https://republika.co.id/berita/pzxkok282/mau-di-bawa-ke-mana-dunia-pendidikan-oleh-nadiem-makarim


*Mau di Bawa ke Mana Dunia Pendidikan oleh Nadiem Makarim*


*Sabtu 26 Oct 2019 03:27 WIB*

*Red: Karta Raharja Ucu*


*Masayarakat harap-harap cemas dengan pendidikan Indonesia dengan
ditunjuknya Nadiem.*

*REPUBLIKA.CO.ID <http://REPUBLIKA.CO.ID>, Oleh: **Adian Husaini,* *Ketua
Program Pendidikan Islam, Universitas Ibn Khaldun Bogor*



*Begitu Nadiem Makarim (35 tahun) diumumkan sebagai menteri pendidikan dan
kebudayaan (mendikbud), warganet heboh. Ini kejutan luar biasa. Meskipun
banyak kritikan, ada juga beberapa warganet yang berharap Menteri Nadiem
melakukan ‘sesuatu’ yang tidak biasa-biasa saja untuk memajukan dunia
pendidikan Indonesia.**Toh** kabinet sudah diumumkan. Bahasa agamanya, itu
sudah takdir. Mungkin, Nadiem pun tak pernah bermimpi menduduki pos menteri
pendidikan, yang biasanya termasuk ‘kursi elite’ dalam jajaran kabinet di
banyak negara.*




*Bagi orang Islam, suatu peristiwa pasti ada hikmahnya. Mungkin, siapa
tahu, lewat ‘tangan’ Nadiem Makarim, dunia pendidikan Indonesia akan
dipaksa untuk berpikir serius, lalu berubah secara mendasar! Itu mungkin!
Bisa terjadi, bisa juga tidak!Dan memang, faktanya, pendidikan Indonesia
kini perlu perubahan mendasar dalam berbagai aspeknya. Pertama, fokus utama
pada tujuan pendidikan akhlak.*



*UUD 1945 Pasal 31 (3) mengamanahkan, pemerintah menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini amanah
konstitusi.Itu pula amanah UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 dan UU
Perguruan Tinggi Nomor 12/2012. Orang Muslim sangat akrab dengan misi utama
Nabi Muhammad SAW, yakni beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.*



*Misi penyempurnaan akhlak peserta didik, sepatutnya menjadi perhatian
utama Menteri Nadiem. Nabi Muhammad menyebutkan, Mukmin paling sempurna
imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Orang yang berakhlak mulia pasti
menjadi orang hebat dan berguna.Nabi mengajarkan suatu doa, “Ya Allah,
hindarkan aku dari sifat malas dan lemah!” Nabi mengajarkan dan memberikan
contoh, bagaimana menjadi orang jujur, pekerja keras, tepercaya, rendah
hati, penyayang, peduli kebersihan, bukan pendengki, tidak pesimistis
apalagi putus asa.*

*Jangan sampai, dunia pendidikan Indonesia melahirkan manusia yang pintar
cari makan, tetapi jahat, serakah, dan tidak peduli pada sesama insan.
Apalagi, melahirkan manusia yang tidak profesional, tidak berguna, buruk
pula akhlaknya. **Na’udzubillah!*



*Pakar pendidikan Islam bernama Ahmad Tafsir (77) beberapa kali
menceritakan kepada penulis, sejak era 1980-an, beliau mengingatkan
pemerintah agar pendidikan kita berbasis pada pendidikan akhlak mulia bukan
sains dan teknologi. Menurut Ahmad Tafsir, jika tidak punya teknologi, kita
masih bisa membelinya. Namun, kalau kita tidak mempunyai akhlak, ke mana
membelinya? Dan pemikiran itu logis sebab bangsa rusak karena akhlak
rusak.Kedua, reformasi sistem dan kurikulum pendidikan. Dalam buku **Perguruan
Tinggi Ideal di Era Disrupsi*

* (YPI at-Taqwa: 2019), penulis mengisahkan hasil dialog dengan Nanang
Fattah (68), guru besar UPI Bandung pada 28 Januari 2019. Penulis menikmati
ide-ide segar Nanang Fattah tentang reformasi pendidikan. Salah satu yang
menarik adalah gagasannya tentang standar pendidikan.Menurut dia,
pendidikan sebaiknya berpegang pada satu standar kompetensi, yaitu
kompetensi lulusan. “Pendidikan itu **based on result**, bukan **based on
process**,” katanya.*





*Bahkan, pada awal reformasi, beliau sudah mengusulkan agar pendidikan
tingkat SD cukup empat tahun, SMP dua tahun, dan SMA dua tahun. Tapi,
kurikulumnya harus bersifat dinamis, mengikuti dinamika sosial. Gagasan ini
menarik, rasional, dan kontekstual.Saat berbicara dalam satu seminar yang
diselenggarakan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Apatisi)
bersama Yudi Latif dan Marzuki Ali, penulis pernah menyampaikan agar ada
perubahan mendasar dalam sistem dan kurikulum pendidikan tinggi. Contoh,
menurut penulis, untuk menjadi wartawan profesional, tidak perlu pendidikan
S-1 sampai empat tahun. Begitu juga menjadi guru TK, perawat, dan
sebagainya. Profesionalisme tidak diukur dari berapa lama dan berapa banyak
materi kuliah yang ia pelajari, tetapi kompetensi apa yang ia sudah
kuasai.Pada 17 Oktober 2019, melalui akun **Instagram**-nya, cendekiawan
Indonesia Yudi Latif menulis, banyak negara kini yang mengubah kurikulum
pembelajaran dari spesialisasi menuju penyiapan pembelajar seperti
generalis yang mampu berpikir independen dan inovatif. Ia merujuk pada buku
berjudul **Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World*

* karya David Epstein (2019).Tahun 2017, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI) menerbitkan buku **Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan
Tinggi Indonesia. **Buku ini mengingatkan perguruan tinggi untuk berubah
secara mendasar dalam model pendidikannya, karena mulai merebaknya
MOOCs (**massive
open online courses*

*). Juga, perlunya penyiapan model pembelajaran multidisiplin dan
interdisiplin, yang tak lagi linear.Itulah sedikit di antara masalah besar
dunia pendidikan kita. Masih banyak yang lainnya. Salah satunya,
peningkatan kualitas guru.*

*Dalam acara **roundtable discussion** di Lembaga Pengkajian MPR, 24
Oktober 2017, mantan dirjen Dikti, Satryo Soemantri Brodjonegoro menulis
makalah **Mempertanyakan Cetak Biru Pendidikan Indonesia**. Satryo termasuk
di antara pakar dan praktisi pendidikan yang prihatin dan mengkhawatirkan
masa depan pendidikan kita. Jadi, bagaimana masa depan pendidikan kita pada
era Menteri Nadiem?*

*Silakan cemas, tetapi jangan putus asa. Harapan dan peluang perbaikan itu
selalu ada, siapa pun menterinya. Apalagi, sebagian besar lembaga
pendidikan kita tidak bergantung pada pemerintah. **Wallahu A’lam
bish-shawab.*

Kirim email ke