Jejak Declaraction of Independence dalam Proklamasi 1945

Thomas Jefferson. FOTO/REUTERS155 Shares   Reporter: Windu Jusuf17 Agustus, 
2017dibaca normal 4 menit   
   - Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang mengadaptasi 
deklarasi kemerdekaan dan preambul konstitusi AS
   - Selain jadi inspirasi, kutipan dari dokumen-dokumen pendirian negara AS 
digunakan sebagai taktik diplomasi
Proklamasi Republik Indonesia terinspirasi oleh Deklarasi Kemerdekaan AS dan 
Preambul Konstitusi AStirto.id - Penulis buku Indonesia Etc. (2015) Elizabeth 
Pisani menyatakan keheranannya saat pertama kali menyaksikan kalimat kedua 
naskah Proklamasi Kemerdekaan RI: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan 
d.l.l., diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang 
sesingkat-singkatnya.”

Sejak itu Indonesia, tulis Pisani, “sibuk mengurusi ‘d.l.l.’-nya itu.”  

Dalam pembicaraan sehari-hari, kata “d.l.l.” (dan lain-lain) digunakan untuk 
merangkum hal-hal sejenis dari kata benda yang telah disebut sebelumnya. Kadang 
pula tidak bermakna apa-apa, mirip-mirip “whatever”, “what have you” atau “or 
something” dalam obrolan keminggris kekinian.   

Namun dalam sejarah Revolusi Indonesia, "d.l.l." menandakan jejak dari suasana 
ketidakpastian yang menyelimuti penulisan naskah proklamasi hingga pembacaannya 
yang khidmat tanpa gebyar. Ketika itu Jepang sudah kalah tapi pasukannya masih 
bercokol menanti kedatangan sekutu untuk mengoper kekuasaan ke Belanda.

Di luar uraian jenaka Pisani tentang "d.l.l." itu, bagaimanapun proklamasi 
dibuka dengan sebaris kalimat yang mengingkatkan dokumen lain yang dipisahkan 
jarak dan waktu yang jauh: mukadimah konstitusi AS (1787) yang menyatakan “Kami 
Rakyat Amerika Serikat, demi membentuk membentuk suatu Perserikatan yang lebih 
sempurna, menegakkan  keadilan, menjaga kedamaian domestik, mengadakan 
pertahanan bersama, memajukan kesejahteraan umum, dan menjamin Rahmat 
Kemerdekaan untuk kami dan anak cucu kami, mengesahkan dan mengukuhkan 
Konstitusi Amerika Serikat.”

Versi Indonesianya lebih pendek: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan 
kemerdekaannya.”


Dari Vietnam ke Aceh
Kemiripan tidak saja terjadi di situ, namun juga dalam ancangan naskah 
proklamasi yang disetujui dalam sidang BPUPKI. Draft naskah disiapkan dan 
dibacakan oleh Sukarno dan kemudian dibahas, direvisi dan akhirnya disepakati 
oleh anggota BPUPKI pada 14 Juli 1945 (bertepatan dengan perayaan Revolusi 
Prancis). Naskah didiskusikan antara pukul 13.30 hingga 14.46.

Naskah asli BPUPKI terdiri dari dua ribuan kata (naskah 17 Agustus puluhan 
kata), dan ditutup dengan “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, berdasar 
atas segala alasan yang tersebut di atas itu, dan didorong oleh keinginan luhur 
supaya bertangung-jawab atas nasib sendiri, berkehidupan kebangsaan yang bebas, 
mulia, terhormat, maka rakyat Indonesia dengan ini: MENYATAKAN KEMERDEKAAN.”

Baca juga:
   
   - Jejak Revolusi Perancis di Lagu PKI

Paragraf kedua Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (DKAS) yang ditandatangani 
pada Juli 1776 di Philadelphia menyatakan: “Kami meyakini kebenaran ini sebagai 
sesuatu yang tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa semua manusia diciptakan 
setara, bahwa mereka dikaruniai oleh Pencipta dengan hak-hak yang tak bisa 
dicabut, di antaranya adalah hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan, dan hak 
mengejar kebahagiaan.”

Afirmasi keberadaan dan hak sekumpulan orang untuk mendirikan negara juga 
memperoleh pembenarannya melalui pemaparan kejahatan-kejahatan yang dilakukan 
oleh pihak penjajah. Inggris di 13 koloni AS, Belanda di Indonesia.

Dalam dua paragraf yang berdekatan, naskah proklamasi yang disiapkan BPUPKI 
menyatakan: “Lebih dari tiga abad meringkuklah bangsa Indonesia di bawah 
kekuasaan Belanda dengan haluan politik jahat: memecah-mecah persatuan kita, 
mengina, menginjak-injak rasa kehormatan kita, menghina, menghisap-memeras 
kekayaan kita untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri. ... Sejarah 
kolonialisme Belanda di Indonesa adalah sejarah berpuluh-puluh pemberontakan 
bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda itu.”

Bandingkan dengan paragraf kedua DKAS: “Sejarah raja Britania Raya yang kini 
berkuasa adalah sejarah luka dan pengisapan yang berulang…”.

Kalimat-kalimat kunci DKAS disebut-sebut sebagai salah satu teks yang paling 
diingat dalam bahasa Inggris. Selain menjadi bagian dari memori kolektif bangsa 
AS, naskah yang sejatinya merupakan dokumen pendirian negara modern ini banyak 
menginspirasi dan dijiplak sebagian oleh deklarasi-deklarasi kemerdekaan serupa 
di seluruh dunia, mulai dari Perancis (dalam Revolusi 1789), Haiti (menyatakan 
merdeka dari Perancis, 1804) Argentina (dari Spanyol, 1816), Hungaria (dari 
Monarki Habsburg, 1848), Vietnam (dari Perancis, 1945), hingga deklarasi 
kemerdekaan Aceh  dari Indonesia oleh Gerakan Aceh Merdeka pada 1976.

Formulanya nyaris serupa: didahului dengan subjek “kami” kemudian 
“rakyat/perwakilan/bangsa” yang memiliki hak-hak setara dengan seluruh manusia 
di belahan dunia manapun, lalu disusul oleh pernyataan merdeka dan/atau hak 
mendirikan pemerintahan yang berdaulat, bebas dari pemerintahan asing atau 
pemerintahan absolut, yang dosa-dosanya disebut—kadang rinci, kadang 
abstrak—dalam tubuh teks.

Kecuali dalam beberapa proklamasi, nama “Tuhan” dikutip untuk menjamin bahwa 
kemerdekaan dan hak pemerintahan berdaulat berasal dari sumber yang lebih 
tinggi dari kekuasaan penjajah/penguasa tiran. Di samping “Tuhan”, diksi 
“alamiah” dan “hukum alam” juga dipakai untuk memperkokoh kedaulatan di atas 
kertas, yang secara otomatis menampik kekuasaan penjajah/tirani sebagai 
“ikatan-ikatan yang tidak alamiah” (deklarasi Argentina). Walhasil, dalam 
artian itu, hukum Tuhan dan hukum alam bersifat permanen, sementara kekuasaan 
tidak.
Siasat Diplomasi di Vietnam
Keputusan Ho Chi Minh untuk mengutip DKAS dalam Deklarasi Kemerdekaan Republik 
Demokratik Vietnam tidak saja filosofis namun juga taktis. Setelah bebas dari 
pendudukan Jepang, Vietnam harus menghadapi ancaman rekolonisasi Perancis. 
Untuk itu Ho Chi Minh mengharapkan bantuan AS guna mencegah Perancis kembali ke 
negerinya.

Pada 1941, Presiden AS Franklin D. Roosevelt telah menandatangani Piagam 
Atlantik (1941) yang salah satu pokoknya mengatur hak penentuan nasib, 
restorasi pemerintahan mandiri yang berdaulat, serta menegaskan “hak seluruh 
bangsa untuk memilih bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki.”

Suatu hari pasukan AS diturunkan di Vietnam dan menemukan Ho Chi Minh yang 
nyaris mati karena malaria. Ia mengatakan: “Para negarawan negerimu berpidato 
tentang penentuan nasib. Kami menentukan nasib kami sendiri. Kenapa tidak 
tolong kami? Apa bedaku dengan George Washington-mu?”  

Pada waktu itu AS sedang bersiap jadi pemain global. Simpati terhadap dunia 
terjajah mulai ditunjukkan selama Perang Dunia II, termasuk di Vietnam—jauh 
sebelum Presiden Lyndon Johnson mulai Perang Vietnam pada 196oan.

Baca juga:
   
   - Kebesaran John F. Kennedy: Fakta atau Citra?
   - Pengaruh Kemerdekaan Aljazair ke Seluruh Dunia

share infografik

Peran baru Amerika ini yang diantisipasi oleh para pemimpin Republik. Beberapa 
kali mereka sukses mengambil hati para diplomat AS untuk membela Indonesia di 
forum-forum dunia.

Ketika Republik berpindah ibukota ke Yogyakarta pada 1948, pemerintah mengirim 
Sudarpo Sastrosatomo ke New York sebagai utusan biro penerangan. Seperti yang 
ditulis Frances Gouda dan Thijs Zaalberg dalam American Visions of the 
Netherlands East Indies/Indonesia: US Foreign Policy and Indonesian 
Nationalism, 1920-1949 (2002), “Sudarpo paham bahwa George Washington, yang 
sukses membawa Amerika menuju kemerdekaan, adalah sosok yang nyaris mitologis.”

Di New York, Sudarpo menulis position paper berjudul “It’s 1776 in Indonesia” 
yang menganalogikan posisi Belanda dengan Raja Inggris George III dan Indonesia 
dengan Amerika Serikat pada 1776. Taktik diplomasi ini dikerahkan untuk melobi 
para diplomat AS agar mendukung perjuangan RI melawan upaya rekolonisasi 
Belanda.

Gouda dan Zaalberg juga mencatat keberadaan grafiti di dinding-dinding kota 
yang berisi baris-baris slogan-slogan revolusioner berbahasa Inggris. 
Grafiti-gratifi itu, tulis Gouda dan Zaalberg, menunjukkan “racikan bahasa yang 
dipakai [Thomas] Jefferson dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika pada 1776 dan 
Pidato Gettysburg Abraham Lincoln pada 1863…”.

Ketika melawat ke Amerika Serikat pada Mei-Juni 1956, Sukarno berpidato di 
Kongres memuji-muji Thomas Jefferson dan Abraham Lincoln, dua presiden AS yang 
dikaguminya. Di tengah terjepitnya negeri-negeri Asia dan Afrika di tengah 
pertarungan Blok Barat dan Timur pada masa awal Perang Dingin, pidato Sukarno 
menyampaikan kesan yang bersahabat kepada Presiden AS Eisenhower, yang awalnya 
memandang skeptis arah diplomasi Indonesia.

Sebagaimana dicatat George McTurnan Kahin dalam Subversion as Foreign Policy: 
The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia (1995), setelah pidato 
tersebut, Duta Besar AS untuk Indonesia Hugh Cumming yakin bahwa Sukarno bisa 
membawa Indonesia lebih dekat dengan AS.

Namun tiga bulan kemudian, keyakinan Cumming runtuh. Sukarno mengunjungi Moskow 
dan Beijing, memuji-muji Lenin dan Mao dan menunjukkan antusiasmenya terhadap 
pembangunan di negeri tirai bambu itu. 

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Windu 
Jusuf 
(tirto.id - win/zen)

Kirim email ke