3 Artikel ttg Disfungsi Milenial, Negara dng Rakyat Ketakutan dan Mazulkan Jokowi Segera!
Salam Hari Minggu. Lusi.- 1.: Setahun Disfungsi, Waktunya Stafsus Milenial Jokowi Dibubarkan IDtoday News. November 1, 2020 https://news.idtoday.co/setahun-disfungsi-waktunya-stafsus-milenial-jokowi-dibubarkan/ IDTODAY NEWS – Presiden Joko Widodo mengatakan tujuh staf khusus milenial yang dia perkenalkan ke publik di Istana, Jakarta pada November 2019 lalu bakal menjadi “teman diskusi”-nya; akan “memberikan gagasan-gagasan segar yang inovatif”; dan akhirnya dapat membantu memajukan negara dengan “cara-cara yang out of the box.” Orang-orang terpilih itu adalah Adamas Belva Syah Devara, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra, Ayu Kartika Dewi, Gracia Billy Mambrasar, Angkie Yudistia, dan Aminudin Ma’ruf. Hampir setahun para staf khusus milenial itu mendampingi Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Namun, ekspektasi Jokowi saat memperkenalkan mereka nampaknya belum terpenuhi, kata peneliti dari Indo Strategic Research and Consulting Arif Nurul Imam. Kepada reporter Tirto, Rabu (21/10/2020) pekan lalu, Iman mengatakan bisa saja mereka menciptakan konsep dan ide yang bisa dibilang cemerlang untuk dieksekusi Presiden. Masalahnya, ide tersebut sulit direalisasikan karena, pertama, kewenangan mereka memang terbatas; kedua, tidak didukung oleh kekuatan politik lain. “Kita tidak bisa berharap karena memang [staf khusus milenial] tak memiliki wewenang lebih. Meski pada awalnya Presiden Jokowi berharap ada terobosan, namun secara riil politik memang berat dan susah. Karena kalah kuat dengan oligarki yang mengitari Presiden,” kata Imam. Angkie Yudistira, seorang penyandang disabilitas, misalnya, semestinya bisa mendorong berbagai kebijakan pro-disabilitas. Namun, yang terjadi justru mundur lewat UU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah. “Sebaliknya, stafsus milenial dinilai oleh banyak pihak tidak mumpuni dan konflik kepentingan,” tambahnya. Kasus konflik kepentingan terjadi beberapa kali selama hampir setahun ini. Ravio Patra, peneliti independen kebijakan publik, sempat mengkritik Billy yang diduga terlibat konflik kepentingan dalam proyek-proyek pemerintah di Papua lewat perusahaannya, PT Papua Muda Inspirasi. Belakangan, pada 23 April, Kementerian Koperasi dan UKM mengeluarkan bantahan terhadap pernyataan Billy tentang dukungan uang bagi pengusaha muda yang tergabung dalam perusahaannya. Billy juga sempat membuat ramai setelah mencuit tentang “kubu sebelah”–merujuk ke kelompok oposisi pemerintah. Kedua adalah Andi Taufan. Andi disorot karena mengirimkan surat dengan kop surat Istana untuk meminta daerah mendukung program Desa Lawan COVID-19 dengan melibatkan perusahaannya, PT Amartha, pada 1 April 2020 lalu. Surat itu lantas ditarik dan Andi mengundurkan diri. Ketiga adalah Adamas Belva. CEO Ruang Guru itu tersangkut konflik kepentingan dalam program Kartu Prakerja. Ruangguru disebut-sebut mendapat proyek Kartu Prakerja lewat penunjukan langsung, bukan lewat mekanisme tender. Belva juga mengundurkan diri pada 17 April. Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengingatkan kembali kritik mereka tahun lalu, bahwa tugas pokok dan fungsi staf khusus milenial tidak jelas. Dan itu semakin kentara setelah satu tahun berjalan. Sebagai contoh, para stafsus milenial tidak terlihat dalam membantu penanganan COVID-19 dalam bentuk memberikan rekomendasi keterbukaan informasi. “Jadi hal yang sangat basic tentang informasi itu nyatanya di era Jokowi sangat tertutup,” kata Wana kepada reporter Tirto, Rabu. Di sisi lain, karena menerima gaji hingga Rp51 juta per bulan, sudah semestinya mereka bekerja berdasarkan parameter hasil dan itu bisa dilihat publik. “Kami khawatir stafsus digunakan untuk alat legitimasi membuat atau mencari proyek,” katanya. “Jangan sampai mereka menjadi pion-pion juga di dalam sistem politik tersebut.” Atas dasar itu semua, menurutnya, kini Jokowi tinggal memilih di antara dua opsi: antara memberikan tanggung jawab yang jelas kepada mereka atau sekalian membubarkannya saja. Wana sendiri condong kepada pilihan nomor dua. “Stafsus saat ini kinerjanya enggak signifikan, lebih baik ditiadakan.” Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko enggan merespons soal kinerja staf khusus milenial. “Staf khusus Presiden Pak Ari Dwipayana koordinatornya, tidak langsung di bawah KSP sehingga akan lebih tepat bertanya ke beliau,” kata Moeldoko, Rabu (21/10/2020). Kami telah menghubungi Ari Dwipayana. Namun, ia tidak merespons. Kami juga meminta komentar tiga staf khusus milenial, yakni Angkie Yudistia, Billy Mambrasar, dan Aminuddin Ma’ruf. Aminuddin dan Angkie tidak merespons, sementara Billy enggan berkomentar. Sumber: tirto.id 2.: Negara dengan Rakyat yang Ketakutan Menyatakan Pendapat IDtoday News, November 1, 2020 https://news.idtoday.co/negara-dengan-rakyat-yang-ketakutan-menyatakan-pendapat/ Oleh Ratna Puspita IDTODAY NEWS – Survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Selain itu, 21,9 responden menyatakan bahwa warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat. Artinya, ada lebih dari 50 persen responden mengakui warga sekarang ini mengalami ketakutan menyatakan pendapat. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi ini menunjukkan alam bawah sadar responden yang mulai takut mengungkapkan pendapatnya. Kondisi ini tidak sejalan dengan demokratis partisipatoris deliberatif yang diungkapkan oleh filsuf dan sosiolog dari Jerman, Juergen Habermas. Demokratis partisipatoris deliberatif merupakan gugatan atas model demokrasi perwakilan yang menempatkan warga hanya sebatas pada memilih anggota parlemen. Demokrasi deliberatif meyeimbangkan kekuasaan administratif negara dengan memunculkan dialog dan diskursus dalam masyarakat sipil. Untuk itu, masyarakat harus diberikan kebebasan berbicara dalam debat politis. Survei ini mengingatkan saya pada sebuah tugas kuliah sekitar enam tahun yang lalu. Kala itu, menjelang Pemilihan Umum 2014, saya dan teman-teman saya mendiskusikan soal kondisi demokrasi deliberatif di Indonesia yang mulai tidak sehat lantaran orang membawa emosinya dalam pilihan politik. Pilihan politik diletakkan pada persoalan personal, yang menyangkut nilai-nilai hingga selera atau kesukaan. Masalah muncul ketika orang membawa hal ini pada diskursus politik di media sosial. Orang mencari afirmasi, dukungan, dan menyingkirkan pendapat yang berbeda. Diskusi tidak lagi diletakan untuk menhormati pendapat yang berbeda, melainkan menjadi persoalan personal. Alhasil, ketika berbeda pendapat, orang tidak lagi menyerang pendapatnya, melainkan personalnya atau pribadinya. Kalau pun yang diserang pendapatnya, ada saja orang yang mengambil hati dan menganggapnya serangan pada pribadi. Kondisi media sosial yang seharusnya menjadi ruang yang memberikan kebebasan berpendapat dalam debat sosial pun luruh. Media sosial terpecah menjadi dua kubu dengan anggapan “kalau kamu tidak mendukungku maka kamu melawanku”. Media sosial yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi justru menciptakan ketegangan komunikasi, khususnya pada orang-orang yang punya kedekatan. Alhasil, orang yang menggunakan media sosial khawatir berbeda pendapat dengan orang-orang yang dikenal di dunia nyata (offline). Pengguna media sosial takut untuk mengunggah pendapatnya karena khawatir memiliki hubungan buruk dengan temannya atau keluarganya. Ketakutan dan kekhawatiran itu makin diafirmasi dengan fitur-fitur pada medium. Pengguna media sosial menahan diri untuk mengungkapkan pendapatnya karena tidak mau kena block, unfriend, mute, atau tombol-tombol lain yang membuatnya tidak terhubung dengan jaringan dekatnya. Sejak enam tahun, demokrasi deliberatif dan ruang publik yang diimpikan Habermas sudah sulit terwujud pada debat politik di Indonesia lantaran pendukung yang berlaku seperti fans dan logika medium yang mempertemukan pengguna hanya pada pengguna lain yang berpendapat senada. Setelah enam tahun, kondisinya tidak makin membaik dan bahkan makin buruk. Hal yang membuatnya makin buruk, diskusi politik bukan hanya masih bercampur emosi, melainkan juga sudah dicampuri oleh kekuatan negara. Padahal, ruang publik sebaiknya dijauhkan dari aparat negara sehingga demokrasi deliberatif dapat terwujud. Survei yang dilakukan oleh Indikator memperlihatkan bahwa masyarakat merasakan keberadaan aparat dalam diskusi politik. Mayoritas publik, lebih dari 50 persen responden, setuju bahwa aparat makin bertindak semena-mena terhadap masyarakat yang berbeda pendapat. Sebanyak 37,9 persen responden menyatakan agak setuju bahwa aparat makin semena-mena. Sebanyak 19,8 persen menilai sangat setuju aparat makin semena-mena terhadap warga yang berbeda pilhan politiknya dengan penguasa. Aparat masuk dalam narasi-narasi soal politik di media sosial bukan hanya untuk menertibkan hoaks atau disinformasi. Namun, aparat masuk juga pada diskusi politik. Berdasarkan pengamatan pada kasus hukum yang terkait diskusi politik, aparat masuk melalui dua pintu. Pertama, ‘penggemar’ tokoh politik yang marah karena idolanya diekspresikan dengan cara yang buruk di media sosial. Kedua, aparat langsung masuk menggunakan norma-norma dalam undang-undang, khususnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), untuk menjerat pengguna lantaran ekspresinya di media sosial. Entah sampai kapan kondisi ini bakal berlangsung. Apakah tiga tahun lagi bakal berubah? Atau, bakal lebih buruk? Tidak ada yang tahun. Namun, alat-alat negara harus memahami bahwa ruang publik, di mana semua orang setara dan berisi debat politik, seharusnya menjadi milik publik. Tidak dapat dimungkiri hoaks/disinformasi turut merusak kualitas demokrasi. Akan tetapi, hal itu bukan menjadi alasan bagi alat-alat negara untuk masuk pada diskusi yang seharusnya menjadi milik publik. Sebab, narasi-narasi pada arus utama di dunia politik mulai dari pembentukan legislasi hingga informasi di media massa sudah dikuasai oleh elite atau orang-orang yang memiliki kekuasaan politik. Sumber: republika.co.id 3.: Batalkan UU Cipta Kerja: Proses Pemakzulan Jokowi Segera! Oleh: Marwan Batubara News IDtoday, Oktober 13, 2020 https://news.idtoday.co/batalkan-uu-cipta-kerja-proses-pemakzulan-jokowi-segera/ Paripurna DPR telah menetapkan pembentukan UU Cipta Kerja (Ciptaker) pada 5 Oktober 2020. RUU Ciptaker setebal 900-an halaman dibahas hanya 6 bulan sejak April 2020. Menurut pemerintah pembentukan UU Ciptaker bertujuan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya melalui perbaikan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha. Disebutkan, UU Ciptaker akan merubah struktur ekonomi dan sektor terkait, sehingga investasi dan produktivitas meningkat, lapangan kerja tercipta, ekonomi tumbuh dan rakyat makin sejahtera. Jika tujuannya mulia, kenapa para buruh, mahasiswa, tokoh, aktivis, akademisi, kepala daerah, pakar, ormas dan berbagai kalangan rakyat menolak? Sebaliknya, jika pemerintah dan fraksi-fraksi DPR partai pendukung pemerintah berniat tulus meningkatkan kesejehteraan rakyat, mengapa pula harus membahas RUU Ciptaker terburu-buru, tertutup, abai kaidah moral, abai peraturan, memanipulasi iniformasi dan menebar ancaman? Jawabnya, di balik pemaksaan kehendak tersebut ada kepentingan khusus, rekayasa dan agenda tersembunyi pro oligarki yang menyelinap dalam proses legislasi, sehingga berpotensi merugikan rakyat dan membahayakan kehidupan berbangsa. UU Ciptaker mungkin dapat meningkatkan investasi dan lapangan kerja, namun para anggota oligarki penguasa-pengusahalah yang akan untung besar. Tak heran, RUU Ciptaker dibahas dengan brutal dan menghalalkan segala cara, sesuai kehendak oligarki dan pemerintah, yang tampak semakin otoriter seperti diurai berikut ini. Pertama, melanggar sila pertama Pancasila, karena pembentukan UU sarat prilaku moral hazard. Paripurna DPR menetapkan UU Ciptaker atas dasar dokumen sesat, karena draft final RUU sengaja disembunyikan. Dengan modus ini, meski sudah ditetapkan DPR, penguasa dapat saja merubah-rubah naskah RUU sesuka hati, sambil melihat sikon dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan publik. Secara moral, prilaku manipulatif ini jelas illegal, memalukan, immoral, merendahkan martabat bangsa dan pantas dipidanakan! Hingga hari ini (12/10/2020) naskah akhir RUU malah belum diterima “partai oposisi”, PD dan PKS, apalagi untuk diakses publik. Jika Presiden Jokowi menuduh publik menolak UU Ciptaker atas dasar hoax, publik pun bisa pula mengatakan Presiden Jokowi penyebar hoax UU Ciptaker! Faktanya, justru klarifikasi Presiden Jokowi (9/10/2020) atas isu hoax yang berkembang di publik tersebutlah yang dinilai berpredikat hoax. Penilaian ini sesuai penjelasan Presiden KSPI Said Iqbal terkait isu-isu UMSP, UMSK, PHK, Hak Cuti, dll (12/10/2020). Kedua, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip musyawarah mufakat sila ke-4 dan keadilan sila ke-5 Pancasila. Rapat-rapat Panja RUU Ciptaker yang diakui berjumlah 64 kali, sebagian besar berlangsung tertutup. Jangankan mengundang partisipasi dan bermusyawarah, naskah dan informasi terkait RUU pun tidak bisa diakses. Jangankan bagi publik, bahkan naskah RUU bagi sesama anggota DPR saat pembahasan saja dibatasi. Sebaliknya, pemerintah dan DPR justru memberi peran bagi pengusaha oligarkis bukan saja untuk memberi masukan, bahkan diberi peran penting menyusun draft RUU. Artinya, sekelompok orang dari unsur-unsur luar pemerintah, partai dan pengusaha sangat berperan dalam membentuk UU ini. Beberapa penguasa merangkap pengusaha dan pimpinan partai, serta sejumlah dan konglomerat seperti James Riyadi, dan Ruslan Rooslani, berserta sejumlah konspirator demikian dominan menentukan konten RUU. Sebaliknya buruh, pakar dan akademisi dihambat berpartisipasi. Hal ini jelas merupakan bentuk ketidakadilan dan persekongkolan yang mengangkangi prinsip-prinsip musyawarah dan keadilan Pancasila. Ketiga, melanggar UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan tertutup dan konspiratifnya pembahasan RUU Ciptaker, pemerintah dan DPR bukan saja menghalangi rakyat memperoleh informasi terkait dan naskah RUU Ciptaker, tetapi juga menghambat rakyat menyampaikan aspirasi dan melaksanakan hak kedaulatan yang dijamin konstitusi. Keempat, melanggar Pasal 5 UU No.12/Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) dan Pasal 229 UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Mayoritas rapat Panja RUU melanggar asas keterbukaan karena dilakukan tertutup dan tidak dilakukan di DPR, tetapi di hotel-hotel. RUU dibahas tanpa partisipasi publik dan stakeholders terkait. Padahal, sesuai UU P3 dan MD3, pembentukan UU mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Konsultasi publik dan audiensi yang dilakukan Pemerintah dan DPR dengan beberapa pihak pada awal pembahasan, untuk kepentingan internal, bukanlah pengambilan spirasi dan partisipasi publik sebagaimana diperintahkan kedua UU tersebut. Kelima, melanggar Pasal 96 ayat (4) UU No.12/2011 tentang P3 yang menjamin akses informasi bagi publik. Naskah hasil pembahasan RUU sebelum diputuskan seharusnya dipublikasi, disebar kepada stakeholders dan diuji publik. Namun yang terjadi draft RUU Ciptaker tidak dipublikasi dan menjadi barang rahasia. Dengan begitu hak publik mengikuti perkembangan pembahasan dan memberi masukan lisan dan tertulis terhambat. Maka, hasil pembahasan RUU tidak dapat dipertanggungjawabkan secara formil dan materiil. Ternyata, modus manipulatif pembentukan UU Ciptaker berlangsung bersamaan dengan munculnya langkah represif, ancaman dan penangkapan terhadap publik yang kritis, termasuk terhadap sejumlah demonstran. Jika prilaku penyelenggaran negara sudah demikian, anda masih nekat bicara “Saya Pancasila”? Bagaimana bisa para pejabat yang mengaku “Saya Pancasila” tega melanggar prinsip-prinsip bernegara dan berbangsa NKRI yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral? Bahkan hal ini dilakukan di tengah derita rakyat akibat pandemi Covid-19! Hal ini menunjukkan pemerintah telah meninggalkan prinsip-prinsip moral, demokrasi dan amanat reformasi. Pemerintah tampaknya secara perlahan berubah dari negara demokratis berazas hukum menjadi negara kekuasaan atau otriter. Pemerintah terbukti telah melakukan pendekatan kekuasaan dan menabrak Pancasila dan sejumlah ketentuan hukum untuk menetapkan UU Ciptaker. Dalam Pasal 170 UU Ciptaker telah pula termuat aturan otoriter, Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengubah UU lain! Ternyata pemerintahan menuju otoriterianisme telah berlangsung sejak terbitnya Perppu No.1/2020 yang berubah jadi UU No.2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan atau UU Korona. UU ini memberi kekuasaan Presiden menetapkan APBN/APBN-P tanpa partisipasi DPR (contoh: Perpres No.54/2020 dan Perpres No.72/2020). Hal ini jelas memberangus hak budget DPR yang dijamin Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Presiden pun semakin berkuasa dan dapat bertindak di atas hukum atau melakukan abuse of power, karena diberi hak impunitas dalam Pasal 27 UU No.2/2020 dan merubah ketentuan dalam 12 UU yang saat ini berlaku, pada Pasal 28 UU No.2/2020. Bentuk lain kekuasaan menuju otoriterianisme, melalui UU Minerba No.3/2020, Presiden berkuasa memperpanjang kontrak-kontrak PKP2B dan izin-izin usaha tambang kepada para oligarki dan pengusaha tambang yang kontrak/izinnya habis. Padahal menurut Pasal 33 UUD 1945 dan UU No.4/2009 yang diberangus, aset negara yang nilainya minimal Rp 10.000 triliun tersebut, harus dikelola oleh BUMN. Aset negara yang dapat menyejahterakan rakyat melalui BUMN, secara vulgar dirampok melalui konspirasi busuk oligarki kekuasaan. Kemenko Perekonomian menyatakan, sesuai arahan Presiden Jokowi, akan diterbitkan sekitar 35 PP dan 4 Prepres sebagai turunan operasional dari UU Ciptaker dalam waktu 3 bulan ke depan. Bagaimana anda akan menerbitkan PP dan Perpres secara benar, legal dan objektif jika UU-nya saja disusun penuh konspirasi, rekayasa dan manipulasi, serta belum juga final? Otoriterianisme dan pemaksaan kehendak ini akan tetap dilanjutkan pemerintah? Bagi IRESS, rencana tersebut harus segera dibatalkan. Karena berbagai prilaku moral hazard, cacat formil, cacat materiil, melanggar UU, konstitusi dan menihilkan Pancasila, maka UU Ciptaker harus segera dicabut. Apalagi jika motif di balik pembentukan UU yang digadang-gadang sebagai alat untuk meningkatkan invesasti dan lapangan kerja tersebut, ternyata lebih banyak ditujukan untuk kepentingan oligarki kekuasaan dan asing. Dalam 3 UU terkahir, yakni UU Korona No.2/2020, UU Minerba No.3/2020 dan draft UU Ciptaker, telah ditetapkan kekuasaan Presiden yang semakin besar menuju otoriterianisme. Oligarki kekuasaan tampak telah terlibat aktif merubah NKRI dari negara hukum perlahan menjadi negara kekuasaan. Hal ini jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Karena telah melanggar berbagai UU dan mengkhianati UUD 1945, pantas jika DPR dan MPR memulai proses pemakzulan terhahap Presiden Jokowi sesuai amanat Pasal 7 UUD 1945. Sebagai kesimpulan, kita menuntut agar UU Ciptaker yang ditetapkan DPR pada 5 Oktober 2020 segera dibatalkan. Sejalan dengan itu, karena dinilai bersikap semakin otoriter, pro oligarki, serta melanggar sejumlah peraturan dan konstitusi, Presiden Jokowi ditutut untuk segera menjalani proses pemakzulan oleh DPR/MPR. Demi hukum, keadilan dan kedaulatan rakyat, mari bergabung mengadvokasi pembatalan UU Ciptaker dan proses pemakzulan Presiden Jokowi! [] Jakarta, 12 Oktober 2020.