http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2017/11/22/menonton-korupsi-414263



Menonton Korupsi

22 November, 2017 - 08:36

KOLOM <http://www.pikiran-rakyat.com/kolom>

[image: hawesetiawan's picture]
Hawe Setiawan

Budayawan, Kolumnis Pikiran Rakyat

MAU dong saya menonton film "Korupsi" (1956). Itulah film arahan Rd.
Ariffien (1902-1976), sutradara ternama tedak Cimahi. Film ini dibintangi
oleh Bambang Hermanto, Udjang, Sulastri, Moh. Mochtar, Nany Ruhimat, Tuty
Suprapto, Dian Angriani, A. Sibarani, dll. Produksi Tjendrawasih Super ini
ditujukan kepada orang dewasa alias kalangan 17 tahun ke atas.

Tak tahulah saya ke mana mencarinya. Saya baru dapat membayangkan betapa,
pada pertengahan dasawarsa 1950-an, film itu diputar di bioskop-bioskop
ternama seperti Texas dan Varia di Bandung atau Flora di Sukabumi. Habis
diputar di Varia, seperempat jam kemudian gulungan film diboyong ke Texas.

Bioskop adalah tempat yang tepat buat menyalurkan hasrat mengintip. Di situ
khalayak Indonesia mendapatkan hiburan dengan menonton keburukan Indonesia.
Dalam kegelapan ruang bioskop adegan korupsi kiranya sekelas dengan adegan
ranjang yang memang tidak pantas ditonton oleh kalangan di bawah umur.

Gambar dan tulisan dalam poster film, juga pesan iklannya di halaman koran,
mencerminkan semangat zaman. Lihat, misalnya, halaman advertensi Algemeen
Indisch Dagblad: De Preangerbode, 30 Oktober 1957. Posternya membetot
perhatian dengan huruf-huruf tebal.

Bunyinya, "Terror Korupsi dan Banditisme di Tanah Air". Pesan iklannya tak
kalah serius. Bunyinya, "Selama Tukang Korupsi masih meradjalela peraturan
'Hidup Baru' selalu ditentang!"

Sayang sekali, saya belum lahir pada masa itu. Sekarang pun saya belum
berhasil mendapatkan kesempatan untuk menontonnya.
Tantangan "Hidup Baru"

Saya tidak tahu, apa yang dimaksud dengan "hidup baru" dalam konteks
semangat zaman dasawarsa 1950-an. Barangkali ungkapan itu lahir dari
harapan kolektif setelah Indonesia merdeka. Mungkin orang mengangankan
tumbuhnya watak manusia merdeka, bebas dari penghisapan dan penaklukan,
bergiat mewujudkan kemakmuran dalam keadilan.

Yang pasti, rintangannya tidak lain dari kehadiran "tukang korupsi
<http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/11/20/kpk-periksa-istri-setya-novanto-ini-kaitannya-dengan-kasus-korupsi-e-ktp-414120>".
Rupanya, korupsi <http://pikiran-rakyat.com/tags/korupsi> rupanya
merajalela di Indonesia bahkan ketika negeri ini belum lama merdeka. Isyu
tentang korupsi merupakan salah satu berita buruk yang turut mengiringi
jatuh bangunnya pemerintahan.

Coba simak lagi studi mendiang Herbert Feith, The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia (2007). Bagi mereka yang tergugah oleh semangat
kepahlawanan memperjuangkan kemerdekaan, pemerintahan Indonesia pada awal
dasawarsa 1950-an antara lain ditandai dengan "kemalasan (laziness),
korupsi (corruption), dan perkoncoan (clique infighting)".

Rekan seperjuangan kemarin jadi lupa daratan hari ini. Kekuasaan membawanya
ke pusaran dekadensi. Mereka hidup berfoya-foya dan hanya memikirkan diri
sendiri. Bangsa tidak lagi kompak, melainkan cenderung terkotak-kotak.
Kelompok ini tidak suka terhadap kelompok itu, dan hajat hidup orang banyak
terabaikan oleh percekcokan antarkelompok.
Gerakan antikorupsi

Saya tidak khawatir. Ketika korupsi merajalela, semangat kolektif buat
memeranginya
<http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/10/06/kondisi-pemberantasan-korupsi-mengkhawatirkan-410950>
tumbuh pula. Dalam bahasa jurnalistik dasawarsa 1950-an, semangat itu
antara lain digambarkan sebagai "anti-corruptie beweging" alias "gerakan
antikorupsi".

Di Jakarta, tidak kurang dari tokoh sekaliber Mr. Mohammad Yamin yang
tergabung ke dalam Gerakan Anti Korupsi. Di Bandung, pada 1953, terbentuk
Perkumpulan Anti Korupsi. Di Palembang, juga di kota-kota lainnya, gerakan
sejenis timbul.

"Di satu pihak, terjadi peningkatan yang pesat dalam korupsi besar-besaran
yang disimbolkan oleh keberadaan bungalow dan dikecam secara pedas dalam
berbagai cerita pendek Achdiat K. Mihardja dan dalam film Usmar Ismail yang
sangat terkenal, 'Krisis'. Di pihak lain, korupsi kecil-kecilan telah
berlaku umum dan dianggap lumrah," tulis Herbert Feith seputar situasi
politik di Indonesia pada permulaan dasawarsa 1950-an.

Ada hal yang membuat diri saya takjub bukan main. Apa yang diuraikan oleh
Herbert Feith seputar situasi politik di Indonesia dulu terasa masih aktual
buat situasi politik di Indonesia hari ini. Slogan dalam poster dan iklan
film "Korupsi" karya Rd. Ariffien terasa masih relevan dengan kegeraman
banyak orang hari ini. ***

Kirim email ke