Apakah Cak Nun menganggap masyarakat keturunan Tionghoa sebagai masyarakat 
kelas dua? Yang tidak bisa memiliki hak atas tanah sementara kelompok 
masyarakat lain tidak masalah. Sampai dikatakan 'Dikasih Hati Minta Ampela" 
segala macam.
Demikiankah sikap seorang tokoh masyarakat yang dikenal sebagai tokoh pembauran?
---Adanya tuntutan oknum agar masyarakat keturunan Tionghoa bisa memiliki hak 
atas tanah di DIY tak luput dari perhatian budayawan Emha Ainun Nadjib yang 
akrab disapa Cak Nun. Ia menilai tuntutan oknum tersebut selain tidak memahami 
sejarah, juga sudah sangat berlebihan.

Dalam bahasa Jawa, Cak Nun menggambarkan oknum tersebut orang sudah dikasih 
hati tapi gerogoti rempelo. "Mohon satu sama lain jangan dikei ati ngrogoh 
remplo, dimanggakke gawe omah ojo njur arep nglethak sirah ," kata Cak Nun 
dialog dengan masyarakat Jogja bertajuk Merawat Sejarah Keistimewaan Jogja 
untuk Kedaulatan NKRI di Ndalem Notoprajan Ngampilan, Kota Yogyakarta, Kamis 
(1/3/2018) malam.
....
Soal Pertanahan di DIY, Cak Nun: Jangan 'Dikasih Hati Minta Ampela'


| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
Soal Pertanahan di DIY, Cak Nun: Jangan 'Dikasih Hati Minta Ampela'

Menurut Cak Nun, hukum sangat penting dan diperlukan oleh manusia untuk 
memagari dirinya sendiri.
 |

 |

 |






Tugu Jogja
Kamis 01 Maret 2018 - 17:38

Adanya tuntutan oknum agar masyarakat keturunan Tionghoa bisa memiliki hak atas 
tanah di DIY tak luput dari perhatian budayawan Emha Ainun Nadjib yang akrab 
disapa Cak Nun. Ia menilai tuntutan oknum tersebut selain tidak memahami 
sejarah, juga sudah sangat berlebihan.

Dalam bahasa Jawa, Cak Nun menggambarkan oknum tersebut orang sudah dikasih 
hati tapi gerogoti rempelo. "Mohon satu sama lain jangan dikei ati ngrogoh 
remplo, dimanggakke gawe omah ojo njur arep nglethak sirah ," kata Cak Nun 
dialog dengan masyarakat Jogja bertajuk Merawat Sejarah Keistimewaan Jogja 
untuk Kedaulatan NKRI di Ndalem Notoprajan Ngampilan, Kota Yogyakarta, Kamis 
(1/3/2018) malam.Dalam dialog yang dihadiri ratusan warga Jogja, termasuk empat 
tokoh warga keturuan Tionghoa yakni Koh Bing, Susilo, Hans Purwanto, dan Chang 
Wediyanto itu, Cak Nun mengatakan bahwa aturan yang melarang warga keturunan 
Tionghoa untuk memiliki hak atas tanah di DIY merupakan salah satu bentuk 
keistimewaan DIY. Selain itu, aturan tersebut diambil Ngarso Dalem IX (Sri 
Sultan Hamengku Buwono IX) karena ia merasakan bahwa arus utama yang 
berlangsung adalah keserakahan atas nama hak asasi (yang ahistoris secara 
sangkan paran), nafsu kepemilikan tak terbatas dengan mengatur butir-butir 
hukum, yang akan menjadi ancaman besar terhadap goal Pancasila yakni "Keadilan 
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia."Itulah yang menjadi dasar Ngarso Dalem IX 
membuat aturan tersebut. "Ngarso Dalem IX pada hakekatnya tidak perlu 
mensabdakan aturan tentang tanah itu, andakaikan beliau merasakan bahwa semua 
penduduk Jogja dan Indonesia sudah berada di dalam kewicaksanaan. Namun, karena 
beliau merasakan bahwa arus utama yang berlangsung adalah keserakahan atas nama 
hak asasi, nafsu kepemilikan tak terbatas dengan mengatur butiran-butitan 
hukum, maka beliau membuat aturan tersebut," kata suami Novia Kolopaking 
ini.Menurut Cak Nun, hukum sangat penting dan diperlukan oleh manusia untuk 
memagari dirinya sendiri. Tetapi di atas hukum ada nalar, di atas nalar ada 
akhlak, di atas akhlaq ada hikmah atau kewicaksanaan, dia atas hikmah ada 
nurani dan kasih sayang. "Itulah Rahmtan Lil'alamin, ang akhir-akhir ini sangat 
didengung-dengungkan oleh semua aktivis NKRI,' kata Cak Nun.Cak Nun mengatakan, 
"pagar" yang dibuat Ngarso Dalem IX itu untuk mencegah keserakahan dan 
penguasaan hak tanpa batas. "Saudara-saudaraku warga keturunan Tionghoa punya 
kemampuan untuk membeli Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, membeli seluruh 
Jogja, DIY, Indonesia bahkan tidak sukar melangkah ke suatu hari di mana 
saudara-saudaraku Cina membeli dan menguasai Bumi ini seluruhnya dengan semua 
isinya. Sekarang penjenengan semua sudah membeli dan menguasai tanah-tanah 
primer, membeli dan menguasai kelas menengah, orang-orang pandai, pakar-pakar, 
bahkan sudah bergulir untuk juga menguasai orang-orang alim saleh," kata Cak 
Nun.Cak Nun melanjutkan, "Panjenengan semua sudah mengalami murah hatinya 
rakyat dan bangsa Indonesia sejak berabad- abad silam. Mohon jangan sakiti hati 
mereka dengan ucapan-ucapan seperti rasisme, diskriminasi, hak asasi manusia, 
yang ditransfer dari kaum penjajah di belahan bumi sana, yang penjajahannya 
tidak berakhir pada17 Agustus 1945, tapi justru semakin canggih dan tersamar 
melalui empat evolusi dan revolusi kolonialisme yang kini sudah masuk ke 
bilik-bilik pribadi setiap penduduk, bahkan sampai ke toilet dan jumbleng," 
kata Cak Nun.Sementara Brotoseno, yang mewakili warga Jogja menilai masyarakat 
keturunan Tionghoa di Jogja sebenarnya lebih mencintai Jogja. Karena itu, tidak 
perlu di-gebyah uyah. (red)
Story ini adalah kiriman dari publisher, isi story ini sepenuhnya menjadi 
tanggung jawab penulis/kreator/user. Ingin menjadi mitra media kumparan? Klik 
di sini sekarang!



Kirim email ke