal sementara di Bank Century sudah mendapat opini wajar tanpa pengecualian. Sementara, berganti pemimpin, dalam audit investigasi BPK ditemukan beberapa pelanggaran. Kenyataan itulah yang membuat hasil audit BPK menimbulkan banyak pertanyaan. Banyak analisis dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan penyelamatan Bank Century. Namun, ada dua hal yang bisa disebutkan di sini, yaitu kelompok yang tidak setuju dan kelompok yang setuju dengan penyelamatan Bank Century. Kedua kelompok tersebut saling berargumentasi dengan pendapat yang sama-sama ilmiah. Salah satu masalah yang paling menonjol yaitu dalam melihat sistemik dan tidak sistemiknya Bank Century. Kelompok yang tidak setuju penyelamatan menganggap bahwa Bank Century tidak sistemik, sementara kelompok yang pro kebijakan penyelamatan menganggap bahwa penutupan Bank Century bisa berdampak sistemik karena situasi pada saat itu sungguh mencekam. Bank-bank pada saat itu satu sama lain saling tidak percaya untuk memberikan pinjaman antarbank, sehingga kalau ada bank yang ditutup dampaknya akan menjalar ke mana-mana. (*) [Non-text portions of this message have been removed]
[Keuangan] Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis
http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1497 Langkah Sulit Penyelamatan Bank Jika Terjadi Krisis Tanggal: 03 Februari 2010 - 12:31 WIB Sumber: infobanknews.com Jika sikap publik dan DPR terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami konspirasi kasus BLBI, maka pada masa-masa yang akan datang jika ada bank gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Eko B. Supriyanto Sistemik dan tidak sistemik merupakan wilayah perdebatan yang tak berpangkal. Namun, hampir semua pengamat ekonomi sepakat bahwa pada saat dilakukan penyelamatan Bank Century (20 November 2008) sedang dalam kondisi krisis. Sementara, para ekonom yang tidak setuju penyehatan sekarang ini, ternyata pada saat dilakukan penyehatan hampir semua berpandangan pada waktu itu kita sedang dicekam krisis akibat krisis keuangan global. Tidak hanya itu. Kelompok yang kontra kebijakan penyehatan menilai, LPS bakal merugi ketika dilakukan divestasi. Menurut mereka, dana yang digelontorkan ke Bank Century sebesar Rp6,7 triliun jika dimasukkan ke dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan suku bunga rata-rata 6,5% saja pada lima tahun mendatang bisa mencapai kisaran Rp9 triliun-Rp10 triliun. Hitung-hitungan itu memang tidak salah. Tapi, menyesatkan publik sebab LPS bukanlah sebuah lembaga profit atau investment bank, melainkan lembaga yang tugasnya menjamin dan menyehatkan bank. Harusnya juga dihitung, kalau ditutup, berat ongkosnya. Menurut data LPS, jika ditutup pada saat itu, biaya penjaminan sebesar Rp6,4 triliun. Itu biaya langsung. Belum biaya yang akan muncul, seperti efek domino. Jadi, penyelamatan Bank Century harusnya dilihat juga efeknya bagi perbankan nasional. Situasi perbankan sekarang ini yang relatif tidak rusak tidak serta-merta karena penyehatan Bank Century. Namun, karena kebijakan pengambilalihan bank tersebut ternyata tidak berefek buruk terhadap bank-bank lain. Bank Century yang disehatkan itu suatu saat bisa dijual dan selama hidupnya Bank Century akan memberikan kredit, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pajak. Kenyataan itulah yang ditutupi para pengamat yang antipenyelamatan. Padahal, penyehatan perbankan bukan sebuah matematika tentang untung rugi, melainkan lebih banyak mengurangi biaya yang lebih besar. Penyelamatan bank di saat krisis bukanlah menyelamatkan sebuah bank semata, melainkan menyelamatkan ekonomi dari kehancuran. Pengalaman masa lalu, yaitu ditutupnya 16 bank yang berukuran kecil ternyata menjadi bencana yang tidak pernah terlupakan oleh perbankan. Biaya yang dibutuhkan hingga mencapai Rp650 triliun dengan menelan uang anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Harusnya Pansus Hak Angket Bank Century tidak berputar-putar pada masalah apakah penutupan Bank Century berdampak sistemik atau tidak sistemik, tapi lebih fokus pada persoalan apakah ada aliran dana yang tidak semestinya atau tidak. Sebab, kebijakan yang diambil bisa saja salah kalau toh dianggap salah. Tapi, kebijakan yang salah itu tidak bisa dikriminalisasi atau dianggap sebagai sebuah kejahatan. Jika sikap publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap penyehatan bank senantiasa diilhami konspirasi kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), maka pada masa-masa yang akan datang, jika ada bank gagal, sulit rasanya akan diambil sebuah langkah penyelamatan. Bahkan, jika ada bank gagal, maka akan didor (dilikuidiasi) saja. Selesai persoalan. Jika hal itu menjadi pikiran pengambil keputusan, maka bank-bank sekarang rasanya tidak mempunyai payung jika terjadi krisis. Hati-hatilah. Kenyataan itu tentu tidak menguntungkan industri perbankan yang selama ini membayar premi atas dana nasabahnya. Penyelesaian yang berlarut-larut atas kasus Bank Century juga tidak kondusif bagi perbankan. Industri perbankan yang membayar premi atas dana nasabahnya tentunya menginginkan penyelesaian kasus Bank Century yang proporsional. Tidak harus menghukum kebijakan karena pada akhirnya perbankan yang akan merugi. (*) [Non-text portions of this message have been removed]
[Keuangan] Hasil Survei Gaji CEO Bank di Asia
Tanggal: 07 Januari 2010 - 09:52 WIB Sumber: infobanknews.com Sejumlah bank besar di Asia Pasifik saat ini masih dipimpin para ekspatriat. Namun, dalam aspek remunerasi, besar ternyata bukan berarti dibayar paling baik. Nugroho Irawan Studi yang dilakukan The Asian Banker dan Hay Group menunjukkan, total penghasilan para chief executive officer (CEO) bank di Asia telah mengalami penurunan sebesar 11,3% sejak 2007. “Dalam tahun yang sulit, penurunan penghasilan CEO dapat dipahami, terutama bagi para bankir yang lebih dari 75% total remunerasi mereka tergantung pada pencapaian kinerja bank,” seperti diutarakan studi tersebut. The Asian Banker merupakan salah satu publikasi finansial terkemuka, sedangkan Hay Group adalah perusahaan konsultan manajemen global. “Dalam survei kami di tahun 2009, 50 CEO dengan penghasilan tertinggi menerima US$86,25 juta secara keseluruhan, sedangkan di dua tahun sebelumnya mereka menerima US$88,6 juta. Selisih penghasilan bagi 10 bankir tertinggi bahkan lebih besar, namun mereka menerima kombinasi US$50 juta di tahun 2009, dibandingkan dengan US$54,4 juta di tahun 2007, (mengalami) penurunan sebesar 11,3%,” masih seperti diutarakan studi tersebut. Semantara itu, kompensasi para CEO bank di Asia Pasifik (dan ekuivalennya) telah mengalami penurunan sejak terakhir kali survei ini dilakukan, yaitu pada 2007, karena makin banyak bank yang mengadopsi remunerasi berbasis kinerja. Studi itu juga menunjukkan bahwa para pemimpin bank besar milik negara yang pada umumnya memiliki keuntungan besar dibayar lebih rendah dibandingkan dengan rekan mereka di bank swasta. “Bank-bank di Asia Pasifik patut berbangga karena mereka tetap memperoleh keuntungan di tengah krisis finansial global. Hal ini lebih dikarenakan mereka terkait dengan ekonomi yang bertumbuh, di mana mereka tidak perlu mengambil risiko berlebihan untuk memperoleh keuntungan,” tutur Peter Hoflich, Managing Editor The Asian Banker. Peter menambahkan, top eksekutif mereka ternyata diberikan kompensasi yang lebih wajar dan budaya risikonya tidak terlalu mendorong mereka untuk mencari pertumbuhan dari aktivitas yang diragukan. Namun, penekanan yang semakin besar pada matriks berbasis kinerja mungkin pada akhirnya akan mengarah pada praktik tidak tepat bila tidak terdapat perlindungan yang tepat. Dari sembilan bank Australia dalam studi tersebut, tujuh di antaranya masuk dalam 10 besar, termasuk dalam empat urutan teratas. Mike Smith dari ANZ merupakan pemimpin bank dengan penghasilan tertinggi dengan total remunerasi hampir mencapai US$9 juta. CEO Commonwealth Bank of Australia, Westpac Banking Corp, dan NAB ada di urutan berikutnya dengan penghasilan masing-masing sekitar US$6 juta. Sejumlah bank besar di Pasifik telah atau saat ini masih dipimpin para ekspatriat. Namun, dalam aspek remunerasi, besar bukan berarti dibayar paling baik. Bahkan, CEO bank milik negara ICBC, bank dengan tingkat keuntungan terbesar di dunia pada 2008, hanya menerima total remunerasi yang relatif kecil, yakni sebesar US$225.000 per tahun. Secara khusus, CEO bank badan usaha milik negara (BUMN) terbesar di Malaysia, Maybank, hanya memperoleh 5% dari tiga rekannya yang memimpin bank swasta dengan bayaran terbaik di bank-bank swasta dan kurang dari 10% dari total remunerasi yang diterima pendahulunya, Amirsham Aziz. The Asian Banker pertama kali memublikasikan 50 CEO dengan penghasilan tertinggi (atau ekuivalennya) pada 2007. Saat itu daftar ini dirajai CEO Macquarie Bank, Alan Moss, yang membawa pulang US$15 juta. Tahun ini CEO Macquarie Bank saat ini, Nicholas Moore, jatuh pada posisi ketujuh dengan remunerasi hanya US$4,7 juta. Kelima CEO bank dengan peringkat tertinggi dalam mengadopsi remunerasi berbasis kinerja adalah orang-orang yang baru diangkat. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja merupakan faktor utama dalam suksesi. Namun, hal ini berbeda bagi CEO baru UOB dan Macquarie Group. Meskipun mereka berada di posisi atas dalam tabel Performance-Based Pay, yaitu masing-masing 91,6% (posisi pertama) dan 86,9% (posisi keempat), mereka sebenarnya memiliki persentase yang lebih rendah dibandingkan dengan pendahulu mereka. Porsi performance-based pay telah mengalami kenaikan skala di sebagian besar grafik, baik bagi CEO yang telah ada maupun baru, terutama pada bagian teratas. Bank-bank di Asia Tenggara sepertinya telah tertular performance-based bug, terutama bank terbesar di Malaysia, Maybank. CEO bank ini pada 2007, Amisham Aziz, menerima 52,1% dari total remunerasi berdasarkan kinerja. Sedangkan CEO barunya, Abdul Wahid Omar, memperoleh 80,3% total pendapatannya dari remunerasi berdasarkan pencapaian tingkat kinerja. Penulis adalah Director of Hay Group. http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=1204 [Non-text portions of this message have been removed]
[Keuangan] Lima Alasan Kenapa Century Berdampak Sistemik
Lima Alasan Kenapa Century Berdampak Sistemik http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detailid=960 Tanggal: 10 Desember 2009 Sumber: infobanknews.com Jangan sampai, politisasi terhadap penyehatan bank akan membuat pengambil keputusan takut mengambil keputusan jika ada bank yang ukurannya lebih besar mengalami kegagalan. Biro Riset Infobank Kasus Bank Century menimbulkan pertanyaan apakah berdampak sistemik atau tidak jika diputuskan untuk ditutup pada November 2008 lalu? Kita lihat dampak pertama, yaitu kondisi sistem pembayaran. Sistem pembayaran boleh jadi berjalan normal, namun dengan gejala segmentasi di pasar uang antarbank (PUAB) yang makin meluas. Bukan hanya itu. Terdapat potensi kerentanan apabila terjadi flight to quality atau capital outflow yang mengakibatkan bank-bank menengah-kecil akan mengalami kesulitan likuditas. Bahkan, terdapat 18 bank yang berpotensi mengalami kesulitan likuiditas bila hal tersebut terjadi. Di sisi lain, ada lima bank yang memiliki karakteristik mirip Bank Century diduga akan mengalami kesulitan likuiditas. Kepanikan seperti itu membuat bank-bank cenderung menahan likuiditas, baik rupiah maupun valuta asing (valas), untuk keperluan likuiditasnya masing-masing. Kondisi seperti ini akan membahayakan bank-bank yang tidak memiliki kekuatan likuiditas yang cukup. Lebih mengerikan lagi, jika kemudian muncul rumor atau berita negatif mengenai kegagalan bank dalam settlement kliring/real time gross settlement (RTGS), hal ini akan dengan cepat memicu terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat dan berpotensi menimbulkan bank run. Disebut-sebut, dari 23 bank tersebut ada Rp30 triliun yang berpotensi fligt to quality. Dari jumlah itu, ada sekitar Rp18 triliun yang akan menjadi beban LPS jika dilakukan penutupan. Kedua, dampak terhadap pasar keuangan. Ketika itu, situasi pasar keuangan masih relatif labil dalam menyerap berita-berita negatif. Waktu itu terdapat potensi sentimen negatif di pasar keuangan, terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap berita-berita yang dapat merusak kepercayaan terhadap pasar keuangan. Ketiga, dampak kepercayaan publik atau psikologis pasar. Penutupan bank dapat menambah ketidakpastian pada pasar domestik dan diyakini dapat berakibat fatal pada psikologi pasar yang sedang sensitif. Pada waktu itu rumor kalah kliring dan situasi rawan fligt to quality sedang terjadi dengan isu-isu bank kekurangan likuiditas dan negera-negara tetangga menerapkan kebijkan penjaminan 100%. Psikologi pasar inilah yang bisa memorak-porandakan sistem keuangan, kendati bank tersebut berukuran kecil. Keempat, berdampak pada bank lain. Jujur, harus diakui, jika dilihat dari peran bank memang tidak signifikan dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi atau pemberian kredit, ukuran bank, substitutability, dan keterkaitan dengan bank atau lembaga keuangan lain. Namun, dari sisi jumlah nasabah dan jaringan kantor cabang, bank ini termasuk memiliki jumlah nasabah yang cukup besar (65.000 nasabah) dan jaringan cukup luas di seluruh Indonesia dengan 65 kantor. Itu artinya, dalam kondisi pasar yang normal, jika bank ini ditutup, diperkirakan relatif tidak akan menimbulkan dampak sistemik bagi bank lain. Namun, dalam kondisi pasar yang saat itu cenderung rentan terhadap berita-berita negatif, penutupan bank berpotensi menimbulkan contagion effect berupa upaya rush terhadap bank-bank lain, terutama peer banks atau bank yang lebih kecil. Situasinya ketika itu sedang terjadi penurunan kepercayaan masyarakat akibat psikologi pasar yang tidak menentu. Bahkan, akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar dan dapat menyeret bank-bank lain. Kelima, kondisi sektor riil dan sistem keuangan. Saat itu, menurut data-data, kondisi sistem keuangan mengalami tekanan sejalan dengan kondisi ekonomi dan keuangan global yang terus memburuk. Hal yang sama juga terjadinya penurunan cadangan devisa dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Namun, karena perannya pada pemberian kredit terhadap sektor riil tidak signifikan, kegagalan bank ini memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap sektor riil Nah, jika memperhatikan kenyataan pada November 2008, permasalahan yang terjadi pada Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik, terutama melalui jalur psikologi pasar, sistem pembayaran, dan pasar keuangan. Psikologi pasar bisa merembet ke bank-bank yang lebih besar sehingga menimbulkan kekacauan (rush). Itu artinya, kondisi saat pengambilalihan perlu diperhatikan. Tidak bisa dilihat dari kacamata sekarang ini. Hanya, sialnya, dalam situasi yang sistemik dengan psikologi pasar yang tak menentu, celakanya terjadi pada Bank Century, yang sebelum diambil alih dikelola dengan penuh moral hazard. Penulis yakin, hal yang sama juga akan dilakukan jika terjadi pada bank lain karena memang situasi pada setahun lalu sangat rawan rush. Psikologi masyarakat sangat rentan akan terjadinya bank run.