KRISIS MONETER 1998
Bisikan Steve Hanke Sebelum Soeharto Terjungkal
Lavinda, CNN Indonesia | Jumat, 18/05/2018 08:28 WIB
Steve Hanke bisa mengutarakan pendapat dengan bebas kepada Presiden Soeharto 
yang dikenal otoriter, bahkan mengintervensi kebijakan moneter. (AFP PHOTO / 
AGUS LOLONG)Jakarta, CNN Indonesia -- Momentum 20 tahun pasca-krisis ekonomi 
bergema ketika Wakil Ketua DPR Fadli Zon tiba-tiba melontarkan pertanyaan lewat 
laman Twitter-nya kepada pria asing pemilik akun @steve_hanke, awal Maret 2018 
lalu.

"Prof @steve_hanke, I know you were in Indonesia 20 years ago during the 
economic crisis. What do you think of the IMF's role at that time?" (Prof 
@steve_haanke, saya tahu Anda pernah di Indonesia 20 tahun lalu selama krisis 
ekonomi. Apa pendapat anda tentang kebijakan IMF pada masa itu?).

Tak berapa lama, cuitan dibalas oleh sang empunya akun, "The IMF's role in 
Asian Fin. Crisis at direction of U.S. Pres. Bill Clinton = give advise to 
destabilize Indonesia & topple Pres. Suharto." (Kebijakan IMF pada krisis 
finansial Asia dalam arahan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton = memberi 
saran untuk melakukan destabilisasi Indonesia dan menjatuhkan Presiden 
Soeharto). 



Dalam pernyataan lanjutan, Hanke mengaku menyarankan secara langsung kepada 
Presiden Soeharto untuk mengambil kebijakan Currency Board System (CBS) saat 
krisis ekonomi 1998 silam. Pemimpin negara tiga dekade itu sempat menyetujui 
usulan Hanke dan mengumumkannya dalam pidato kenegaraan.

CBS secara umum adalah sistem yang diterapkan oleh negara tertentu karena kurs 
mata uangnya melemah. Caranya, mematok nilai tukar secara tetap antara mata 
uang lokal dengan matau uang negara lain, misalnya rupiah terhadap dolar.

      Lihat juga: Dosa George Soros dan Tudingan 'Biang Kerok' Krisis Moneter 

Sebenarnya, siapa Steve H. Hanke? Mengapa dia bisa menyampaikan pendapat dengan 
bebas kepada orang nomor satu di republik yang dikenal otoriter, bahkan 
mengintervensi kebijakan moneter?

Konon, Steve H. Hanke adalah Ekonom Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat, 
yang sempat 'mesra' dengan Presiden Soeharto karena kecocokan ideologi.. 
Secepat kilat, Hanke didapuk sebagai penasihat khusus bidang ekonomi.

Pelaku ekonomi yang dekat dengan Keluarga Cendana, Peter Frans Gontha, 
mengungkapkan perkenalan Steve Hanke dengan Presiden Soeharto tak lepas dari 
peran Renee Zecha. Ia dikenal sebagai Presiden Direktur PT SBC Warburg 
Indonesia, sebuah perusahaan modal ventura keuangan. Zecha masuk dalam daftar 
50 perempuan paling berpengaruh di industri keuangan versi Euromoney pada 1997 
silam.

'Perjodohan' antara penasihat ekonomi dan mantan kepala negara itu juga 
disebut-sebut terjadi berkat relasi dua pejabat nasional dengan Zecha, yakni 
Fuad Bawazier dan Rini Soemarno, tanpa pernah tahu motif utamanya. 

      Steve H. Hanke adalah Ekonom Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat, 
yang sempat berkarib 'mesra' dengan Presiden Soeharto karena kecocokan 
ideologi.  (REUTERS) 

      Lihat juga: Rupiah Melemah, Cerita Klasik dan Masalah Fundamental Ekonomi 

"Hanke dibawa ke Indonesia oleh Renee Zecha. Ia memperkenalkan Hanke kepada 
Fuad Bawazir dan Rini Soemarno," ungkap Peter kepada CNNIndonesia.com, beberapa 
waktu lalu.

Fuad meniti karier sebagai pegawai di Departemen Keuangan dan menjadi Direktur 
Jenderal Pajak, sebelum akhirnya menjadi Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan 
VII. Sayangnya, jabatan itu hanya berjalan sekitar tiga bulan sejak Maret 1998, 
dan berhenti bersamaan dengan lengsernya pemerintahan Orde Baru pada 21 Mei 
1998.

Mengawali era reformasi, Fuad bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) 
bentukan Amien Rais dan berhasil menjadi anggota DPR periode 1999-2004.

Sementara itu, Rini merupakan Direktur Keuangan PT Astra Internasional Tbk 
sejak 1990-1998. Maret 1998, Rini dipilih Menteri Keuangan Fuad Bawazier untuk 
membantunya menjadi Asisten Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional. 
Pada tahun yang sama, tepatnya April 1998, pemerintah mengangkat Rini menjadi 
Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

      Lihat juga: Baht, Peluit Krisis Mata Uang Asia 

Namun, dua jabatan tersebut hanya dijalani dalam hitungan bulan, sebelum 
akhirnya Rini mengundurkan diri dan kembali ke Astra Internasional. 

CBS, Obat Keras atau Suplemen Krisis?

Awal 1998, Presiden Soeharto menyadari bahwa obat keras pereda krisis yang 
disodorkan IMF tidak bekerja dengan baik, ia pun mulai mencari penawar 
alternatif.

Tak berselang lama, Hanke 'terbang' ke Indonesia, membawa 'ramuan' baru berupa 
skema papan mata uang ortodoks atau CBS. Melalui skema moneter ini, rupiah 
dikonversi ke dolar AS dengan kurs tetap atas dukungan cadangan devisa. Dengan 
begitu, nilai tukar rupiah dipercaya tak akan bergejolak. 

Dalam sebuah kolom media, Hanke menjelaskan CBS bukanlah gagasan baru, 
melainkan berakar sejak abad ke-19. Skema ini diklaim berhasil dijalankan di 
sejumlah negara berkembang, seperti Bulgaria, Bosnia, Herzegovina, Lithuania, 
Estonia. Hanke bahkan pernah menjadi penasihat pemerintah Argentina untuk 
menerapkan CBS pada 1991. 

      Lihat juga: Indonesia jadi Pasien Malpraktik IMF 

''Tidak pernah ada kegagalan CBS di dunia. Ini adalah sistem yang sulit, dan 
ketika saya bilang kepada mereka ini sangat mudah, itulah masalahnya," klaim 
Hanke saat diwawancara oleh media televisi swasta pertama di Indonesia saat 
itu. 

       Awal 1998, Presiden Soeharto menyadari bahwa obat keras pereda krisis 
yang disodorkan IMF tidak bekerja dengan baik, ia pun mulai mencari penawar 
alternatif. (REUTERS) 

Presiden Soeharto sempat menerima usulan Hanke untuk menerapkan CBS untuk 
menjaga gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Wacana itu diumumkan, dan 
berdampak pada penguatan rupiah hingga 28 persen, menandakan gairah pasar uang. 

"Namun, perkembangan ini membuat IMF dan pemerintah AS geram," kata Hanke dalam 
artikel bertajuk '20th Anniversary, Asian Financial Crisis: Clinton, The IMF 
and Wall Street Journal Toppled Suharto' yang ditulisnya di situs forbes.com, 6 
Juli 2017 lalu. 

Presiden Soeharto putus asa karena kondisi ekonomi yang tenggelam seketika, 
mata uang dan pasar saham anjlok, belum lagi kelangkaan bahan pangan. Saat itu, 
Soeharto ditekan, baik oleh Presiden AS saat itu Bill Clinton, maupun Managing 
Director IMF Michel Camdessus. Ia dipaksa memilih antara menggugurkan ide CBS 
atau mengorbankan bantuan asing. Jalan akhir yang dipilih ialah menerima paket 
bantuan IMF senilai US$43 miliar. 

      Lihat juga: Indonesia dan Jurang Ketimpangan yang 'Menganga' 

Hanke mengungkapkan terdapat dua tipuan yang dilakukan lembaga moneter itu. 
Salah satunya, menegaskan posisi publik dengan penolakan terbuka terhadap CBS. 
Hal itu dilakukan untuk meyakinkan Soeharto bahwa CBS merugikan dan dirinya 
bertindak sesat.

Laporan New York Times berjudul 'American with Cure All Enlivens Jakarta 
Crisis' yang ditulis Seth Mydans mengungkap episentrum krisis ekonomi Indonesia 
ditandai hadirnya episode drama dua pekan antara Hanke versus IMF.

      Laporan New York Times mengungkap episentrum krisis ekonomi Indonesia 
ditandai hadirnya episode drama dua pekan antara Hanke versus IMF. 
(REUTERS/Yuri Gripas) 
Mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating berpendapat, Departemen Keuangan 
AS dengan sengaja menggunakan keruntuhan ekonomi sebagai sarana untuk 
menjatuhkan Presiden Soeharto.

Mantan Menteri Luar Negeri AS Lawrence Eagleberger membenarkan diagnosis bahwa 
pemerintah AS memang mendukung IMF untuk sengaja menggulingkan Soeharto.. 

      Lihat juga: Bank Indonesia Sebut Bitcoin Bisa Ganggu Stabilitas Keuangan 

"Kami cukup pintar mendukung IMF, karena menggulingkan (Soeharto). Apakah itu 
cara yang bijaksana untuk dilakukan adalah pertanyaan lain," demikian tertulis 
dalam laporan. 

Bahkan, Direktur Eksekutif IMF Michel Camdessus tak membantah pernyataan 
tersebut. Saat ia pensiun, dengan bangga dia berkata "Kami menciptakan kondisi 
yang mengharuskan Presiden Soeharto untuk meninggalkan kekuasaannya."

Tak lama setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, kebohongan IMF atas skema CBS 
menjadi transparan. Pada 28 Agustus 1998, Michel Camdessus mengumumkan bahwa 
IMF akan memberi lampu hijau kepada Rusia jika memilih untuk mengadopsi CBS. 
Hal yang sama dilakukan terhadap Brasil.

"Penipuan IMF lain melibatkan cerita yang beredar luas bahwa saya mengusulkan 
untuk mengatur nilai tukar rupiah pada tingkat overvalue, sehingga Soeharto dan 
kroni-kroninya dapat menjarah," paparnya membantah banyak tuduhan. 

      Lihat juga: Daya Beli dan 'Sentilan' Politik di Telinga Jokowi 

Menurut Hanke, IMF memanipulasi rekam jejak krisis Indonesia melalui penulisan 
ulang sejarah moneter demi menutupi kesalahannya. IMF menerbitkan makalah 
setebal 139 halaman bertajuk "Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis: Two Years 
of Living Dangerously 1997-1999" pada 2001 silam. 

      Menurut Hanke, IMF memanipulasi rekam jejak krisis Indonesia melalui 
penulisan ulang sejarah moneter demi menutupi kesalahannya. (REUTERS) 
Tak Ampuh Obati Krisis 

Kendati IMF memiliki tumpukan dosa terhadap ekonomi Indonesia, bukan berarti 
skema CBS jadi obat penawar krisis yang efektif. 

Kwik Kian Gie, Ekonom yang pernah menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, menilai 
kebijakan CBS tidak akan berhasil di negara berpopulasi keempat terbesar di 
dunia. Sistem perbankan Indonesia membutuhkan perbaikan besar-besaran, 
pemikiran yang tepat, dan kebijakan moneter yang efektif. Skema yang berjalan 
dengan pilot otomatis mungkin hanya akan memperburuk keadaan. 

"CBS itu skema yang hanya lewat lalu saja, tidak terlalu masuk akal. Itu butuh 
ekonomi yang kuat dari sisi cadangan devisa," katanya saat ditemui 
CNNIndonesia.com. 

      Lihat juga: Pengamat: Defisit APBN Era Jokowi Lebih Besar dari SBY 

Peter Gontha ikut berkomentar. Pencetus program berita swasta pertama di 
Indonesia itu menilai skema CBS terhadap rupiah hanya bisa dilakukan jika 
beberapa persyaratan bisa terpenuhi, salah satunya cadangan devisa yang kuat. 

"CBS itu harus bisa dilakukan kalau beberapa persyaratan sudah dipenuhi, kalau 
Hanke main hantam kromo saja," imbuh dia. 

Menurut dia, strategi bangkit dari krisis cukup berhasil dilakukan Malaysia 
dengan melakukan intervensi terhadap aliran modal (capital control). Berbekal 
ketegasan dan sistem pemerintahan yang otoriter, Perdana Menteri Malaysia 
Mahathir Mohamad berhasil menjaga dari badai krisis. 

"Malaysia intervensi ekonomi dan berhasil, padahal Indonesia jauh lebih kaya. 
Cuma memang saya lihat para ekonom bilang, pak Soeharto memang sudah terlalu 
lama," ucapnya. 

      Lihat juga: Saat Rupiah Melemah Bahkan Tak Mampu Tolong Ekspor 
      Krisis moneter pada 1998 membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS 
merosot drastis hingga ke angka Rp16 ribu. (REUTERS) 

Senada, Chief Economist PT Samuel Sekuritas Indonesia Lana Soelistianingsih 
menilai CBS hanya akan berhasil jika cadangan devisa kuat untuk 'mensubsidi' 
selisih nilai rupiah hingga mencapai nominal tetap. 

"Faktanya, cadangan devisa saat itu tidak cukup, jadi agak sulit dilakukan. CBS 
itu misalnya mau kurs tetap Rp5.000 per dolar AS, jumlah uang beredar dikalikan 
selisih nilai riil-nya," paparnya. 

Strategi yang seharusnya dilakukan saat itu ialah mengendalikan modal (capital 
control) dan memperbaiki neraca modal seperti yang dilakukan Malaysia. Saat 
itu, Mahathir dengan tegas mengendalikan dana di dalam negeri, termasuk dana 
milik asing, untuk tetap berputar di Negeri Jiran. Dengan begitu, mata uang 
ringgit terkendali. 

Menurut Lana, strategi capital control tak diterapkan pemerintah karena 
permintaan para konglomerat yang tak ingin asetnya jadi tak bernilai di dalam 
negeri. Intinya, semua pihak mencari keuntungan sendiri. 

      Lihat juga: Pelaku Pasar Masih Bisa Bertumpu pada Saham Raksasa 

"Bedanya, dulu Mahathir secara politik punya kekuatan, sedangkan di Indonesia 
orang sudah mulai jenuh dengan kepemimpinan pak Soeharto," ungkapnya. 

Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli berseloroh, rakyat memang jenuh dengan 
kepemimpinan yang itu-itu saja. Orang terdekat pun bahkan sudah mengingatkan 
Kepala Negara dalam ungkapan berbahasa Jawa. 

Dalam sebuah kesempatan, Budayawan Nurcholis Madjid sempat mengungkapkan kepada 
Soeharto "Wes pak Harto, pak Harto wes wareg." (Sudah pak Harto, sudah 
kenyang). 

Ungkapan tersebut kemudian tersebar luas menjadi bahan perbincangan. Namun tak 
banyak orang yang mengetahui jawaban sang Bapak Pembangunan itu. Dengan nada 
tersinggung, Soeharto menjawab "aku juga ndak pathe'en," (bukan hal yang 
penting juga buatku). (bir/asa)

Kirim email ke