http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=23003
010-08-13 Kala Kemiskinan Berujung Bunuh Diri Miskin tidak hanya menimbulkan nestapa tapi juga bisa membuat seseorang merasa tak punya masa depan lagi. Lilitan kemiskinan kerap kali membikin seseorang berupaya keluar dari kegetiran hidup dengan cara yang terkadang tidak bisa diterima oleh kebanyakan orang. Khoir Umi Latifah (25) mengakiri kepahitan hidupnya lantaran miskin dengan bunuh diri. Ibu muda penduduk Buyengan, Klaten, Jawa Tengah itu pun membawa dua anaknya, Linduaji (3,5) dan Dwi (2,5) dalam aksi bakar diri, Rabu (11/8) lalu. Bekerja sebagai penjaga rumah kos di Wisma Perkutut Gang Ori II, No 16 B Papringan, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tetap tidak bisa mengubah nasibnya. Umi tewas seketika di lokasi kejadian. Nyawa Kedua anaknya juga tidak tertolong setelah mengalami luka bakar kendati sempat menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Seorang saksi Dewa, penghuni di tempat kos itu mengungkapkan, Umi nekat lantaran depresi berkepanjangan. Dia sempat mendengar ledakan dari dalam kamar mandi sekitar pukul 8.30 WIB. Bersama penghuni kos lainnya, mereka mendobrak pintu kamar mandi dan mendapat Umi bersama kedua anaknya sudah terbakar. Kepala Polsek Depok Barat, Sleman, Ajung Komisaris Polisi Andrea Deddi yang mendatangi tempat kejadian mengungkapkan, korban sengaja membakar tubuhnya serta kedua anaknya dengan maksud bunuh diri, Dari secarik kertas yang ditulis perempuan itu kepada suaminya, Slamet (30), diketahui bahwa korban bunuh diri karena berhutang kepada rekannya sebesar Rp 20 ribu. "Mas aku njileh duit Mbak Turiyah Rp 20.000, sok nek duwe duit, tolong dibalekno yo (Mas aku pinjam duit Mbak Turiyah Rp 20.000, besok kalau ada duit, tolong dibalikkan ya)," tulis korban dalam pesannya itu. Namun Turiyah justru mengungkapkan, Umi sudah melunasi hutangnya tiga bulan lalu. Andrea menambahkan, ibu korban, Suratmi mengungkapkan bahwa anaknya sering merasa cemburu terhadap suaminya. Polisi belum bisa mengambil kesimpulan dari keterangan tersebut, dan masih mengembangkan pengusutan. "Kami masih terus melakukan pemeriksaan terhadap para saksi," jelasnya. Slamet menampik keterangan mertuanya itu. Dia bersikeras penyebab istrinya bunuh diri karena kondisi ekonomi yang dialami keluarganya. "Saya tidak selingkuh. Ini karena kami memiliki hutang sama orang lain sebesar Rp 5 juta," tuturnya. Umi, bukan satu-satunya pelaku bunuh diri lantaran himpitan kemiskinan. Kasus serupa kerap berulang, Bahkan di Kabupetan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bunuh diri kerap menjadi solusi terakhir untuk keluar dari persoalan ekonomi. Cenderung Meningkat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Gunung Kidul Ajun Komisaris M Qori Oktohandoko pernah menyebutkan, kasus bunuh diri di Gunung Kidul pada tahun ini cenderung meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Kebanyakan pelaku adalah petani, dan sebagian besar karena faktor ekonomi dan menderita penyakit yang tak kunjung sembuh. Dari Januari hingga akhir Juli lalu, tercatat 17 kasus bunuh diri, sedang selama setahun lalu, ada 29 kasus. Bunuh diri terakhir pada 30 Juli lalu dilakukan Wonokromo, petani di Plembengan Kidul, Candirejo, Semanu. Kakek berusia 90 tahun itu ditemukan keluarganya tewas tergantung di tempat penyimpanan kayu bakar. Mencermati fenomena itu, Direktur Lembaga Kajian dan Pendidikan Sosial Yogyakarta Aminuddin Azis berpendapat, bunuh diri di Gunung Kidul merupakan akibat krisis konsep hidup. "Pelaku bunuh diri memiliki krisis konsep hidup sehingga ketika ada permasalahan yang menurut mereka tidak mampu diselesaikan kemudian memilih mengakhiri hidupnya. Mereka bunuh diri bukan karena mau lari dari tanggung jawab melainkan karena tidak mau membebani keluarganya," tuturnya. Angka bunuh diri di Kabupaten Gunung Kidul mencapai sembilan orang per 100.000 penduduk setiap tahun, jauh lebih tinggi dibanding Jakarta yang hanya kurang dari dua jiwa per 100 000 per tahun setiap tahunnya. Ida Rachmawati, psikolog dari RSUD Wonosari mengatakan, setidaknya 10 pasien kasus bunuh diri gagal yang diianganinya dalam satu bulan. Mereka rata-rata pernah berpikiran untuk menghabisi nyawanya dengan cara bunuh diri. Selama 10 tahun terakhir, Gunungkidul menempati peringkat pertama kasus bunuh diri di Indonesia. Kasus bunuh diri sebenarnya bukan 100 persen karena keinginan individu saja, namun pengaruh lingkungan, pergaulan, dan kondisi ekonomi menjadi faktor penentu yang memperbesar keinginan seseorang untuk bunuh diri. Pengamat sosial Darmaningtyas mengemukakan, bunuh diri dengan latar belakang kemiskinan menunjukkan korban sudah sangat putus asa dan frustasi akibat penderitaan dan tekanan hidup yang sangat berat. Menurut dia, kasus bunuh diri menunjukkan makin minimnya hubungan sosial di antara masyarakat. Kepedulian terhadap sesama sudah hilang. Ironinya, orang lebih suka mentertawakan penderitaan orang lain. Solusinya? Darmanintyas hanya berpegang pada satu kata, berantas kemiskinan.