Bls: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani

2010-05-10 Terurut Topik prastowo prastowo
Jika demikian halnya, bukankah ini efek dari media yang memang 
membesar-besarkannya tanpa berkepentingan melakukan pendidikan politik yang 
baik kepada publik? Saya kira memang ini terjadi karena mobilisasi yang masif 
dan kaidah atau kode etik jurnalisme tidak dipegang teguh. kalau kita amati 
survei, sebenarnya publik masih terbelah. Dan kita tidak usah khawatir, masih 
lebih banyak yang berakal sehat untuk jernih menunggu. Ini keyakinan saya. 
Ditambah lagi, secara politik tontonan mutahir soal merapatnya Golkar ke 
Demokrat pasca mundurnya SMI akan semakin mendorong antipati publik terhadap 
kinerja DPR.

salam






Dari: Rachmad M rachm...@yahoo.com
Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Sab, 8 Mei, 2010 04:00:54
Judul: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani

  
Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu 
beronani dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi 
tetap menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding 
manfaatnya, mudharatnya lebih banyak. 

Mas Pras,

Mematikan TV sih gampang dilakukan. Yang sulit adalah banyak pihak yang 
meyakini kebenaran produk politik paripurna DPR (Angket) secara membabi buta. 
Kebenaran ini mereka samakan dengan kebenaran saat anggota DPR mengesahkan 
sebuah Undang-Undang atau APBN yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum. 
Dengan pola pikir ini, maka merekapun merasa punya alasan agar perangkat hukum 
mengeksekusi kebenaran mutlak yang telah diputuskan lewat sidang paripurna... 
.. ini masalahnya.

Salam

RM

--- In AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com, prastowo prastowo 
sesaw...@.. . wrote:

 Salam,
 Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau 
 persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita 
 masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau 
 lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi 
 Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating 
 untuk keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan 
 mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang 
 disampaikan berulang-ulang . Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) 
 diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS 
 bukan KUALITAS.
 
 Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi 
 kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara 
 hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. 
 Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada 
 penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara, proses 
 politik dan proses hukum pun sah untuk dijalankan, bukan pada kebijakannya 
 tetapi pada ada tidaknya potensi kerugian negara. Jika tidak terbukti secara 
 hukum, bukankah akan lebih baik bagi semua pihak karena sudah menempuh apa 
 yang seharusnya dilakukan.
 
 Maka tegangan yang kemarin terjadi bisa kita tempatkan dalam konteks tegangan 
 teknokratisme vs kontrol demokratis. Apa yang disampaikan mbak Dyah saya 
 kira berada pada ranah ini. Di satu sisi kaum profesional cenderung apolitis, 
 dan sebaliknya politisi lebih mengedepankan intrik/trik/ lobby dan 
 mengabaikan kapabilitas personal.
 
 Hemat saya persoalannya meletak pada format politik kita yang memang masih 
 berada pada demokrasi prosedural. Kita surplus demokrasi tapi defisit 
 politik. Praktik yang terjadi hari-hari ini bukanlah kebajikan politik 
 melainkan buah surplus demokrasi prosedural. Setidaknya politik sebagai 
 sebuah seni bernegosiasi, mencari alternatif, dan mengambil keputusan atas 
 dasar persetujuan bersama ( deliberasi ), masih jauh panggang dari api. 
 Politisi kita masih berada di level selebriti, menikmati layar kaca sebagai 
 pentas, bukan panggung diskursus. Bahaya tontonan layar kaca adalah adanya 
 eksploitasi sepihak tanpa adanya umpan balik. Demokrasi kini dikuasai kaum 
 medioker, yang sama sekali tak cakap dan tak layak menjadi pemimpin. Politisi 
 (dan pemimpin kita ) menyukai repetisi, karena ini dangkal, mudah dilakukan, 
 dan mengecoh. Ia bak gincu demokrasi, sekedar lipstik yang menipu, karena 
 bahayanya sedemikian jelas: koruptor dan ulama bisa bicara satu panggung,
  maling dan penegak hukum, serta bandit dan aktivis sosial seolah dilebur 
 dalam satu wadah tanpa batas. Ini jelas berbahaya.
 
 Cara mengikisnya dengan memori. Artinya ya mengembalikan rasionalitas pada 
 politik ( baca: pendidikan politik ). Merehabilitasi politik yang kini 
 diguncang ulah dan sikap para elite politik. Kita harus awasi proses politik 
 sejak awal, rekrutmen politik harus terbuka dan bisa dipertanggungjawabk an, 
 jangan sampai partai politik menjadi perusahaan, apalagi dinasti. Saya setuju 
 dikotomi profesional - politisi diakhiri, karena ini lebih sering

Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani

2010-05-08 Terurut Topik Rachmad M
Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu 
beronani dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi 
tetap menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding 
manfaatnya, mudharatnya lebih banyak. 


Mas Pras,

Mematikan TV sih gampang dilakukan. Yang sulit adalah banyak pihak yang 
meyakini kebenaran produk politik paripurna DPR (Angket) secara membabi buta. 
Kebenaran ini mereka samakan dengan kebenaran saat anggota DPR mengesahkan 
sebuah Undang-Undang atau APBN yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum. 
Dengan pola pikir ini, maka merekapun merasa punya alasan agar perangkat hukum 
mengeksekusi kebenaran mutlak yang telah diputuskan lewat sidang paripurna. 
ini masalahnya.


Salam

RM


--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, prastowo prastowo sesaw...@... 
wrote:

 Salam,
 Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau 
 persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita 
 masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau 
 lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi 
 Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating 
 untuk keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan 
 mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang 
 disampaikan berulang-ulang. Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) 
 diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS 
 bukan KUALITAS.
 
 Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi 
 kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara 
 hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. 
 Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada 
 penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara, proses 
 politik dan proses hukum pun sah untuk dijalankan, bukan pada kebijakannya 
 tetapi pada ada tidaknya potensi kerugian negara. Jika tidak terbukti secara 
 hukum, bukankah akan lebih baik bagi semua pihak karena sudah menempuh apa 
 yang seharusnya dilakukan.
 
 Maka tegangan yang kemarin terjadi bisa kita tempatkan dalam konteks tegangan 
 teknokratisme vs kontrol demokratis. Apa yang disampaikan mbak Dyah saya 
 kira berada pada ranah ini. Di satu sisi kaum profesional cenderung apolitis, 
 dan sebaliknya politisi lebih mengedepankan intrik/trik/lobby dan mengabaikan 
 kapabilitas personal.
 
 Hemat saya persoalannya meletak pada format politik kita yang memang masih 
 berada pada demokrasi prosedural. Kita surplus demokrasi tapi defisit 
 politik. Praktik yang terjadi hari-hari ini bukanlah kebajikan politik 
 melainkan buah surplus demokrasi prosedural. Setidaknya politik sebagai 
 sebuah seni bernegosiasi, mencari alternatif, dan mengambil keputusan atas 
 dasar persetujuan bersama ( deliberasi ), masih jauh panggang dari api. 
 Politisi kita masih berada di level selebriti, menikmati layar kaca sebagai 
 pentas, bukan panggung diskursus. Bahaya tontonan layar kaca adalah adanya 
 eksploitasi sepihak tanpa adanya umpan balik. Demokrasi kini dikuasai kaum 
 medioker, yang sama sekali tak cakap dan tak layak menjadi pemimpin. Politisi 
 (dan pemimpin kita ) menyukai repetisi, karena ini dangkal, mudah dilakukan, 
 dan mengecoh. Ia bak gincu demokrasi, sekedar lipstik yang menipu, karena 
 bahayanya sedemikian jelas: koruptor dan ulama bisa bicara satu panggung,
  maling dan penegak hukum, serta bandit dan aktivis sosial seolah dilebur 
 dalam satu wadah tanpa batas. Ini jelas berbahaya.
 
 Cara mengikisnya dengan memori. Artinya ya mengembalikan rasionalitas pada 
 politik ( baca: pendidikan politik ). Merehabilitasi politik yang kini 
 diguncang ulah dan sikap para elite politik. Kita harus awasi proses politik 
 sejak awal, rekrutmen politik harus terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, 
 jangan sampai partai politik menjadi perusahaan, apalagi dinasti. Saya setuju 
 dikotomi profesional - politisi diakhiri, karena ini lebih sering mengecoh. 
 Yang dibutuhkan adalah bagaimana semua bisa bekerja secara profesional, dan 
 hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara politik. SMI saya kira tidak 
 apolitis - sejauh saya baca dalam wawancara yang cukup panjang dan substantif 
 dengan majalah PRISMA. Saya mengkritik kapitalisme dan neoliberalisme, tapi 
 sekedar menyangkokkan label 'neolib' dijidat SMI atau Boediono adalah bukan 
 cara intelek yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa bedanya kita dengan Suharto 
 dan Orba terhadap PKI jika demikian?
 
 Saya sendiri tidak tahu dari mana harus memulai. Tapi ibarat sebuah tontonan, 
 layar tertutup tanda paripurnanya pertunjukan. Semua akan kembali menjadi 
 aslinya. Apa yang tampak indah di panggung adalah benar2 sandiwara. Cara 
 termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu beronani 
 dengan hasrat 

Re: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani

2010-05-08 Terurut Topik Andy_Tambunan
Dikutip dari Mas Prastowo: 
Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan mendapatkan profit, maka 
yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang disampaikan 
berulang-ulang . Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) diulang-ulang 
sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS bukan KUALITAS.

Mas Prastowo,

Saya bukan ahli hukum tapi dgn kasat mata saya bisa melihat betapa banyak 
kejanggalan hukum yg terjadi di negeri ini. Rakyat dimobilisasi utk bersimpati 
terhadap seseorang yg sdg bermasalah dgn hukum. Pengadilan digiring utk 
membebaskan seseorang dari tuduhan. Media memainkan perannya dan menjadikannya 
komoditas berita. Dengan bersembunyi dibalik rasa keadilan, media 
mengeksploitasi kasus yg menggiring opini publik kepada sebuah keputusan: Si X 
tidak bersalah! 

Sekali lagi, saya bukan ahli hukum, tapi saya koq melihat kasus Prita Mulyasari 
adalah sebuah rekayasa simpati publik melalui pengumpulan koin membantu Prita 
membayar ganti rugi kepada RS Omni International. Rakyat 'memutuskan' Prita 
tidak bersalah. Saya ingin bertanya kepada rekan-rekan ahli hukum (jika ada) di 
milis ini: apakah secara hukum Prita tidak bersalah?

Kasus Bibit-Chandra. Maaf, tetapi kenapa hrs berhenti sampai disana hanya 
karena 'keputusan' publik yg 'menyatakan' mereka tidak bersalah?

Kasus Susno Duaji (mantan Kabareskrim Polri). Di awal munculnya kasus yg 
melibatkan Bibit-Chandra, Anggodo-Anggoro, dll, opini publik 'dibentuk' bahwa 
Susno sangat patut dan pantas dicurigai dan dihukum. Tetapi sekarang, publik 
'diajak' bersimpati kepada Susno krn dianggap berjasa dan berani membongkar 
makkus (maaf saya tdk pakai markus sebab Markus yg saya tahu di Alkitab 
sangatlah baik).

Kasus Gayus Tambunan (saudara semarga dgn saya, hehehe...), banyak sekali yg 
terkena getahnya! Mulai dari lingkup Polri, Kejaksaan, Pengadilan, DJP, dan 
entah siapa lagi. Jajaran institusi ini terkesan melakukan tindakan berlebihan 
copot sana copot sini, tegur sana tegur sini, tanpa jelas ketahuan kesalahannya 
sebab tanpa melalui proses peradilan. 

Dan... Parahnya, SBY pun 'merestui' dgn menyarankan agar kasus Bibit-Candra 
diselesaikan secara 'adat' di luar pengadilan. Akankah ada 'adat' lain utk 
menyelesaikan kasus-kasus lain?

Kasus Sri Mulyani dan Boediono dlm hal bailout Bank Centuri, mari kita waspadai 
penggiringan opini publik yg menghendaki pengadilan bagi kebijakan tersebut dan 
'memutuskan bersalah' bagi para pengambil kebijakan.

Itulah ironisnya. Yang seharusnya diadili diminta dibebaskan/diselesaikan 
secara 'adat', tetapi yg tidak seharusnya diadili malah dituntut utk diadili. 
Suatu bentuk pemaksaan dari rakyat. Tapi rakyat yg mana? Tentunya rakyat yg 
bisa disetir oleh pihak yg berkepentingan, baik itu media, partai politik, 
komunitas, dll. 

Salam,
Andy Porman Tambunan
Sent from the |Most Powerful of 3nity|

-Original Message-
From: Rachmad M rachm...@yahoo.com
Date: Sat, 08 May 2010 11:00:54 
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Subject: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani

Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu 
beronani dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi 
tetap menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding 
manfaatnya, mudharatnya lebih banyak. 


Mas Pras,

Mematikan TV sih gampang dilakukan. Yang sulit adalah banyak pihak yang 
meyakini kebenaran produk politik paripurna DPR (Angket) secara membabi buta. 
Kebenaran ini mereka samakan dengan kebenaran saat anggota DPR mengesahkan 
sebuah Undang-Undang atau APBN yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum. 
Dengan pola pikir ini, maka merekapun merasa punya alasan agar perangkat hukum 
mengeksekusi kebenaran mutlak yang telah diputuskan lewat sidang paripurna. 
ini masalahnya.


Salam

RM


--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, prastowo prastowo sesaw...@... 
wrote:

 Salam,
 Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau 
 persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita 
 masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau 
 lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi 
 Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating 
 untuk keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan 
 mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang 
 disampaikan berulang-ulang. Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) 
 diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS 
 bukan KUALITAS.
 
 Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi 
 kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara 
 hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. 
 Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada 
 penyalahgunaan

Re: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani

2010-05-08 Terurut Topik Wong Cilik
Saya juga setuju...  Di negara kita beda hukum dengan politik tidak
kelihatan atau tidak jelas. Hukum jelas beda dengan politik. Politik bisa
membuahkan produk hukum, tapi seharusnya hukum yang benar tidak terpengaruh
oleh badan politik (kalau tidak salah ini dikenal dengan nama Trias
Politica?)

Politik harusnya adalah kehendak rakyat BANYAK (kalau menganut asas
demokrasi). Yang namanya rakyat banyak ini maunya kan bisa baik bisa juga
jelek. Macam-macam. Kalau rakyat banyak ingin memberlakukan hukum rimba...
maka politik jadi bertentangan dengan hukum yang berlandaskan keadilan.
Kalau rakyat banyak menginginkan adanya penindasan suatu ras atas ras
lainnya (politik rasisme yang dianut Hitler), maka politik ini juga
bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan yang dianut oleh konsep Hukum.

Yang jadi masalah, apakah rakyat banyak ini jika mereka memilih
ketidak-adilan (yang bertentangan dengan hukum), lalu ketidak-adilan ini
diundang-undangkan oleh wakil rakyat di dpr sehingga menjadi produk
hukum...  tentunya hukum ini adalah bukan hukum yang adil.

Kadang-kadang, (menurut saya sih), hukum (yang adil dan manusiawi) tidak
perlu harus demokratis. Demokrasi harus diletakkan di bawah nilai-nilai
luhur manusia. Tentu saja jika rakyat banyak (yang demokratis) sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia, maka keadilan dan hukum akan
lebih mudah di bentuk menjadi hukum formal, dan pelaksanaannya di lapangan
juga akan lebih mudah.



2010/5/8 andy_tambu...@yahoo.com


 Saya bukan ahli hukum tapi dgn kasat mata saya bisa melihat betapa banyak
 kejanggalan hukum yg terjadi di negeri ini. Rakyat dimobilisasi utk
 bersimpati terhadap seseorang yg sdg bermasalah dgn hukum. Pengadilan
 digiring utk membebaskan seseorang dari tuduhan. Media memainkan perannya
 dan menjadikannya komoditas berita. Dengan bersembunyi dibalik rasa
 keadilan, media mengeksploitasi kasus yg menggiring opini publik kepada
 sebuah keputusan: Si X tidak bersalah!




[Non-text portions of this message have been removed]



Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani

2010-05-07 Terurut Topik prastowo prastowo
Salam,
Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau 
persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita 
masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau 
lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi 
Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating untuk 
keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan 
mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang 
disampaikan berulang-ulang. Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) 
diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS 
bukan KUALITAS.

Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi 
kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara 
hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. 
Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada 
penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara, proses 
politik dan proses hukum pun sah untuk dijalankan, bukan pada kebijakannya 
tetapi pada ada tidaknya potensi kerugian negara. Jika tidak terbukti secara 
hukum, bukankah akan lebih baik bagi semua pihak karena sudah menempuh apa yang 
seharusnya dilakukan.

Maka tegangan yang kemarin terjadi bisa kita tempatkan dalam konteks tegangan 
teknokratisme vs kontrol demokratis. Apa yang disampaikan mbak Dyah saya kira 
berada pada ranah ini. Di satu sisi kaum profesional cenderung apolitis, dan 
sebaliknya politisi lebih mengedepankan intrik/trik/lobby dan mengabaikan 
kapabilitas personal.

Hemat saya persoalannya meletak pada format politik kita yang memang masih 
berada pada demokrasi prosedural. Kita surplus demokrasi tapi defisit politik. 
Praktik yang terjadi hari-hari ini bukanlah kebajikan politik melainkan buah 
surplus demokrasi prosedural. Setidaknya politik sebagai sebuah seni 
bernegosiasi, mencari alternatif, dan mengambil keputusan atas dasar 
persetujuan bersama ( deliberasi ), masih jauh panggang dari api. Politisi kita 
masih berada di level selebriti, menikmati layar kaca sebagai pentas, bukan 
panggung diskursus. Bahaya tontonan layar kaca adalah adanya eksploitasi 
sepihak tanpa adanya umpan balik. Demokrasi kini dikuasai kaum medioker, yang 
sama sekali tak cakap dan tak layak menjadi pemimpin. Politisi (dan pemimpin 
kita ) menyukai repetisi, karena ini dangkal, mudah dilakukan, dan mengecoh. Ia 
bak gincu demokrasi, sekedar lipstik yang menipu, karena bahayanya sedemikian 
jelas: koruptor dan ulama bisa bicara satu panggung,
 maling dan penegak hukum, serta bandit dan aktivis sosial seolah dilebur dalam 
satu wadah tanpa batas. Ini jelas berbahaya.

Cara mengikisnya dengan memori. Artinya ya mengembalikan rasionalitas pada 
politik ( baca: pendidikan politik ). Merehabilitasi politik yang kini 
diguncang ulah dan sikap para elite politik. Kita harus awasi proses politik 
sejak awal, rekrutmen politik harus terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, 
jangan sampai partai politik menjadi perusahaan, apalagi dinasti. Saya setuju 
dikotomi profesional - politisi diakhiri, karena ini lebih sering mengecoh. 
Yang dibutuhkan adalah bagaimana semua bisa bekerja secara profesional, dan 
hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara politik. SMI saya kira tidak 
apolitis - sejauh saya baca dalam wawancara yang cukup panjang dan substantif 
dengan majalah PRISMA. Saya mengkritik kapitalisme dan neoliberalisme, tapi 
sekedar menyangkokkan label 'neolib' dijidat SMI atau Boediono adalah bukan 
cara intelek yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa bedanya kita dengan Suharto 
dan Orba terhadap PKI jika demikian?

Saya sendiri tidak tahu dari mana harus memulai. Tapi ibarat sebuah tontonan, 
layar tertutup tanda paripurnanya pertunjukan. Semua akan kembali menjadi 
aslinya. Apa yang tampak indah di panggung adalah benar2 sandiwara. Cara 
termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu beronani 
dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi tetap 
menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding manfaatnya, 
mudharatnya lebih banyak. Tentu mohon jangan disalahpahami, ini sekedar terkait 
dengan hal2 berbau sinetron - entah betulan, entah politik - karena sungguh ini 
berbahaya bagi masa depan bangsa.

salam


pras






Dari: dyahanggitasari dyahanggitas...@yahoo.com
Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Kam, 6 Mei, 2010 20:40:57
Judul: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani

  
Kaum yang menyatakan dirinya profesional (anggapannya yang di partai tidak ada 
yang profesional) , dengan kejadian seperti ini harus mengambil hikmahnya. Para 
profesional harus mengubah paradigma yang selama ini merasa paling pintar dalam 
mengatasi masalah, maka kedepannya supaya melengkapi diri dengan interpersonal 
skill. Pintar saja tidak cukup.