*https://elsam.or.id/regulasi-iklan-politik-di-media-sosial-masih-ketinggalan/
<https://elsam.or.id/regulasi-iklan-politik-di-media-sosial-masih-ketinggalan/>*

Regulasi Iklan Politik di Media Sosial Masih Ketinggalan
HAM Dan Internet <https://elsam.or.id/category/ham-dan-internet/>, Pilihan
<https://elsam.or.id/category/pilihan/> 05/10/2020
<https://elsam.or.id/regulasi-iklan-politik-di-media-sosial-masih-ketinggalan/>
 ELSAM <https://elsam.or.id/id/author/dodi/>2020
<https://elsam.or.id/tag/2020/>, Internet
<https://elsam.or.id/tag/internet/>, Kebebasan Ekspresi
<https://elsam.or.id/tag/kebebasan-ekspresi/>, Privasi
<https://elsam.or.id/tag/privasi/>

ELSAM, Jakarta—Regulasi tentang iklan politik belum mampu mengikuti
perkembangan teknologi dan karakter iklan di media sosial. Akibatnya iklan
politik di media sosial belum dapat diatur secara memadai.

Demikian dikatakan peneliti ELSAM Alia Yofira Karunian dalam webinar
“Penggunaan Iklan Politik di Media Sosial dalam Pemilu: Peluang dan
Tantangan” yang digelar ELSAM pada  Selasa (22/09) lalu. Webinar juga diisi
oleh Komisoner KPU Viryan Aziz, Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar, dan
Political and Government Outreach Facebook Asia Pasifik Noudy Valdryno.

“UU Pemilu dan PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) tentang Kampanye
Pemilihan Umum sebagai dua regulasi terkini mengenai iklan politik masih
memiliki permasalahan. Pertama, konsep media sosial yang tidak mengikuti
perkembangan teknologi. Kedua, tidak ada pengaturan transparansi iklan
politik oleh platform,” ungkap Alia.

Selain itu, kedua regulasi tentang iklan kampanye di media sosial lanjut
Alia juga masih menggunakan logika media konvensial.

Pasal 292 UU No. 17/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) misalnya
menyebutkan, media sosial “dilarang menjual blocking segment dan/atau
blocking time untuk Kampanye Pemilu.”

Sementara Pasal 37 Ayat (4) Huruf e PKPU No. 23/2018 tentang Kampanye
Pemilihan Umum sebagaimana diubah melalui PKPU No. 28/2018 dan PKPU No.
33/2018 menyebutkan, kampanye di media sosial dibatasi “1 (satu) spot
berdurasi paling lama 30 (tiga puluh) detik untuk setiap media sosial
setiap hari.”

Dua ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan pada iklan kampanye di media
sosial. “Spot” dengan durasi tertentu, “blocking segment” dan “blocking
time” mengacu pada penguasaan waktu siar di televisi atau radio. Partai
politik, kandidat, atau tim pemenangan menurut dua aturan tersebut dilarang
membeli waktu siar untuk kepentingan kampanye.

Ketentuan tersebut jelas tidak relevan dengan media sosial. Meski dalam hal
tertentu media sosial juga menyiarkan video, namun promosi di media sosial
tidak terikat dengan waktu siaran.

Masalah lain dari regulasi tentang iklan politik di media sosial menurut
Alia adalah tidak adanya aturan yang mewajibkan perusahaan media sosial
membuka data-data terkait iklan politik di platformnya.

“(permasalahan) yang kedua tidak ada regulasi yang mengatur mengenai
tranparansi iklan politik berbayar bagi perusahaan media sosial,” lanjut
Alia.

Seharusnya kata Alia perusahaan media sosial diwajibkan untuk membuka semua
informasi berkenaan dengan iklan politik di platformnya. Informasi tersebut
antara lain mencakup biaya yang dikeluarkan pengiklan, jangkauan,
keterlibatan audiens, dan impresi dari iklan politik yang beli oleh
pemasang iklan.

Terkait regulasi iklan kampanye, Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan
bahwa saat ini KPU sedang merancang perubahan PKPU No.4/2017 tentang
Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Pengaturan iklan di media sosial dalam rancangan tersebut antara lain
terdapat dalam Pasal 47.

“Pasal ini mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik,
pasangan calon dan/atau tim kampanye dapat memasang iklan kampanye,” kata
Viryan.

Viryan melanjutkan, berbagai ketentuan yang harus dipenuhi oleh peserta
Pilkada adalah jumlah konten dan waktu penanyangan iklan. Konten iklan
kampanye di media sosial dibatasi lima konten di setiap akun resmi setiap
harinya.

Adapun waktu penayangan iklan kampanye di media sosial dibatasi 14 hari
sebelum dimulainya masa tenang.

Noudy Valdryno mengatakan bahwa Facebook telah melakukan persiapan dalam
rangka mengadapi Pilkada serentak 2020 sejak sekitar empat bulan lalu.

Beberapa langkah yang telah diambil Facebook lanjut Ryno adalah menyisir
akun palsu, mengurangi penyebaran berita palsu, meningkatkan transparansi
iklan, mendeteksi perilaku palsu yang terkoordinasi seperti melalui akun
group Facebook, dan mendukung adanya pemilih yang terinformasi.

“Facebook sangat serius untuk melindungi proses demokrasi, pemilu, pilkada
yang akan terjadi di platformnya Facebook. Yang pertama kita ingin
memastikan jangan sampai ada pihak-pihak yang bisa mengintervensi
pemilu-pemilu yang ada di seluruh dunia. Yang kedua, kita juga ingin
bagaimana mempermudah pengguna dan masyarakat agar suara mereka lebih
sering didengar di dalam proses politik,” tutur Ryno.

Terkait dengan transparansi iklan politik di perusahannya Ryno mengklaim
Facebook telah meluncurkan fitur pustaka iklan atau Facebook ads library
pada 5 Agustus 2020.

Di dalam fitur tersebut kata Ryno terdapat antara lain data pengiklan,
biaya yang dikeluarkan, wilayah, dan demografi yang menjadi target iklan.

Anggota Bawaslu Friz Edward mengatakan definisi iklan di media sosial perlu
dirumuskan secara tegas.

“Pada saat kita berbicara mengenai iklan politik di media sosial akan
ditemukan berbagai macam spektrum, yang paling penting adalah mengenai
makna iklan politik, apakah yang dinilai sebagai iklan politik adalah yang
berbayar saja atau adanya percakapan murni yang dilakukan oleh pendukung
juga termasuk kategori iklan politik,” kata Fritz.

Simak webinar lengkap tentang iklan politik di media sosial di YouTube
Perkumpulan ELSAM: https://youtu.be/VZDXi2xjva8

Shevierra Danmadiyah
Navigasi pos
Mengancam Ke
<https://elsam.or.id/mengancam-kebebasan-uu-ite-perlu-direvisi/>

Kirim email ke