MK, MA, KPU : Hukum Gali Lobang Tutup Lubang
Sikap KPU pada tanggal 1 Agustus 2009 malam tentang Putusan MA
dicermati terkesan ambivalen bahkan spekulatif, bagaimana tidak,
tenggang waktu 90 hari jelang masa efektif Putusan MA dijadikan jangkar
pola pikir sedemikian rupa guna tetap dapat mengakomodasi apapun
Putusan MK tentang permohonan sengketa PilPres 2009 sembari
bersiap-siap melakukan penyesuaian kebijakan publik baik terhadap
Putusan MK maupun Putusan MA, dengan pertimbangan bahwa secara struktur
ketatanegaraan konstitusional yang kini berlaku, KPU memang patut
tunduk kepada Putusan-putusan MK dan MA.
Sikap KPU tersebut diatas benar telah menurunkan suhu politik yang
sempat memanas terutama bagi sejumlah ParPol termasuk di tingkat DPRD,
yang dirugikan oleh Putusan MA termaksud, namun situasi dan kondisi ini
bisa saja bersifat sementara, artinya dapat saja di kemudian hari suhu
politik ini kembali memanas seirama dengan kehadiran badai El Nino yad.
Sehingga dapat berdampak Bencana Politik hadir bersamaan dengan Bencana
Alam yang seolah menjadi kewajaran bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sedihnya, Keadilan Sosial sebagaimana
diamanatkan Sila-5 PANCASILA lantas tetap senantiasa menjadi mimpi yang
indah ?
Akar masalahnya memang ada di UU Pemilu itu sendiri yang faktanya
mengandung pasal-pasal multi tafsir, demikian pendapat beberapa pakar
politik dan hukum juga. Bahkan ada pendapat agar pasal-pasal
dimaksudkan segera dilakukan Uji Material ke MK, sejalan dengan
pemikiran agar Putusan MA itu dilakukan PK (Peninjauan Ulang).
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa sistim hukum yang berlaku, khususnya
tentang Pemilu, adalah jauh dari kesempurnaan yang menjamin kemuliaan
bagi kedamaian. Dan hal ini ada yang berpendapat bahwa mutu Legislator
2004-2009 telah berkontribusi cukup signifikan terhadap kekacauan
penerapan UU Pemilu.
Bilamana dianalogkan dengan sistim perangkat lunak komputerisasi,
maka situasi dan kondisi yang disebut HANG atau tergantung-gantung,
itulah yang kini terjadi pada sistim perangkat lunak hukum
ketatanegaraan. Berawal dari hadirnya 2 (dua) rezim Konstitusi secara
bersamaan yaitu UUD Tahun 1945 [versi Amandemen 2002] dan UUD 1945
[Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang belum dinyatakan tidak berlaku].
Kalau di sistim teknik komputer dikenali istilah Hacker, maka dapat
pula dipastikan bahwa dualisme Konstitusi itu berikut turunan
Perundang-undangannya adalah dipastikan hasil ulah Hacker
Konstitusional.
Bersyukur bahwa Pembukaan UUD 1945 tetap diberlakukan menjadi jiwa,
semangat dan nilai2 PerUUan sehingga dapat berperan sebagai Katup
Pengaman terutama ketika ketidakpastian menggelayuti sistim hukum
perundang-undangan yang berlaku, yaitu Sila-sila dari PANCASILA yang
tercantum di Pembukaan UUD 1945 dapat menjadi tumpuan berpijak
konstitusional, agar supaya Kebijakan2 Publik yang ditetapkan tidak
terkesan gali lobang tutup lubang.
Dalam konteks MK dengan Permohonan Sengketa PilPres 2009, sebagai
tumpuan harapan KPU dan masyarakat Politik (baik Politisi Independen
maupun Politisi ParPol], kiranya dalam pertimbangan hukumnya bagi
kelurusan penerapan ketentuan2 Konstitusional dan PerUUan sangat
diharapkan berkiblat kepada PANCASILA, khususnya Sila-4 demi Sila-5 dan
Sila-3, ketimbang terjebak pada kajian hitungan2 suara, mengingat MK
adalah Pengawal/Penjaga Konstitusi, sekaligus agar supaya dihindari
kesan Hukum Gali Lobang Tutup Lubang, disamping ada pemahaman bahwa
bagaimanapun, penerimaan dan kesepakatan hukum tidak tertulis oleh
khalayak masyarakat luas dalam banyak hal sering dianggap lebih
superior daripada hukum tertulis. Dan hukum tidak tertulis itu adalah
antara lain perilaku jujur lebih utama bagi jiwa, semangat dan nilai2
Kepemimpinan.
Jakarta, 2 Agustus 2009
Pandji R Hadinoto / Majelis Benteng PANCASILA / HP : 0817 983 4545 / 
www.pkpi.co.cc



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke