[bali] Re: Menanti Listrik Sampah Kota Bandung

2008-07-30 Terurut Topik Nengah Sudja
Yth. Putra Semarapura dan Para Anggota Milis,
 
Selamat , artikel PLTUSa yang bagus, banyak  informasi,  dari  On Behalf Of
Putra Semarapura.
 
Karena  artikel bagus  ini, aku ingin  kenalan, boleh ya.
Aku juga dari Klungkung, jadi putra semarapura jua., 
Anda mengatas namakan putra daerahku, , boleh tanya nama Anda dan dari
daerah mana di Klungkung? 
Siapa tahu aku diundang  ceramah lagi di ITB Bandung ( Jurusan Elektro),
kita bisa jumpa dan kenalan.
 
SALAM.
Nengah Sudja,
Asal Dawan Klod, Klunggung, tinggal di Jakarta.
  _  

From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
Putra Semarapura
Sent: Tuesday, July 29, 2008 10:05 PM
To: bali@lp3b.or.id
Subject: [bali] Menanti Listrik Sampah Kota Bandung
 

 
seandainya sampah-sampah di bali bisa di daur ulang menjadi energi listrik,
akan sangat membantu menjaga kebersihan lingkungan di bali untuk mendukung
pariwisata di bali.
 
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/Iptek/ipt01.htm

Menanti Listrik Sampah Kota Bandung

  http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/Iptek/2507graf.gif  K
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/initials/k.gif ota Bandung, Jawa
Barat memastikan segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
dalam waktu dekat. Sosialisasi ke arah itu kini masih digencarkan dan
disosialisasikan oleh tim. 
  
Mereka beranggotakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan
Perencanaan Lingkungan Hidup (BPLH), Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan, PT
Bandung Raya Indah Lestari (BRIL), Tim Studi Kelayakan (Feasibility
Study/FS), dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTSa bekerja
sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). 
  
Model penanganan sampah akhir ini dipilih, karena keterbatasan kapasitas
lahan untuk pembuangan akhir (TPA) dan bisa menangani persoalan sampah dalam
jangka panjang. Model pengelolaan sampah yang ditimbun di tanah lapang
terbuka (open dumping) yang selama ini diterapkan dianggap tidak layak,
karena sulitnya pengendalian jika volume sampah sudah menggunung, polusi
udara, produksi gas methan yang membahayakan, serta ancaman bahaya longsor. 
  
Dengan model Waste to Energy/WTE atau PLTSa seperti ini, ada beberapa
manfaat yang didapatkan di antaranya bisa memperkecil volume sampah dan
teknik yang ramah lingkungan. Rencana pembangunan PLTSa ini telah melalui
proses studi kelayakan, termasuk di dalamnya Amdal yang melibatkan berbagai
pihak, termasuk LSM dan perguruan tinggi. 
  
Menurut salah seorang anggota Tim studi kelayakan (feasibility study/FS),
Mujiyanto dalam penjelasan yang disampaikan kepada SP melalui milis wartawan
peduli Sanitasi dan Lingkungan di Jakarta, beberapa waktu lalu, beberapa
pertimbangan yang mendasari dibangunnya PLTSa di Bandung tersebut. 
  
Pertama, PLTSa berfungsi sebagai pabrik pemusnahan sampah daripada
pembangkit listrik. Listrik yang dihasilkan dan dijual ke PLN hanya untuk
menutupi sebagian biaya operasi, ujarnya. 
  
Kedua, di seluruh kota di dunia pabrik pengolahan sampah yang dikelola
swasta memungut biaya dari pihak yang sampahnya ingin diolah/dimusnahkan.
Besarnya biaya pengolahan bergantung pada teknologi yang digunakan, semakin
tinggi teknologi yang digunakan semakin mahal biaya pengelolaan sampah. 
  
Ketiga, biaya pengelolaan PLTSa diharapkan lebih murah daripada di PLTSa
luar negeri. Sebagai gambaran, di Singapura pemerintah kotanya harus
membayar 80 dolar (Rp. 400.000) per ton kepada PLTSa swasta. 
  
Di Tiongkok biaya pengolahan sekitar 100-200 Yuan kepada PLTSa milik
pemerintah atau semipemerintah dan 250-300 Yuan pada PLTSa milik swasta (1
Yuan = Rp 1.300). 
Keempat, ketentuan mengenai kepemilikan pembangkit listrik dan listrik yang
dihasilkan diatur dalam UU 15/1985, PP 10/1989, dan Permen ESDM 1 dan
2/2006, yang pada intinya menyatakan pihak swasta boleh memiliki pembangkit
listrik dan listrik dari PLTSa wajib dibeli oleh PLN, karena dapat dianggap
sebagai pembangkit listrik energi terbarukan di bawah 10 MW. 
  
Perjanjian kerja sama dengan PLN yang berisi hal-hal tersebut di atas sedang
berlangsung, dan beberapa pertemuan dengan pihak terkait telah dilakukan.
Kelima, Pemerintah Kota bersama pengembang akan sangat berhati-hati dalam
melakukan pemilihan jenis teknologi, manufaktur, dan kualitas produk. 
  
Dengan nilai investasi ratusan miliar dan masa pengembalian yang lambat,
tentunya kita tidak menginginkan terjadinya pencemaran yang mengancam
penduduk Bandung. 
  
Keenam, untuk menjamin kualitas pabrik yang dibangun, sebelum kontrak
berakhir pihak vendor berkewajiban untuk mengoperasikan selama satu sampai
dua tahun, dan melakukan pengujian yang diperlukan untuk memastikan pabrik
beroperasi dengan baik dan emisi yang dihasilkan di bawah baku mutu yang
disepakati. 
  
Dr Ari Darmawan Pasek dalam presentasinya tentang hasil studi kelayakan
beberapa waktu lalu mengakui, ide untuk membangun PLTSa di Kota Bandung
datang dari pemerintah Kota Bandung sendiri. Sebab, kota ini dihadapkan pada
permasalahan berupa tidak tersedianya lagi 

[bali] Re: Menanti Listrik Sampah Kota Bandung

2008-07-29 Terurut Topik CHPStar
(wahwalaupun ada Bappenas dan ITB nya.tanpa planning process tidak 
bakal mulus.. Ketahanan pangan juga butuh pupuk sampah yang banyak.)



Back-up email for: [EMAIL PROTECTED]


--- On Tue, 7/29/08, Putra Semarapura [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: Putra Semarapura [EMAIL PROTECTED]
Subject: [bali] Menanti Listrik Sampah Kota Bandung
To: bali@lp3b.or.id
Date: Tuesday, July 29, 2008, 11:05 AM







 
seandainya sampah-sampah di bali bisa di daur ulang menjadi energi listrik, 
akan sangat membantu menjaga kebersihan lingkungan di bali untuk mendukung 
pariwisata di bali.
 
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/Iptek/ipt01.htm
Menanti Listrik Sampah Kota Bandung
 
ota Bandung, Jawa Barat memastikan segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga 
Sampah (PLTSa) dalam waktu dekat. Sosialisasi ke arah itu kini masih 
digencarkan dan disosialisasikan oleh tim. 
  
Mereka beranggotakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan 
Perencanaan Lingkungan Hidup (BPLH), Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan, PT 
Bandung Raya Indah Lestari (BRIL), Tim Studi Kelayakan (Feasibility Study/FS), 
dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTSa bekerja sama dengan 
Institut Teknologi Bandung (ITB). 
  
Model penanganan sampah akhir ini dipilih, karena keterbatasan kapasitas lahan 
untuk pembuangan akhir (TPA) dan bisa menangani persoalan sampah dalam jangka 
panjang. Model pengelolaan sampah yang ditimbun di tanah lapang terbuka (open 
dumping) yang selama ini diterapkan dianggap tidak layak, karena sulitnya 
pengendalian jika volume sampah sudah menggunung, polusi udara, produksi gas 
methan yang membahayakan, serta ancaman bahaya longsor. 
  
Dengan model Waste to Energy/WTE atau PLTSa seperti ini, ada beberapa manfaat 
yang didapatkan di antaranya bisa memperkecil volume sampah dan teknik yang 
ramah lingkungan. Rencana pembangunan PLTSa ini telah melalui proses studi 
kelayakan, termasuk di dalamnya Amdal yang melibatkan berbagai pihak, termasuk 
LSM dan perguruan tinggi. 
  
Menurut salah seorang anggota Tim studi kelayakan (feasibility study/FS), 
Mujiyanto dalam penjelasan yang disampaikan kepada SP melalui milis wartawan 
peduli Sanitasi dan Lingkungan di Jakarta, beberapa waktu lalu, beberapa 
pertimbangan yang mendasari dibangunnya PLTSa di Bandung tersebut. 
  
Pertama, PLTSa berfungsi sebagai pabrik pemusnahan sampah daripada pembangkit 
listrik. Listrik yang dihasilkan dan dijual ke PLN hanya untuk menutupi 
sebagian biaya operasi, ujarnya. 
  
Kedua, di seluruh kota di dunia pabrik pengolahan sampah yang dikelola swasta 
memungut biaya dari pihak yang sampahnya ingin diolah/dimusnahkan. Besarnya 
biaya pengolahan bergantung pada teknologi yang digunakan, semakin tinggi 
teknologi yang digunakan semakin mahal biaya pengelolaan sampah. 
  
Ketiga, biaya pengelolaan PLTSa diharapkan lebih murah daripada di PLTSa luar 
negeri. Sebagai gambaran, di Singapura pemerintah kotanya harus membayar 80 
dolar (Rp. 400.000) per ton kepada PLTSa swasta. 
  
Di Tiongkok biaya pengolahan sekitar 100-200 Yuan kepada PLTSa milik pemerintah 
atau semipemerintah dan 250-300 Yuan pada PLTSa milik swasta (1 Yuan = Rp 
1.300). 
Keempat, ketentuan mengenai kepemilikan pembangkit listrik dan listrik yang 
dihasilkan diatur dalam UU 15/1985, PP 10/1989, dan Permen ESDM 1 dan 2/2006, 
yang pada intinya menyatakan pihak swasta boleh memiliki pembangkit listrik dan 
listrik dari PLTSa wajib dibeli oleh PLN, karena dapat dianggap sebagai 
pembangkit listrik energi terbarukan di bawah 10 MW. 
  
Perjanjian kerja sama dengan PLN yang berisi hal-hal tersebut di atas sedang 
berlangsung, dan beberapa pertemuan dengan pihak terkait telah dilakukan. 
Kelima, Pemerintah Kota bersama pengembang akan sangat berhati-hati dalam 
melakukan pemilihan jenis teknologi, manufaktur, dan kualitas produk. 
  
Dengan nilai investasi ratusan miliar dan masa pengembalian yang lambat, 
tentunya kita tidak menginginkan terjadinya pencemaran yang mengancam penduduk 
Bandung. 
  
Keenam, untuk menjamin kualitas pabrik yang dibangun, sebelum kontrak berakhir 
pihak vendor berkewajiban untuk mengoperasikan selama satu sampai dua tahun, 
dan melakukan pengujian yang diperlukan untuk memastikan pabrik beroperasi 
dengan baik dan emisi yang dihasilkan di bawah baku mutu yang disepakati. 
  
Dr Ari Darmawan Pasek dalam presentasinya tentang hasil studi kelayakan 
beberapa waktu lalu mengakui, ide untuk membangun PLTSa di Kota Bandung datang 
dari pemerintah Kota Bandung sendiri. Sebab, kota ini dihadapkan pada 
permasalahan berupa tidak tersedianya lagi ruang di kota tersebut untuk 
membuang sampah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). 
  
Untuk itu, salah satu solusi yang dapat diambil adalah dengan mereduksi volume 
sampah yang dihasilkan oleh penduduk Bandung setiap harinya, yang jumlahnya 
mencapai 2.785 m3 per hari. Reduksi itu dapat dilakukan dengan cara mengubah 
sampah itu, menjadi abu dengan membakarnya. 
  
Untuk melihat apakah 

[bali] Re: Menanti Listrik Sampah Kota Bandung

2008-07-29 Terurut Topik CHPStar
Maaf, maksud saya Bappeda (bukan Bappenas)



Back-up email for: [EMAIL PROTECTED]


--- On Tue, 7/29/08, CHPStar [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: CHPStar [EMAIL PROTECTED]
Subject: Re: [bali] Menanti Listrik Sampah Kota Bandung
To: bali@lp3b.or.id
Date: Tuesday, July 29, 2008, 11:16 AM






(wahwalaupun ada Bappenas dan ITB nya.tanpa planning process tidak 
bakal mulus.. Ketahanan pangan juga butuh pupuk sampah yang banyak.)



Back-up email for: [EMAIL PROTECTED]


--- On Tue, 7/29/08, Putra Semarapura [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: Putra Semarapura [EMAIL PROTECTED]
Subject: [bali] Menanti Listrik Sampah Kota Bandung
To: bali@lp3b.or.id
Date: Tuesday, July 29, 2008, 11:05 AM







 
seandainya sampah-sampah di bali bisa di daur ulang menjadi energi listrik, 
akan sangat membantu menjaga kebersihan lingkungan di bali untuk mendukung 
pariwisata di bali.
 
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/Iptek/ipt01.htm
Menanti Listrik Sampah Kota Bandung
 
ota Bandung, Jawa Barat memastikan segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga 
Sampah (PLTSa) dalam waktu dekat. Sosialisasi ke arah itu kini masih 
digencarkan dan disosialisasikan oleh tim. 
  
Mereka beranggotakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan 
Perencanaan Lingkungan Hidup (BPLH), Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan, PT 
Bandung Raya Indah Lestari (BRIL), Tim Studi Kelayakan (Feasibility Study/FS), 
dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTSa bekerja sama dengan 
Institut Teknologi Bandung (ITB). 
  
Model penanganan sampah akhir ini dipilih, karena keterbatasan kapasitas lahan 
untuk pembuangan akhir (TPA) dan bisa menangani persoalan sampah dalam jangka 
panjang. Model pengelolaan sampah yang ditimbun di tanah lapang terbuka (open 
dumping) yang selama ini diterapkan dianggap tidak layak, karena sulitnya 
pengendalian jika volume sampah sudah menggunung, polusi udara, produksi gas 
methan yang membahayakan, serta ancaman bahaya longsor. 
  
Dengan model Waste to Energy/WTE atau PLTSa seperti ini, ada beberapa manfaat 
yang didapatkan di antaranya bisa memperkecil volume sampah dan teknik yang 
ramah lingkungan. Rencana pembangunan PLTSa ini telah melalui proses studi 
kelayakan, termasuk di dalamnya Amdal yang melibatkan berbagai pihak, termasuk 
LSM dan perguruan tinggi. 
  
Menurut salah seorang anggota Tim studi kelayakan (feasibility study/FS), 
Mujiyanto dalam penjelasan yang disampaikan kepada SP melalui milis wartawan 
peduli Sanitasi dan Lingkungan di Jakarta, beberapa waktu lalu, beberapa 
pertimbangan yang mendasari dibangunnya PLTSa di Bandung tersebut. 
  
Pertama, PLTSa berfungsi sebagai pabrik pemusnahan sampah daripada pembangkit 
listrik. Listrik yang dihasilkan dan dijual ke PLN hanya untuk menutupi 
sebagian biaya operasi, ujarnya. 
  
Kedua, di seluruh kota di dunia pabrik pengolahan sampah yang dikelola swasta 
memungut biaya dari pihak yang sampahnya ingin diolah/dimusnahkan. Besarnya 
biaya pengolahan bergantung pada teknologi yang digunakan, semakin tinggi 
teknologi yang digunakan semakin mahal biaya pengelolaan sampah. 
  
Ketiga, biaya pengelolaan PLTSa diharapkan lebih murah daripada di PLTSa luar 
negeri. Sebagai gambaran, di Singapura pemerintah kotanya harus membayar 80 
dolar (Rp. 400.000) per ton kepada PLTSa swasta. 
  
Di Tiongkok biaya pengolahan sekitar 100-200 Yuan kepada PLTSa milik pemerintah 
atau semipemerintah dan 250-300 Yuan pada PLTSa milik swasta (1 Yuan = Rp 
1.300). 
Keempat, ketentuan mengenai kepemilikan pembangkit listrik dan listrik yang 
dihasilkan diatur dalam UU 15/1985, PP 10/1989, dan Permen ESDM 1 dan 2/2006, 
yang pada intinya menyatakan pihak swasta boleh memiliki pembangkit listrik dan 
listrik dari PLTSa wajib dibeli oleh PLN, karena dapat dianggap sebagai 
pembangkit listrik energi terbarukan di bawah 10 MW. 
  
Perjanjian kerja sama dengan PLN yang berisi hal-hal tersebut di atas sedang 
berlangsung, dan beberapa pertemuan dengan pihak terkait telah dilakukan. 
Kelima, Pemerintah Kota bersama pengembang akan sangat berhati-hati dalam 
melakukan pemilihan jenis teknologi, manufaktur, dan kualitas produk. 
  
Dengan nilai investasi ratusan miliar dan masa pengembalian yang lambat, 
tentunya kita tidak menginginkan terjadinya pencemaran yang mengancam penduduk 
Bandung. 
  
Keenam, untuk menjamin kualitas pabrik yang dibangun, sebelum kontrak berakhir 
pihak vendor berkewajiban untuk mengoperasikan selama satu sampai dua tahun, 
dan melakukan pengujian yang diperlukan untuk memastikan pabrik beroperasi 
dengan baik dan emisi yang dihasilkan di bawah baku mutu yang disepakati. 
  
Dr Ari Darmawan Pasek dalam presentasinya tentang hasil studi kelayakan 
beberapa waktu lalu mengakui, ide untuk membangun PLTSa di Kota Bandung datang 
dari pemerintah Kota Bandung sendiri. Sebab, kota ini dihadapkan pada 
permasalahan berupa tidak tersedianya lagi ruang di kota tersebut untuk 
membuang sampah sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). 
  
Untuk itu,