Sekalilagi konsekwensi otak-atik statistik Covid-19
Lusi.-

Hersubeno Arief: Abrakadabra! Penanganan Covid-19 Indonesia Terbaik di
Dunia!

Oleh : Hersubeno Arief

Tak lama lagi, Indonesia akan segera dinobatkan sebagai negara terbaik
di dunia dalam penanganan Covid-19.

Tingkat kematian (case fatality rate) Indonesia sangat rendah. Bisa
jadi terendah di dunia. Padahal sebelumnya tingkat kematian akibat
Covid-19 di dunia, selalu berada di peringkat atas. Bahkan di atas
Amerika Serikat.

Kemajuan dahsyat Indonesia dalam penanganan Covid-19 itu berkat jasa
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Bersama dengan delapan orang kepala daerah lainnya, Senin (14/9)
Khofifah diundang Menko Marinvest Luhut Panjaitan melakukan rapat
koordinasi secara virtual.

“Presiden perintahkan dalam waktu dua minggu kita harus bisa mencapai
tiga sasaran yaitu: penurunan penambahan kasus harian, peningkatan
recovery rate (tingkat kesembuhan) dan penurunan mortality rate
(tingkat kematian),” kata Luhut dalam keterangan tertulis Selasa (15/9).

Khofifah yang sejak lama dikenal sebagai orang dekat Luhut, bergerak
cepat dan sigap.

Jauh lebih cepat dibandingkan kepala daerah lainnya. Termasuk bila
dibandingkan dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Padahal Anies selama
ini dinilai paling sigap menangani Covid-19.

Hanya selang sehari kemudian, Khofifah segera menyurati Menkes Terawan.

Khofifah mengusulkan klasifikasi pelaporan kasus kematian karena
Covid-19 diubah.

Alasannya klasifikasi kematian dalam Peraturan Menkes tidak jelas.
Terlebih lagi tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan lembaga
kesehatan dunia WHO.

“Kalau WHO itu ada dua, jadi death with Covid-19, atau death cause due
Covid-19, yang dilaporkan yang mana,” ujar Ketua Rumpun Kuratif Satgas
Penanganan Covid-19 Jatim, dr Joni Wahyuhadi dalam perbincangan dengan
CNNIndonesia (17/9).

Menurut Joni, kasus kematian Covid-19 perlu diklasifikasikan menjadi
dua kelompok. Yakni kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid
alias penyakit bawaan, dan kematian karena Covid-19. Hal itu
sebagaimana pedoman WHO.

Jika hal itu dilakukan, Joni yakin, angka kematian di Jatim akan turun.
Dari total 2.922 kasus kematian atau 7,31 persen case fatality rate di
Jatim, sebanyak 91,1 persen di antaranya meninggal karena komorbid.

Dahsyat! Selama ini Jatim tercatat sebagai provinsi dengan tingkat
kematian tertinggi.

Jika usulan Khofifah ke Menkes ini disetujui—dan nampaknya akan segera
disetujui—maka datanya akan berubah total.

Angka kematian karena Covid-19 di Jatim akan turun drastis. Bila
menggunakan data yang disodorkan Joni, hanya 0,09 persen. Rendah banget!

Jadi Provinsi Jatim bisa kembali panen penghargaan. Sebelumnya Jatim
pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Agama karena melakukan
pendekatan menggabungkan sains dan spiritual dalam menangani Covid.

Penghargaan yang mendapat banyak cibiran. Diberikan pada saat Jatim
secara konsisten prosentase angka kematiannya selalu tertinggi.

Bukan hanya Jatim yang datanya berubah. Secara keseluruhan data
kematian di Indonesia juga berubah total.

Usulan Khofifah membuat Luhut hanya memerlukan waktu kurang dari
sepekan untuk menekan angka kematian karena Covid. Jauh Lebih cepat
dari target yang diberikan Presiden Jokowi selama dua pekan.

Hebaaattt…. khan?

(Otak atik angka statistik)

Apa yang diusulkan oleh Khofifah, adalah upaya mengotak-atik angka
statistik. Tidak mengubah fakta jumlah kematian sebenarnya.

Berdasarkan data statistik Johns Hopkins University Medicine Kamis
(17/9) Indonesia termasuk jawara baik dalam penyebaran maupun tingkat
kematian.

Dalam sisi penyebaran, dari 188 negara, Indonesia menempati peringkat
23. Sementara angka kematian mencapai 9.222 jiwa. 0,97 persen dari
angka kematian secara global yakni 941.862 jiwa.

Dengan jumlah angka kematian tersebut Indonesia menempati urutan ke-20
terbanyak dari keseluruhan negara yang terpapar virus corona.

Usulan Khofifah ini seperti merias wajah seorang korban yang meninggal.
Tampak cantik, tampan, namun tidak mengubah fakta bahwa dia sudah mati.

Implikasinya bisa sangat serius. Pemerintah bisa menyimpulkan dan
mengumumkan, corona sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah
penyakit bawaan (komorbid).

Masyarakat bisa menjadi abai, meremehkan, apalagi mereka yang merasa
sehat dan tidak punya penyakit bawaan.

Pemerintah juga mendapat justifikasi untuk membatalkan PSBB. Kembali
membuka aktivitas bisnis, pasar, mall, perkantoran, tempat-tempat
pariwisata dan hiburan, penerbangan, publik transportasi, dan semua
sektor publik yang selama ini ditutup.

Pilkada serentak juga bisa terus berjalan. Tak peduli banyak desakan
dari berbagai kalangan agar ditunda.

Toh kematian karena Covid tidak berbahaya. Yang penting tidak punya
penyakit bawaan.

Cara pejabat berpikir dan mengambil kesimpulan seperti Khofifah adalah
cermin dari pemerintah Indonesia dalam menangani Covid.

Memandang remeh dan enteng masalah kesehatan. Tetap lebih mengutamakan
kepentingan korporasi dan para taipan.

Buku klasik yang ditulis Darrell Huff (1954) How to Lie With Statistics
ternyata terus berlaku sepanjang zaman.

Selamat datang di negeri Abrakadabra!!! end

EDITOR : SETYANEGARA

Kirim email ke