Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Yth bung Dr. Irawan, Benar yang dikatakan Anda, ada kesenjangan antara anak muda dan kita kita ini yg sudah mutua (mulai tua). Anak saya yg sekolah di LA ketik PC nya zonder lihat keyboard, cepet bener. Dia gonta ganti gadget hampir tiap bulan, HP nya isinya aneh2. Suka main game on line sampe malem. Kita belajar BB aja setengah mati - males tinggalin HP Nokia jadul. Saya kalau mau kontak mereka pakai Skype, anak saya yg daftarin dan bayarin - saya tinggal klik namanya langsung terhubung. Cuma tidak bisa kontak ke alamat lain kecuali ke telp dia aja (bener bener pelit dia). Saya diminta pasang kamera tapi sampe sekarang sy belum pasang juga. RGDS.TG --- On Tue, 2/9/10, Dr. Irawan drira...@indonesiamedia.com wrote: From: Dr. Irawan drira...@indonesiamedia.com Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Tuesday, February 9, 2010, 2:05 PM Dr. Jo yb, Memang saya lagi kepengen itu. Padahal laptop saya ada kameranya juga, 20 tahun yg lalu saya sudah beli cameranya dan ada programnya saya beli satu untuk di LA satu lagi saya kasih ke Jakarta. Tapi itu tidak pernah terlaksana sampai sekarang. Nah itulah kita yang sering dikatain sama anak2, nafsu besar tenaga kurang. Saya sering tanya sama anak saya, jawabnya hanya mudah saja: Later Dad, I 'll let you know, but now I'm still in final atau apa saja alasannya. Terkadang saya berpikir, kita ini yang sudah mulai manula harus membentuk club sendiri untuk memberdayakan diri dibidang technology, sulit mengandalkan anak2 muda , mereka alasannya sibuk terus. Memang nya kita nggak sibuk cari makan ? yah nggak ? Apakah ada milis khusus untuk club orang yang berumur yang membahasa gadget ? Kalau masuk ke club anak muda kita selalu jadi the looser , di goblog2-in terus. salam putus asa, Dr.Irawan. 2010/2/8 B.H. Jo b...@yahoo.com Dr. Irawan yb, Saya sering berkomunikasi dgn. video call melalui web camera dari laptop saya dari AS atau Kanada ke Belanda dan Jerman tanpa membayar alias gratis apalagi bisa melihat orangnya live waktu berkomunikasi. Barangkali ini cara yg. paling murah utk. berkomunikasi antar negara. Apakah anda atau ada teman semilis ini yg. pernah menggunakan video call ke Indonesia atau dari Indonesia ke LN? Sayangnya, video call yg. saya gunakan adalah melalui Window Live Messenger (MSN Messenger) dimana video-nya cuma bisa digunakan berkomunikasi utk./antar dua orang saja pada suatu waktu tertentu walaupun audio-nya bisa digunakan utk. berkomunikasi lebih dari 2 orang secara simultan. Apakah ada program yg. memungkinkan berkomunikasi dgn. video utk. lebih dari 2 orang secara simultan? Salam, BH Jo --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Dr. Irawan drira...@... wrote: Pak Tjandra G yb, Saya sudah lama pulang ke LA, saya hanya spent kira2 18 hari disana pada akhir december dan balik lagi ke LA january. Betul Hendy Chung , adalah salah satu pengurus juga di ICAA , yang setiap Bazaar Imlek selalu mengerahkan anak buahnya yang dari Kalbar untuk bervolunteer. Bahkan dia yang bawa Gus Dur berkunjung dan berceramah serta nginap di ICAA dulu. Hendy itu memang pria yang terpuji dan baik hati saya sangat kagum padanya. kalau omongan mandarinnya barangkali Liauw Pu Zhi. Kalau anda mau tilpon saya silahkan (626) 335 2899 , kalau call dari Indonesia silahkan call saat subuh. karena perbedaan jam kita adalah 15 jam. jadi harap maklum. Atau kalau interlocal mahal , biar saya yang call saja ke anda asal kasih tahu nomornya. Semoga majalah anda bisa bermanfaat bagi BT dan vice versa . salam, Dr.Irawan. 2010/2/8 Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ ... Kepada Yth bung Dr.Irawan, Terima kasih atas masukan dari Anda. Saya sering melihat wajah Anda di MI - saya masih terbilang famili dengan sdr Handy Chung (pengusaha kaca matadi US). Boleh saya tahu berapa lama Anda ada di Jakarta dan mungkin ada no HP yg bisa dihubungi? PS: Saat ini sy masih di luar kota mungkin besok atau lusa balik ke Jakarta RGDS, TG
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Kalau saya ikuti, Sumamihardja tidak memaksa orang harus ikut 'pergerakan' dan harus punya track-record. Dia melainkan hanya menceritakan tentang track-record 'pergerakan'-nya sendiri (walaudengan rada 'lebay') sebagai sikap korektif terhadap kalimat Tjandra Ghozali yang menuding: ... kagak ngapa2in selain meratap!? Dan Tjandra Ghozali sendiri, yang patut dihargai juga untuk ajakannya agar kita-kita ikut dalam 'pergerakan' menyumbang TBT, toh juga sudah mengerti koreksi Sumamihardja tsb. Jadi menurut saya sih tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Diskusi boleh, mengajak 'bergerak' boleh, menagih track-record untuk 'membungkam' jangan... Wasalam. == - Original Message - From: zho...@yahoo.com To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Sunday, February 07, 2010 12:43 AM Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Ah Bung Suma! Ada dua hal yg perlu anda perhatikan: 1. Dari pengantar sudah terbaca jelas missi milis ini adalah membuka ajang diskusi utk sarana pembelajaran, itu sudah pasti! untuk menyempurnakan kehidupan kita Semua tujuan pembelajaran sdh pasti utk menyempurnakan kehidupan, tak ada yg membantah! dapat lebih mengenal dan mendalaminya demi terciptanya reformasi dan integrasi wajar dari kebudayaan Tionghoa . Ini juga ucapan yg wajar2 saja, karena dng lebih mengenal pasti tdk merasa asing, sehingga dng sendirinya ada integrasi wajar. Dari uraian pengantar diatas jelas sudah, penyempurnaan kehidupan dan integrasi wajar adalah akibat yg diinginkan(pahami kata semoga), yg hendak dicapai oleh Milis lewat memperkenalkan kembali budaya Tionghua dan sejarah Tiongkok serta mendiskusikan segala macam permasalahan- nya, bukan lewat cara2 yg lain! Apa disitu ada terkandung kata2 aksi atau yg mirip dngnya? 2. Memang dalam mencapai missi ini bisa macam2 caranya, itu saya sepakat. Dan selama caranya halal, itu akan saya dukung, itu sudah saya tulis dng kata syukuri! Tdk ada secuil katapun dari saya yg menentang class action semacam ini! Namun, semua cara punya tempatnya masing2, jangan memakai tolak ukur class action untuk semua medan! Masing2 medan punya batasan2 sendiri. di sungai telaga ada bun(wen) dan bu(wu), tak lucu menilai kiprah seorang bunsu(kaum cendekia) dari aksinya di medan perang, demikian juga tak pantas menguji kapasitas seorang panglima dari kepintarannya bersyair. Yg saya tentang adalah: setiap diskusi mulai panas, pasti ada yg mempertanyakan apa tindakan nyata kita? Apa track record kita? Jika semua hal dinilai dr tindakan nyata, bila semua diskusi diukur dari track record seorang, saya yakin, akan bubrah medan diskusi kita! Contohnya: ada yg membuka topik diskusi cara promosi musik klasik Tiongkok, jika ditanyai tindakan nyata dan track recordnya. Mungkin yg pantas ngomong di millis ini hanyalah sdr Andre Harmoni, krn dia yg aktif dibidang itu, yg lain lebih baik bungkam saja. Demikian juga, banyak yg tertarik masalah pelestarian bangunan sejarah, jika ditanyai kedua hal diatas, mungkin hanya bung summa yg pantas berkicau sendiri, yg lain hanya boleh menjadi pendengar yg baik. Apakah hal ini yg kita inginkan? Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -- From: sumamihardja sumamihar...@yahoo.com Date: Sat, 06 Feb 2010 16:06:44 - To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Komentar saya yang dianggap tidak pantas yang mana? Apa jangan-jangan anda sendiri yang membuat inti pernyataan anda menjadi bias. Coba kita baca lagi deh: Ada sesuatu yg salah di millis ini: Millis ini dibentuk adalah untuk ajang Diskusi masalah2 yg berkaitan dng budaya dan sejarah Tionghoa, bukan ajang menggalang aksi pergerakan/class action! Anda sendiri bilang bahwa ada sesuatu yang salah ketika ada yang menggalang aksi pergerakan/class action. Tapi coba anda baca sendiri apa pengantar yang dibuat untuk milis BT ini: Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat, demikian Andreas Eppink berkomentar. Sejarah bisa lain menurut sudut pandang yang berbeda-beda pula, namun kita yakin keluhuran sejarah hanya satu dan adalah tugas kita untuk belajar dari sejarah untuk menyempurnakan kehidupan kita supaya kesalahan yang lalu-lalu tidak terulang kembali. Milis ini dibuat untuk memperkenalkan kembali budaya Tionghua dan sejarah Tiongkok serta mendiskusikan segala macam permasalahan-nya. Semoga dengan diadakannya milis ini, siapa saja dari bangsa dan etnis manapun yang tertarik akan kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok dapat lebih mengenal dan
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Yth Pa Sumamihardja, Saya salut dengan aktifitas anda selama ini - seharusnya warga Tionghoa seperti anda, berani berkomentar untuk membela kita punya peninggalan budaya. Akan halnya perkataan Yahudi tujuannya bukan rasis cuma mengingatkan akan tembok ratapan di Yerusalem hanya itu. Mohon maaf bila pernyataan saya terlalu vulgar. Salam, Tjandra G --- On Wed, 2/3/10, sumamihardja sumamihar...@yahoo.com wrote: From: sumamihardja sumamihar...@yahoo.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Wednesday, February 3, 2010, 3:10 AM Jaga omongan! Ketimbang anda memberikan soja tapi sengaja melontarkan ucapan macam begitu, jauh lebih baik kalau dipikirkan dulu apa yang mau anda katakan!!! Apa hubungannya Yahudi dengan masalah ini? Tahukah anda bahwa dulu orang-orang sebangsa anda juga pernah dijuluki Yahudi dari Timur dan menimbulkan syakwasangka yang mendalam??? Tahukah anda efeknya terhadap upaya melawan diskriminasi dan menghargai perbedaan-perbedaan antara etnis yang berbeda? Kok anda ikut-ikutan mengangkat istilah semacam itu setelah gagasan anda ternyata tidak disetujui oleh banyak miliser di sini? Tingkah semacam itu sama seperti anak kecil yang merajuk setelah keinginannya tidak dipenuhi, akhirnya balik mengejek-ejek. Tahukah anda bahwa tidak semua orang Yahudi meratap di tempat itu? Tahukah anda bahwa yang meratap pun bukan semuanya orang yang kagak ngapa-ngapain? ?? Komentar anda yang sembarangan semacam inilah yang menjadi bibit rasisme. Kalau tidak setuju dengan sikap semacam itu, kan tidak harus membawa-bawa nama Yahudi atau membanding-bandingk an Tionghoa dengan Yahudi! Besok jangan-jangan akan dibanding-bandingka n pula antara nabi-nabi Yahudi dengan dewa-dewi Tionghoa. Saya tidak tahu kepada siapa komentar ini anda lontarkan, kepada yang mengomentari permintaan anda untuk membantu dana TBT, kepada perorangan tertentu atau siapa? Saya pribadi juga tidak sependapat dengan TBT tersebut, sehingga wajar kalau saya berpikir anda pun menujukkan sarkasme anda itu kepada saya juga. Sayangnya anda sangat keliru, sekaligus juga perlu ditegaskan bahwa SAYA BUKAN ORANG YANG NATO!!! Kalau bicara, kenali dulu kepada siapa anda bicara. Saya memang muda, dan saya bukan orang Jakarta, malah jauh di daerah sana. Kalau soal CN, itulah yang justru saya selalu tanyakan kepada mereka yang terlibat atau setidaknya tahu, dan saya tidak NATO. Saya hanya tahu dari surat kabar bahwa SMH sudah dibongkar tahun 1990-an, dan saya bahkan baru masuk kuliah, ditambah banyak persoalan di kampung saya yang saya harus turun tangan. Tapi apakah kemudian saya diam? Pernahkah anda masuk ke sarang Untar dan ngoceh mengenai kesalahan jurusan arsitek Untar di depan orang-orang yang menjadi panitia pembongkaran? ?? Orang mungkin bilang saya gila dan nekad, tapi tentu saja banyak yang juga bilang saya berani dan punya wawasan. Intinya, saya tidak NATO. Saya sendiri bukan orang yang kasar, tapi saya keras dalam prinsip dan juga punya pengetahuan yang cukup. Itulah yang menyebabkan orang Untar tetap respek sama saya karena kejujuran dan kematangan sikap saya. Saya pun bicara dengan dinas kebudayaan DKI dan bahkan ke Dirjen Purbakala di Depbudpar, meski saya memahami bahwa mereka mengalami masalah koordinasi di lapangan, dan dengan anggaran yang terbatas karena pemerintah pusatnya memang tidak peduli dengan aset budaya. Tahu kasus Trowulan, Museum Solo, Taman Borobudur (dan strategi terbarunya yang bias, yaitu kewajiban berbatik), dan sebagainya? Itu akibat pariwisatanya yang didulukan, sementara budayanya dijadikan komponen pariwisata sejauh itu menguntungkan pemodal. Makanya saya bilang bahwa persoalannya memang kadung laten, tidak sesederhana membalik telapak tangan. Seberapa kuatnya dana para miliser yang peduli budaya ketimbang para konglomerat yang merasa punya uang dan bisa membeli segalanya untuk keperluan bisnis yang lebih baik bagi mereka? Kalaupun para konglomerat tersebut membeli benda budaya, saya sendiri ragu apakah itu untuk keperluan konservasi ataukah sekedar romantisme dan pamer kekuatan uang? Kasus rumah Oey Djie San menunjukkan hal tersebut. Mau action soal rumah Oey Djie San? Sudah dilakukan, bahkan dengan melibatkan sejumlah orang yang dianggap tokoh. Masalahnya, ketika Pemkot Tangerangnya dableg, merasa bahwa itu belum jadi cagar budaya (atau mungkin juga masih ada sinophobia di balik alasan tersebut), atau mengatakan dananya tidak ada, kemudian adakah pengalihan dana dari para konglomerat kepada rumah ODS tersebut? Kalau pencinta budaya terus-menerus demo (padahal jumlahnya sedikit), Pemkotnya juga tinggal mengerahkan Kamtib dengan alasan menduduki lahan orang. Kalau mau peduli, yang benar adalah mengalihkan dana TBT ke pembelian rumah ODS, dan membentuk perkumpulan pengurusan (fungsionalisasi bangunan sehingga bisa
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR
Ah Bung Opheng sih terlalu optimis. Setiap orang bisa punya usul segudang, tapi yg menentukan kan ketua panitianya. Makanya setiap ada orang mau berpartisipasi thd sebuah acara, hrs tanya dulu: siapa yg mimpin? Jika sehaluan ya ikut, jika tdk ngapain maksa? Nanti pasti kecewa. Realistislah. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: Ophoeng opho...@yahoo.com Date: Tue, 02 Feb 2010 11:06:07 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR Bung Sugiri, Bung Tjandra G., Bung Zhoufy, Bung Dr. Irawan, Bung David K, Bung Dipo, Bung Ardian C., Bung Agoeng, Bung Kawaii, Bung Sumamihardja, Bung Utama, Bung Andre Harto, Bung Bebek Ceper, Bung Rio Bembo, Bung Eddy Witanto, Bung Rico, dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan? Membicarakan penyesalan kita atas hancurnya gedung-gedung tua khas Tionghua yang asli, kayaknya sih tiada akan ada habisnya, dan akan terus berlanjut - sebab gedung-gedung tua di mana-mana sekarang pada menunggu nasib yang hampir sama, sementara kita di sini masih berkutat berdiskusi ttg itu. Dan kayaknya sih gedung-gedung yang sudah dihancurkan itu pun tidak bisa diperbaiki lagi - apa boleh buat, suka tak suka, sudah kejadian sih, jeh! Mungkinkah ada baiknya kalau kita melihat ke depannya bagaimana? Mestinya kita semua berkeinginan supaya ada tindakan dari pemerintah, dan bantuan sekecil apapun dari kita, supaya ke depannya tidak ada lagi gedung-gedung tua khas Tionghua yang dihancurkan. Sementara menunggu upaya kita berhasil mengetuk tindakan nyata dari pemerintah, mungkin ada baiknya kita mulai dengan satu langkah kecil dulu saja. Kata Confusius: Journey of a thousand miles, begins with but a single step. Yang sudah hancur, walau kita tidak suka sama sekali, apa boleh buat, tidak bisa di-rewind dan kembali utuh. Rasanya kita bisa setuju bahwa kita boleh memaafkan kesalahan orang di masa lalu, walau kita mungkin tidak boleh melupakan kesalahannya, supaya kelak tidak terulang kejadian yang sama. Seperti halnya orang bersalah mesti ada hukuman, ada penebusan atas kesalahannya, mungkin penyediaan lahan di TMII seluas 4,5 hektar itu bisalah dianggap sebagai 'penebusan' - walau tentu saja nilainya tidak sebanding dengan pemusnahan rumah tua kuno dulu. Bukankah nenek (atau kakek?) moyang kita juga mengajarkan untuk berbesar hati, membuka hati dan membuka pintu maaf, walau mungkin tidak dimintakan. Di adat tradisi kita, kayaknya ada istilah 'memberi muka' - memberi maaf tanpa dimintakan, rasanya ini suatu tindakan memberi muka yang butuh kebesaran hati dan jiwa juga. Persoalan politik masa lalu, memang pada akhirnya menjadi dilema, juga ibarat kata pepatah 'memakan buah simalakama' - dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu yang mati. Bagi politikus sendiri, kabarnya tiada ada musuh yang abadi, hari ini lawan, besok bisa jadi kawan. Jaman itu, mungkin saja pejabat ybs mesti memilih yang dua-duanya tidak enak seperti buah simalakama itu. Tentu saja pilihan yang dulu dianggap benar, sekarang bisa menjadi salah. Pada waktu itu mestinya ada alasan dan pertimbangan tertentu yang membuatnya memilih hal yang sekarang dianggap salah itu. Padahal, katanya budaya dan politik mesti dipisahkan sama sekali ya? Kalau pun kita mau mengingat-ingat terus kesalahan itu, itu semua hak masing-masing. Tapi, apakah sepadan dengan energi yang dibuang untuk itu? Bukankah ada baiknya kita salurkan energi kita untuk besok - dengan mulai membuat sesuatu yang lebih baik sekarang. Sebab katanya sih What we are now is what we did yesterday, what we will be tomorrow is what we are doing now. - Buddha(?) Ide pengisian TMII seperti yang diuraikan oleh Bung Sugiri sudah bagus. Kalau pun mau membuat pertandaan ttg perbuatan salah di masa lalu, mungkin bisa diminta sisa-sisa bahan bangunan dari Gedung Candra Naya itu, untuk dibangunkan suatu 'sisa gedung' porak poranda (sengaja dibuat tentunya) yang ada bagian dari sisa gedung yang otentik asli itu (bubungan atau kusen?), lalu diberi catatan: Inilah hasil perbuatan yang salah di masa lalu, moga-moga tidak lagi ada pengulangan kesalahan yang sama di masa depan. Seperti monumen Hiroshima - Nagasaki di Jepang itu. Saya setuju dengan ide memanfaatkan gedung dan kompleks itu secara komersil, sehingga ada pemasukan untuk perawatan kompleks dan perawatan gedung-gedung kuno lain yang masih ada (kalau bisa). Kalau soal roh gedung tua yang mestinya tidak ada di gedung baru, juga arsitekturnya mesti bagaimana, mestinya para ahli Budaya Tionghua mau ikut sumbang saran dan bertukar pikiran. Gedung-gedung kuno itu (yang sudah musnah atau masih ada), waktu dibangun dulu, mungkin saja pemiliknya juga tidak pernah berpikir bahwa puluhan atau ratusan tahun kemudian, ada pecinta budaya yang guyub di milis BT ini yang begitu peduli, membicarakan soal roh gedungnya dan arsitekturnya itu bercirikan khas
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR
Haha, sudah kebayang: shio naga diganti komodo. bintang yg lain kan ada di indonesia. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: Erik rsn...@yahoo.com Date: Wed, 03 Feb 2010 06:29:21 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA. Boen Bio Li Thang GUS DUR Ya, betul! Di luar rasa miris kita terhadap ulah mereka yang mengklaim diri Tokoh Masyarakat Tionghoa yang ikut memberangus situs-situs budaya Tionghoa di Indonesia. Sebetulnya kita juga tidak pernah merasa turut memiliki TBT yang Di TMII itu kok. Bagaimana bisa sense of belonging itu dimunculkan dari kami, bila para pemrakarsa bertindak arogan dan otoriter. Yang diminta dari kita-kita cuma partisipasi menyumbang duit, sedang ide, pikiran dan saran kita sama sekali tak didengar mereka. Salah satu contohnya adalah Teddy Yusuf yang tidak pernah mau menghormati pendapat masyarakat Tionghoa, ngotot mengganti simbol Capji Shio dengan jenis-jenis satwa yang khas Indonesia. Argumen dia adalah agar supaya TBT itu tidak dianggap representasi salah satu agama, dan sekaligus juga lebih mencerminkan telah mengindonesianya masyarakat Tionghoa!! Contoh hal-hal kecil itu saja dia tidak pernah mau menerima masukan dari masyarakat. Apa lagi kalau ide-ide serius lainnya. Mimpi kali..! Salam, Erik \ -- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: Bung(atau mbak?) srustan, sebelum anda susah2 mikirin ide serius yg mau disumbang, saya kira lebih baik diselidiki dulu bentuk kepanitiaan tbt tmii ini dulu. Dari situ kita akan lihat, ini proyek serius atau hura2, educative atau politis? Jika yg ngurusi isinya orang yg tak paham budaya semua, mau kita usul segala macam ya percuma, jika dilaksanakan sepotong2 juga akan tambal sulam, amburadul dan hasil akhirnya biikin kecewa. Lain halnya jika di dalamnya duduk para akademisi dan budayawan, omongannya baru bisa nyambung. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Wah, babe yg memberangus babe pula yg ngasih bantuan berupa tanah utk membangun. Hebat betul! Apa bukan untuk menutup2i dosa di masa lalu setelah dilengserkan? Kok kita2 yg pernah menjadi korban mau2nya menjadi tukang rias si mayat hidup? Jika kita manusia yg sadar sejarah, lebih baik dirikan saja museum pemberangusan budaya dan pembersihan etnis di taman mini! Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -Original Message- From: dkhkwa dkh...@yahoo.com Date: Mon, 01 Feb 2010 07:51:40 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Pa Tjandra, Yang owe dengar dari “sumber yang bisa dipercayaâ€, tanah aslinya adalah 1 ha, “Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha.†Tapi, karena tanah selebihnya dibeli dari penduduk entah dengan sukarela atau paksa “bahkan serah terima juga tak lancar karena harus membebaskan lahan tsb dari penduduk ilegal yg suka main keras. Untung pa Tedy juga pensiunan petinggi ABRI dan dibantu oleh beberapa orang donatur maka lahan tsb sekarang terbebaskan.†Jadi, kalau sekarang luasnya 4,5 ha, apa anehnya? Orang boleh beli koq, bukan pengasih babe ato yang semasa berkuasanya menindas orang TIONGHOA, untuk “menebus dosaâ€??? Bukankah kata pepatah, “ada uang, ada barangâ€? Luasnya yang jau melebihi anjungan dari daerah-daerah lain di Indonesia apa tidak dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan sosial? Apalagi bangunan yang hendak dibuat adalah “main building Taman Budaya Tionghoa yg megah (ada pagoda segala dan danau buatan di kelilingi pohon Liang Liu yg indah utk perayaan Peh Chun).†Yang dibangun bukanlah replika dari gedung bekas kediaman tokoh masyarakat Anu dari daerah Anu di Indonesia, yang tak asing bagi sebagian orang, tapi sesuatu yang benar-benar asing, karena tidak ada di Indonesia, yang tukang-tukangnya “diimpor†langsung dari Tiongkok, sedangkan anjungan-anjungan lain toch mengambil contoh, misalnya, Keraton Yogyakarta yang memang aslinya benar-benar ada di Yogya. “Disain ini bukan replika dari rumah kuno para tuan tanah Tionghoa, tetapi sama sekali baru.†Kenapa bersikap “alergi†betul terhadap para tuan tanah atau pejabat TIONGHOA, sementara etnis LAIN biasa-biasa saja terhadap para pemimpin seperti para raja, sultan atau bupati mereka? Ataukah anjungan Tionghoa Indonesia isinya adalah replika Cikim-snia (Kota Terlarang) di Pakknia (Beijing), Danau Se’ou (Xihu) di Hangciu (Hangzhou), lengkap dengan pohon Yangliu-nya segala, Taman-taman Souciu (Suzhou), Pailau (Gerbang) dari Emui (Xiamen), dsb. Kalau orang mau melihat bangunan Tionghoa asli di Tiongkok, kenapa mereka harus ke Taman Mini? Kenapa tidak terbang saja langsung ke Beijing, Shanghai, Hangzhou, Suzhou, Xiamen, Guangzhou, Shenzhen? Di sana malah lebih bagus, bukan tiruan seperti kita, tapi asli loh!!! Yang owe tahu, di Shenzhen juga dibikin miniatur seperti di kita, China Folk Cultures Village, tapi kan mereka menampilkan beragam bangunan berdasarkan kelompok etnik yang memang ADA di Tiongkok, bukan mendisain bangunan-bangunan baru yang “ngga karuan juntrungannyaâ€!!! (PCMIIW) Lalu ke mana orang harus pergi bila ingin mencari dan mempelajari bangunan ala TIONGHOA INDONESIA, kalau bangunan asli yang ada sudah dihancurkan dan replikanya yang dibuat sesuai aslinya pun tidak ada? Apakah sejarah dan jatidiri Tionghoa Indonesia mau dihapuskan, digantikan dengan sejarah non-Tionghoa Indonesia versi Taman Mini yang―lagi-lagi―“ngga karuan juntrungannyaâ€??? Owe harep itu perkara tida nanti sampe kajadian pada generatie muda kita sampe kapan juga. Muhun maaf seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2...@... wrote: Bab. 1 Dear members, Memang soal sumbangan bukan hal mudah. Historisnya dahulu pa Harto menyerahkan lahan TMII kepada pak Tedy hanya 1 ha untuk warga Tionghoa sedang 1 ha lagi utk warga India dan 1 ha lagi utk warga Arab. Tetapi dalam perjalanannya lahan untuk warga India dan Arab dikembalikan ke pa Harto, karena menurut mereka, sulit mendapatkan dana dari warga mereka yang umumnya tidak kompak. Lalu pa Harto serahkan semuanya kepada pa Teddy. Entah kenapa pa Tedy terlalu “PD†mungkin dianggapnya warga Tionghoa yg populasinya no.3 setelah warga Jawa dan Sunda serta terkenal dengan kekompakannya dan suka saling bantu (itu sebabnya ada legenda yg menyatakan orang Tionghoa cepat maju karena di antara mereka suka saling tolong), ditambah lagi banyak warga Tionghoa sudah berhasil dalam bidang usaha - masa sih dalam waktu 6 tahun anjungan tidak jadi? Maka diterima semuanya, bahkan serah terima juga tak lancar karena harus membebaskan lahan tsb dari penduduk ilegal yg suka main keras. Untung pa Tedy juga pensiunan petinggi ABRI dan dibantu oleh beberapa orang donatur maka lahan tsb sekarang terbebaskan. Tapi
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Kawan2 yb, Pembongkaran dan pengkangkangan bangunan CN memang menjadikan banyak masyarakat Tionghoa kecewa , itu dapat dimengerti. Sehingga ada yang bilang dosa dari petaka itu ditanggung oleh salah satu puteranya yang turut sebagai penumpang yang menghempas kedalam gedung WTC saat 9/11. Semua itu telah berlalu , yang terjadi sudah terjadi. Yang paling penting sekarang adalah kita tetap harus move forward, dan memastikan langkah-langkah apa yang harus diambil agar hal seperti itu, dan derivatnya tidak akan terjadi lagi. Bagi panitia pembangunan anjungan BT juga harus bekerja lebih keras, untuk menarik simpatik masyarakat lagi guna mendukung proyek ini. Disini saya lihat ada 2 kendala, yang pertama adalah kendala finansial, dan kedua kendala yang tak kalah pentingnya adalah kendala dukungan moral dari masyarakat Tionghoa secara luas. Dalam hal meredam kekecewaan masyarakat atas terbongkarnya situs2 bangunan tradisi Tionghoa Indonesia selama ini. Menurut hemat saya untuk urusan finansial tetap harus diperjuangkan dananya datang dari Konglomerat. Nanti bila sudah hampir selesai , maka saatnya tokoh2 masyarakat budaya dirangkul kembali agar mendapatkan dukungan yang lebih sempurna. BTW bangunan sejenis CN , pernah saya lihat fotonya pada pameran foto Chinese Association dari Taiwan . Mungkin Bung Rinto tahu itu. Nanti kalau saya dapatkan kembali dari file saya akan saya share disini. Namun foto itu hanya menampakkan Front Elevation , Konfigurasinya sangat mirip . Apakah gedung itu masih eksis di Taiwan ? mungkin nanti Bung Rinto bisa verify. 2010/1/28 sumamihardja sumamihar...@yahoo.com Sebenarnya gedung CN posisi historisnya tidak begitu jauh dibandingkan dengan satu dari saudara-saudara-nya. Gedung CN tadinya didirikan bersamaan dengan dua gedung lainnya di sepanjang jalan Gajah Mada (sekarang) sebagai milik dari keluarga besar Khouw. Khouw Kim An adalah penghuni gedung CN itu, sementara dua lainnya ditempati oleh saudara-saudaranya. Arsitekturnya bisa dikatakan sama dan menawan. Masalahnya, gedung yang satu yang sempat disewakan menjadi kedubes RRT, disikat tahun 1966 dan dinasionalisasi untuk kemudian dibongkar dan diubah fungsinya, yang lainnya juga kabarnya terkena perusakan dan kemudian dijual lalu menjadi pertokoan (atau SMA 2, salah satunya benar, cuma tertular dengan yang eks kedubes. Catatan saya belum ketemu dalam waktu singkat ini). Jadinya, tinggal CN itulah satu-satunya gedung lux Tionghoa era akhir abad ke-19 selain rumah keluarga Souw di Perniagaan dan gereja Santa Maria de Fatima di dekat Petak Sembilan. Kalau dari sisi kualitas, gedung keluarga Khouw ini adalah nomor 1-nya di masa itu untuk wilayah Batavia baik dari sisi kualitas arsitektur, bahan penyusunnya, perangkat meubel, bangku batu, ubin batu, singa batu, kaligrafi dan ukiran yang dibuat di sana serta luas bangunannya. Kalau di Tangerang, rumah Oey Giok Koen adalah yang paling top, namun sepembandingan saya, masih sedikit kalah kelas dibandingkan milik keluarga Khouw ini. Meski demikian, gedung CN ini memiliki sejarah kuat sebagai rumah dari Majoor der Chineezen terakhir di Batavia (1910-1942 karena Jepang dan tidak berlanjut setelah Proklamasi), yaitu Khouw Kim An yang meninggal dalam tawanan Jepang di Cimahi tahun 1945. Selain Majoor (jabatan tertinggi saat itu), KKA juga merupakan seorang pendiri THHK. Tahun 1910-19300 dia juga menjadi ketua Kong Koan Batavia dan tahun 1918 mendirikan Bataviaasche Bank. Tahun 1928 ia ikut mendirikan Chung Hwa Hui. KKA juga mendapatkan sejumlah bintang penghargaan dari Belanda. Rumahnya di CN itu digunakannya untuk mengadakan pertemuan-pertemuan baik dengan petinggi Tionghoa maupuun dengan kalangan pembesar lain (Belanda, Jawa, Sunda dan sebagainya), termasuk ketika didirikan klub olah raga dan seni budaya Sin Ming Hui. Dari sisi historis, itulah rumah Majoor der Chineezen. Dari sisi selanjutnya, sepeninggal KKA, rumah itu dijadikan tempat pertemuan kalangan Tionghoa, apalagi pada masa bergejolak 1945-1947 lewat kejadian gedoran dan kerusuhan Tangerang. Kerusuhan ini ada beberapa gelombang, namun yang terbesar terjadi tahun 1946-1947, menyusul kejadian serupa di sejumlah daerah seperti Medan (1945-1946), Tasikmalaya, Garut, Kuningan, Cirebon dan sekitarnya (1946) dan di daerah-daerah lainnya di pulau Jawa (salah satunya direkam oleh Tjamboek Berdoeri di Malang). Tim yang berangkat ke Tangerang di bawah perintah Soekarno memintakan ijin untuk menampung pengungsi tersebut dengan kawalan tentara rakyat yang tunduk kepada Soekarno ke rumah alm. KKA ini. Dengan demikian, rumah KKA ini menjadi saksi bagaimana pergolakan sosial-politik di Indonesia dari awal abad ke-20 (THHK) hingga masa kemerdekaan dan kemudian pemunculan orde baru, yang kesemuanya mempengaruhi kedudukan dan keamanan kalangan Tionghoa di Indonesia. Masalahnya, seperti apa yang sudah saya tulis di thread yang dulu, gedung bersejarah ini justru dihancurkan oleh kalangan Tionghoa
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Ah! bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur ala theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli! Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan asli. From: Kawaii_no_Shogetsu fenghuan...@hotmail.com To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai bangunan induknya. Bagaimana? --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, dkhkwa dkh...@... wrote: Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!! Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Tjandra Ghozalli ghozalli2002@ wrote: Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Pak David Kwa yb, Saya sangat mengerti kegemasan Pak David , juga mungkin banyak kawan2 lainnya macam Ir. Hendra Lukito dari UNTAR , jadi agaknya penyandang dana atau donatur harus tampil dari para konglomerat dari pada rakyat umum kebanyakan kalau begitu, agar pembangunan Anjungan BT itu bisa cepat selesai. Terimakasih atas keterusterangan dari Pak David Kwa, sehingga pimpro bisa mengatur strategi yang tepat dalam pencarian dana untuk ABT tsb. salam, Dr.Irawan 2010/1/28 dkhkwa dkh...@yahoo.com Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya†dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!! Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala. Kiongchiu, DK --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com budaya_tionghua%40yahoogroups.com, Tjandra Ghozalli ghozalli2...@... wrote: Dear members, Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Hebatnya anjungan ini luasnya 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha. Kita sebagai member millis ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia. Sayangnya di atas tanah tersebut belum dibangun main building yang dibangun baru sub building yang kecil kecil (sumbangan
Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
Kepada Yth Sianseng David Kwa, Memang ada benernya sianseng punya pendapet untuk selametin itu bangunan tua. Cumah seperti sianseng Ophoeng bilang, selametin itu bangunan tua tida semudah membalik telapak tangan karena para ahli waris tentu mau itu kehwe jatuh di tangan mereka. Nah yang beli itu rumah kebanyakan para konglomerat yang punya pikiran ada beda sama kita orang pikir. Mereka mau uang yg ditanam sekarang, besok sudah berbuah. Sedangkan di kita punya perkumpulan budaya rata rata orang cuma cinta seni budaya setengah mati tapi kantong ada kempes. Kita juga susah menyalahkan pak Tedy, karena sebagai purnawirawan ABRI, kantong pak Tedy tida bisa gemuk. Para konglomerat juga tida mau nyumbang karena bangunan budaya bukan hal yg bisa dijadikan pahala bila menghadap Giam Koen. Mereka baru timbul sumanget menyumbang cuma untuk bangunan ibadah semacem vihara, kelenteng, gereja, dan masjid. Nah kalu bangunan ibadah mereka ada gesit sekali nyumbang. Mereka (juga kita) pengen hidup kaya raya di dunia dan hidup nyaman di akhirat. Makanya dari pada mikir yg susah susah dan nyalahin orang kiri-kanan, kalau kita punya duit cebantun, silahkan donatur ke Taman Budaya Tionghoa. Diperkirakan ada 20 juta jiwa Tionghoa peranakan di ini kepulauan. Kalu 1% nya aja nyumbang sudah jadi bangunan utamanya. Itu kira kira owe punya pendapet, kalau ada salah kata mohon sianseng maafken. Soja, Tjandra G --- On Thu, 1/28/10, dkhkwa dkh...@yahoo.com wrote: From: dkhkwa dkh...@yahoo.com Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Thursday, January 28, 2010, 4:18 PM Pak Tjandra, Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita bagaimana “ramainya” dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming. Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya. Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran. Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa? Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di