----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com 
[nasional-list] <nasional-l...@yahoogroups.com>Terkirim: Rabu, 14 Februari 2018 
18.15.44 GMT+1Judul: [nasional-list] Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari 
Samin
     

  
http://koransulindo.com/aliarcham-tokoh-pki-yang-belajar-dari-samin/

Aliarcham,Tokoh PKI yang Belajar dari Samin

Meski menjalani periode pergerakan yang sangat singkat, Aliarchamsempat menjadi 
musuh utama pemerintah kolonial sekaligus masuk daftarorang-orang yang harus 
segera disingkirkan. 

5 hari lalu 

BERBAGI 

Facebook

Twitter

KoranSulindo – Batuk yang semula dianggapnya hanya biasabertambah hari ternyata 
kondisinya makin parah. Wajah makin pucatsementara matanya juga makin cekung. 
Bujukan teman-temannya agar mauberobat dianggap angin lalu. Ia bahkan punya 
keyakinan, alih-alihmengobatinya pemerintah pasti bakal membunuhnya.

Belakangan ketika akhirnya mau berobat ke Tanah Merah, hal itudilakukannya 
semata untuk membuat kawan-kawannya senang. Nyatanya,toh tak lama kemudian ia 
kembali lagi.

“Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlahkematian saya di 
hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci olehBelanda ini,” jawabnya 
ketika dituntut penjelasan seperti ditulisAliarcham, Sedikit tentang riwayat 
dan perjuangannya.

Ya, Aliarcham memang kepala batu meski ia tahu tanpa pengobatanmemadahi 
penyakit paru-paru cuma memastikan satu hal. Kematian!.

Ketika keadaannya makin payah, pada tanggal 1 Juli 1933kawan-kawan sepembuangan 
memaksanya melanjutkan pengobatan ke TanahMerah. Ia bahkan harus dipapah untuk 
naik kapal yang digunakan untukmenghilir mengikuti Sungai Digul.

Di tengah deru motor kapal dan disaksikan teman-temannya itulahakhirnya 
Aliarcham menutup mata untuk selamanya. Ia masih sangatmuda, baru 32 tahun. 
Tanah Merah tempatnya mencari pengobatanakhirnya justru menjadi kuburnya.

Mengenang keteguhan hatinya selama itu, kawan-kawan Aliarchammenulis sebuah 
sajak Henriette Roland Holst di nisannya yangsederhana.

Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh darimasamu/Tangan kami 
yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kamitancapkan kata mulia/Hidup penuh 
harapan/Suluh dinyalakan dalammalammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut

Lahir 1901 dari keluarga penghulu dan tokoh agama di Asemlegi,Juwana, Pati, 
Aliarcham sempat menikmati pendidikan pesantren.Tujuannya jelas, kelak ia mesti 
mengikuti jejak sang ayah.

Namun, dari guru-guru agama itulah Aliarcham justru berkenalandengan paham 
Samin yang mengajarkan persamaan, persaudaraan manusiadan gotong-royong tanpa 
penindasan yang dianggapnya sebagaisosialisme model Jawa. Ketika Samin 
Surosentiko ditangkap Belanda dandibuang ke Sawahlunto hingga akhirnya 
meninggal tahun 1914, di benakAliarcham kecil tertanam kuat kebencian dan 
perlawanan terhadappenjajah Belanda yang tamak.

Selain pendidikan tradisional, karena orang tuanya lahir darikeluarga terkemuka 
Aliarcham juga dibolehkan bersekolah di HollandsInlandse School (HIS). Di 
sekolah itu, ia segera tampil sebagaisalah satu murid yang paling cerdas dan 
rajin.

Ketika para penerus gerakan Samin melanjutkan ‘perlawanan sipil’yang berpuncak 
di tahun  1917, Aliarcham sudah duduk di sekolahcalon guru bumiputera atau 
Kweekschool voor Inlands Onderwijsdi Ungaran.

Di sekolah guru Aliarcham mulai membaca koran-koran seperti SinarHindia, Suara 
Rakyat hingga de Express yang membawanyaberkenalan dengan Sosialisme ilmiah. Ia 
juga kemudian mendaftarsebagai anggota Sarekat Islam di Salatiga yang berubah 
menjadiSarekat Islam Merah. Di SI Merah inilah Aliarcham secara 
pribadiberkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan kiri kala itu seperti 
Semaunatau Sneevliet.

Ia juga dengan cermat mengikuti semua peristiwa seperti RevolusiSosialis 
Oktober Besar tahun 1917 di Rusia, pemberontakan tani diGarut, pemberontakan 
Kelambit di Jambi, pemberontakan Sarekat Abangdi Palembang hingga pemberontakan 
tani di Pontianak dan Ternate.

Benang merah yang dipahami Aliarcham pada semua pemberontakan itucuma satu, 
penindasan!

Belajar dari bacaan, ia mulai mendebat gurunya dan mulai mendidikkawan-kawan 
dekatnya agar memusuhi sikap merendahkan diri ataumembungkuk pada atasan atau 
orang Belanda. Tak hanya mendidik,Aliarcham menunjukkannya langsung dalam sikap 
sehari-hari.

Belakangan sikapnya itu memicu reaksi balasan para guru yangjelas-jelas pro 
pemerintah. Ia tak dizinkan ikut ujian akhir sebelummeninggalkan propaganda 
politiknya. Menganggap ancaman hanya anginlalu, Aliarcham cuek dan akibatnya ia 
kembali dipanggil untukdinasihati kepala sekolahnya.

Meski sepanjang sesi nasihat itu tetap bungkam, kegeramanAliarcham baru 
ditunjukkan ketika keluar ruang kepala sekolah. Pinturuang kepala sekolah 
dibantingnya keras-keras, jedeer! Merasadisepelekan sang kepala sekolah itu 
benar-benar muntab, Aliarchamdipanggilnya kembali dan berkata sejak hari itu ia 
resmi dikeluarkandari sekolah.

Aliarcham yang cuek dengan dingin hanya berkata, “tuan takkandapat mematikan 
semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang melawanpenjajahan Belanda.”

Dipecat dari sekolah guru, ternyata adalah berkah Aliarcham.Tertutup pintu 
menjadi guru, peluang-peluang lain justru terbuka. Dibidang politik masa 
depannya justru  membentang dan langsungmenuju Semarang bergabung dengan kantor 
Pengurus Besar PKI dan SIMerah.

Di Semarang, latar belakang sebagai calon guru justru membuatAliarcham merasa 
menemukan dunianya dengan aktif mengajar Marxismeuntuk anggota-anggota PKI dan 
SI Merah. Sebagai intelektual,berkali-kali yang ditegaskan Aliarcham adalah 
kebenciannya padaintelektual yang bersikap masa bodoh terhadap nasib rakyat 
yangterjajah.

“Ada kaum intelektual yang tidak suka campur dengan pergerakankita karena 
merasa malu, tetapi mereka juga akan berhubungan denganpihak sana juga tidak 
laku, paling-paling jadi orang suruhan. Jadinyalalu berdiri jadi kelas 
menengah,” tuding Aliarcham.

Menurutnya, intelektual proletar harus berjuang untuk mendirikankultur baru 
tempat di mana tak ada lagi orang ‘minum darah’ oranglain. Kultur itu harus 
dimulai dari pendidikan di sekolah-sekolahrendahan untuk anak-anak rakyat 
kebanyakan. “Di sekolah inibukannya mengajar orang takut sama pemerintah tapi 
mendidik rasamerdeka dan rasa berkumpul dan nafsu berjuang melawan 
pemerintahan,”kata Aliarcham melanjutkan.

Semarang di era Aliarcham mengajar di sekolah-sekolah PKI awalawal-awal 
1920-an, adalah pusat gerakan buruh revolusioner yangBerjaya dengan aksi-aksi 
pemogokan. Di sisi lain, pertentangan antarfaksi di Serekat Islam memuncak 
antara SI Putih di Yogyakarta dan SIMerah di Semarang. Perpecahan itu makin tak 
terjembatani setelahpemberlakuan disiplin partai yang diusung SI Yogyakarta.

Belakangan, atas usul Aliarcham SI Merah berganti nama menjadiSarekat Rakyat 
untuk menarik batas tegas dengan golongan kolaboratoryang bergerak menjauhi 
massa rakyat. Ia juga sekaligus ditunjuksebagai ketua SR.

Tak cuma aksi mogok dan boikot, masa-masa itu juga ditandai dengangelombang 
penangkapan pemimpin-pemimpin gerakan seperti Haji Misbach.Aliarcham akhirnya 
ditangkaptanggal 20 Oktober 1923 atas tuduhan menghina alat-alat 
negarapamongpraja yaitu para priyayi yang disebutnya sebagai Togog.

Ketika kasusnya disidangkan, Aliarcham menggunakan pembelaannyauntuk menangkis 
tuduhan-tuduhan jaksa sekaligus meledek bahwa bukandia biang keladi semua 
kekacauan itu. Aliarcham justru balik menunjukhidung pemerintah kolonial 
sebagai pihak yang bersalah dan harusbertanggung jawab atas kemelaratan 
penghidupan rakyat.

“Pergerakan buruh tidak dibikin-bikin tetapi timbul sendiri daripenindasan. 
Pihak reaksi berkata, yang orang Jawa bodoh dan sabarhati. Sesuka Belanda 
menghina kita dan dipandang kita sepertibinatang yang menurut saja buat 
dikerjakan. Dimana ada penindasan disitu timbul satu pergerakan yang hendak 
menghilangkan penindasanitu,” kata Aliarcham.

Pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis selama 4 bulan penjara dandiperberat 
menjadi 6 bulan ketika Aliarcham naik Appel ke pengadilantinggi.

Seolah hendak mengejek pemerintah, segera tak lama setelah keluarpenjara 
Aliarcham langsung aktif di pergerakan. Ia bahkan ditunjuksebagai ketua 
presidium Kongres PKI ke-2 di Jakarta yang digelarbulan Juni 1924.

Selain mengubah anggaran dasar, kongres juga memutuskan untukmemindahkan kantor 
pimpinan Central PKI dari Semarang ke Jakartasekaligus menujuk Winanta sebagai 
ketua dan Budisucipto sebagaisekretaris. Kongres juga menunjuk Alimin dan 
Aliarcham sebagaikomisaris daerah Jakarta.

Ketika pemerintah makin kuat menindas pergerakan, secara rahasiapimpinan 
central PKI dipindahkan ke Bandungan sementara kegiatanrevolusioner sehari-hari 
di Jakarta langsung di bawah pimpinanAliarcham dan Alimin.

Sayangnya, hanya berselam lima bulan setelah kongres ke-2,pemerintah menangkap 
Winanta pada tanggal 29 November 1924 yangmemaksa PKI menggelar Kongres ke-3 di 
Yogyakarta yang memilih Sarjonosebagai pengganti Winanta.

Dalam kongres itu, Aliarcham kembali menekankan pentingnyapendidikan dan 
semangat untuk berkuasa kepada massa. Pidato itulangsung disambut peserta 
kongres dengan hunjan interupsi, “Berontaksaja. Praktische daad … revolusi”.

Menjawab seruan itu, Aliarcham mendesak agar pemberontakan janganuntuk 
dipermain-mainkan. Pemberontakan memerlukan kepimpinan partaikelas buruh yang 
kuat, selain sebagai sebagai pelopor partai, PKIharus bersih dari elemen non 
proletar dan setengah proletar yangragu-ragu dan bimbang.

“Kelas buruh tidak saja harus berdisiplin tetapi ia wajibberdisiplin lebih kuat 
dan lebih keras daripada musuhnya. Sebab kaumkerja boleh dikata sama sekali 
tidak bersenjata, sedang pembelakapitalisme bersenjata lengkap, mulai dari kaki 
sampai ke rambut,”kata Aliarcham.

“Oleh sebab itu kita Komunisten sebagai pasukan armada kaumkerja yang 
terkemuka, yang harus mendidik berdisiplin itu di kalanganangkatan proletar 
wajiblah menundukkan diri kita sendiri di bawahdisiplin besi,” kata Aliarcham.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa sebelum pemberontakandimulai diperlukan 
melatih massa dalam aksi ekonomi, yang harusditingkatkan pada aksi-aksi 
politik. Aksi ekonomi seperti mogok akanmenarik sekaligus membangkitkan massa 
rakyat ke dalam kehidupanpolitik.

Sebagai petinggi partai, belakangan gerak-gerik Aliarcham terusdipantau 
alat-alat pemerintah dan berkali-kali harus menghadap polisikolonial atau 
pemerintah setempat. Suatu kali ia mendatangi panggilankontroleur dengan 
memakai pakaian rakyat yang melarat. Pakaian itumemicu kemarahan sang 
kontroleur karena merasa tak dihargai. Iamemaki-maki dan bahkan mengusir 
Aliarcham ke luar ruangan.

“Tuan ketakutan kepada rakyat. Pakaian yang seperti initerhitung pakaian rakyat 
yang terbaik. Dan beginilah kemelaratanrakyat sekarang,” kata Aliarcham 
mengejek. “Saya tidak punyapakaian putih-putih. Itu pakaian buruh halus, buruh 
ningrat,priyayi-priyayi yang menjadi togog menjilat gubernemen”.

Dengan enteng Aliarcham pergi dan meninggalkan tuan kontroleur itubegitu saja.

Menyusul meluasnya pemogokan di Jawa Timur pada bulan November1925, agar tak 
menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Barat, pemerintahpada tanggal 5 Desember 
memutuskan menangkap Aliarcham di Solo ketikatengah mengikuti kongres 
Organisasi Perguruan dan PendidikanIndonesia.

Meski mengalami siksaan selama penahanan, Aliarcham memilih sikapbungkam dan 
tak menjawab satupun pertanyaan untuk proses verbal. Iahanya berkata sekali 
ketika menjelaskan pendiriannya. “Tuan-tuansudah mengetahui siapa saya ini. 
Proses verbal ini dilakukan hanyasecara formil saja, karena toh saya akan 
dihukum juga.”

Jika dihitung keterlibatan Aliarcham di dunia pergerakan sejakdipecat dari 
sekolah guru hingga masa pembuangan hanya selama 3,5tahun. Meski menjalani 
periode yang sangat singkat, Aliarcham sempatmenjadi musuh utama pemerintah 
kolonial sekaligus masuk daftarorang-orang yang harus segera disingkirkan.

Berpacu dengan waktu, pemerintah buru-buru memutuskan membuangAliarcham ke 
Merauke di Papua menggunakan kapal van der Wijck.Seminggu di Merauke, ia 
dipindah ke Okaba selama 1,5 tahun. Daritempat itulah Aliarcham dipindah ke 
Tanah Merah.

Tiga bulan di tempat itu,  ia kembali dipindah ke GudangArang sebuah tempat di 
tengah rawa tak jauh dari Tanah Merah. Hinggaakhirnya pada bulan Januari 1928 
Aliarcham dipindah ke pedalaman diTanah Tinggi, sebuah tempat enam jam 
perjalanan menyusuri sungai dariTanah Merah. Di tempat inilah hidup Aliarcham 
berakhir, tetap denganketeguhannya. [Teguh Usia]




    

Kirim email ke