Menarik sekali tulisan Bung Tamrin Amal Tomagola ini.
Kesimpulan dari tulisan ini, mau tidak mau menyatakan bahwa:
1. SBY tidak terlalu cocok bila diharapkan sebagai seorang Presiden yang mampu 
membawa bangsa ini keluar dari kemelut ekonomi, politik dan sosial yang sedang 
melanda negri ini.
2. Kecenderungannya untuk menolak ikut bertanggung jawab atas kebijakan 
bawahannya yang banyak dikritisi oleh masyarakat, memperburuk citra Presiden 
SBY dimata masyarakat.
3. Kualitas komunikasi SBY dengan masyarakat yang sangat buruk, ditambah 
kualitas anggota Partai Demokrat yang sering ditampilkan di Media Massa maupun 
DPR untuk melakukan counter atas berbagai issu yang memojokkan Pemerintah 
cenderung dibawah standard, membuat situasi politik makin memanas.
4. Kegagalan SBY menggunakan mitra koalisinya untuk bantu menjelaskan berbagai 
issu yang dikritisi oleh masyarakat luas, menunjukkan bahwa daya tawar SBY 
sangat lemah dalam pemerintahan koalisi ini.
Yang paling setia membela kebijakan SBY mulai dari Pembelian Mobil Mewah, 
kebijakan bailout Bank Century dsb hanya Hatta Rajasa dari PAN seorang, 
sedangkan anggota PAN lainnya dan dari partai koalisi lainnya cenderung ikut 
mengkritisi kebijakan SBY yang sangat tidak populer dimata masyarakat tersebut.
 
Melihat situasi ini, saya kok khawatir selama masa pemerintahan SBY sampai 
2014, SBY hanya akan jadi sapi perahan partai - partai lainnya dalam berbagi 
kue kekuasaan, baik yang tergabung dalam Pemerintahan Koalisi maupun Oposisi.
Tidak ada Partai Politik yang perduli tentang bagaimana caranya Bangsa ini bisa 
keluar dari kemelut ekonomi, politik dan sosial yang melanda negri ini..
Masing - masing partai berupaya untuk berebut Kue Kekuasaan yang akan dijadikan 
modal untuk Pemilu 2014.
Karena secara resmi pemerintahan ini adalah Pemerintahan SBY dan Partai 
Demokrat, maka tidak ada partai lain yang bersedia bekerja secara bersungguh - 
sungguh agar bangsa ini bisa keluar dari krisis ekonomi, politik dan sosial 
yang dihadapi oleh bangsa ini.
Diperkirakan SBY akan kesulitan untuk mengendalikan kinerja Partai koalisi yang 
tidak serius.
Akibatnya, nasib rakyat dipastikan akan makin terlantar.
Bila SBY menolak sebagai sapi perah, maka ancamannya tidak main - main: 
dilengserkan secara paksa.
Dan ujungnya: nasib rakyat pasti akan makin menderita.
 
Salam,
 
Adyanto Aditomo


--- Pada Jum, 22/1/10, Agus Hamonangan <agushamonan...@yahoo.co.id> menulis:


Dari: Agus Hamonangan <agushamonan...@yahoo.co.id>
Judul: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Gerhana Legitimasi
Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 22 Januari, 2010, 4:01 AM


  



Oleh Tamrin Amal Tomagola

http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2010/01/21/ 04484154/ gerhana.legitima si.

Gerhana Matahari pada 15 Januari 2010 agaknya mirip gerhana kredibilitas 
kepemimpinan presidensial Susilo Bambang Yudhoyono dalam 100 hari 
kepemimpinannya.

Gerhana Matahari, pekan lalu, tercatat sebagai yang terlama dalam milenium 
ketiga (Kompas, 16/1/10), sedangkan gerhana kredibilitas kepemimpinan 
presidensial SBY juga terlama sejak tahun 2004 dan kebetulan terjadi pada masa 
pemerintahan keduanya.

Selama ini, ada yang menilai SBY sebagai berdisposisi karakter "staff'", bukan 
posisi "commander". Padahal, sejak akhir 2004 ia dipilih rakyat untuk memegang 
kendali memimpin suatu negeri yang begini luas dan berpenduduk terbanyak 
keempat dunia.

Berbeda dengan psychological properties seseorang, yang selalu teramati setiap 
saat, seperti senyuman yang selalu tersungging, psychological dispositions 
pribadi tertentu hanya muncul, secara terpola, bila mendapat rangsangan pada 
waktu dan konteks tertentu (Morris Rosenberg, The Logic of Survey Analysis, 
1968).

Seorang pekerja staf akan menampilkan respons yang berbeda dengan pemimpin yang 
berkarakter commander (komandan). Seorang pemimpin berdisposisi komandan, 
dengan tegas menunjuk arah yang dituju, memilih dengan cermat para pembantu 
yang mumpuni di bidang masing- masing, dan memberi kebebasan penuh kepada 
mereka untuk berkiprah maksimal menuju arah yang telah ditunjuk.

Sebaliknya, respons lumrah seorang yang terbiasa menjadi staf, termasuk pada 
saat krisis, adalah menelaah dulu rambu- rambu birokrasi secara njelimet. 
Pencermatan rambu-rambu aturan birokrasi itu bila perlu ditandai warna-warna 
tinta berbeda untuk menunjukkan derajat dan status yang berbeda dari berbagai 
pasal dan ayat perundang- undangan. Karena itu, kecenderungan normatif sangat 
menonjol pada pekerja staf. Mereka cenderung lambat mengambil keputusan, 
apalagi tindakan konkret.

Pekerja staf selalu dibayangi perhitungan safety first. Mereka baru berani 
bertindak bila benar- benar terjamin aman. Karena itulah, sama sekali tidak 
mengherankan bila seseorang yang berdisposisi staf selalu membutuhkan waktu 
lama sekali sebelum akhirnya bertindak. Di pihak lain, para komandan tidak 
pernah enggan mengambil risiko yang sudah diperhitungkan (calculated 
risk-takers) dengan timing yang tepat dan terukur.

Kredibilitas mendung

Pada periode pertama pemerintahannya, kredibilitas SBY banyak tertolong gerak 
cepat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan berbagai program penyelamatan 
rakyat kecil, serta kebijakan keuangan yang cerdas, lugas, dan bersih oleh 
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Begitu peran kunci kedua bintang pendongkrak kredibilitas SBY ini absen atau 
goyah dalam masa pemerintahan kedua karena JK berpisah jalan dengan SBY dan Sri 
Mulyani ikut tercemar karena "tertipu" oleh otoritas Bank Indonesia dalam 
skandal Bank Century, tak pelak lagi kredibilitas SBY mulai menurun perlahan 
tetapi pasti. Berbagai survei pendapat publik menunjukkan penurunan popularitas 
SBY secara signifikan.

Paling kurang ada tiga faktor kunci penyebab kian mendungnya kredibilitas 
presidensial SBY. Pertama, ditempatkannya orang- orang yang kredibilitas moral 
dan profesionalitasnya diragukan publik. Sedikitnya ada empat pejabat kunci 
kabinet yang kredibilitas moralnya dipertanyakan. Keempatnya, sebelumnya adalah 
pemimpin kolektif sebuah yayasan yang menerima sumbangan senilai 1 miliar 
dollar AS dari seorang buron koruptor. Publik cenderung menyamakan harkat 
integritas moral mereka dengan Jaksa Urip yang disuap oleh Ayin. Ironisnya, 
Jaksa Urip masuk penjara, sedangkan keempat orang itu malah masuk kabinet pada 
posisi kunci pula.

Kedua, tumpulnya kepekaan dan tiadanya prioritas dalam penggunaan dana negara. 
Salah satu yang paling ironis adalah dianggarkannya pembelian mobil super mewah 
bagi para menteri seharga hampir tiga kali lipat harga mobil dinas kabinet 
sebelumnya. Ini bukan contoh baik bagi asketisme yang menjadi tradisi para 
founding fathers republik ini, selain juga contoh tak sedap bagi tekad 
menurunkan emisi karbon yang dicanangkan SBY sendiri di KTT Perubahan Iklim 
Kopenhagen, Desember.

Belum lagi penyediaan pesawat kepresidenan serta renovasi pagar istana. 
Anehnya, biaya setara beribu-ribu sekolah dasar dan puskesmas itu disetujui 
oleh seorang Menkeu yang terkenal hati-hati dan lugas dalam pembelanjaan uang 
negara. Bantahan Juru Bicara Presiden bahwa SBY tak tahu-menahu dengan pos-pos 
belanja mewah tersebut justru semakin memendungkan kredibilitas presidensial 
SBY.

Akhirnya, yang tak kurang penting adalah kurang terlihatnya sikap untuk berdiri 
di depan. Dalam hampir 100 hari terakhir, alih-alih melindungi bawahan dan 
mengambil alih tanggung jawab sebagai komandan tertinggi RI, Presiden malah 
cenderung membantah keterlibatannya dalam kasus dan heboh Bank Century. Ia 
justru terkesan mengorbankan bawahannya.

Tamrin A Tomagola Sosiolog









      Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke