Re: [Keuangan] Model Pengelolaan Keuangan Negara
Bung Poltak ysh, Saya terima keberatannya, pun demikian model ini mewakili kondisi nyata dalam kehidupan bernegara. Saya rasa selama suatu negara masih punya bank sentral serta bisa menerbitkan mata uang maka maka seluruh resiko menggunakan mata uang tersebut menjadi tanggungan anak bangsa. Saya akan senang sekali kalau suatu saat hanya ada satu mata uang saja didunia ini. Saya tidak memikul kesalahan kelolala teman-teman sebangsa dan setanah air dan bisa fokus pada usaha saya sendiri :-) Dan rasanya memang point ini yang membedakan antara negarawan dan ekonom. Salam RM --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Poltak Hotradero <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > At 07:34 AM 5/15/2008, you wrote: > > > >Seperti dalam tulisan saya Negara dan Keluarga Sebangun , maka saya > >akan memodelkan pengelolaan rupiah itu bagaimana sebenarnya. Marilah > >rupiah yang kita pegang ini kita anggap saja sebagai kupon yang > >digunakan oleh anbak-anak dalam suatu keluarga melakukan transaksi > >internal. Sementara seluruh keperluan keluarga yang diperoleh dari > >luar sangat tergantung dari pendapatan orang tua dalam hal ini gaji > >bulanan yang merupakan rupiah beneran (devisa negara). > > > Bung Rachmad, > > Saya agak terganggu dengan pembandingan antara negara dan keluarga > sebagai sebangun. > Keluarga memiliki komponen historis sosiologis yang bernama kepala keluarga. > > Sementara negara (yang adalah sebuah konsep abstrak) - kepala negara > berperan sebagai manajer. > Peran sebagai manajer inipun bersifat estafet -- berpindah dari satu > pemegang ke pemegang lain. > Dan itu semua semata karena pemegang kekuasaan sebenarnya adalah justru rakyat. > > Saya sangat tidak setuju bila pemerintah diposisikan sebagai kepala > keluarga (orang tua) - sementara rakyat diposisikan sebagai anak- anak > dalam keluarga. Ini bertolak belakang dari realita. Selain itu - > ini juga tidak relevan dengan prinsip dasar pemerintahan demokratik. > > Pemerintah ada dan berlangsung semata-mata karena ditunjuk dan > diminta oleh rakyat. > Rakyat membiayai pemerintahan sepenuhnya - semisal lewat pajak. > > Pemerintah tidak lebih tahu, juga tidak lebih pintar, serta tidak > lebih kaya daripada rakyatnya. Harta pemerintah semata-mata adalah > pinjaman dari rakyat. Rakyat Indonesia menggunakan rupiah > semata-mata atas dasar suka rela. Dan memang seharusnya demikian. > > Kalau pemerintah tidak becus - maka rakyat Indonesia bisa > memilih: mengganti pemerintah atau menggunakan pembayaran alternatif > non rupiah (bisa mata uang negara lain ataupun komoditi semisal emas). > > Rakyat Indonesia pun harus punya kebebasan akan menikmati hasil > usahanya dalam bentuk rupiah atau dalam bentuk apapun. Kalau > pemerintah tidak becus menjaga daya beli rupiah (semisal dengan > membiarkan hyper inflation terjadi) - maka rakyat punya hak > sepenuhnya untuk tidak menggunakan rupiah. > > Dengan cara pandang ini - maka kedaulatan politik adalah semata- mata > kedaulatan ekonomi. > Kekuatan politik adalah semata-mata kekuatan ekonomi oleh rakyat. > > Kedaulatan rakyat adalah ketika pemerintah takut pada rakyatnya. > Takut setakut-takutnya. > Mengapa? Karena setiap pejabat pemerintahan dibiayai oleh rakyat - > sampai ke kolor-kolornya... > > Dan apa yang diberi - bisa diambil kembali. > > > Atas dasar tersebut maka saya tidak bisa menerima gambaran anda yang > men-sebangunkan negara dan keluarga --- karena posisi aktor di > dalamnya saja sudah tidak tepat. Prinsip pengelolaan keuangannya pun > ikut pula menjadi tidak tepat. >
Re: [Keuangan] Model Pengelolaan Keuangan Negara
At 07:34 AM 5/15/2008, you wrote: >Seperti dalam tulisan saya Negara dan Keluarga Sebangun , maka saya >akan memodelkan pengelolaan rupiah itu bagaimana sebenarnya. Marilah >rupiah yang kita pegang ini kita anggap saja sebagai kupon yang >digunakan oleh anbak-anak dalam suatu keluarga melakukan transaksi >internal. Sementara seluruh keperluan keluarga yang diperoleh dari >luar sangat tergantung dari pendapatan orang tua dalam hal ini gaji >bulanan yang merupakan rupiah beneran (devisa negara). Bung Rachmad, Saya agak terganggu dengan pembandingan antara negara dan keluarga sebagai sebangun. Keluarga memiliki komponen historis sosiologis yang bernama kepala keluarga. Sementara negara (yang adalah sebuah konsep abstrak) - kepala negara berperan sebagai manajer. Peran sebagai manajer inipun bersifat estafet -- berpindah dari satu pemegang ke pemegang lain. Dan itu semua semata karena pemegang kekuasaan sebenarnya adalah justru rakyat. Saya sangat tidak setuju bila pemerintah diposisikan sebagai kepala keluarga (orang tua) - sementara rakyat diposisikan sebagai anak-anak dalam keluarga. Ini bertolak belakang dari realita. Selain itu - ini juga tidak relevan dengan prinsip dasar pemerintahan demokratik. Pemerintah ada dan berlangsung semata-mata karena ditunjuk dan diminta oleh rakyat. Rakyat membiayai pemerintahan sepenuhnya - semisal lewat pajak. Pemerintah tidak lebih tahu, juga tidak lebih pintar, serta tidak lebih kaya daripada rakyatnya. Harta pemerintah semata-mata adalah pinjaman dari rakyat. Rakyat Indonesia menggunakan rupiah semata-mata atas dasar suka rela. Dan memang seharusnya demikian. Kalau pemerintah tidak becus - maka rakyat Indonesia bisa memilih: mengganti pemerintah atau menggunakan pembayaran alternatif non rupiah (bisa mata uang negara lain ataupun komoditi semisal emas). Rakyat Indonesia pun harus punya kebebasan akan menikmati hasil usahanya dalam bentuk rupiah atau dalam bentuk apapun. Kalau pemerintah tidak becus menjaga daya beli rupiah (semisal dengan membiarkan hyper inflation terjadi) - maka rakyat punya hak sepenuhnya untuk tidak menggunakan rupiah. Dengan cara pandang ini - maka kedaulatan politik adalah semata-mata kedaulatan ekonomi. Kekuatan politik adalah semata-mata kekuatan ekonomi oleh rakyat. Kedaulatan rakyat adalah ketika pemerintah takut pada rakyatnya. Takut setakut-takutnya. Mengapa? Karena setiap pejabat pemerintahan dibiayai oleh rakyat - sampai ke kolor-kolornya... Dan apa yang diberi - bisa diambil kembali. Atas dasar tersebut maka saya tidak bisa menerima gambaran anda yang men-sebangunkan negara dan keluarga --- karena posisi aktor di dalamnya saja sudah tidak tepat. Prinsip pengelolaan keuangannya pun ikut pula menjadi tidak tepat.
[Keuangan] Model Pengelolaan Keuangan Negara
Seperti dalam tulisan saya Negara dan Keluarga Sebangun , maka saya akan memodelkan pengelolaan rupiah itu bagaimana sebenarnya. Marilah rupiah yang kita pegang ini kita anggap saja sebagai kupon yang digunakan oleh anbak-anak dalam suatu keluarga melakukan transaksi internal. Sementara seluruh keperluan keluarga yang diperoleh dari luar sangat tergantung dari pendapatan orang tua dalam hal ini gaji bulanan yang merupakan rupiah beneran (devisa negara). Hal-hal yang bisa diperoleh secara internal adalah 1. memasak nasi, memasak lauk dan menghidangkannya diatas meja (boleh dikerjakan, boleh tidak, tidak perlu rupiah) 2. mencuci baju, menyetrika dan menyimpannya di almari (boleh dikerjakan, boleh tidak, tidak perlu rupiah) 3. menyapu, mengepel dan membersihkan kamar mandi (boleh dikerjakan, boleh tidak, tidak perlu rupiah) 4. Memanen pisang dan menjualnya dipasar (boleh dikerjakan, boleh tidak, bisa mendatangkan rupiah) Hal-hal yang tidak mungkin diperoleh secara internal adalah : 1. Beras dan bahan-bahan lauk pauknya (belanja, perlu rupiah) 2. Sabun cuci (beli, perlu rupiah) 3. Kain pel, aksi pembersih lantai (beli, perlu rupiah) 4. listrik (langganan, perlu rupiah) 5. telpon (langganan, perlu rupiah) 6. sekolah (bulanan, perlu rupiah) 7. transportasi (harian, perlu rupiah) Semua kebutuhan yang diperoleh secara eksternal harus dibayar dengan uang sungguhan (devisa), tidak bisa dibayar dengan kupon oleh karenanya sangat tergantung dari pendapatan kepala keluarga dalam hal ini adalah gaji bulanan. Katakanlah anak-anak mau mengerjakan pekerjaannya masing-masing jika setiap transaksi pekerjaan secara internal diberi tanda dengan kupon yang memiliki nilai nominal. Dan si anak berharap bahwa kupon ini bisa ditukarkan pada orang tuanya dengan rupiah beneran (devisa) jika dia perlu sesuatu yang diperoleh secara eksternal. Misal si anak ingin beli game Sebetulnya sebuah negarapun memiliki pola yang demikian juga dan ini yang tidak pernah disadari. Tentunya orang tua harus menyediakan rupiah beneran sehingga sewaktu- waktu sianak mau nukerin kuponnya uang tersedia. nah bagaimana jika orang tua tidak punya rupiah yang sebenarnya atau rupiah sebenarnya tiap bulan habis dibelanjakan sehingga tidak ada tabungan sama sekali ? Mungkinkah ketika harga beras naik siorang tua narik kupon yang ada ditangan anak-anaknya untuk beli beras ? Dalam jumlah kecil dan terbatas bisa yakni ada pihak yang mau bayar kupon dengan uang beneran untuk membeli hasil panen pisang dari keluarga tersebut, namun dalam jumlah besar tentu tidak apalagi jika tidak ada sesuatupun yang dapat di beli dari keluarga tersebut. Semua yang saya gambarkan diatas sebenarnya adalah dasar-dasar hidup bernegara. Seluruh pengguna kupon memiliki nasib yang sama. Sangat tergantung pada pendapatan orang tua dan kemampuan menjual pisang yang dikelola oleh salah satu anak dalam keluarga tersebut salam RM