-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-5020718/pandemi-dan-mutasi-sistem-ekonomi?tag_from=wp_cb_kolom_list




Kolom

Pandemi dan Mutasi Sistem Ekonomi

Irfandinata, Rais Reskiawan - detikNews
Selasa, 19 Mei 2020 14:00 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Dampak Corona ke Ekonomi
Ilustrasi: Fuad Hasim/detikcom
Jakarta -

Beberapa jenis virus biasanya bermutasi atau melakukan perubahan pada susunan 
genetiknya sebagai respons adaptif terhadap berbagai intervensi (misalnya 
vaksin atau obat-obatan) ataupun terhadap perubahan kondisi lingkungan. Dengan 
susunan genetik yang baru, virus menjadi lebih resisten (kebal) terhadap obat 
sehingga menjadikan mereka mampu untuk terus mempertahankan kehidupannya.

Implementasi sistem kapitalisme di banyak negara juga telah bermutasi (baca: 
banyak berubah) sebagai respons atas perubahan kondisi masyarakat. Menariknya, 
dalam catatan sejarah, beberapa pandemi juga telah mengubah kehidupan 
sosial-ekonomi masyarakat dunia yang berakibat pada bermutasinya implementasi 
kapitalisme.

Pada pertengahan abad ke-14, dunia diguncangkan oleh salah satu pandemi paling 
berbahaya dalam sejarah yang dikenal dengan sebutan black death. Pandemi ini 
awalnya berasal dari Mongolia dan kemudian menyebar hingga ke Eropa dan Afrika 
melalui tikus yang menumpang di kapal-kapal perdagangan. Selain membunuh 25 
juta orang atau sepertiga dari penduduk Eropa, pandemi ini juga telah memukul 
secara dramatis perekonomian dunia.

Lahan-lahan pertanian yang awalnya produktif menjadi terlantar dan tak 
bernilai. Di sisi lain, pengurangan penduduk secara besar-besaran telah membuat 
para pekerja yang masih tersisa menjadi sangat berharga dan dibutuhkan. 
Langkanya jumlah pekerja juga membuat mereka menjadi lebih independen dalam 
menentukan jenis pekerjaan dan jumlah pendapatannya. Mereka kemudian berpindah 
ke kota-kota besar yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Banyak ahli kemudian berpendapat bahwa pandemi ini menjadi salah satu faktor 
kunci berakhirnya feodalisme dan menandai awal kemunculan kapitalisme. Lima 
abad kemudian atau pada 1918, giliran Spanish Flu atau Flu Spanyol yang 
mengguncang kehidupan manusia. Flu ini mewabah dengan sangat cepat dan 
mematikan. Diperkirakan lebih dari 500 juta orang atau sepertiga penduduk dunia 
terinfeksi dan 50 juta orang di antaranya meninggal dunia. Kebanyakan korban 
berasal dari kelompok usia produktif yang masih aktif bekerja. Akibatnya, 
kebanyakan pabrik dan industri tidak mampu lagi untuk beroperasi.

Pertumbuhan ekonomi dunia kemudian mengalami perlambatan yang dramatis. 
Walaupun demikian, beberapa pengamat berpendapat bahwa perlambatan ekonomi 
dunia yang terjadi saat itu tidak hanya disebabkan oleh pandemi Flu Spanyol, 
tetapi juga oleh Perang Dunia (PD) I. Tetapi, studi yang dilakukan oleh 
Karllson dkk (2013) di Swedia, negara yang tidak terlibat pada PD I, kemudian 
mengkonfirmasi dampak ekonomi akibat pandemi ini. Ketika Flu Spanyol menyerang 
negeri Skandinavia tersebut, terjadi peningkatan angka kemiskinan yang 
signifikan sebagai akibat langsung dari tingginya angka kematian dan kesakitan 
yang disebabkan oleh wabah ini.

Kekacauan yang diakibatkan oleh Flu Spanyol kemudian diyakini menginisiasi 
diciptakannya proteksi negara terhadap kesehatan rakyat. Konsep ini kemudian 
dikenal dengan sebutan universal healthcare. Uni Soviet menjadi negara pertama 
yang mengembangkan konsep sentralisasi layanan kesehatan. Inggris kemudian 
menyusul dengan mendirikan National Health Service. Walaupun tidak sejalan 
dengan prinsip kapitalisme, universal healthcare kemudian semakin banyak 
diadopsi oleh negara-negara kapitalis di Eropa barat.

Di pengujung 2019, dunia kembali diguncang oleh pandemi, yang kali ini dipicu 
oleh infeksi SARS-CoV-2. Hingga tulisan ini dirilis, mutasi terbaru dari 
keluarga coronavirus ini telah menyebar ke 210 negara dan menewaskan lebih dari 
200.000 jiwa di seluruh dunia. Untuk menekan laju penyebaran virus ini, hampir 
seluruh negara di dunia membatasi secara ketat aktivitas masyarakat. Beberapa 
negara bahkan menerapkan kebijakan lockdown. Akibatnya, aktivitas ekonomi 
masyarakat menjadi lumpuh dan dunia terancam akan mengalami krisis ekonomi. 
Sejauh ini, 1,25 miliar tenaga kerja terancam kehilangan pekerjaannya (ILO, 
2020).

Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memperkirakan kerugian akibat pandemi 
Covid-19 akan mencapai 9 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 144 ribu 
triliun. Krisis ekonomi kali ini mungkin akan menjadi yang terburuk dalam 
sejarah kapitalisme. Macquarie Wealth Management, lembaga pro-kapitalisme di 
Australia, bahkan menyebutkan "kapitalisme saat ini sedang sekarat."

Untuk mengurangi dampak pandemi ini, banyak negara, termasuk di dalamnya negara 
kapitalis, menyuntikkan dana bantuan secara besar-besaran langsung kepada 
masyarakat maupun korporasi. Amerika Serikat telah mengeluarkan dana hingga 2 
triliun dolar, suntikan dana terbesar sepanjang sejarah negeri Paman Sam itu. 
Menteri Keuangan negara-negara yang tergabung di Uni Eropa juga telah 
menyepakati safety net untuk negara, korporasi, dan individu senilai lebih dari 
500 miliar euro. Sementara itu, Indonesia memberikan insentif ekonomi sebesar 
lebih dari Rp 400 triliun rupiah sebagai paket stimulus dalam menanggulangi 
dampak pandemi Covid-19.

Penyebaran virus corona yang terus mencengkeram dunia memaksa beberapa negara, 
termasuk di dalamnya negara-negara kapitalis, untuk melakukan nasionalisasi 
fasilitas kesehatan di wilayahnya. Pertengahan Maret lalu, pemerintah Spanyol 
menasionalisasi seluruh rumah sakit dan klinik swasta serta perusahaan yang 
menjadi pemasok alat kesehatan esensial seperti masker dan coronavirus test 
kits.

Mengikuti langkah Spanyol, pemerintah Irlandia menambah 11.000 bed, 47 ruang 
perawatan intensif dan 1.000 ruang isolasi serta menanggung seluruh biaya 
operasional 19 rumah sakit swasta. Tidak hanya proyek nasionalisasi aset, 
berbagai negara juga beramai-ramai memberikan bantuan tunai langsung kepada 
warganya selama masa pandemi ini. Amerika Serikat akan memberikan 1.200 dolar 
kepada setiap warganya yang berpenghasilan kurang dari 75.000 dolar per tahun.

Enam juta masyarakat berpenghasilan rendah di Australia akan menerima 
masing-masing AUD 750. Sedangkan di Indonesia, keluarga miskin akan mendapatkan 
600.000 rupiah per bulan selama 3 bulan. Lebih jauh lagi, pemerintah Jepang dan 
Hong Kong menerapkan Universal Basic Income (UBI), sebuah model kebijakan yang 
sangat dekat dengan prinsip negara sosialis. Seluruh masyarakat Jepang tanpa 
membedakan kaya maupun miskin, bekerja ataupun tidak bekerja akan memperoleh 
dana bantuan senilai 100.000 yen. Sementara itu, masyarakat Hong Kong yang 
berusia di atas 18 tahun akan menerima bantuan dana sejumlah HKD 10.000.

Kedua pendekatan tersebut, baik UBI di Jepang dan Hong Kong maupun UBI-like 
intervention ala Amerika, bertujuan untuk memberikan perlindungan sosial bagi 
masyarakat di tengah krisis global yang terjadi saat ini. Apakah berbagai 
langkah ekstrem ini akan terus dipertahankan pasca pandemi Covid-19 berakhir?

Ketika kita mampu memenangkan pertarungan dan mengeradikasi SARS-CoV-2 dari 
permukaan bumi, dampak ekonominya tentu tidak akan hilang dengan sekejap. Di 
tengah kemerosotan ekonomi global, kita masih dikhawatirkan dengan ribuan atau 
bahkan jutaan jenis virus di luar sana yang sewaktu-waktu dapat bermutasi dan 
menjadi pandemi baru. Atau mungkin saja SARS-CoV-2 nanti memberikan kita 
kemenangan sesaat, kemudian mereka bermutasi dan menciptakan second strike, 
serangan kedua yang jauh lebih berbahaya.

Untuk itu, sistem ekonomi dunia harus bermutasi jauh lebih cepat dan tentu 
harus mengedepankan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan begitu, 
kita bisa membentuk masyarakat dunia yang lebih resisten terhadap infeksi virus 
apapun di masa mendatang.

Irfandinata dokter muda Universitas Islam Malang dan Rais Reskiawan, PhD 
researcher in Clinical Neuroscience University of Nottingham

(mmu/mmu)
pandemi
covid-19
ekonomi
jaminan kesehatan







Kirim email ke