Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Bayi Disandera Puskesmas

2009-12-15 Terurut Topik Lasma siregar
Kalau mau bayi-nya kembali, harap bayar uang tebusan sebesar Rp 600.000
kalau tidak (tahu sendriri deh).
 
Kok Puskemas kita ini kedengarannya bagaikan bandit di selatan Mindanao?
Bagaimana kalau si ibu tak bisa bayar? Apakah bayi dan ibu terpaksa berpisah
sampai bisa bayar Rp 600.000?
 
Bayangkanlah si bayi sebatang kara di Puskemas tanpa ibunya dan si ibu tanpa
bayi...
Bayi disandera, bukan oleh bandit tapi Puskemas!
Adakah cara yang lebih baik agar semua bisa merasa bahagia?
 
Salam
Las

--- On Sun, 13/12/09, Agus Hamonangan  wrote:


From: Agus Hamonangan 
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Bayi Disandera Puskesmas
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Received: Sunday, 13 December, 2009, 11:23 AM


  



Oleh Kartono Mohamad

http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/12/12/ 05033640/ bayi.disandera. 
puskesmas

Seorang bayi yang baru lahir telah disandera oleh sebuah puskesmas di Jawa 
Timur. Kabar ini memang tidak membuat heboh seperti berita Anggodo Widjojo, 
mungkin karena orangtua bayi itu termasuk orang miskin. Bayi disandera karena 
orangtua tidak sanggup membayar biaya persalinan Rp 600.000.

Namun, yang tidak banyak diketahui orang adalah peristiwa itu telah membuka 
mata bahwa ada kekacauan serius dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Kacau 
dalam wawasan (visi), kacau dalam konsep, dan kacau dalam pelaksanaan.

Trauma

Yang pertama, peristiwa itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius untuk 
mengurangi angka kematian bayi dan ibu, melalui pelayanan kehamilan dan 
persalinan yang ditangani tenaga profesional. Dengan pengenaan tarif yang tidak 
bisa ditawar oleh orang semiskin ibu Yuliani, akan membuat ibu-ibu miskin 
lainnya tidak berani meminta pertolongan bidan atau dokter. Mereka akan kembali 
memilih dukun yang tarif pelayanannya bukan harga mati.

Masalah risiko infeksi atau kematian sekalipun tidak mereka takuti.

Pengalaman empiris mereka mengatakan, juga banyak bayi dan ibunya yang selamat 
ditolong dukun. Namun, penyanderaan bayi hanya karena orangtuanya belum sanggup 
membayar puskesmas sebesar Rp 600.000 akan menjadi trauma bagi ibu Yuliani dan 
ibu-ibu miskin lainnya di kemudian hari.

Seandainya banyak orang miskin yang hamil secara bersamaan, peristiwa Yuliani 
ini mungkin akan membuat mereka beramai-ramai ke dukun seperti orang 
berbondong-bondong ke Ponari.

Dengan kasus penyanderaan bayi oleh puskesmas, ini mengindikasikan, bagi 
pimpinan puskesmas (dan pemerintah setempat) wawasan menurunkan angka kematian 
bayi dan ibu menjadi tidak begitu penting lagi. Peristiwa Ponari seharusnya 
dapat dilihat sebagai kritik atau sindiran terhadap pelayanan medis yang kurang 
akrab, kurang memanusiakan pasien, mahal, dan mutunya pun mungkin tidak jauh 
berbeda dengan Ponari.

Sumber penghasilan

Yang kedua, semangat menjadikan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah 
sebagai sumber penghasilan daerah tampaknya bukannya padam, tetapi makin 
menggila. Semangat tersebut jelas bertentangan dengan konsep pengadaan 
puskesmas itu sendiri.

Makna puskesmas sebagai pusat penyehatan masyarakat, seperti konsep awal 
pendiriannya, sudah berubah karena keinginan mengisi kas pendapatan daerah.

Dapat dipahami, meski puskesmas sudah tersebar ke seluruh pelosok, derajat 
kesehatan rakyat belum banyak beranjak dari 30 tahun lalu. Pemerintah agaknya 
lebih senang kalau banyak rakyatnya yang sakit. Mengapa? Karena semakin banyak 
rakyat yang sakit, akan semakin besar pendapatan daerah.

Konsep menyehatkan masyarakat dan menjaga kesehatan mereka sudah tidak 
terpikirkan lagi. Hal serupa masih banyak terjadi di daerah-daerah lain.

Di sebuah kabupaten kepulauan di Indonesia bagian timur dengan penduduk 700.000 
jiwa, rumah sakit daerah dibebani target untuk memasukkan uang ke kas daerah 
sebesar Rp 350 juta per tahun. Kalau target uang tidak tercapai, rumah sakit 
itu dikatakan "tidak perform".

Karena itu, direktur rumah sakit harus berupaya memperbesar pendapatan dengan 
segala cara, barangkali termasuk pula cara-cara yang tidak profesional dan 
tidak etis. Mengingat pendapatan rumah sakit hanya dari orang sakit, maka orang 
sakit dijadikan korban untuk memenuhi target pendapatan daerah.

Hanya janji

Yang ketiga, kasus bayi yang disandera puskesmas itu mengindikasikan bahwa 
pengobatan gratis bagi orang miskin seperti dijanjikan saat kampanye, hanyalah 
sebatas janji. Demikian juga bantuan dana melalui apa yang disebut Jaminan 
Kesehatan Masyarakat belum berjalan seperti dikatakan.

Jika ibu Yuliani yang tinggal di Jawa saja mengalami kesulitan untuk 
mendapatkannya, apalagi mereka yang tinggal di luar Jawa. Prosedur untuk 
memperolehnya bukan hal mudah bagi mereka yang benar- benar miskin.

Dalam masalah ini, pemerintah lebih memilih cara yang mudah dan populer, tetapi 
tidak efektif atau efisien. Di sisi lain, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial 
Nasional yang menjanjikan perlindungan menyeluruh, yaitu berlaku menyeluruh 
bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak dilaksanakan tanpa al

[Forum-Pembaca-KOMPAS] Bayi Disandera Puskesmas

2009-12-12 Terurut Topik Agus Hamonangan
Oleh Kartono Mohamad

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/12/05033640/bayi.disandera.puskesmas



Seorang bayi yang baru lahir telah disandera oleh sebuah puskesmas di Jawa 
Timur. Kabar ini memang tidak membuat heboh seperti berita Anggodo Widjojo, 
mungkin karena orangtua bayi itu termasuk orang miskin. Bayi disandera karena 
orangtua tidak sanggup membayar biaya persalinan Rp 600.000.

Namun, yang tidak banyak diketahui orang adalah peristiwa itu telah membuka 
mata bahwa ada kekacauan serius dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Kacau 
dalam wawasan (visi), kacau dalam konsep, dan kacau dalam pelaksanaan.

Trauma

Yang pertama, peristiwa itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius untuk 
mengurangi angka kematian bayi dan ibu, melalui pelayanan kehamilan dan 
persalinan yang ditangani tenaga profesional. Dengan pengenaan tarif yang tidak 
bisa ditawar oleh orang semiskin ibu Yuliani, akan membuat ibu-ibu miskin 
lainnya tidak berani meminta pertolongan bidan atau dokter. Mereka akan kembali 
memilih dukun yang tarif pelayanannya bukan harga mati.

Masalah risiko infeksi atau kematian sekalipun tidak mereka takuti.

Pengalaman empiris mereka mengatakan, juga banyak bayi dan ibunya yang selamat 
ditolong dukun. Namun, penyanderaan bayi hanya karena orangtuanya belum sanggup 
membayar puskesmas sebesar Rp 600.000 akan menjadi trauma bagi ibu Yuliani dan 
ibu-ibu miskin lainnya di kemudian hari.

Seandainya banyak orang miskin yang hamil secara bersamaan, peristiwa Yuliani 
ini mungkin akan membuat mereka beramai-ramai ke dukun seperti orang 
berbondong-bondong ke Ponari.

Dengan kasus penyanderaan bayi oleh puskesmas, ini mengindikasikan, bagi 
pimpinan puskesmas (dan pemerintah setempat) wawasan menurunkan angka kematian 
bayi dan ibu menjadi tidak begitu penting lagi. Peristiwa Ponari seharusnya 
dapat dilihat sebagai kritik atau sindiran terhadap pelayanan medis yang kurang 
akrab, kurang memanusiakan pasien, mahal, dan mutunya pun mungkin tidak jauh 
berbeda dengan Ponari.

Sumber penghasilan

Yang kedua, semangat menjadikan sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah 
sebagai sumber penghasilan daerah tampaknya bukannya padam, tetapi makin 
menggila. Semangat tersebut jelas bertentangan dengan konsep pengadaan 
puskesmas itu sendiri.

Makna puskesmas sebagai pusat penyehatan masyarakat, seperti konsep awal 
pendiriannya, sudah berubah karena keinginan mengisi kas pendapatan daerah.

Dapat dipahami, meski puskesmas sudah tersebar ke seluruh pelosok, derajat 
kesehatan rakyat belum banyak beranjak dari 30 tahun lalu. Pemerintah agaknya 
lebih senang kalau banyak rakyatnya yang sakit. Mengapa? Karena semakin banyak 
rakyat yang sakit, akan semakin besar pendapatan daerah.

Konsep menyehatkan masyarakat dan menjaga kesehatan mereka sudah tidak 
terpikirkan lagi. Hal serupa masih banyak terjadi di daerah-daerah lain.

Di sebuah kabupaten kepulauan di Indonesia bagian timur dengan penduduk 700.000 
jiwa, rumah sakit daerah dibebani target untuk memasukkan uang ke kas daerah 
sebesar Rp 350 juta per tahun. Kalau target uang tidak tercapai, rumah sakit 
itu dikatakan "tidak perform".

Karena itu, direktur rumah sakit harus berupaya memperbesar pendapatan dengan 
segala cara, barangkali termasuk pula cara-cara yang tidak profesional dan 
tidak etis. Mengingat pendapatan rumah sakit hanya dari orang sakit, maka orang 
sakit dijadikan korban untuk memenuhi target pendapatan daerah.

Hanya janji

Yang ketiga, kasus bayi yang disandera puskesmas itu mengindikasikan bahwa 
pengobatan gratis bagi orang miskin seperti dijanjikan saat kampanye, hanyalah 
sebatas janji. Demikian juga bantuan dana melalui apa yang disebut Jaminan 
Kesehatan Masyarakat belum berjalan seperti dikatakan.

Jika ibu Yuliani yang tinggal di Jawa saja mengalami kesulitan untuk 
mendapatkannya, apalagi mereka yang tinggal di luar Jawa. Prosedur untuk 
memperolehnya bukan hal mudah bagi mereka yang benar- benar miskin.

Dalam masalah ini, pemerintah lebih memilih cara yang mudah dan populer, tetapi 
tidak efektif atau efisien. Di sisi lain, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial 
Nasional yang menjanjikan perlindungan menyeluruh, yaitu berlaku menyeluruh 
bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak dilaksanakan tanpa alasan jelas meski 
sudah diundangkan sejak tahun 2004.

Sementara DPR, yang melahirkan undang-undang itu, juga diam saja saat 
mengetahui undang-undang tersebut tidak dilaksanakan.

Keadaan seperti ini akan membuat Indonesia sulit mencapai sasaran Pembangunan 
Milenium dan tertinggal oleh negara lain. Bukan tidak mungkin, setelah disalip 
Vietnam, kita akan disalip Kamboja dan Timor Leste dalam keberhasilan 
meningkatkan derajat kesehatan rakyat.

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia