[budaya_tionghua] menyusun buku turunan
Dear Bapak/ibu, Apakah ada yang tau bagaimana menyusun buku turunan? Keluarga kami (dari pihak suami) punya buku turunan yang sudah tua umurnya. Turunan tsb diawali dari generasi pertama sejak kedatangan nenek moyang (kalo ga salah ingat) namanya Tantin dari kampung (kalo ga salah ingat) namanya Kulamtaw tahun berapa yah? saya lupa harus nyontek buku turunan dulu. Tetapi buku tsb tidak diteruskan lagi sejak +/- 30 tahun yang lalu, dan saya berniat meneruskannya tetapi tidak tau caranya. Mohon penjelasan dan pencerahan. Terima kasih dan salam, Christine Yahoo! Groups Sponsor ~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[budaya_tionghua] Kontes "Miss Chinese Cosmos Pageant 2005"
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/09/14/index.html SUARA PEMBARUAN DAILY Kontes "Miss Chinese Cosmos Pageant 2005" JAKARTA - Wanita Indonesia kembali mendapatkan kesempatan mengikuti kontes kepribadian dan kecantikan kelas dunia. Pemilihan wanita tercantik sejagad itu bertajuk Miss Chinese Cosmos Pageant 2005. Sesuai namanya, pesertanya adalah para wanita asli puteri Tionghoa atau keturunan Tionghoa. Untuk Indonesia, pemilihan yang diberi nama Miss Chinese Cosmos Pageant 2005-Indonesia Contest, diselenggarakan dengan disponsori antara lain, Yayasan Upasaka, Sanex-Tel, Hotel Radisson, Mandarin Station dan Radio Cakrawala. Semua peserta kontes tersebut, selama mengikuti babak seleksi sampai karantina di Jakarta, mendapatkan pelajaran bimbingan dari beberapa pakar kepribadian, kecantikan, psikologis, kesehatan, disiplin tata krama pergaulan, perawatan tubuh dan modeling. Mereka juga diberikan pengetahuan komunikasi, kebugaran, dan latar belakang budaya Indonesia lengkap dengan produk hukum yang berlaku, termasuk pendalaman tentang budaya masyarakat Tionghoa. Tidak ketinggalan syarat penting lainnya peserta Miss Chinese Cosmos Pageant yakni, cerdas, berpenampilan menarik, minimal lulusan SMU, menguasai aktif bahasa Inggris dan Mandarin, serta berkepribadian baik dengan pengalaman pengetahuan umum memadai. "Lewat ajang pemilihan Putri Tionghoa Indonesia ini diharapkan memberikan kontribusi positif untuk bangsa dan negara yang memiliki kekayaan budaya variatif juga mempererat hubungan persahabatan dengan bangsa lain di dunia," kata Ketua Pelaksana Miss Chinnese Cosmos Pageant, Ponijan Liaw, didampingi Ketua Panitia Isabell Koniawani, penasehat panitia Kim Ho, Direktur Sanex-Tel Edy Setiawan, dan penasehat hukum Soni SH kepada Pembaruan, di sela-sela paparan persiapan acara tersebut, di Jakarta, Senin (12/9). Menurut Ponijan, budaya merupakan satu unsur yang dapat merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa secara nasional atau internasional tanpa memandang asal-usul. Budaya juga sarat dengan pesan-pesan moral, sehingga sudah sepantasnya mendapatkan porsi lebih besar dengan harapan akan menjadi perekat hubungan antarbangsa. Ditambahkan, sampai saat ini penyelenggara telah menerima calon peserta kontes Miss Chinese tak kurang 60 wanita, dengan usia 18-25 tahun. Mereka direkrut dari lokasi penjaringan tahap awal yakni, Jakarta, Pangkal Pinang, Palembang, Pekanbaru, Jambi, Medan dan Pontianak Peserta yang lolos seleksi akan disaring menjadi tiga kategori terbaik, dengan rincian, pemenang pertama akan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti ajang internasional di Hong Kong, sebagai wakil Indonesia. Untuk dua pemenang lainnya, masing-masing pemenang kedua dan ketiga, diberikan kesempatan mengikuti berbagai kegiatan menarik lainnya di Indonesia sesuai program penyelenggara. Sebagaimana diketahui kontes Miss Chinnes Cosmos Pageant kelas internasional telah dilaksanakan ketiga kalinya, untuk ajang sama pertama di Hong Kong dimenangkan peserta dari Shanghai, RRC, yang merupakan seorang top model, dan pada kompetisi kedua diraih seorang wanita karier warga Malaysia.(G-5) Last modified: 14/9/05 .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. SPONSORED LINKS Indonesia Culture YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "budaya_tionghua" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
[budaya_tionghua] Fw: Han Hwie-Song: Polemik dan perbedahan tentang aksara pribumi dan non-pribumi
- Original Message - From: Han Hwie Song To: Chan C. T. ; k.prawira ; Nasional-list ; Tionghoa-net ; Jonathan Goeij Sent: Wednesday, September 14, 2005 8:54 PM Subject: Re: Han Hwie-Song: Polemik dan perbedahan tentang aksara pribumi dan non-pribumi Polemik dan perbedahan tentang aksara pribumi dan non-pribumi Belakangan ini saya dengan interesan membaca polemik mengenai terminologi pribumi dan non-pribumi. Diskusi untuk mencari penyelesaian sangat berguna kalau ada satu kontradiksi, angsalkan jangan sampai kontradiksi itu berkembang menjadi kontradiksi antar musuh, yang saya sebut antagonisme, penuh dengan emosi dan sampai mengenai pribadi. Tujuan dari diskusi atau polemik ini adalah membangun dan mencari kebersamaan dan kalau bisa menjadi kawan akrab untuk berpolemik, dengan perkataan lain ialah polemik dengan menempatkan diri kita diatas perbedahan politik, agama dan ide ide, tetapi bebas, jujur dan tidak terikat pada sesuatu. Ada yang tidak setuju dengan aksara pribumi dan non-pribumi, tetapi adakah aksara alternative untuk menggantinya; kalau ada katakanlah apa alternative yang baik. Ada teman yang mengatakan pada saya pakailah terminology WNI keturunan Tionghoa atau etnis Tionghoa. Sebab menurut saya pada suatu waktu terminologi itu perlu dipakai untuk menjelaskan satu fenomen yang bertujuan baik. Misalnya untuk penyelidikan kesehatan yang terkena penyakit kanker payu darah (Breast cancer), atau penyakit pembuluh darah dan jantung golongan etnis mana lebih banyak; lalu dilanjutkan penyelidkan mengapa demikian, adakah pengaruh ini dan itu etc? Kalau umpama karena cara hidup, nah cara hidup ini bisa dirobah demi kesehatan rakyat Indonesia. Bagaimana kalau demi ilmu pengetahuan mengadakan penyelidikan demografis, maka penggunaan terminologi seperti itu sara rasa adalah satu keharusan, kalau tidak ada terminologi lain. Umpama penyelidikan demografis di kota ABC ternyata penduduknya berjumblah X dan golongan etnis Jawa y jumblahnya dan etnis Tionghoa Z etc. etc. Dibagi dari wanita, pria, umur-umur dan seterusnya. Ini sangat perlu untuk beleid Negara pada tahun tahun yang akan datang baik dalam bidang ekonomi maupun penghidupan social satu Negara. Memang persoalan ini susah diselesaikan, apalagi kalau sudah digunakan dengan politik, paradigma-paradigma etc. akan lebih lebih kompleks lagi. Saya memberi satu contoh. Dalam sejarah Tiongkok 2000 tahun yang lalu, pikiran manusia masih sangat conservative dan secara etis, moral dilarang orang lelaki memegang tangan wanita, apalagi mengendong wanita bukan istri atau putrinya. Meng Zi (Mencius) filosof besar kedua dalam confucianisme bercerita: ada satu wanita karena kurang hati-hati, maka dia jatuh kedalam kolam, seorang pria menolongnya dengan menarik tangannya atau mengangkat wanita itu kepinggir kolam. Dia membelah orang yang menolong itu dengan kata-kata:kalau pria itu tidak menolong wanita yang tenggelam, maka dia adalah srigala. Dan orang menolong itu harus menurut Tao, artinya menolong orang tenggelam harus dengan menarik tanggannya atau menggendongnya keatas tanpa tujuan apa-apa, selain menyelamatkan jiwa wanita itu! Budaya Tionghoa mengatakan bahwa orang harus tetap kalm, tenang jangan cepat dipengaruhi oleh fenomena yang datangnya secara fleeting (waktu yang pendek). Hilangkan semua dualitas dan jangan membiarkan jiwa kita mendapatkan ketegangan sedikitpun. Alam manusia di tandai dengan berbagai konflik, keadaan ditarik-tarik dengan keinginan yang bertentangan (opposing desires), ini mengakibatkan disharmoni dari jiwa kita, maka kita harus selalu waspada tentang ini. Kalau kita demi kepentingan yang baik harus memakai aksara pribumi dan non-pribumi tanpa prasangka apa-apa saya rasa tidak apa-apa. Maka saya usulkan bahwa perdebatan itu harus dengan tujuan yang baik dan dalam suasana yang tenang dan debat itu diharepkan berachir dengan suasana persaudaraan. Dr. Han Hwie-Song Breda, 14 September 2005 The Netherlands .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. SPONSORED LINKS Indonesia Culture YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "budaya_tionghua" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
[budaya_tionghua] SEMBAHYANG KUE BULAN
Hallo semua,namaku nandha,minta info tentang Perayaan sembahyang kue bulan pinyin&hanzinya gmn ya? Bagaimana sejarah tradisi Sembahyang Kue Bulan? Persiapan apa aja yang dilakukan masyarakat tionghua utk menyambut datangnya perayaan tsb? Makna dari tradisi itu sendiri apa? Apa ada pengkhususan berbusana ketika melaksanakan sembahyang kue bulan? Makanan apa saja yg disajikan&yang wajib ada ketika sembahyang kue bulan? Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih! Mohon disertakan Nama asli, usia, alamat dan pekerjaan anda(untuk kepentingan pembuatan laporan ttg perayaan hari raya tionghoa) Yahoo! Groups Sponsor ~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[budaya_tionghua] OOT: Perlakuan terhadap Korban Pelanggaran HAM Diskriminatif
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/09/14/index.html SUARA PEMBARUAN DAILY Perlakuan terhadap Korban Pelanggaran HAM Diskriminatif JAKARTA - Perlakuan masyarakat sipil terhadap korban-korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih diskriminatif, terpaku pada pola pikir lama bahwa korban "memang pantas mendapat ganjaran atas perbuatannya." Demikian pendapat pengamat sosial M Imam Aziz dalam konferensi internasional mengenai "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia" yang diselenggarakan atas kerja sama sejumlah lembaga: Uni Eropa, Friedrich Ebert Stiftung, New Zealand International Aid and Development Agency (NZAID), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Jakarta Post, Selasa (13/9), di Jakarta. Menurut Aziz, bukan hanya produk-produk hukum yang diskriminatif terhadap kebutuhan dan kepentingan korban, sikap diskriminatif ini juga berlaku di tengah masyarakat kita. Wacana berpikir bahwa korban pantas memperoleh hukuman karena kesalahan mereka, perilaku moral, keyakinan maupun ideologi mereka masih tertanam erat di dalam masyarakat. Ini terlihat dalam bagaimana masyarakat memandang korban dalam peristiwa 1965. Arus utama persepsi terhadap korban 1965 masih pada pola lama. Wacana antikomunisme tetap dihembuskan, rasa takut masih ditanamkan. Akibatnya ancaman kekerasan terhadap korban selalu tampak di depan mata. "Bukan hanya masyarakat awam, bahkan media massa dan kalangan intelektual kampus pun seolah-olah menutup mata atas masalah ini. Pola pikirnya pada umumnya masih di situ-situ juga," tukas Aziz dalam diskusi hari kedua konferensi yang menghadirkan pembicara dari berbagai negara yang berpengalaman dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini (KKR), seperti dari Argentina, Guatemala, Peru, Afrika Selatan. Kurangnya empati masyarakat Indonesia terhadap komunitas korban terlihat dalam sesi diskusi "Pemenuhan Hak-Hak Korban." Seorang calon anggota KKR Dr Tjipta Lesmana mempertanyakan soal definisi korban dengan mengatakan para penjarah dalam Peristiwa Mei 1988 sepatutnya juga mendapat "hukuman" atas perbuatannya. Karenanya korban-korban Peristiwa Mei 1998 tidak pantas disebut korban. Pernyataannya kontan mendapat tanggapan keras dari keluarga korban, khususnya para orang tua yang kehilangan anak-anaknya dalam Peristiwa Mei 1998. Selain keluarga korban, calon anggota KKR yang lain, Fadjroel Rachman, juga memperingatkan soal tidak pantasnya pernyataan seperti itu. (Y-2) Last modified: 14/9/05 .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. SPONSORED LINKS Indonesia Culture YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "budaya_tionghua" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
Fw: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Saudara Zhou Fy dan Saudara Mayat yang terhormat. Bila seseorang mengatakan kepada saya:"dasar pribumi!!" meskipun yang dimaksudkan seseorang( umpamanya seorang asing yang suka menghina kita secara historis) adalah barbar, maka saya tidak akan marah, saya tidak tersinggung. Mengapa saya harus marah dan tersinggung. Pribumi adalah identitas Antroplogis saya. Memang saya seorang pribumi meskipun saya tidak bangga sedikitpun menerima takdir yang tidak bisa saya tolak itu. Tapi siapa saja yang mengatai saya:"dasar barbar!!" meskipun dengan maksud baik, saya pasti akan bertindak lain. Saya setuju sekali dengan anda bahwa kata telah di distorsi oleh Orba secara sangat serius seperti juga sama halnya dengan kata . Pendistorsian inilah yang saya tentang . Tapi bukan dengan cara mengharamkan kata yang telah dicemari itu. Pada hakekatnya sangat banyak orang menentang pengharaman kata , secara sadar atau tidak sadar, spontan maupun nuchter. Yang melakukan pengharaman itu adalah Orba, mesin politiknya Suharto dan bukan rakyat Indonesia. Mengapa Suharto dan Orbanya berbuat demikian?. Sejak pembantaian Suharto terhadap PKI dan rakyat Indonesia yang tidak bersalah yang mulai di tahun 1965 itu, Suharto ingin menyaring etnis Cina dengan tangguk rapat yang hampir-hampir tak tembus air untuk membedakan antara etnis Cina yang dia sangka ikut PKI, simpatisan komunis, simpatisan negeri dan Partai Komunis Cina, dengan Cina yang masih bisa dia pakai yang tentu saja pertama-tama yang kaya-kaya atau yang super kaya, yang bukan Komunis, yang tidak ber-orientasi ke Cina Daratan atau PKC. Hasil penyaringan itu, saya sebut saja satu nama untuk sementara, seperti yang kita kenal yang telah bernama Bob Hasan dan tentu saja masih banyak yang lainnya yang yang sekelas kakap seperti Bob Hasan untuk dijadikan Suharto menjadi para bendahara pribadinya. Suharto itu tidak bodoh seperti yang disangka sebagian orang, dia tahu dia tidak mungkin bicara soal atau mengelola ekonomi Indonesia tanpa para kapitalis Besar Cina yang kaya pengalaman, sukses dan lebih mudah dikendalikan karena bukan pribumi. Sedangkan waktu itu boleh dikatakan, Indonesia tidak punya kapitalis kakap yang sesunguhnya dan hanya memproduksi kapitalis birokrat yang bodoh berdagang tapi lihai mengeruk uang tanpa kerja dan susah payah. Tapi tentu saja Suharto tidak mau menggunakan terlalu banyak dan memberikan kesempatan kepada para kapitalis Cina saja. Itu akan menimbulkan kecemburuan di kalangan kroni-kroninya sendiri dan juga para pengusaha pribumi yang ingin berhasil tapi mendapatkan saingan yang maha berat bila harus bersaing dengan para kapitalis kakap dari etnis Cina. Dengan kata lain Suharto telah membikin kontradiksinya sendiri yang mana yang harus diistimewakan( baca: didiskriminasi).Sekali lagi dia seorang licik, lihai, cerdik dan juga tidak bodoh. Sambil memelihara dan menggunakan Bob Hasan dan sebangsanya, sambil juga mendiskriminir antara pengusaha pribumi dan pengusaha Cina. Cina yang mulai dari yang miskin hingga agak kaya dia babat, yang miskin dia tuduh komunis untuk dibabat dan ahirnya sebagian terbesar dari etnis Cina menderita diskriminasi. Dia (Orba) lalu menyebarkan kata yang telah dia beri racun: "PRIBUMI DIPERAS, DIJAJAH, OLEH NON PRIBUMI" dan dijadikannya sebagai psikologi massa yang bermakna: "Cina musuh orang Indonesia melalui penjajahan ekonomi". Akibat dari penyebaran psikologi massa yang beracun itu dengan sendirinya telah menyuluh kerusuhan atau teror rasial anti Cina sebagaimana yang antara lain, kita kenal ngerinya di bulan Mei 1998. Sesudah kejatuhannya(Suharto), dia menunjuk Habibi sebagai penggantinya. Kita tahu Habibi seorang cendekiawan yang betul-betul pintar, tapi juga tidak semata cuma pintar, ia juga lihai dan licik. Akibat dari kerusuhan terror rasial 98, banyak kapitalis dan pengusaha besar Cina kelas kakap lari ker luar negeri, seperti yang kita kenal ,dan tahulah dia, apa itu artinya bagi ekonomi Indonesia yang telah dihancurkan Suharto hingga mendekati angka nihil. Untuk memperbaiki sedikit muka Indonesia yang sudah coreng moreng itu di mata dunia dan juga muka dirinya , maka keluarlah dia punya instruksi untuk mengharamkan kata < pribumi> dan sebagai analogi tentu saja kata . Indah kedengarannya bukan?. Habibi bisa diangkat jadi pahlawan anti rasialist yang ingin menghapus rasialisme anti Cina di Indonesia hanya dengan dua buah kata dan harus menghilang dari kamus perbendaharaan kata bahasa Indonesia karena menurut dia berbau rasialis dan dengan maksud agar kembali menanamkan psikologi massa bahwa timbulnya rasiais atau pun penyebab rasialisme di Indonesia adalah karena kata dan dan bukan karena watak rasialis yang sesungguhnya dari Suharto dan Orbanya. Cerdik bukan? Dan bukan hanya cerdik, pandai dan lihai, tapi juga ada orang yang mempercayainya, seperti sebagian dari golongan anda hingga sekarang ini.Penyebab kerusuhan rasialis maupun rasilaisme menurut
[budaya_tionghua] Nanjing: Death dances with remembrance
Nanjing: Death dances with remembrance By Sheila Melvin International Herald TribuneWEDNESDAY, SEPTEMBER 14, 2005 BEIJING The 60th anniversary of the end of World War II has been marked in China by a host of cultural events commemorating the suffering of the Chinese people under the Japanese occupation and celebrating the Japanese defeat. Among the most unusual of these is an emotionally wrenching dance drama called "Nanjing 1937," which was staged in Beijing's Poly Theater on Sept. 7 and 8 after opening in Nanjing in August. It will travel later this autumn to Henan and Anhui. Performed by the China National Chinese Opera and Dance Drama Company, "Nanjing 1937" begins with a woman in white wandering alone in the shadowy realms of the hereafter. Her dance, beseeching and innocent, is interrupted when she pushes against a gray wall that slides away at her touch. Behind it stands a mysterious figure veiled in pure white who thrusts out her hand and gestures "Stop!" But the dancer - Ye Bo in the role of Iris Chang, the best-selling American author of "The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II" who last year took her own life at 36 - cannot stop. Instead, she opens a book that transports her to the days before the Japanese occupation of Nanjing - portrayed by dancers in period costume as a time of laughter and innocence - and then inexorably pulls her into the all-consuming weeks of death and despair in which Japanese soldiers raped and murdered upward of 250,000 civilians. The only ray of light is the figure of the American missionary Minnie Vautrin - danced by the Beijing-based American Aly Rose - who heroically faces down the Japanese even as she recoils at their atrocities. As the dance-drama unfurls, alternating between the hereafter, the Nanjing of 1937 and the city today, we understand that the veiled figure who eludes Iris Chang in heaven is Minnie Vautrin and that the book she doesn't want Iris to read is her own diary - which records her experiences during the Nanjing massacre and ends with her own suicide in 1941. It is an unlikely enough choice to commemorate the highly sensitive subject of the rape of Nanjing with a dance-drama, but to do so from the perspective of two American women - one who rescued people and another who rescued history - is particularly unorthodox. But the director and choreographer Tong Ruirui, who also conceived and wrote the story, was determined to bring her vision to the stage. "I want to shock people," she explained. "I went to Nanjing several times and visited the memorial. Nanjing has a very long history. Six dynasties were based there. When you go there and you see the old city walls that have been shot at by guns and cannon, you see the photos of victims - you just cannot accept this. How could people behave like this? You can't believe that people could be this cruel. You feel that if you are a Chinese you should put this on stage, make it into art, and allow more people to understand it." Tong has succeeded in her goal of re-kindling awareness of the Nanjing massacre, at least among those young people who comprise the bulk of the audience for dance. Her production unstintingly reflects the horrors of the Japanese occupation. Audience response has been strong, with tears a common reaction, and the show has received considerable press. Tong has also created a compelling artistic link between the lives - and deaths - of Iris Chang and Minnie Vautrin and done much to revive the memory of the latter woman. "I feel Minnie Vautrin is really worthy of admiration," she said. "And I think that she and Iris Chang are both in heaven, even though they committed suicide. So I thought, when Chang meets Vautrin in heaven, what would she say? She would have so much to say - or maybe nothing." Chang was well known in China for bringing renewed attention to the Japanese atrocities in Nanjing, and her death shocked and saddened many here. Vautrin, on the other hand, is a largely overlooked figure whose heroic efforts during the Nanjing massacre certainly compare to those of the much better known German, John Rabe, who is sometimes called "China's Schindler." Vautrin is credited with protecting 10,000 women and girls from marauding Japanese soldiers by sheltering them on the campus of the Ginling Women's College. Because Japan was not yet at war with any Western nations, its soldi
[budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Dirgahayu jawaban kawan Asahan Aidit untuk bung Chan CT sangat menarik. saya banyak mendapat pelajaran dan informasi dari uraian bung Asahan Aidit ini. sehingga perkenankan saya untuk menambahkan diskusi baik antara kawan Asahan Aidit vs bung Chan CT. masalah istilah untuk menamakan diri suatu etnis adalah sepenuhnya HAK ETNIS BERSANGKUTAN. pemaksaan penamaan untuk seseorang, sekelompok etnis, sebuah bangsa adalah sebuah bentuk represif yang sangat vulgar. kolonial belanda pernah menamakan rakyat indonesia dgn istilah 'inlander'. tetapi harian SIN PO akhirnya menolak penggunaan kata 'inlander' dan menggantinya dengan istilah INDONESIA. harian SIN PO ini adalah harian pertama yang menggunakan kata INDONESIA dalam tajuk beritanya. SIN PO tidak memaksakan kata INDONESIA. tetapi karena terdapat konsensus di antara para pejuang kemerdekaan saat itu yang memilih kata INDONESIA maka SIN PO telah bertindak benar dengan menolak kata 'inlander' dan menggantinya dengan kata INDONESIA. sekalipun SIN PO adalah terbitan golongan etnis tionghoa tetapi ternyata kalangan SIN PO sangat menghormati, kooperatif dan menunjukkan solidaritasnya terhadap perjuangan kemerdekaan INDONESIA. bung Asahan Aidit perlu mengetahui bahwa selain penindasan fisik terdapat juga penjajahan psikologis dan represif bahasa/istilah. Lenin memberi perhatian yang sangat besar untuk masalah POLITIK ISTILAH. kawan DN. Aidit mengetahui hal ini. sehingga setau saya, hanya PKI saja yang paling baik menggeluarkan begitu banyak slogan perjuangan. golongan tionghoa telah membuktikan diri sebagai golongan yang sangat toleran, sekalipun belum tentu bersimpati dan mendukung, terhadap rezim orde baru dengan tidak terlalu memaksakan kehendak ketika dirinya diberi-nama CINA, demi semata-mata menghindari konflik horisontal dan memperparah jalannya kehidupan berbangsa pasca tragedi 65 yang begitu berdarah dan keji. tetapi saat ini masanya sudah agak berbeda. diktator suharto telah mundur sekalipun tak tersentuh, dan sudah saatnya kita kembali pada proses nation-building yang pernah diintervensi oleh soehato dan orde baru. salah satu usaha itu adalah dengan menghormati pilihan penamaan diri untuk etnis tionghoa. saatnya, kita menegaskan bahwa bukan hanya golongan etnis tionghoa saja yang perlu berkontemplasi spt yang selalu bung Asahan Aidit serukan. tetapi proses kontemplasi ini harus dilakukan oleh seluruh golongan rakyat Indonesia. agar kerukunan, saling menghormati sesama saudara sebangsa dll dapat mulai dipraktekan oleh seluruh golongan dan latar belakang. dan sebagai orang yang telah berpihak untuk menentang segala bentuk penjajahan, saya mengira, kawan Asahan Aidit pun akan menentang jenis penjajahan 'bahasa'. sebagai orang muda, saya hendak belajar banyak dari sikap anti-penjajahan dari para senior saya spt bung Asahan Aidit ini. sehingga saya pun berusaha dengan objektif dan terbuka menentang usaha-usaha segregatif sebuah rezim mulai dari pola-pola represif sampai pada kebijakan penggunaan istilah yang tampaknya remeh. sebagai seorang nasionalis kebangsaan indonesia, bung Asahan Aidit seharusnya tidak mudah terjebak masuk jerat parochialisme segregatif yang mengutamakan politik etnisitas. nasionalisme kebangsaan tentu saja memiliki bobot lebih tinggi dari politik etnis sehingga yang perlu diutamakan adalah nasionalisme kebangsaan dan pola identifikasi diri sebagai BANGSA sehingga maksud-maksud dan usaha-usaha untuk merenggangkan harmonisasi antar golongan etnis dan usaha membagi rakyat ke dalam golongan etnis dengan sistem berlapis spt terlihat dalam proyek penggunaan istilah "pribumi" dan "non-pribumi" harus DITOLAK, DIHARAMKAN, DILAWAN Mayat --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Bung ChanCT yang sangat baik. > > > Saya dapat menangkap makna yang terpositif dari uraian bung: memblokir rasialisme di semua sudut dan pintu-pintunya yang terkecil sekalipun. Tapi yang tersisa, juga masih memerlukan peneropongan lebih lanjut. Di luar karantina, masih ada faktor-faktor terselubung lainnya yang selalu siap menyebarkan virus gelap dengan berbagai cara yang salah satunya adalah elitisme, dengan kata atau phraselogisme, terminologi, yang itu biasanya dilakukan oleh penguasa dan pejabat tinggi. > Kata sebagai kata biasa di antra puluhan ribu kata lainnya di dalam bahasa Indonesia sebenarnya lebih banyak dikaitkan dengan istilah Antropologi yang bersinonim dengan atau < bumiputera>. Itu juga yang saya maksudkan dengan arti netral atau arti sesungguhnya dari kata . Tapi lalu kata itu diberi warna politik oleh para elit bangunan atas yang tentu saja untuk tujuan politik atau keuntungan politik. Melalui instrusksi, atau mungkin Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden atau rencana Undang-Undang dan sebagainya, sebuah kata netral direnggut dari kamus umum bahasa Indonesia dan dipindahkan ke kamus Politik. Kamus umum bahasa Indonesia bertambah menipis sedangkan kamus Poli
[budaya_tionghua] China: Bachelor bomb
http://www.iht.com/articles/2005/09/14/opinion/edegner.php China: Bachelor bomb Dudley L. Poston Jr. and Peter A. Morrison International Herald TribuneWEDNESDAY, SEPTEMBER 14, 2005 SANTA MONICA, California In a trend fraught with troubling political and social implications, China will soon find itself with a marriage-age population remarkably out of balance, with about 23 million more young men than women available for them to marry in this decade and the next - what demographers term a "marriage squeeze." This impending surplus of unattached young men could be a driving force behind increased crime, explosive epidemics of HIV and other sexually transmitted diseases, and even international threats to the security of other nations. Yet the Chinese government has done little to address its demographic destiny. The coming squeeze is largely the legacy of the government's one-child policy, along with societal modernization. As a result, the nation's fertility rate has fallen dramatically, from around 6 children per woman in the 1960s to around 1.7 currently. But the society's strong cultural preference for sons has not changed. In recent decades, ready access to ultrasound technology has enabled parents to learn the sex of their unborn children and has led to widespread female-specific abortion. The demographic consequence is now apparent. Most societies exhibit biologically natural sex ratios at birth of around 105 baby boys born for every 100 baby girls, yielding roughly equal numbers of prospective brides and grooms as generations reach marriageable age. This normal pattern emerges where human interventions don't disturb biology. But China has departed markedly from this natural pattern since the 1980s. Its sex ratio at birth has hovered between 115 and 120 baby boys for every 100 baby girls in recent years, a level that renders roughly one of every eight men in a generation "surplus." Many Chinese refer to the surplus boys as guang gun (bare branches). Past societies with large numbers of unattached men have on occasion turned to a more authoritarian political system, perceiving threats of violence. Such societies have also sought to harness their surplus of men by recruiting excess males into military occupations, pursuing expansionist policies aimed at developing unexplored territories or colonizing neighboring ones. The tensions associated with so many bachelors in China's big cities might tempt its future leaders to mobilize this excess manpower and go pick a fight, or invade another country. China is already co-opting poor unmarried young men into the People's Liberation Army and the paramilitary People's Armed Police. No less disquieting are the social dynamics accompanying a severe marriage squeeze. In all likelihood, millions of young, poor Chinese bachelors never will marry. Many will migrate from rural areas to urban destinations, patronizing prostitutes there. In doing so, these unattached men could turn China's HIV epidemic - now confined to certain high-risk populations - into a more generalized one by creating "bridging" populations from high- to low-risk individuals. Such male bridging populations have fueled HIV epidemics in Cambodia and sub-Saharan Africa. China's legal marriage age - 22 years for men, 20 for women - means that more than 23.5 million young men (by our estimate) will be unable to find Chinese wives during the period from 2000 to 2021, owing to the inadequate supply of Chinese women in the marriage market. Neither a spontaneous shift toward a later average age at first marriage nor lax enforcement on the supply side to allow teenage brides would substantially lessen this market imbalance. Although the 23 million-plus surplus of boys exceeds the entire population of most countries, it represents but a tiny fraction of all 1.3 billion Chinese. However, these millions of "bare branches" will be concentrated in a generation born over a short 20-year period and living mostly in the cities of a largely rural China. The surplus of boys and shortage of girls "made in China" could soon become not just a concern for China, but for the world. (Dudley L. Poston is a professor of sociology at Texas A&M University. Peter A. Morrison is a demographer with RAND Corp.) .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.o
Re: [budaya_tionghua] Sarana pelicin (Re: Resep Kue Bulan)
Krikil menulis: Kalau saya lihat-lihat resep Rinto-heng, maka saya ambil kesimpulan bahwa itu 'kue basah'. Sedangkan yang umumnya kita dapati di INA (dulu, entah sekarang) adalah tiongciupia kue kering, terbuat dari tepung terigu dicampur kuning telor, tipikal bahwa tepung kue yang berlapis-lapis itu suka 'merotoli/rontok' kalau sedang dimakan, diatas kue tampak tulisan aksara Cina dalam huruf merah. Nah, hari ini saya baca artikel di koran Jerman (FAZ) yang berjudul 'Mondkuchenbestechung' - sogokan melalui kue bulan. Ternyata di Cina (daratan) sudah umum menyogok dengan cara memasukkan barang-barang pelicin seperti digital camera, handphone, emas, perak dll di dalam dus hadiah kue bulan. Malah menurut sebuah koran Cina, di Yunnan ada yang memasukkan barang seharga 30 000 Euro ke dalam dus. Bagaimana kebiasaan buruk ini pada masa Tiongciu di INA atau Taiwan (Rinto-heng)? Rinto Jiang: Ini saya bongkar dari arsip tahun lalu. Seingat saya pertanyaan Bill-heng ini tidak pernah saya jawab, mungkin kelewatan. Tradisi mengirimkan hadiah berupa kue bulan, penganan sejenis, jeruk kepruk dan lain sebagainya dekat2 Festival Musim Gugur ini memang sudah berlangsung lama, sudah ribuan tahun. Ini dikarenakan memberikan hadiah adalah semacam tata krama. Namun, fenomena yang disinggung Bill-heng di atas hanya berlaku di kalangan pejabat, sebenarnya dapat dilakukan kapan saja tanpa harus menunggu momentum festival ini. Kebiasaan buruk seperti ini juga ada di HK dan Taiwan. Namun sejak tahun 1970-an di HK sejak diadakan pemberantasan korupsi, praktis tidak ada lagi kebiasaan ini (kebiasaan memberikan hadiah kepada instansi pemerintahan). Di Taiwan mulai tahun 1990-an sejak ada Kantor Etika di setiap instansi pemerintahan, tradisi memberikan hadiah kepada instansi pemerintahan baik diberikan kepada pribadi ataupun keseluruhan instansi adalah tidak diperbolehkan. Namun tentunya cuma berlaku di kalangan instansi pemerintahan. Kalangan swasta, pribadi tentu saja tidak mungkin dibatasi pelaksanaan tata krama ini. Kebiasaan memberikan hadiah juga ada di perusahaan di Taiwan dan HK, seperti pemberian angpao (lekim) kepada karyawan sebagai bonus. Rinto Jiang .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. SPONSORED LINKS Indonesia Culture YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "budaya_tionghua" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
[budaya_tionghua] OOT: Kekerasan Psikologis terhadap Anak-Anak
Tanpa disadari dan disengaja, orang tua sering melakukan kekerasan psikologis terhadap anak-anaknya. Kita mungkin sering melihat seorang anak yang melakukan kesalahan mendapatkan bentakan atau hukuman kemarahan yang tidak perlu. Melihat, rapor anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, si anak malang langsung dicubiti dan dibanding-bandingkan dengan anak tetangga yang jadi bintang kelas. Anak-anak keluarga dokter (kakek buyut-kakek-dokter) di"jurus"kan dan di"kondisi"kan sejak kecil agar kelak juga menjadi dokter, padahal bakat dan keinginan anak adalah menjadi seorang pemusik professional. Contoh kekerasan psikologis yang tersamar tapi bisa membawa dampak yang lebih fatal adalah ketika sepasang orang tua yang terbilang fanatic dalam bidang syariat agama (apa saja) menjejali "tabula rasa" anaknya yang masih bersih dan murni dengan segala ajaran yang lebih condong ke arah seremonial, atribut fisik, sectarian, rasial, perpecahan antar umat ("punya kita yang terbaik") alih-alih memberi contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari (baik dengan ucapan atau perbuatan) mengenai nilai-nilai luhur keuniversalan agamanya masing-masing serta memberi contoh-contoh bagaimana cara bertingkahlaku dan bertindak secara luhur dan manusiawi dalam suatu lingkungan pergaulan dalam masyarakat plural yang berlain-lainan system kepercayaannya. Mungkin para orang tua yang saya contohkan pada alinea di atas tidak menyadari bahwa mereka telah (secara halus maupun kasar) memaksakan keinginannya terhadap anak-anak mereka yang secara manusiawi punya keinginan hidupnya sendiri-sendiri dan punya kehidupannya sendiri-sendiri. Jadi secara tidak sadar si orang tua telah melanggar hak asasi anak-anaknya! Padahal, seorang anak yang telah di'stel' sejak kecil untuk terbiasa dengan atribut fisik keagamaan tertentu tanpa dididik dengan nilai-nilai luhur universal agama itu sendiri hanya akan membawa bencana bagi dirinya sendiri dan lingkungannya dan secara langsung atau tidak langsung juga akan mencemarkan nama agama itu sendiri. Saya hanya ingin memberi suatu contoh kecil kesulitan yang dihadapi oleh si buyung atau si upik yang mengenakan atribut fisik dan menunjukkan tingkah laku seremonial keagamaan tertentu, misalnya ketika dia berada dalam suatu lingkungan pergaulan yang bersikap "hostile" terhadap atribut tersebut. Dalam masyarakat sekarang yang terkadang sangat brutal, si buyung dan si upik kecil seakan-akan diberi "stempel" pada dahinya mengenai system kepercayaan bapak-ibunya, tanpa disadari oleh sang orang tua bahwa anaknya bisa menjadi "sasaran tindak kekerasan" di hutan beton belantara. Ketika si buyung menginjak remaja dan dia kebetulan menaruh hati pada seorang gadis yang atribut fisik keagamaannya lain sama sekali, apa dia kira-kira tidak mengalami beban psikologis tertentu yang seharusnya tidak membebaninya ketika orang tuanya dulu tidak membebanpengaruhinya begitu hebat sejak kecil. Contoh-contoh nyata bisa diberikan berpanjang lebar, tapi mungkin nanti bisa menyungging eh menyinggung perasaan. Posting yang begini ini biasanya sepi tanggapan, tapi siapa tahu kali ini banyak yang berminat untuk "sharing" secara terbuka mengenai masalah nyata dalam masyarakat kita ini. Saya tunggu dengan pikiran dan hati terbuka. :-) Andy .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. SPONSORED LINKS Indonesia Culture YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "budaya_tionghua" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
Re: [budaya_tionghua] Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?
Salam saudara sekalian, Ingin rasanya mengungkapkan rasa di hati ini, Seperti yg diketahui telah beberapa ratus tahun Chung hua tinggal di Indonesia, sebelum kedatangan VOC pertama kali tahun 1600an pun orang-orang chung hua telah tinggal bersama orang-orang asli di indonesia untuk berdagang, pada saat pertama kali yang datang hanya mereka yg berkelamin lelaki, karena pada sekitar jaman dinasti Ming (kira2 1300an) ada larangan perempuan tidak boleh ke luar negri, sehingga lelaki chung hua perantauan menikah dengan penduduk asli sekitar, dan ini berjalan dengan baik sampai akhir diterbitkannya devide et empera oleh pihak Belanda, semua mulai berjalan dengan tidak nyaman Nah yang jadi permasalahan yang dihadapi sekarang lebih berat lagi, karena masyarakat Indonesia tidak lagi menerima pluralisme, negara terdiri dari beberapa macam suku, agama, ras, dll. dan seharusnya pemerintah menggalakkan pluralisme agar masyarakatnya dapat menerima semua apa yang disebut sebagai "Perbedaan", tetapi yang terjadi dilapangan adalah Pemerintah tidak mempunyai kekuatan untuk mengatur negara ini, jadi begitu gampangnya dipermainkan oleh pihak2 yang bertujuan, dan satu hal yang sangat-sangat membuatku prihatin adalah : OOT : Negara ini adalah negara mayoritas Islam terbanyak, bahkan masjid terbanyak juga berada di Indonesia, jauh lebih banyak dari asal agama itu sendiri, tetapi, yang menjadi masalah adalah, islam ada yang Fund dan Liberal, dan pemerintah terkesan sangat tidak berkutik menghadapi masalah ini, karena sangat terlihat apabila ada Is-Fund yang mengerakkan massa, maka pemerintah hanya bisa bengong melihat, ini sudah terlalu sering, yang akhirnya membuatku berpikir bahwa peranan yang paling penting di Negara ini adalah agama mayoritasnya nya dari pada pemerintah itu sendiri, yang akhirnya membuat masyarakat tidak bisa menerima apa yang namanya pluralisme, dan mengakibatkan diskriminasi terus berjalan sampai sekarang, (dalam hati aku berterima kasih kepada Gus dur, yg sangat Pluralisme dan Liberal, masih mau melihat minoritas2 dan menahan gerakan Fund) ---> bukankan seharusnya pemerintah yang melihat kejadian seperti ini dapat membuat ancang2 untuk membatasi ruang gerak organisasi2 yang terlalu fund seperti ini, agar terciptanya pluralisme Hah..., kadang aku sedih melihat yang terjadi di negara ini, aku seorang Chung hua generasi ketiga dari kakek aku yang tinggal di Indonesia, darah aku darah China, tetapi aku lahir di negara Indonesia ini, sehingga membuat aku sayang kepada tanah air ini, dengan lantang aku bisa berteriak aku Orang Indonesia, aku Nasionalis, tetapi di dalam hati kecil aku menangis, apakah benar aku orang Indonesia, kalau iya kenapa terasa telak diskriminasi yang terjadi di negara ini seolah-olah aku bukan orang Indonesia, ataukah aku hanya menumpang tinggal disini, mencari makan disini, apakah hanya sekedar itu?, Back on topic, What is in a name, pernah juga diucapkan oleh Sukarno pada saat rapat Baperki kedua, beliau mengatakan bahwa apa lah arti sebuah nama, aceng kek, acong kek, terserah kamu, suka-suka kamu, nah yang aku ingin ungkapkan adalah kenapa mau repot-repot mempersoalkan masalah pribumi dan Non-pribumi, wong kita sama saja kok sebagai warga negara Indonesia, negara ini sedang banyak2nya menghadapi masalah yg lebih penting, masalah pribumi ataupun bukan pribumi itu masalah belakang, tetapi yg harus dipersoalkan adalah bagaimana cara menghilangkan "DISKRIMINASI", dengan tidak adanya diskriminasi lagi maka secara langsung efek dari Pribumi dan Non-pribumi akan pupus dengan sendirinya, menurutku inilah inti jawaban dari Pribumi dan Non-pribumi. Negara ini terdiri dari berbagai suku, agama, ras, maka itu marilah kita berpikir ulang, sebenarnya apa yang salah, kenapa suku tiong hua saja yang selalu bermasalah, bukan maksud aku membela2 native, karena menurutku native juga ada yang baik dan yang tidak, sama seperti orang2 tiong hua dan orang2 suku lainnya, pasti ada yang baik dan tidak, nah yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana cara mengedukasi orang2 yang rasialis/yang suka mendiskriminasikan dapat menerima "perbedaan", sehingga kita yang dari berbagai macam itu dapat bekerjasama dalam membangun negara ini jauh lebih baik NB : emai ini benar2 dari yang aku pikirkan selama ini, memang dalam hati aku secara jujur banyak setuju dengan apa yang diungkapan Bung Asahan, jadi aku nga mau panjang2 cerita lagi, karena inti yang aku pikirkan rata2 sama, dan walau aku bukan jago politik ttp mohon intelektual pribadi aku jgn dihina ya :->, kalo aku salah mohon tolong dikoreksi Rgds, Andri > __ > Do You Yahoo!? > Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam > protection around > http://mail.yahoo.com > To: "BUDAYA TIONGHUA" > , > "WAHANA" <[EMAIL PROTECTED]> > From: "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]> > Date: Tue, 13 Sep 2005 21:18:15 +0200 > Subject: [budaya_tionghua] Fw: [Politik_Tionghoa] > Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Prib
Re: [budaya_tionghua] menyusun buku turunan
Christine menulis: Dear Bapak/ibu, Apakah ada yang tau bagaimana menyusun buku turunan? Keluarga kami (dari pihak suami) punya buku turunan yang sudah tua umurnya. Turunan tsb diawali dari generasi pertama sejak kedatangan nenek moyang (kalo ga salah ingat) namanya Tantin dari kampung (kalo ga salah ingat) namanya Kulamtaw tahun berapa yah? saya lupa harus nyontek buku turunan dulu. Tetapi buku tsb tidak diteruskan lagi sejak +/- 30 tahun yang lalu, dan saya berniat meneruskannya tetapi tidak tau caranya. Mohon penjelasan dan pencerahan. Terima kasih dan salam, Christine Rinto Jiang: Buku silsilah sebenarnya tidak ada bentuk yang tetap atau standar, artinya tiap keluarga boleh memiliki buku silsilah dengan gaya mereka sendiri. Untuk kasus seperti Christine-jie yang ingin melanjutkan catatan buku keturunan ini, saya kira sudah mudah karena tinggal mengikuti cara pencatatan yang telah ada di dalam buku tersebut. Kebetulan buku keturunan ini memang di-update beberapa puluh tahun sekali, jadi 30 tahun lalu tidak termasuk terlalu lama atau jauh untuk melanjutkannya. Pertama, mungkin yang paling dasar adalah penguasaan bahasa Mandarin. Bila generasi kita telah sulit karena ketiadaan waktu mempelajarinya, mulai dorong anak2 kita untuk belajar bahasa Mandarin, bukan untuk chauvinis, namun anggap saja itu sama pentingnya dengan bahasa Inggris di masa depan. Setelah bisa Mandarin, ada 2 opsi untuk melanjutkan buku keturunan ini, apakah akan ditulis dalam bahasa Mandarin atau diteruskan dalam bahasa Indonesia saja. Saya kira sedapat2nya dituliskan dalam 2 bahasa, bila tidak bahasa Indonesia saja juga tak apa2. Yang ketiga, pengumpulan informasi dan pencatatan data 2 generasi ke atas, karena buku keturunan keluarga suami Christine-jie itu baru putus 30 tahun lalu, saya kira generasi kakek-nenek pasti sudah ada tercatat di sana, jadi tinggal memasukkan saja generasi suami. Mengenai generasi seterusnya, anak2 karena mungkin masih akan ada penambahan (misalnya dari generasi suami masih ada yang belum menikah sehingga belum punya anak) maka cukup dicatat dulu, namun tidak usah dibukukan dahulu. Pembukuannya tunggu mereka punya generasi selanjutnya baru dibukukan saja, jadi tidak usah terlalu banyak pengeditan dalam jangka waktu tertentu. Data2 yang menurut saya perlu dicatat: 1. Biografi singkat masing2 anggota keluarga, dicatat saja dalam bahasa Indonesia atau bilingual bila memungkinkan. Singkat saja juga boleh, nama Tionghoa/Indonesia, tempat/tanggal lahir, pernikahan, tempat tinggal terakhir, tempat/tanggal meninggal bila telah mendiang. 2. Puisi generasi keluarga, buat nama generasi (karakter kedua dari nama Tionghoa). 3. Pesan leluhur. Ini kalau perlu saja, karena ada beberapa keluarga yang leluhurnya punya prestasi tinggi biasanya akan mencantumkan pesan2 moral untuk generasi berikutnya. 4. Letak (peta) lokasi makam atau tempat abu leluhur. Supaya dapat dengan mudah tercari oleh generasi2 berikutnya. Sementara ini saja dulu dari saya. Bila ingin referensi atau saran lebih lanjut mungkin dapat menghubungi Steve-heng yang merupakan anggota keluarga marga Gan yang juga telah berhasil menyusun buku silsilah yang memuat 5000-an keturunan Gan Peng (mandarin: Yan Bin) yang datang dari Hokkian 300 tahun lalu dan sekarang tersebat di seluruh dunia. Rinto Jiang .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. SPONSORED LINKS Indonesia Culture YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "budaya_tionghua" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
Re: [budaya_tionghua] OOT: Kekerasan Psikologis terhadap Anak-Anak
Buat para orang tua, satu pertanyaan yang tidak sulit-sulit amat, kalau anda memarahi anak(-anak) coba direnungkan apakah anda marah karena demi kebaikan sang anak, misalnya agar dia memperbaiki 'perilaku'nya, atau lantaran anda merasa harga diri anda sebagai orang tua telah dilecehkan? Kalau anda mewajibkan anak mencapai ranking atas di kelasnya, apakah demi masa depan si anak atau demi kebanggaan anda sebagai orang tuanya? Kalau anak anda 'jatuh cinta' kepada seseorang yang anda tidak suka, anda akan merestui atau melarang pernikahan mereka? Sadarkah sebagai orang tua bahwa 'tugas' kita hanyalah mengantar sang anak untuk 'menemukan' jalan hidupnya? tirta On Thu, 15 Sep 2005, als wrote: > Tanpa disadari dan disengaja, orang tua sering melakukan kekerasan > psikologis terhadap anak-anaknya. Kita mungkin sering melihat seorang anak > yang melakukan kesalahan mendapatkan bentakan atau hukuman kemarahan yang > tidak perlu. Melihat, rapor anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang > tua, si anak malang langsung dicubiti dan dibanding-bandingkan dengan anak > tetangga yang jadi bintang kelas. Anak-anak keluarga dokter (kakek > buyut-kakek-dokter) di"jurus"kan dan di"kondisi"kan sejak kecil agar kelak > juga menjadi dokter, padahal bakat dan keinginan anak adalah menjadi seorang > pemusik professional. Yahoo! Groups Sponsor ~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM ~-> .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/
[budaya_tionghua] OOT: Laporan Diskusi Bulanan NIM: Perempuan & Kebangsaan Kita
Laporan Diskusi Bulanan NIM yang diselenggarakan di One Earth, One Sky, One Humankind (Ciawi, Bogor). Diskusi ini terbuka untuk umum dan inilah laporannya sebagai bentuk sharing kepedulian terhadap Bangsa dan Negara ini. Salam, Maya S. Muchtar (Ketua Harian NIM) Kompleks Ruko Golden Fatmawati, Jl. RS Fatmawati, Blok J/35 Lt. 3, 12420, Jakarta Selatan, Tel./Fax. 021-7669618 Email: [EMAIL PROTECTED] Website: www.nationalintegrationmovement.org - PEREMPUAN DAN KEBANGSAAN KITA Peranan kaum wanita di dalam sejarah Indonesia sebenarnya sangat nyata, besar dan tidak kalah jasanya seperti kaum pria. Tapi mungkin karena kebanyakan sejarah ditulis oleh kaum pria, maka peran kaum wanita sering kali dimarginalkan. Padahal bila mendengar cerita-cerita dari sejarah 'alternatif', kaum wanita banyak berperan secara fisik dalam perang kemerdekaan Indonesia, seperti menyelundupkan granat tangan dan senjata api di dalam bakul jinjingannya, langsung ke kantong-kantong kekuatan perjuangan rakyat. Atau, unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok Suara Ibu Peduli tahun 1998, yang berunjuk rasa memprotes kenaikan harga susu dan bahan kebutuhan pokok, mematik dan menyulut aksi-aksi selanjutnya menuntut reformasi. Gerakan para ibu ini langsung menyurut atau mundur setelah aksi-aksi lain bisa menggantikan mereka tanpa mengharapkan imbalan atau konsensi politik apapun. Demikian dituturkan Ibu Eva Kusuma Sundari, anggota komisi VI DPR dari PDI-P, sebagai pembicara pertama dalam Diskusi Kebangsaan NIM pada hari Sabtu, 10 September 2005 di One Earth Ciawi. Politik identitas sudah sejak lama diterapkan secara sistematis untuk mengatur kehidupan wanita tanpa peduli dengan keinginan wanita itu sendiri. Wanita sudah dari kecil dikondisikan dan selalu dikaitkan dengan 'Dapur, Kasur dan Sumur' serta Reproduksi sehingga tanpa sadar wanita telah 'terkotakan' dan dimarginalkan oleh pria maupun wanita sendiri menjadi suatu hal yang harus diurusi atau diperhatikan seperti urusan politik, urusan ekonomi, dll. Padahal dalam kehidupan manusia, selalu ada 'Conscious Awareness' bahwa tiap manusia genuinely punya kecenderungan untuk setara (to be equal), bebas (free) dan identitas personalnya diakui/dibedakan sebagai suatu individu yang berdaulat atas dirinya sendiri. Pengakuan dan perbedaan di sini dimaksudkan bukan untuk 'dimarginalkan' atau 'dikotak-kotakan' tapi untuk disetarakan dengan individu-individu lainnya. Maka bagaimana individu-individu yang berbeda ini bisa bebas tapi dapat bersatu secara setara, adalah tantangan yang harus kita hadapi dalam konteks kebangsaan Indonesia. Menurut Ibu Eva, ada 2 tantangan untuk mencapai 'Civil Society' atau masyarakat Marheinisme versi Soekarno, yaitu : (1) tantangan feodalisme sebagai faktor internal diri dan (2) Neoliberalisme (Neolib) atau mengekspoitasi orang lain sebagai faktor eksternal. Feodalisme dalam diri ini yang mendasari misalnya Perda 'yang mengatur' kehidupan wanita' dan dianggap Perda berdasarkan Syariat Islam di Bengkulu. Pekerja Seks Komersial (PSK) di sana tidak boleh dilayani oleh Bank. Dan wanita yang berjalan bolak-balik di suatu tempat sendirian dilarang karena akan dianggap PSK. Perda tersebut jelas sangat diskriminatif kepada kaum wanita, karena kenapa hanya mengatur wanita ? Rasa ingin diakui ini juga mendasari permainan mata politik antara anggota DPD dan beberapa anggota DPR berhaluan islam. Baru-baru ini, ada wacana dari DPD untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa dengan agenda mengganti Psl 4 dari UUD'45 supaya kedudukan DPD diakui setara dengan DPR di legistatif seperti kedudukan senator pada badan legislatif di Amerika Serikat. Sebagai 'bargain politik', DPD akan mendukung masuknya kembali Piagam Jakarta ke dalam pembukaan UUD'45. Untung saja, wacana seperti ini akhirnya kandas di tengah jalan. Sedangkan Neolib adalah faktor eksternal yang sedang menggerogoti masyarakat kta. Rakyat yang berdaulat adalah Civil Society, dan rakyat yang berdaulat sepakat untuk membentuk negara. Jadi 'negara' adalah alat dari civil society. Masalanya sekarang negara sudah 'tersandera' oleh globalisasi, maka peran rakyat sebagai civil society harus diberdayakan semaksimal mungkin untuk membendung arus Neolib yang bermaksud mengekpoitasi masyarakat sipil lewat negara. Maka Ibu Eva mengajak para peserta untuk tidak berbicara dalam tingkat wacana saja, tapi harus ikut mengontrol negara (pemerintah) lewat advokasi budgeting. Police-making decision tergantung pada budgeting. Misalnya : biarpun banyak kampanye penghematan dan good governess oleh pemerintah tapi bila dana 'coffee morning' seorang gubernur DKI misalnya mencapai 1 jt per hari, apakah itu berarti penghematan ? Semua realisasi program bisa dilihat dalam advokasi budgeting ini. Pentingnya advokasi budgeting ini diamini kemudian oleh Bapak Slamet Harsono dari Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ) yang kebetulan berprofesi sebagai akuntan publik. Ibu Agnes Sri Purbasari adalah pengajar di fak