Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]
Jangan mendongeng, warna dan inte kelihatn.


Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik ChanCT sa...@netvigator.com [GELORA45]
Aaach, ... ini maaah pernyataan mengadu-domba saja! Diajukan saja kasus 
perkasus dengan perdebatan yang dianggap saling maki dan membunuh 
karakter itu! Jadi, tidak menggeneralisasi begitu saja, bahkan 
mengangkat pembicaraan dibvawah, yg menurut saya masih boleh-boleh saja!


Atau hanya karena ci Martha sudah jadi terlalu sensitive saja? Baapeeer? 
Hehehee, ...



marthaja...@yahoo.com [GELORA45] 於 11/10/2019 5:08 寫道:



Hahahaha.. milis ini makin lama makin huebat. Ada yang 
menjadikannya entah untuk apa, serius nulisnya, harus serius 
ditanggapi dll.


Ada yang jadi tukang pukul presidennya. Semua yang berani kritik akan 
dibabat habis, bukan hanya didebat tapi juga dimaki, dibunuh 
karakternya dll.
Kata2 tolol lu, katak dalam tempurung dll. yang sudah tidak ethis lagi 
untuk berdebat.


Hebat, hebat ya. selamat melanjutkan debatan tingkat elit di waroeng 
kopi ala warteg.


Selamat buat si ko Chan. Milis ini makin lama makin bermutu.





---In gelora45@yahoogroups.com,  wrote :

Buat anda, apa yang saya tulis tentang Mao merupakan chotbah???. baik, 
itu hak anda untuk berpendapat begitu...Anggapan "khotbah"  dari 
seseorang yang merasa dirinya "biasa" dan tidak revolusioner sudah 
tentu sangat sangat logis!!! Kalau memang sudah merasa tidak tahu 
tentang revolusi dan teori revolusioner, sebaiknya tutup mulut saja 
dari pada memberi komentar pendek-pendek asal jeplak!! Karena saya 
menulis bukan karena iseng ..Jadi kalau mau menanggapi, tanggapi 
dengan serius!!


On Thursday, October 10, 2019, 08:44:11 PM GMT+2, Sunny ambon
ilmesengero@... [GELORA45]  wrote: 




Saya  orang  biasa tidak revolusioner seperti Anda yang berchobat 
tentang Mao dsbnya, sekalipun saya tidak tahu tentang revolusi dan 
terori revoluisioner seperti Anda. Adios and good luck.





--
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com


Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik marthaja...@yahoo.com [GELORA45]

 Hahahaha.. milis ini makin lama makin huebat. Ada yang menjadikannya entah 
untuk apa, serius nulisnya, harus serius ditanggapi dll.
 

 Ada yang jadi tukang pukul presidennya. Semua yang berani kritik akan dibabat 
habis, bukan hanya didebat tapi juga dimaki, dibunuh karakternya dll.
 Kata2 tolol lu, katak dalam tempurung dll. yang sudah tidak ethis lagi untuk 
berdebat.
 

 Hebat, hebat ya. selamat melanjutkan debatan tingkat elit di waroeng kopi ala 
warteg.
 

 Selamat buat si ko Chan. Milis ini makin lama makin bermutu.
 

 

 

 

---In gelora45@yahoogroups.com,  wrote :

 
 Buat anda, apa yang saya tulis tentang Mao merupakan chotbah???. baik, itu hak 
anda untuk berpendapat begitu...Anggapan "khotbah"  dari seseorang yang merasa 
dirinya "biasa" dan tidak revolusioner sudah tentu sangat sangat logis!!! Kalau 
memang sudah merasa tidak tahu tentang revolusi dan teori revolusioner, 
sebaiknya tutup mulut saja dari pada memberi komentar pendek-pendek asal 
jeplak!! Karena saya menulis bukan karena iseng ..Jadi kalau mau menanggapi, 
tanggapi dengan serius!!
 


 On Thursday, October 10, 2019, 08:44:11 PM GMT+2, Sunny ambon ilmesengero@... 
[GELORA45]  wrote: 
 

 

   
 Saya  orang  biasa tidak revolusioner seperti Anda yang berchobat tentang Mao 
dsbnya, sekalipun saya tidak tahu tentang revolusi dan terori revoluisioner 
seperti Anda. Adios and good luck.

 


 








Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
 Buat anda, apa yang saya tulis tentang Mao merupakan chotbah???. baik, itu hak 
anda untuk berpendapat begitu...Anggapan "khotbah"  dari seseorang yang merasa 
dirinya "biasa" dan tidak revolusioner sudah tentu sangat sangat logis!!! Kalau 
memang sudah merasa tidak tahu tentang revolusi dan teori revolusioner, 
sebaiknya tutup mulut saja dari pada memberi komentar pendek-pendek asal 
jeplak!! Karena saya menulis bukan karena iseng ..Jadi kalau mau menanggapi, 
tanggapi dengan serius!!
On Thursday, October 10, 2019, 08:44:11 PM GMT+2, Sunny ambon 
ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]  wrote:  
 
     

Saya  orang  biasa tidak revolusioner seperti Anda yang berchobat tentang Mao 
dsbnya, sekalipun saya tidak tahu tentang revolusi dan terori revoluisioner 
seperti Anda. Adios and good luck.  #yiv1741054724 #yiv1741054724 -- 
#yiv1741054724ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 
0;padding:0 10px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp hr {border:1px solid 
#d8d8d8;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp #yiv1741054724hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp #yiv1741054724ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp .yiv1741054724ad 
{padding:0 0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp .yiv1741054724ad p 
{margin:0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mkp .yiv1741054724ad a 
{color:#ff;text-decoration:none;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-sponsor 
#yiv1741054724ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724ygrp-sponsor #yiv1741054724ygrp-lc #yiv1741054724hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724ygrp-sponsor #yiv1741054724ygrp-lc .yiv1741054724ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv1741054724 #yiv1741054724actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv1741054724
 #yiv1741054724activity span {font-weight:700;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv1741054724 #yiv1741054724activity span 
.yiv1741054724underline {text-decoration:underline;}#yiv1741054724 
.yiv1741054724attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv1741054724 .yiv1741054724attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv1741054724 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv1741054724 .yiv1741054724bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv1741054724 
.yiv1741054724bold a {text-decoration:none;}#yiv1741054724 dd.yiv1741054724last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv1741054724 dd.yiv1741054724last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv1741054724 
dd.yiv1741054724last p span.yiv1741054724yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv1741054724 div.yiv1741054724attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv1741054724 div.yiv1741054724attach-table 
{width:400px;}#yiv1741054724 div.yiv1741054724file-title a, #yiv1741054724 
div.yiv1741054724file-title a:active, #yiv1741054724 
div.yiv1741054724file-title a:hover, #yiv1741054724 div.yiv1741054724file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv1741054724 div.yiv1741054724photo-title a, 
#yiv1741054724 div.yiv1741054724photo-title a:active, #yiv1741054724 
div.yiv1741054724photo-title a:hover, #yiv1741054724 
div.yiv1741054724photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv1741054724 
div#yiv1741054724ygrp-mlmsg #yiv1741054724ygrp-msg p a 
span.yiv1741054724yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv1741054724 
.yiv1741054724green {color:#628c2a;}#yiv1741054724 .yiv1741054724MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv1741054724 o {font-size:0;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724photos div {float:left;width:72px;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724photos div div {border:1px solid 
#66;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724photos div label 
{color:#66;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv1741054724
 #yiv1741054724reco-category {font-size:77%;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724reco-desc {font-size:77%;}#yiv1741054724 .yiv1741054724replbq 
{margin:4px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv1741054724 #yiv1741054724ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv1741054724 
#yiv1741054724ygrp-mlmsg select, 

Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
 Anda sudah baca seluruh tulisan saya yang terakhir? komentar yang hanya satu 
kalimat itu bisa menunjukkan dua kemungkinan: sudah baca tapi tidak mengerti 
apa yang dibaca, atau sama sekali belum baca, tapi sok tahu!!
On Thursday, October 10, 2019, 06:40:55 PM GMT+2, Jonathan Goeij 
jonathango...@yahoo.com [GELORA45]  wrote:  
 
     

Apakah maksudnya Papua rasis pewaris Van Mook, kalau begitu pecat saja Papua 
pisah dari NKRI.

---In GELORA45@yahoogroups.com,  wrote :

Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya 
sendiripewaris dari gubernur jenderal Van Mook!!

On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij 
jonathangoeij@... [GELORA45]  wrote:


 

Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu 
depak Papua dari NKRI.

---In GELORA45@yahoogroups.com,  wrote :

https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 
 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 20 Agustus 2019 Dibaca 
Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak menghendaki tulisan ini 
dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di sini betul-betul melukai 
orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu. Saya yakin sebagian pokok 
yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh orang Papua, seperti halnya 
yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah kota yang dihuni orang-orang 
non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap "terbelakang" dan "pemabuk". Tak 
ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tak ada 
pembicaraan soal bagaimana negara ini—benda asing yang disodorkan secara paksa 
kepada kami ini—hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan 
tanah, penggusuran lapak mama-mama, serta gelombang pendatang yang kian besar. 
Yang paling buruk dari itu semua: mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan 
orang Papua. Ada pandangan-pandangan tertentu terhadap orang Papua yang 
sebetulnya enggan saya sebutkan. Pandangan-pandangan ini berfokus pada 
"kekurangan" orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang "cantik" 
atau "tampan", minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga 
kurang "beradab".. Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya 
dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini 
mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari kepercayaan itu pula 
keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” 
jadi lema favorit. Karena berangkat dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” 
adalah solusinya. Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali 
sejak para ilmuwan pasca-kolonial (khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan 
kolonial” (colonial gaze). Saya tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga 
ada masanya ketika saya tak memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan 
orang lain, orang-orang di luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya 
alami sebelum saya menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa 
"terbelakangnya" kami orang Papua.. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa 
kami membutuhkan pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara 
berpakaian. Tinggal di luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai 
stereotip orang Papua. Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. 
Saya sudah mendengar bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih 
santun di Papua. Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. 
Atau alkoholik atau tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu 
ada kesadaran bahwa di luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua 
saya adalah representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan 
saya bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman 
menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah 
mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, 
mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah 
itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari 
mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati 
cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya 
tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan 
orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca 
juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang 
sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." 
Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin diusung sebagai "orang Papua 
yang pantas"; tak berkulit terlampau gelap (baca: tak kelihatan Papuanya), tak 
berisik, tak tajam tutur katanya, atau tak terlalu percaya diri. Berkat warna 
kulitlah saya terhindar dari hal-hal terburuk yang disodorkan rasisme Indonesia 
(kasus akhir pekan lalu telah membuktikannya). Saya kira 

Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]
Saya  orang  biasa tidak revolusioner seperti Anda yang berchobat tentang
Mao dsbnya, sekalipun saya tidak tahu tentang revolusi dan terori
revoluisioner seperti Anda. Adios and good luck.


Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
Apakah maksudnya Papua rasis pewaris Van Mook, kalau begitu pecat saja Papua 
pisah dari NKRI.

---In GELORA45@yahoogroups.com,  wrote :

Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya 
sendiripewaris dari gubernur jenderal Van Mook!!

On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij 
jonathangoeij@... [GELORA45]  wrote:


 

Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu 
depak Papua dari NKRI.

---In GELORA45@yahoogroups.com,  wrote :

https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 
 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 20 Agustus 2019 Dibaca 
Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak menghendaki tulisan ini 
dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di sini betul-betul melukai 
orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu. Saya yakin sebagian pokok 
yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh orang Papua, seperti halnya 
yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah kota yang dihuni orang-orang 
non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap "terbelakang" dan "pemabuk". Tak 
ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tak ada 
pembicaraan soal bagaimana negara ini—benda asing yang disodorkan secara paksa 
kepada kami ini—hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan 
tanah, penggusuran lapak mama-mama, serta gelombang pendatang yang kian besar. 
Yang paling buruk dari itu semua: mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan 
orang Papua. Ada pandangan-pandangan tertentu terhadap orang Papua yang 
sebetulnya enggan saya sebutkan. Pandangan-pandangan ini berfokus pada 
"kekurangan" orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang "cantik" 
atau "tampan", minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga 
kurang "beradab".. Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya 
dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini 
mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari kepercayaan itu pula 
keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” 
jadi lema favorit. Karena berangkat dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” 
adalah solusinya. Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali 
sejak para ilmuwan pasca-kolonial (khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan 
kolonial” (colonial gaze). Saya tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga 
ada masanya ketika saya tak memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan 
orang lain, orang-orang di luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya 
alami sebelum saya menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa 
"terbelakangnya" kami orang Papua. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa 
kami membutuhkan pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara 
berpakaian. Tinggal di luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai 
stereotip orang Papua. Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. 
Saya sudah mendengar bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih 
santun di Papua. Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. 
Atau alkoholik atau tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu 
ada kesadaran bahwa di luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua 
saya adalah representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan 
saya bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman 
menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah 
mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, 
mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah 
itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari 
mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati 
cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya 
tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan 
orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca 
juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang 
sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." 
Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin diusung sebagai "orang Papua 
yang pantas"; tak berkulit terlampau gelap (baca: tak kelihatan Papuanya), tak 
berisik, tak tajam tutur katanya, atau tak terlalu percaya diri. Berkat warna 
kulitlah saya terhindar dari hal-hal terburuk yang disodorkan rasisme Indonesia 
(kasus akhir pekan lalu telah membuktikannya). Saya kira orang dengan warna 
kulit seperti yang saya punya ini tidak akan ditangani dengan kekerasan 
sebagaimana yang dialami orang asli Papua. Tapi, warna kulit tak melindungi 
saya dari unsur-unsur rasisme lainnya. Saya mendudukkan Jawa sebagai ibu kota 
kolonialisme Indonesia. Cukup lama saya tinggal di Jawa sampai-sampai ada 
bagian dari diri saya 

Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
 Siapa sih yang tidak tahu Van Mook sudah jadi cacing. rupanya anda tidak baca 
kalimat terakhir tulisan saya. Orangnya bisa mati tapi idenya kan tidak ikut 
mati!! gimana, anda kan orang yang kenal teori-teori 
revolusioner...Penggagasnya sudah pada mati, tapi idenya masih bisa  hidup 
terus...Contohnya seabrek-abrekKok mikirnya cetek gitu??? Saya tidak perlu 
lagu hiburan...Saya punya banyak sekali lagu-lagu yang tidak saja menghibur 
tapi menggugah semangat dan pikiran supaya tidak loyo, lumpuh dan jadi goblok 
walaupun usia terus bertambah
The Dutch Governor, Van Mook, had moved to heaven or hell, but his dream of 
dividing and separating Papua from Indonesia has the support of even leftists 
and revolutionaries!!! Lucky him!!
On Thursday, October 10, 2019, 01:14:06 PM GMT+2, Sunny ambon 
ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]  wrote:  
 
     

Meneer Van Mook is al lang weg, sudah lama peot dimakan cacin, orang tidak siap 
itu dia. Mungkin hanya Anda, jadi apa urusannyaa dengan rasisme dan penindasan 
yang dilakukan oleh rezim neo-Mojopahit? Untuk menghibur hati Anda dengarlah 
lagu ini :

| 
| 
Sunny ambon 
 |

 | Wed, Oct 9, 9:37 AM (1 day ago) |  |  |
| 
| to me |

 |

https://www.youtube.com/watch?v=pXGfcgaTZr0  #yiv8694723371 #yiv8694723371 -- 
#yiv8694723371ygrp-mkp {border:1px solid #d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 
0;padding:0 10px;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp hr {border:1px solid 
#d8d8d8;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp #yiv8694723371hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp #yiv8694723371ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp .yiv8694723371ad 
{padding:0 0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp .yiv8694723371ad p 
{margin:0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-mkp .yiv8694723371ad a 
{color:#ff;text-decoration:none;}#yiv8694723371 #yiv8694723371ygrp-sponsor 
#yiv8694723371ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv8694723371 
#yiv8694723371ygrp-sponsor #yiv8694723371ygrp-lc #yiv8694723371hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv8694723371 
#yiv8694723371ygrp-sponsor #yiv8694723371ygrp-lc .yiv8694723371ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv8694723371 #yiv8694723371actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv8694723371 
#yiv8694723371activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv8694723371
 #yiv8694723371activity span {font-weight:700;}#yiv8694723371 
#yiv8694723371activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv8694723371 #yiv8694723371activity span 
.yiv8694723371underline {text-decoration:underline;}#yiv8694723371 
.yiv8694723371attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv8694723371 .yiv8694723371attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv8694723371 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv8694723371 .yiv8694723371bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv8694723371 
.yiv8694723371bold a {text-decoration:none;}#yiv8694723371 dd.yiv8694723371last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv8694723371 dd.yiv8694723371last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv8694723371 
dd.yiv8694723371last p span.yiv8694723371yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv8694723371 div.yiv8694723371attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv8694723371 div.yiv8694723371attach-table 
{width:400px;}#yiv8694723371 div.yiv8694723371file-title a, #yiv8694723371 
div.yiv8694723371file-title a:active, #yiv8694723371 
div.yiv8694723371file-title a:hover, #yiv8694723371 div.yiv8694723371file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv8694723371 div.yiv8694723371photo-title a, 
#yiv8694723371 div.yiv8694723371photo-title a:active, #yiv8694723371 
div.yiv8694723371photo-title a:hover, #yiv8694723371 
div.yiv8694723371photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv8694723371 
div#yiv8694723371ygrp-mlmsg #yiv8694723371ygrp-msg p a 
span.yiv8694723371yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv8694723371 
.yiv8694723371green {color:#628c2a;}#yiv8694723371 .yiv8694723371MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv8694723371 o {font-size:0;}#yiv8694723371 
#yiv8694723371photos div {float:left;width:72px;}#yiv8694723371 
#yiv8694723371photos div div {border:1px solid 
#66;min-height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv8694723371 
#yiv8694723371photos div label 
{color:#66;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv8694723371
 #yiv8694723371reco-category 

RE: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik 'nesare' nesa...@yahoo.com [GELORA45]
Nah sekarang bung sudah tahu ya siapa si OON ini?

Termasuk dimana posisinya yang dikamuflasekan tadinya sbg pahlawan HAM, 
demokrasi dll

 

Nesare

 

 

From: GELORA45@yahoogroups.com  
Sent: Thursday, October 10, 2019 3:33 AM
To: Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] 
; Yahoogroups 
Subject: Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

 

  

Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya 
sendiripewaris dari gubernur jenderal Van Mook!!

 

On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij  
<mailto:jonathango...@yahoo.com> jonathango...@yahoo.com [GELORA45] < 
<mailto:GELORA45@yahoogroups.com> GELORA45@yahoogroups.com> wrote: 

 

 

  

Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu 
depak Papua dari NKRI.

 

 

---In  <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> GELORA45@yahoogroups.com, < 
<mailto:ilmesengero@...> ilmesengero@...> wrote :

 <https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9> 
https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 

 

 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 

20 Agustus 2019 Dibaca Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak 
menghendaki tulisan ini dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di 
sini betul-betul melukai orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu.. 
Saya yakin sebagian pokok yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh 
orang Papua, seperti halnya yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah 
kota yang dihuni orang-orang non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap 
"terbelakang" dan "pemabuk". Tak ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang 
membuat orang Papua putus asa. Tak ada pembicaraan soal bagaimana negara 
ini—benda asing yang disodorkan secara paksa kepada kami ini—hanya bisa berjaya 
melalui pemiskinan orang Papua, perampasan tanah, penggusuran lapak mama-mama, 
serta gelombang pendatang yang kian besar. Yang paling buruk dari itu semua: 
mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan orang Papua. Ada pandangan-pandangan 
tertentu terhadap orang Papua yang sebetulnya enggan saya sebutkan. 
Pandangan-pandangan ini berfokus pada "kekurangan" orang Papua: kurang tata 
krama, kurang pakaian, kurang "cantik" atau "tampan", minim sinyal internet, 
kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga kurang "beradab". Keyakinan semacam 
itu sangat familiar. Saking lazimnya dipelihara dan dipraktikkan pada zaman 
penjajahan Belanda. Indonesia hari ini mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba 
kekurangan. Dari kepercayaan itu pula keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa 
dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” jadi lema favorit. Karena berangkat dari 
“ketertinggalan”, maka “pembangunan” adalah solusinya. Segala pandangan miring 
terhadap orang Papua ini kita kenali sejak para ilmuwan pasca-kolonial 
(khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan kolonial” (colonial gaze). Saya 
tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga ada masanya ketika saya tak 
memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan orang lain, orang-orang di 
luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya alami sebelum saya 
menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa "terbelakangnya" kami 
orang Papua. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa kami membutuhkan 
pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara berpakaian. Tinggal di 
luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai stereotip orang Papua. 
Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. Saya sudah mendengar 
bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih santun di Papua. 
Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. Atau alkoholik atau 
tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu ada kesadaran bahwa di 
luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua saya adalah 
representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan saya 
bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman 
menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah 
mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, 
mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah 
itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari 
mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati 
cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya 
tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan 
orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca 
juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang 
sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." 
Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin di

Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]
Meneer Van Mook is al lang weg, sudah lama peot dimakan cacin, orang tidak
siap itu dia. Mungkin hanya Anda, jadi apa urusannyaa dengan rasisme dan
penindasan yang dilakukan oleh rezim neo-Mojopahit? Untuk menghibur hati
Anda dengarlah lagu ini :

Sunny ambon 
Wed, Oct 9, 9:37 AM (1 day ago)
to me
https://www.youtube.com/watch?v=pXGfcgaTZr0


Re: [GELORA45] Re: Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua

2019-10-10 Terurut Topik Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45]
 Pencerminan orang yang dengan sengaja "membutakan dan membodohkan"dirinya 
sendiripewaris dari gubernur jenderal Van Mook!!
On Thursday, October 10, 2019, 01:07:19 AM GMT+2, Jonathan Goeij 
jonathango...@yahoo.com [GELORA45]  wrote:  
 
     

Papua dan Indonesia tidak sama, Indonesia rasis sedang Papua tidak. Karena itu 
depak Papua dari NKRI.

---In GELORA45@yahoogroups.com,  wrote :

https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9 
 Rasisme adalah Masalah Indonesia, Bukan Orang Papua 20 Agustus 2019 Dibaca 
Normal 2 menit Ada bagian dalam diri saya yang tak menghendaki tulisan ini 
dibuat. Saya khawatir apa yang akan saya beberkan di sini betul-betul melukai 
orang Papua, sebagaimana saya merasa terluka dulu. Saya yakin sebagian pokok 
yang akan saya katakan sudah dipahami betul oleh orang Papua, seperti halnya 
yang saya ingat dari pengalaman tinggal di sebuah kota yang dihuni orang-orang 
non-Papua. Orang-orang Papua selalu dianggap "terbelakang" dan "pemabuk". Tak 
ada pembicaraan tentang sebab-sebab yang membuat orang Papua putus asa. Tak ada 
pembicaraan soal bagaimana negara ini—benda asing yang disodorkan secara paksa 
kepada kami ini—hanya bisa berjaya melalui pemiskinan orang Papua, perampasan 
tanah, penggusuran lapak mama-mama, serta gelombang pendatang yang kian besar. 
Yang paling buruk dari itu semua: mereka habis-habisan melucuti kemanusiaan 
orang Papua. Ada pandangan-pandangan tertentu terhadap orang Papua yang 
sebetulnya enggan saya sebutkan. Pandangan-pandangan ini berfokus pada 
"kekurangan" orang Papua: kurang tata krama, kurang pakaian, kurang "cantik" 
atau "tampan", minim sinyal internet, kurang fasih berbahasa Indonesia, hingga 
kurang "beradab".. Keyakinan semacam itu sangat familiar. Saking lazimnya 
dipelihara dan dipraktikkan pada zaman penjajahan Belanda. Indonesia hari ini 
mengulanginya: Percaya bahwa Papua serba kekurangan. Dari kepercayaan itu pula 
keberadaan Indonesia di Papua seolah bisa dibenarkan. Itu sebabnya “tertinggal” 
jadi lema favorit. Karena berangkat dari “ketertinggalan”, maka “pembangunan” 
adalah solusinya. Segala pandangan miring terhadap orang Papua ini kita kenali 
sejak para ilmuwan pasca-kolonial (khususnya Frantz Fanon) menamainya “tatapan 
kolonial” (colonial gaze). Saya tidak dibesarkan bersama media sosial sehingga 
ada masanya ketika saya tak memikirkan rasanya menjadi orang Papua di hadapan 
orang lain, orang-orang di luar Sentani. “Tatapan kolonial” tak pernah saya 
alami sebelum saya menginjakkan kaki di Jawa. Saya tak menyadari betapa 
"terbelakangnya" kami orang Papua. Koteka seolah menjadi bukti sahih betapa 
kami membutuhkan pakaian—atau lebih buruk lagi: kami harus diajarkan cara 
berpakaian. Tinggal di luar Papua juga membuat saya berhadapan dengan berbagai 
stereotip orang Papua. Hampir semuanya tak mengenakkan—dan bukan barang baru. 
Saya sudah mendengar bermacam stereotip itu diungkapkan dengan cara-cara lebih 
santun di Papua. Kami, misalnya, dianggap bodoh sampai terbukti sebaliknya. 
Atau alkoholik atau tukang bikin onar hingga terbukti sebaliknya. Selain itu 
ada kesadaran bahwa di luar Papua saya tak menjadi diri sendiri; di luar Papua 
saya adalah representasi masyarakat Papua. Entah bagaimana caranya seakan-akan 
saya bertanggungjawab atas perilaku orang Papua lainnya. Orang merasa nyaman 
menyampaikan pendapat pribadi tentang rupa-rupa masalah orang Papua. Saya sudah 
mendengar masalah-masalah ini sebelumnya. Tapi, karena kali ini saya pendatang, 
mereka tak merasa perlu bersopan santun ketika menunjuk satu per satu masalah 
itu. Anehnya, sebagai orang campuran, saya punya kehidupan lebih baik dari 
mayoritas orang Papua di Indonesia. Karena berkulit terang, yang saya dapati 
cuma remah-remah persoalan yang biasa dihadapi orang Papua berkulit gelap. Saya 
tak pernah dipanggil “monyet”. Kok bisa? Kulit saya lebih cerah. Sekumpulan 
orang Papua berkulit terang seperti saya takkan dipandang sebagai ancaman. Baca 
juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Saat sedang 
sendirian di Jakarta, misalnya, saya takkan dituduh "separatis pembuat onar." 
Dalam tatapan kolonial, orang seperti saya mungkin diusung sebagai "orang Papua 
yang pantas"; tak berkulit terlampau gelap (baca: tak kelihatan Papuanya), tak 
berisik, tak tajam tutur katanya, atau tak terlalu percaya diri. Berkat warna 
kulitlah saya terhindar dari hal-hal terburuk yang disodorkan rasisme Indonesia 
(kasus akhir pekan lalu telah membuktikannya). Saya kira orang dengan warna 
kulit seperti yang saya punya ini tidak akan ditangani dengan kekerasan 
sebagaimana yang dialami orang asli Papua. Tapi, warna kulit tak melindungi 
saya dari unsur-unsur rasisme lainnya. Saya mendudukkan Jawa sebagai ibu kota 
kolonialisme Indonesia. Cukup lama saya tinggal di Jawa sampai-sampai ada 
bagian dari diri saya yang menjelma sesuatu yang Fanon takutkan. Saya menjadi 
orang Papua yang menginternalisasi tatapan kolonial itu. Anggapan