Senin, 01 September 2008 00:03 WIB
Paradoks Negeri Maritim TIDAK ada yang menyangsikan bahwa Indonesia adalah negeri maritim. Akan tetapi, predikat ini jauh lebih bersifat geografis daripada ekonomis. Geografis semata karena secara alamiah sebagian besar wilayah negeri ini didominasi laut. Namun, secara ekonomis, bangsa ini tidak layak disebut negeri maritim. Negeri ini tidak mampu mendayagunakan potensi laut itu sehingga melahirkan kekuatan ekonomi yang meninggikan dan memuliakan martabat bangsa dan negara. Fakta terbaru, para pengguna jasa pelabuhan mengeluhkan bahwa dari 114 pelabuhan umum di Indonesia, tidak ada satu pun yang memenuhi standar pelayanan. Ada dua pelabuhan yang mendekati lumayan, yakni Jakarta dan Surabaya. Tetapi keduanya masih belum memenuhi standar yang mengacu ke peraturan International Maritime Organization (IMO) dan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code. Standar itu terkait dengan kelengkapan peralatan, kecepatan bongkar muat, ketersediaan infrastruktur, lapangan penumpukan, dan kedalaman laut bagi bersandarnya kapal-kapal besar. Semestinya, selain karena wilayah lautan yang luas dan letaknya yang amat strategis, Indonesia mampu menggunakan keunggulan geografis itu untuk mendapatkan keuntungan ekonomis jauh lebih besar daripada yang dihasilkan sekarang. Yang terjadi adalah alih-alih meraih kesempatan dan peluang ekonomi, dunia maritim, pelabuhan, dan perkapalan Indonesia jauh lebih banyak diisi ironi dan paradoks. Itu telah berlangsung lama sekali dan terjadi pada hampir semua bidang dan sektor. Di bidang pertahanan, misalnya, alih-alih memperkuat angkatan laut, kita justru menguatkan peran angkatan darat. Akibatnya, di laut yang mestinya kita kuat dan jaya, justru sebaliknya. Para pencuri ikan di perairan kita pun dengan leluasa mempermainkan armada penjaga laut yang lemah. Selain itu, setiap tahun diperkirakan lebih dari 60 ribu kapal niaga melewati perairan Indonesia. Namun, tidak satu pun pelabuhan laut kita memenuhi standar internasional untuk mereka membuang sauh. Karena itu, jangan salahkan bila mereka lebih memilih Pelabuhan Singapura atau Malaysia untuk berlabuh dan menjadikannya international hub. Bukan pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Pelabuhan adalah bagian tidak terpisahkan dari sistem perekonomian dan perdagangan dunia. Sebagian besar perpindahan barang antarbenua terjadi melalui pelabuhan laut. Pembenahan sarana dan prasarana di sektor perhubungan laut ini harus diperhatikan secara serius. Pemerintah, khususnya Departemen Perhubungan, harus memastikan pemenuhan standar IMO dan ISPS Code harus menjadi prioritas utama pengembangan pelabuhan kita. Di sana harus ditetapkan sistem insentif bagi yang memenuhi standar dan disinsentif bagi yang tidak. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut. Sejarah nenek moyang kita pun tidak terlepas dari kejayaan laut. Riwayat Sriwijaya, Samudera Pasai, Majapahit, atau Bone adalah jejak betapa sesungguhnya ada spirit bahari dalam jiwa bangsa. Jangan biarkan spirit itu sia-sia. Jangan biarkan peluang meninggikan kesejahteraan dan martabat bangsa berlalu. Jangan biarkan ironi dan paradoks bertambah panjang melilit bangsa ini. http://www.mediaindonesia.com/print.php?ar_id=27042
<<logo.gif>>