Bls: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani
Jika demikian halnya, bukankah ini efek dari media yang memang membesar-besarkannya tanpa berkepentingan melakukan pendidikan politik yang baik kepada publik? Saya kira memang ini terjadi karena mobilisasi yang masif dan kaidah atau kode etik jurnalisme tidak dipegang teguh. kalau kita amati survei, sebenarnya publik masih terbelah. Dan kita tidak usah khawatir, masih lebih banyak yang berakal sehat untuk jernih menunggu. Ini keyakinan saya. Ditambah lagi, secara politik tontonan mutahir soal merapatnya Golkar ke Demokrat pasca mundurnya SMI akan semakin mendorong antipati publik terhadap kinerja DPR. salam Dari: Rachmad M rachm...@yahoo.com Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Terkirim: Sab, 8 Mei, 2010 04:00:54 Judul: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu beronani dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi tetap menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding manfaatnya, mudharatnya lebih banyak. Mas Pras, Mematikan TV sih gampang dilakukan. Yang sulit adalah banyak pihak yang meyakini kebenaran produk politik paripurna DPR (Angket) secara membabi buta. Kebenaran ini mereka samakan dengan kebenaran saat anggota DPR mengesahkan sebuah Undang-Undang atau APBN yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum. Dengan pola pikir ini, maka merekapun merasa punya alasan agar perangkat hukum mengeksekusi kebenaran mutlak yang telah diputuskan lewat sidang paripurna... .. ini masalahnya. Salam RM --- In AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com, prastowo prastowo sesaw...@.. . wrote: Salam, Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating untuk keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang disampaikan berulang-ulang . Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS bukan KUALITAS. Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara, proses politik dan proses hukum pun sah untuk dijalankan, bukan pada kebijakannya tetapi pada ada tidaknya potensi kerugian negara. Jika tidak terbukti secara hukum, bukankah akan lebih baik bagi semua pihak karena sudah menempuh apa yang seharusnya dilakukan. Maka tegangan yang kemarin terjadi bisa kita tempatkan dalam konteks tegangan teknokratisme vs kontrol demokratis. Apa yang disampaikan mbak Dyah saya kira berada pada ranah ini. Di satu sisi kaum profesional cenderung apolitis, dan sebaliknya politisi lebih mengedepankan intrik/trik/ lobby dan mengabaikan kapabilitas personal. Hemat saya persoalannya meletak pada format politik kita yang memang masih berada pada demokrasi prosedural. Kita surplus demokrasi tapi defisit politik. Praktik yang terjadi hari-hari ini bukanlah kebajikan politik melainkan buah surplus demokrasi prosedural. Setidaknya politik sebagai sebuah seni bernegosiasi, mencari alternatif, dan mengambil keputusan atas dasar persetujuan bersama ( deliberasi ), masih jauh panggang dari api. Politisi kita masih berada di level selebriti, menikmati layar kaca sebagai pentas, bukan panggung diskursus. Bahaya tontonan layar kaca adalah adanya eksploitasi sepihak tanpa adanya umpan balik. Demokrasi kini dikuasai kaum medioker, yang sama sekali tak cakap dan tak layak menjadi pemimpin. Politisi (dan pemimpin kita ) menyukai repetisi, karena ini dangkal, mudah dilakukan, dan mengecoh. Ia bak gincu demokrasi, sekedar lipstik yang menipu, karena bahayanya sedemikian jelas: koruptor dan ulama bisa bicara satu panggung, maling dan penegak hukum, serta bandit dan aktivis sosial seolah dilebur dalam satu wadah tanpa batas. Ini jelas berbahaya. Cara mengikisnya dengan memori. Artinya ya mengembalikan rasionalitas pada politik ( baca: pendidikan politik ). Merehabilitasi politik yang kini diguncang ulah dan sikap para elite politik. Kita harus awasi proses politik sejak awal, rekrutmen politik harus terbuka dan bisa dipertanggungjawabk an, jangan sampai partai politik menjadi perusahaan, apalagi dinasti. Saya setuju dikotomi profesional - politisi diakhiri, karena ini lebih sering
Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani
Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu beronani dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi tetap menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding manfaatnya, mudharatnya lebih banyak. Mas Pras, Mematikan TV sih gampang dilakukan. Yang sulit adalah banyak pihak yang meyakini kebenaran produk politik paripurna DPR (Angket) secara membabi buta. Kebenaran ini mereka samakan dengan kebenaran saat anggota DPR mengesahkan sebuah Undang-Undang atau APBN yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum. Dengan pola pikir ini, maka merekapun merasa punya alasan agar perangkat hukum mengeksekusi kebenaran mutlak yang telah diputuskan lewat sidang paripurna. ini masalahnya. Salam RM --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, prastowo prastowo sesaw...@... wrote: Salam, Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating untuk keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang disampaikan berulang-ulang. Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS bukan KUALITAS. Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara, proses politik dan proses hukum pun sah untuk dijalankan, bukan pada kebijakannya tetapi pada ada tidaknya potensi kerugian negara. Jika tidak terbukti secara hukum, bukankah akan lebih baik bagi semua pihak karena sudah menempuh apa yang seharusnya dilakukan. Maka tegangan yang kemarin terjadi bisa kita tempatkan dalam konteks tegangan teknokratisme vs kontrol demokratis. Apa yang disampaikan mbak Dyah saya kira berada pada ranah ini. Di satu sisi kaum profesional cenderung apolitis, dan sebaliknya politisi lebih mengedepankan intrik/trik/lobby dan mengabaikan kapabilitas personal. Hemat saya persoalannya meletak pada format politik kita yang memang masih berada pada demokrasi prosedural. Kita surplus demokrasi tapi defisit politik. Praktik yang terjadi hari-hari ini bukanlah kebajikan politik melainkan buah surplus demokrasi prosedural. Setidaknya politik sebagai sebuah seni bernegosiasi, mencari alternatif, dan mengambil keputusan atas dasar persetujuan bersama ( deliberasi ), masih jauh panggang dari api. Politisi kita masih berada di level selebriti, menikmati layar kaca sebagai pentas, bukan panggung diskursus. Bahaya tontonan layar kaca adalah adanya eksploitasi sepihak tanpa adanya umpan balik. Demokrasi kini dikuasai kaum medioker, yang sama sekali tak cakap dan tak layak menjadi pemimpin. Politisi (dan pemimpin kita ) menyukai repetisi, karena ini dangkal, mudah dilakukan, dan mengecoh. Ia bak gincu demokrasi, sekedar lipstik yang menipu, karena bahayanya sedemikian jelas: koruptor dan ulama bisa bicara satu panggung, maling dan penegak hukum, serta bandit dan aktivis sosial seolah dilebur dalam satu wadah tanpa batas. Ini jelas berbahaya. Cara mengikisnya dengan memori. Artinya ya mengembalikan rasionalitas pada politik ( baca: pendidikan politik ). Merehabilitasi politik yang kini diguncang ulah dan sikap para elite politik. Kita harus awasi proses politik sejak awal, rekrutmen politik harus terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, jangan sampai partai politik menjadi perusahaan, apalagi dinasti. Saya setuju dikotomi profesional - politisi diakhiri, karena ini lebih sering mengecoh. Yang dibutuhkan adalah bagaimana semua bisa bekerja secara profesional, dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara politik. SMI saya kira tidak apolitis - sejauh saya baca dalam wawancara yang cukup panjang dan substantif dengan majalah PRISMA. Saya mengkritik kapitalisme dan neoliberalisme, tapi sekedar menyangkokkan label 'neolib' dijidat SMI atau Boediono adalah bukan cara intelek yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa bedanya kita dengan Suharto dan Orba terhadap PKI jika demikian? Saya sendiri tidak tahu dari mana harus memulai. Tapi ibarat sebuah tontonan, layar tertutup tanda paripurnanya pertunjukan. Semua akan kembali menjadi aslinya. Apa yang tampak indah di panggung adalah benar2 sandiwara. Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu beronani dengan hasrat
Re: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani
Dikutip dari Mas Prastowo: Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang disampaikan berulang-ulang . Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS bukan KUALITAS. Mas Prastowo, Saya bukan ahli hukum tapi dgn kasat mata saya bisa melihat betapa banyak kejanggalan hukum yg terjadi di negeri ini. Rakyat dimobilisasi utk bersimpati terhadap seseorang yg sdg bermasalah dgn hukum. Pengadilan digiring utk membebaskan seseorang dari tuduhan. Media memainkan perannya dan menjadikannya komoditas berita. Dengan bersembunyi dibalik rasa keadilan, media mengeksploitasi kasus yg menggiring opini publik kepada sebuah keputusan: Si X tidak bersalah! Sekali lagi, saya bukan ahli hukum, tapi saya koq melihat kasus Prita Mulyasari adalah sebuah rekayasa simpati publik melalui pengumpulan koin membantu Prita membayar ganti rugi kepada RS Omni International. Rakyat 'memutuskan' Prita tidak bersalah. Saya ingin bertanya kepada rekan-rekan ahli hukum (jika ada) di milis ini: apakah secara hukum Prita tidak bersalah? Kasus Bibit-Chandra. Maaf, tetapi kenapa hrs berhenti sampai disana hanya karena 'keputusan' publik yg 'menyatakan' mereka tidak bersalah? Kasus Susno Duaji (mantan Kabareskrim Polri). Di awal munculnya kasus yg melibatkan Bibit-Chandra, Anggodo-Anggoro, dll, opini publik 'dibentuk' bahwa Susno sangat patut dan pantas dicurigai dan dihukum. Tetapi sekarang, publik 'diajak' bersimpati kepada Susno krn dianggap berjasa dan berani membongkar makkus (maaf saya tdk pakai markus sebab Markus yg saya tahu di Alkitab sangatlah baik). Kasus Gayus Tambunan (saudara semarga dgn saya, hehehe...), banyak sekali yg terkena getahnya! Mulai dari lingkup Polri, Kejaksaan, Pengadilan, DJP, dan entah siapa lagi. Jajaran institusi ini terkesan melakukan tindakan berlebihan copot sana copot sini, tegur sana tegur sini, tanpa jelas ketahuan kesalahannya sebab tanpa melalui proses peradilan. Dan... Parahnya, SBY pun 'merestui' dgn menyarankan agar kasus Bibit-Candra diselesaikan secara 'adat' di luar pengadilan. Akankah ada 'adat' lain utk menyelesaikan kasus-kasus lain? Kasus Sri Mulyani dan Boediono dlm hal bailout Bank Centuri, mari kita waspadai penggiringan opini publik yg menghendaki pengadilan bagi kebijakan tersebut dan 'memutuskan bersalah' bagi para pengambil kebijakan. Itulah ironisnya. Yang seharusnya diadili diminta dibebaskan/diselesaikan secara 'adat', tetapi yg tidak seharusnya diadili malah dituntut utk diadili. Suatu bentuk pemaksaan dari rakyat. Tapi rakyat yg mana? Tentunya rakyat yg bisa disetir oleh pihak yg berkepentingan, baik itu media, partai politik, komunitas, dll. Salam, Andy Porman Tambunan Sent from the |Most Powerful of 3nity| -Original Message- From: Rachmad M rachm...@yahoo.com Date: Sat, 08 May 2010 11:00:54 To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Subject: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu beronani dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi tetap menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding manfaatnya, mudharatnya lebih banyak. Mas Pras, Mematikan TV sih gampang dilakukan. Yang sulit adalah banyak pihak yang meyakini kebenaran produk politik paripurna DPR (Angket) secara membabi buta. Kebenaran ini mereka samakan dengan kebenaran saat anggota DPR mengesahkan sebuah Undang-Undang atau APBN yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan hukum. Dengan pola pikir ini, maka merekapun merasa punya alasan agar perangkat hukum mengeksekusi kebenaran mutlak yang telah diputuskan lewat sidang paripurna. ini masalahnya. Salam RM --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, prastowo prastowo sesaw...@... wrote: Salam, Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating untuk keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang disampaikan berulang-ulang. Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS bukan KUALITAS. Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada penyalahgunaan
Re: Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani
Saya juga setuju... Di negara kita beda hukum dengan politik tidak kelihatan atau tidak jelas. Hukum jelas beda dengan politik. Politik bisa membuahkan produk hukum, tapi seharusnya hukum yang benar tidak terpengaruh oleh badan politik (kalau tidak salah ini dikenal dengan nama Trias Politica?) Politik harusnya adalah kehendak rakyat BANYAK (kalau menganut asas demokrasi). Yang namanya rakyat banyak ini maunya kan bisa baik bisa juga jelek. Macam-macam. Kalau rakyat banyak ingin memberlakukan hukum rimba... maka politik jadi bertentangan dengan hukum yang berlandaskan keadilan. Kalau rakyat banyak menginginkan adanya penindasan suatu ras atas ras lainnya (politik rasisme yang dianut Hitler), maka politik ini juga bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan yang dianut oleh konsep Hukum. Yang jadi masalah, apakah rakyat banyak ini jika mereka memilih ketidak-adilan (yang bertentangan dengan hukum), lalu ketidak-adilan ini diundang-undangkan oleh wakil rakyat di dpr sehingga menjadi produk hukum... tentunya hukum ini adalah bukan hukum yang adil. Kadang-kadang, (menurut saya sih), hukum (yang adil dan manusiawi) tidak perlu harus demokratis. Demokrasi harus diletakkan di bawah nilai-nilai luhur manusia. Tentu saja jika rakyat banyak (yang demokratis) sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur manusia, maka keadilan dan hukum akan lebih mudah di bentuk menjadi hukum formal, dan pelaksanaannya di lapangan juga akan lebih mudah. 2010/5/8 andy_tambu...@yahoo.com Saya bukan ahli hukum tapi dgn kasat mata saya bisa melihat betapa banyak kejanggalan hukum yg terjadi di negeri ini. Rakyat dimobilisasi utk bersimpati terhadap seseorang yg sdg bermasalah dgn hukum. Pengadilan digiring utk membebaskan seseorang dari tuduhan. Media memainkan perannya dan menjadikannya komoditas berita. Dengan bersembunyi dibalik rasa keadilan, media mengeksploitasi kasus yg menggiring opini publik kepada sebuah keputusan: Si X tidak bersalah! [Non-text portions of this message have been removed]
Bls: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani
Salam, Selama ini kita (kalau boleh saya menggeneralisasi) memang terjebak (atau persisnya dijebak) oleh sebuah kekuatan besar yang seolah mengharuskan kita masuk dalam pro-kontra dan cara berpikir biner : A atau Non A, kawan atau lawan, dll. Agak saya sederhanakan, mengutip Imam Wahyudi - ketua Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia - media televisi sudah menjadi korban rating untuk keperluan iklan. Jadi rasionalitas publik sudah digerus oleh keperluan mendapatkan profit, maka yang berlaku adalah hukum kebenaran adalah apa yang disampaikan berulang-ulang. Jadilah berita (Century, Gayus, Susno, dll) diulang-ulang sedemikian rupa sehingga yang terjadi adalah inflasi INTENSITAS bukan KUALITAS. Menilik posisi SMI di kasus Century, sejak awal meski saya berada pada posisi kontra bail-out, secara yuridis saya berpendapat bahwa kebijakan itu secara hukum sah karena didasarkan pada aturan yang menjadi hukum positif saat itu. Namun melihat kebijakan ini sebagai rangkaian yang memunculkan dugaan ada penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara, proses politik dan proses hukum pun sah untuk dijalankan, bukan pada kebijakannya tetapi pada ada tidaknya potensi kerugian negara. Jika tidak terbukti secara hukum, bukankah akan lebih baik bagi semua pihak karena sudah menempuh apa yang seharusnya dilakukan. Maka tegangan yang kemarin terjadi bisa kita tempatkan dalam konteks tegangan teknokratisme vs kontrol demokratis. Apa yang disampaikan mbak Dyah saya kira berada pada ranah ini. Di satu sisi kaum profesional cenderung apolitis, dan sebaliknya politisi lebih mengedepankan intrik/trik/lobby dan mengabaikan kapabilitas personal. Hemat saya persoalannya meletak pada format politik kita yang memang masih berada pada demokrasi prosedural. Kita surplus demokrasi tapi defisit politik. Praktik yang terjadi hari-hari ini bukanlah kebajikan politik melainkan buah surplus demokrasi prosedural. Setidaknya politik sebagai sebuah seni bernegosiasi, mencari alternatif, dan mengambil keputusan atas dasar persetujuan bersama ( deliberasi ), masih jauh panggang dari api. Politisi kita masih berada di level selebriti, menikmati layar kaca sebagai pentas, bukan panggung diskursus. Bahaya tontonan layar kaca adalah adanya eksploitasi sepihak tanpa adanya umpan balik. Demokrasi kini dikuasai kaum medioker, yang sama sekali tak cakap dan tak layak menjadi pemimpin. Politisi (dan pemimpin kita ) menyukai repetisi, karena ini dangkal, mudah dilakukan, dan mengecoh. Ia bak gincu demokrasi, sekedar lipstik yang menipu, karena bahayanya sedemikian jelas: koruptor dan ulama bisa bicara satu panggung, maling dan penegak hukum, serta bandit dan aktivis sosial seolah dilebur dalam satu wadah tanpa batas. Ini jelas berbahaya. Cara mengikisnya dengan memori. Artinya ya mengembalikan rasionalitas pada politik ( baca: pendidikan politik ). Merehabilitasi politik yang kini diguncang ulah dan sikap para elite politik. Kita harus awasi proses politik sejak awal, rekrutmen politik harus terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, jangan sampai partai politik menjadi perusahaan, apalagi dinasti. Saya setuju dikotomi profesional - politisi diakhiri, karena ini lebih sering mengecoh. Yang dibutuhkan adalah bagaimana semua bisa bekerja secara profesional, dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara politik. SMI saya kira tidak apolitis - sejauh saya baca dalam wawancara yang cukup panjang dan substantif dengan majalah PRISMA. Saya mengkritik kapitalisme dan neoliberalisme, tapi sekedar menyangkokkan label 'neolib' dijidat SMI atau Boediono adalah bukan cara intelek yang bisa dipertanggungjawabkan. Apa bedanya kita dengan Suharto dan Orba terhadap PKI jika demikian? Saya sendiri tidak tahu dari mana harus memulai. Tapi ibarat sebuah tontonan, layar tertutup tanda paripurnanya pertunjukan. Semua akan kembali menjadi aslinya. Apa yang tampak indah di panggung adalah benar2 sandiwara. Cara termudah, matikan televisi. Biarlah para narsis dan eksibionis itu beronani dengan hasrat megalomaniaknya sendiri. Diam-diam kita mengutuk, tapi tetap menikmatinya. maka, mari matikan saja televisi, karena dibanding manfaatnya, mudharatnya lebih banyak. Tentu mohon jangan disalahpahami, ini sekedar terkait dengan hal2 berbau sinetron - entah betulan, entah politik - karena sungguh ini berbahaya bagi masa depan bangsa. salam pras Dari: dyahanggitasari dyahanggitas...@yahoo.com Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Terkirim: Kam, 6 Mei, 2010 20:40:57 Judul: [Keuangan] Re: Ini bukan soal Sri Mulyani Kaum yang menyatakan dirinya profesional (anggapannya yang di partai tidak ada yang profesional) , dengan kejadian seperti ini harus mengambil hikmahnya. Para profesional harus mengubah paradigma yang selama ini merasa paling pintar dalam mengatasi masalah, maka kedepannya supaya melengkapi diri dengan interpersonal skill. Pintar saja tidak cukup.