Kalau mau bayi-nya kembali, harap bayar uang tebusan sebesar Rp 600.000
kalau tidak (tahu sendriri deh).
Kok Puskemas kita ini kedengarannya bagaikan bandit di selatan Mindanao?
Bagaimana kalau si ibu tak bisa bayar? Apakah bayi dan ibu terpaksa berpisah
sampai bisa bayar Rp 600.000?
Bayangkanlah si bayi sebatang kara di Puskemas tanpa ibunya dan si ibu tanpa
bayi...
Bayi disandera, bukan oleh bandit tapi Puskemas!
Adakah cara yang lebih baik agar semua bisa merasa bahagia?
Salam
Las
--- On Sun, 13/12/09, Agus Hamonangan wrote:
From: Agus Hamonangan
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Bayi Disandera Puskesmas
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Received: Sunday, 13 December, 2009, 11:23 AM
Oleh Kartono Mohamad
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/12/12/ 05033640/ bayi.disandera.
puskesmas
Seorang bayi yang baru lahir telah disandera oleh sebuah puskesmas di Jawa
Timur. Kabar ini memang tidak membuat heboh seperti berita Anggodo Widjojo,
mungkin karena orangtua bayi itu termasuk orang miskin. Bayi disandera karena
orangtua tidak sanggup membayar biaya persalinan Rp 600.000.
Namun, yang tidak banyak diketahui orang adalah peristiwa itu telah membuka
mata bahwa ada kekacauan serius dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Kacau
dalam wawasan (visi), kacau dalam konsep, dan kacau dalam pelaksanaan.
Trauma
Yang pertama, peristiwa itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius untuk
mengurangi angka kematian bayi dan ibu, melalui pelayanan kehamilan dan
persalinan yang ditangani tenaga profesional. Dengan pengenaan tarif yang tidak
bisa ditawar oleh orang semiskin ibu Yuliani, akan membuat ibu-ibu miskin
lainnya tidak berani meminta pertolongan bidan atau dokter. Mereka akan kembali
memilih dukun yang tarif pelayanannya bukan harga mati.
Masalah risiko infeksi atau kematian sekalipun tidak mereka takuti.
Pengalaman empiris mereka mengatakan, juga banyak bayi dan ibunya yang selamat
ditolong dukun. Namun, penyanderaan bayi hanya karena orangtuanya belum sanggup
membayar puskesmas sebesar Rp 600.000 akan menjadi trauma bagi ibu Yuliani dan
ibu-ibu miskin lainnya di kemudian hari.
Seandainya banyak orang miskin yang hamil secara bersamaan, peristiwa Yuliani
ini mungkin akan membuat mereka beramai-ramai ke dukun seperti orang
berbondong-bondong ke Ponari.
Dengan kasus penyanderaan bayi oleh puskesmas, ini mengindikasikan, bagi
pimpinan puskesmas (dan pemerintah setempat) wawasan menurunkan angka kematian
bayi dan ibu menjadi tidak begitu penting lagi. Peristiwa Ponari seharusnya
dapat dilihat sebagai kritik atau sindiran terhadap pelayanan medis yang kurang
akrab, kurang memanusiakan pasien, mahal, dan mutunya pun mungkin tidak jauh
berbeda dengan Ponari.
Sumber penghasilan
Yang kedua, semangat menjadikan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah
sebagai sumber penghasilan daerah tampaknya bukannya padam, tetapi makin
menggila. Semangat tersebut jelas bertentangan dengan konsep pengadaan
puskesmas itu sendiri.
Makna puskesmas sebagai pusat penyehatan masyarakat, seperti konsep awal
pendiriannya, sudah berubah karena keinginan mengisi kas pendapatan daerah.
Dapat dipahami, meski puskesmas sudah tersebar ke seluruh pelosok, derajat
kesehatan rakyat belum banyak beranjak dari 30 tahun lalu. Pemerintah agaknya
lebih senang kalau banyak rakyatnya yang sakit. Mengapa? Karena semakin banyak
rakyat yang sakit, akan semakin besar pendapatan daerah.
Konsep menyehatkan masyarakat dan menjaga kesehatan mereka sudah tidak
terpikirkan lagi. Hal serupa masih banyak terjadi di daerah-daerah lain.
Di sebuah kabupaten kepulauan di Indonesia bagian timur dengan penduduk 700.000
jiwa, rumah sakit daerah dibebani target untuk memasukkan uang ke kas daerah
sebesar Rp 350 juta per tahun. Kalau target uang tidak tercapai, rumah sakit
itu dikatakan "tidak perform".
Karena itu, direktur rumah sakit harus berupaya memperbesar pendapatan dengan
segala cara, barangkali termasuk pula cara-cara yang tidak profesional dan
tidak etis. Mengingat pendapatan rumah sakit hanya dari orang sakit, maka orang
sakit dijadikan korban untuk memenuhi target pendapatan daerah.
Hanya janji
Yang ketiga, kasus bayi yang disandera puskesmas itu mengindikasikan bahwa
pengobatan gratis bagi orang miskin seperti dijanjikan saat kampanye, hanyalah
sebatas janji. Demikian juga bantuan dana melalui apa yang disebut Jaminan
Kesehatan Masyarakat belum berjalan seperti dikatakan.
Jika ibu Yuliani yang tinggal di Jawa saja mengalami kesulitan untuk
mendapatkannya, apalagi mereka yang tinggal di luar Jawa. Prosedur untuk
memperolehnya bukan hal mudah bagi mereka yang benar- benar miskin.
Dalam masalah ini, pemerintah lebih memilih cara yang mudah dan populer, tetapi
tidak efektif atau efisien. Di sisi lain, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang menjanjikan perlindungan menyeluruh, yaitu berlaku menyeluruh
bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak dilaksanakan tanpa al