Re: [iagi-net-l] tsunami-genic normal faulting EQ vs. tsunami-genic thrust/reverse faulting EQ (was : Gempa Lagi 7.7 SR ...)

2007-09-15 Terurut Topik Franciscus B Sinartio
Terima kasih penjelasannya Pak Awang,

dan sebagai tambahan kita perlu  ingat bahwa suatu strike slip bisa saja punya 
releasing bend disuatu tempat dan restraining bend di tempat yang lain, 
tergantung tergantung bend nya (-90 derajat < sdt < 0 derajat)  atau ( 0 < sdt 
< 90 derajat).
Dan kalau yang releasing bend besar sudut nya lebih besar 45 derajat(?) maka 
bisa jadi  pull apart basin.

contoh di Kalimantan:  
1.Adang fault: Wain Basin (releasing bend) sedangkan restraining bend nya: 
limestone build up di offshore selat makassar (sorry lupa apa nama fieldnya) 
(ini terjadi restarining bend sehingga ada tinggian di laut sehingga cocok 
untuk terumbu untuk hidup mungkin karena  cukup)2, sinar matahari, dan tidak 
terganggu sama sediment yang datang dari P Kalimantan)

2. Mahakam Delta:  releasing bend di depan mulut delta, sehingga terjadi delta, 
lalu restraining bed di  laut  dan juga di sebelah dalam  pedalaman P 
Kalimantan.  Saya tidak tahu nama dari strike slip fault nya.  seingat saya 
waktu kerja di Vico belum dinamai.  Fault ini yang memisahkan Badak+Nilam 
dengan lapangan2 di selatannya.
Apakah ketiga danau yang ada pesutnya merupakan pull apart basin dari strike 
slip system ini ?


contoh di Niger delta:

1.Niger delta releasing bend nya dan Charcoat seamount restraining bend nya.

2.  ada lagi beberapa, tapi belum seratus persen disetujui ide nya sama team 
disini.

he.. he..he...  dari gempa dibalikin lagi ke HC exploration.


contoh di Bengal Delta:
mari kita tunggu ulasan Pak Awang. (sekalian delta yang di utara dan selatan 
Mahakam delta,  banyak yang menamakan paleo Mahakam, saya rasa tidak cocok 
karena delta ini berbeda dengan mahakam delta.  dan pada suatu saat pernah 
ketiga delta ini ada secara bersamaan.)


happy hunting HC 

fbs




 

- Original Message 
From: Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad <[EMAIL PROTECTED]>; Eksplorasi BPMIGAS 
<[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Saturday, September 15, 2007 3:47:10 PM
Subject: [iagi-net-l] tsunami-genic normal faulting EQ vs. tsunami-genic 
thrust/reverse faulting EQ (was : Gempa Lagi 7.7 SR ...)

Pak Franc,
   
  Tsunami terjadi kalau ada kolom air laut yang terganggu oleh pematahan 
vertikal dasar laut. Kita mengartikan pematahan vertikal adalah dip-slip fault, 
yang menembus dasar laut dari rupture zone hiposentrum/pusat/fokus gempa 
dangkal. Semakin dangkal pusat gempa, semakin mungkin pematahannya sampai ke 
dasar laut. Semakin dalam pusat gempa semakin mungkin pematahannya hanya 
sebagai blind fault, atau sesar yang tak sampai ke permukaan. Berdasarkan 
statistik, gempa dangkal yang menyebabkan tsunami adalah gempa dengan pusat 
lebih dangkal dari 45 km dan pematahannya vertikal.
   
  Kita tahu pematahan vertikal (dip-slip) terdiri atas normal fault, reverse 
fault, dan thrust fault. Kalau dihubungkan dengan strike-slip fault seperti 
yang ditulis pak Franc, normal fault berkembang di lingkungan transtension atau 
releasing bend; sedangkan reverse dan thrust fault terjadi di tranpression atau 
restraining bend.
   
  Berdasarkan kejadian2 tsunami, baik pematahan vertikal blok dasar laut oleh 
normal fault dan reverse/thrust fault menyebabkan tsunami. Saya sependapat 
dengan pak Franc bahwa normal faulting akan menyebabkan tsunami yang lebih 
besar dibandingkan reverse/thrust fault. Alasan ini didasarkan kepada wilayah 
"vakum" (meminjam istilah pak Franc) yang lebih besar yang dihasilkan oleh 
sesar normal dibandingkan reverse/thrust fault. Reverse/thrust fault juga akan 
membentuk wilayah vakum, tetapi tak akan sebesar normal faulting. Wilayah vakum 
reverse/thrust fault akan terjadi di sayap hanging wall block akibat lapisan 
ini miring oleh penyesaran naik atau anjak.  Sedangkan pada normal fault, 
wilayah vakumnya terbentuk lebih besar karena lapisan2 tiba-tiba runtuh atau 
seluruh hanging wall bocknya turun - jelas ini akan menciptakan wilayah vakum 
yang besar.
   
  Tsunami terjadi hanya sebagai usaha kolom air menuju keseimbangannya kembali. 
Dalam normal faulting earthquake (EQ), airlaut tiba2 akan bergerak mengisi 
wilayah vakum normal fault di dasar laut, maka massa air di pantai2 terdekat 
akan surut tiba2 sebab massa air tetap sebegitu volumenya. Lalu, sesaat setelah 
itu, karena efek "bounce back" (meminjam lagi istilah pak Franc), atau saya 
sebut ayunan osilasi gelombang laut, air laut yang tersedot dari pantai itu 
melalui proses mekanika fluida akan kembali ke pantai dengan kecepatan ratusan 
km/jam, dengan massa yang sama tetapi dengan efek kejut dan membawa energi yang 
luar biasa besarnya (megajoules). Karena menuju pantai semakin mendangkal 
sementara massa air laut adalah tetap, akibatnya terjadi gelombang tsunami (run 
up) yang bisa beberapa meter lebih tinggi daripada biasanya. Ketinggian 
gelombang tsunami juga akan ditentukan oleh morfologi pantai, puluhan 
sentimeter sampai puluhan meter pernah tercatat
 sebagai run up
 tsunami.
   
  Pada thrusting fault EQ, airlaut di

Re: [iagi-net-l] Gempa Situbondo, Reaktivasi LUSI dan Bangkitnya Gunung Kelud

2007-09-15 Terurut Topik heri ferius

PHHB / Pasukan Hentak Hentak Bumi atau VibroSeismic ala Rusia yang pernah
dicoba di batupasir CSB diklaim oleh Rusia meningkatkan produksi field tsb .
Sementara dipihak ownner mengklaim peningkatan produksi dari workover.

Karena dalam waktu bersamaan ada dua kegiatan dan saling klaim  ..
kira-kira inkonklusif kali ya... Ada yang tahu.

HF

- Original Message - 
From: "Rovicky Dwi Putrohari" <[EMAIL PROTECTED]>

To: 
Sent: Friday, September 14, 2007 5:04 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Gempa Situbondo, Reaktivasi LUSI dan Bangkitnya
Gunung Kelud



Kalau yg dilakukan dengan vibroseismic itu yang dipengaruhi bukan
batuannya, tetapi mempengaruhi "surface tension"-nya sehingga minyak
lebih "mudah lepas" dari pegangannya :)
Sehingga yang dilakukan bukan dengan tenaga yang besar tetapi memilih
frekuensi dan amplitudo yang tepat.

RDP

On 9/14/07, kartiko samodro <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Apakah kenaikan dan penurunan produksi akibat gempa ,  tergantung juga
dengan jenis formasinya ?

kalau  klastik (consolidated sampai unconsolidated) akan mengalami
penurunan
produksi karena reorganisasi dari matrix batuannya.
sementara batuan clastic (overconsolidated ) atau gamping , akan
mengalami
kenaikan produksi karena tambahan fracturation karena gempa.

mungkin ada yang punya pengalaman ?

On 9/13/07, R.P. Koesoemadinata <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Sebaiknya BP Migas meminta para operator melaporkan apakah di lapangan2
> minyak dan gas itu terjadi kenaikan atau penurunan produksi atau hal2
> lain
> sebagai akibat gempa yang dahsyat ini.
> Juga perlu dipantau apakah terjadi mudvolcano yang baru (seperti halnya
> di
> Andaman waktu gempa Aceh) selain peningkatan aktivitas dari mudvolcano
> yang
> sudah ada akibat gempa besar ini.
> Wassalam
> RPK
> - Original Message -
> From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>
> To: "IAGI" ; "Geo Unpad"
> <[EMAIL PROTECTED]>;
> "Eksplorasi BPMIGAS" <[EMAIL PROTECTED]>
> Sent: Thursday, September 13, 2007 11:27 PM
> Subject: [iagi-net-l] Gempa Situbondo, Reaktivasi LUSI dan Bangkitnya
> Gunung
> Kelud
>
>
> > Gempa Situbondo yang menggoncang ujung Jawa Timur dan sekitarnya pada
> > Senin 10 September 2007 dengan kekuatan 4.5 SR ternyata tak hendak
> > lekas-lekas lenyap. BMG mencatat sampai saat ini telah tercatat gempa
> > susulan sebanyak 482 kali (!). Dari gempa sebanyak itu yang dirasakan
> > hanyalah 61 kali dengan kekuatan 2-4 SR. Kapan gempa-gempa ini akan
> pergi
> > dari Situbondo, tidak ada yang bisa menduganya.
> >
> >  Dua hari setelah gempa utama Situbondo menggoncang ujung utara
> > wilayah
> > tapal kuda Jawa Timur itu, hari Rabu kemarin, 12 September 2007, BPLS
> > (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) mencatat volume semburan LUSI
> > meningkat tajam, juga semburan H2S-nya. Semula, LUSI menyembur pada
> 80.000
> > m3/hari, lalu naik menjadi sekitar 120.000 m3/hari. Sementara itu,
> > kandungan gas H2S mencatat rekor tertingginya sejak LUSI menyembur,
> yaitu
> > mencapai 35 ppm, padahal biasanya rata-rata kandungan gas H2S sekitar
> > 20
> > ppm. Pertambahan volume dadakan ini membuat BPLS lebih repot daripada
> > biasanya. Puluhan truk dikerahkan untuk mengangkut material guna
> > memperkuat tanggul. Ratusan karung pasir ditambah untuk memperkuat
> tanggul
> > utama. Pipa cadangan segera digunakan untuk membuang lumpur yang
> mendadak
> > berlebih.
> >
> >  Gunung Kelud, gunung di sebelah baratdaya Kabupaten Sidoarjo, yang
> > terletak di ujung sesar Watukosek, sekaligus menyembunyikan atau
> > menghentikan sesar besar ini, juga bangkit kembali sejak beberapa
> > hari
> > terakhir ini. Maka, status gunung ditingkatkan dari Aktif Normal
> > menjadi
> > Waspada. Danau kawah Kelud yang terkenal itu semakin menunjukkan
> > kegiatannya. Kegempaan, deformasi, visual, pengukuran suhu kawah, dan
> data
> > kimia air kawah menunjukkan bahwa gunung ini sedang bangkit lagi.
> >
> >  Ketiga peristiwa geologi di atas apakah saling berhubungan ? Apakah
> gempa
> > Situbondo telah memprovokasi LUSI dan Kelud ? Silakan dipikirkan.
> Hubungan
> > temporal ada, hubungan spatial bisa ada bisa tidak.
> >
> >  Tulisan di atas disarikan berdasarkan berita-berita di koran Media
> > Indonesia dan Bisnis Indonesia Kamis 13 September 2007, dilengkapi
> dengan
> > komunikasi lisan bersama beberapa personal yang berhubungan langsung
> > dengan LUSI.
> >
> >  salam,
> >  awang
> >
> >
> > -
> > Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who
> > knows.
> > Yahoo! Answers - Check it out.
>
>
>
> 
> JOINT CONVENTION BALI 2007
> The 32nd HAGI, the 36th IAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and
> Exhibition,
> Bali Convention Center, 13-16 November 2007
>
> 
> To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
> To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]

[iagi-net-l] tsunami-genic normal faulting EQ vs. tsunami-genic thrust/reverse faulting EQ (was : Gempa Lagi 7.7 SR ...)

2007-09-15 Terurut Topik Awang Satyana
Pak Franc,
   
  Tsunami terjadi kalau ada kolom air laut yang terganggu oleh pematahan 
vertikal dasar laut. Kita mengartikan pematahan vertikal adalah dip-slip fault, 
yang menembus dasar laut dari rupture zone hiposentrum/pusat/fokus gempa 
dangkal. Semakin dangkal pusat gempa, semakin mungkin pematahannya sampai ke 
dasar laut. Semakin dalam pusat gempa semakin mungkin pematahannya hanya 
sebagai blind fault, atau sesar yang tak sampai ke permukaan. Berdasarkan 
statistik, gempa dangkal yang menyebabkan tsunami adalah gempa dengan pusat 
lebih dangkal dari 45 km dan pematahannya vertikal.
   
  Kita tahu pematahan vertikal (dip-slip) terdiri atas normal fault, reverse 
fault, dan thrust fault. Kalau dihubungkan dengan strike-slip fault seperti 
yang ditulis pak Franc, normal fault berkembang di lingkungan transtension atau 
releasing bend; sedangkan reverse dan thrust fault terjadi di tranpression atau 
restraining bend.
   
  Berdasarkan kejadian2 tsunami, baik pematahan vertikal blok dasar laut oleh 
normal fault dan reverse/thrust fault menyebabkan tsunami. Saya sependapat 
dengan pak Franc bahwa normal faulting akan menyebabkan tsunami yang lebih 
besar dibandingkan reverse/thrust fault. Alasan ini didasarkan kepada wilayah 
"vakum" (meminjam istilah pak Franc) yang lebih besar yang dihasilkan oleh 
sesar normal dibandingkan reverse/thrust fault. Reverse/thrust fault juga akan 
membentuk wilayah vakum, tetapi tak akan sebesar normal faulting. Wilayah vakum 
reverse/thrust fault akan terjadi di sayap hanging wall block akibat lapisan 
ini miring oleh penyesaran naik atau anjak.  Sedangkan pada normal fault, 
wilayah vakumnya terbentuk lebih besar karena lapisan2 tiba-tiba runtuh atau 
seluruh hanging wall bocknya turun - jelas ini akan menciptakan wilayah vakum 
yang besar.
   
  Tsunami terjadi hanya sebagai usaha kolom air menuju keseimbangannya kembali. 
Dalam normal faulting earthquake (EQ), airlaut tiba2 akan bergerak mengisi 
wilayah vakum normal fault di dasar laut, maka massa air di pantai2 terdekat 
akan surut tiba2 sebab massa air tetap sebegitu volumenya. Lalu, sesaat setelah 
itu, karena efek "bounce back" (meminjam lagi istilah pak Franc), atau saya 
sebut ayunan osilasi gelombang laut, air laut yang tersedot dari pantai itu 
melalui proses mekanika fluida akan kembali ke pantai dengan kecepatan ratusan 
km/jam, dengan massa yang sama tetapi dengan efek kejut dan membawa energi yang 
luar biasa besarnya (megajoules). Karena menuju pantai semakin mendangkal 
sementara massa air laut adalah tetap, akibatnya terjadi gelombang tsunami (run 
up) yang bisa beberapa meter lebih tinggi daripada biasanya. Ketinggian 
gelombang tsunami juga akan ditentukan oleh morfologi pantai, puluhan 
sentimeter sampai puluhan meter pernah tercatat sebagai run up
 tsunami.
   
  Pada thrusting fault EQ, airlaut di pantai bisa surut bisa tidak, bergantung 
kepada posisi vakum area limb thrust (sayap thrust) itu relatif terhadap 
pantai. Dalam kasus air menyurut, berarti vakum area dan vergency (arah) dari 
thrust/reverse frontal terhadap pantai. Hanya, seperti ditulis di atas, vakum 
area thrusting EQ lebih kecil dibandingkan vakum area normal faulting EQ, 
sehingga massa air yang dipindahkan pun lebih kecil; tetapi hunjaman thrusting 
perlu diperhitungkan juga sebagai efek pemindah massa air. Dan bila vergency 
hunjaman thrusting menuju pantai, maka ke situ pula kolom air akan dipindahkan, 
setelah sedikit melalui bounce back atau ayunan osilasi gelombang laut yang 
dipindahkan ke vakum area thrusting EQ (bila ada).
   
  Maka pak Franc, kedua dip-slip fault itu bisa menyebabkan tsunami; hanya yang 
normal fault EQ bisa lebih besar daripada yang thrusting EQ. Gempa2 di 
sepanjang palung Sumatra dan Jawa umumnya thrusting EQ karena batas lempengnya 
konvergen.
   
  Kasus "ledakan" pra-tsunami di Pangandaran, menurut pak Franc akibat efek 
airgun (seperti saat marine seismicsurvey) kolom air laut yang berlomba2 masuk 
ke wilayah vakum normal faulting EQ Pangandaran 17 Juli 2006. Saya kiranya 
kurang sependapat dengan pemikiran pak Franc sehingga suara ledakan itu tetap 
misteri yang harus dicari pemecahannya. Masalahnya, pematahan gempa Pangandaran 
bukan normal faulting, tetapi thrust faulting berdasarkan focal mechanism 
solution dan finite fault model-nya dengan strike N40 W dip 11 deg. Tsunami 
menyerbu pantai Pangandaran dengan ketinggian run up 2 meter, menyapu pantai 
Pangandaran, membunuh sekitar 350 orang. Thrust faulting EQ rata-rata memang 
menyebabkan run up tsunami 0-5 meter; tetapi dalam beberapa kasus run up-nya 
bisa sangat tinggi, seperti thrust faulting gempa Banyuwangi 2 Juni 1994, 
bermagnitude 7.8 yang membuat tsunami menyerbu pantai2 Banyuwangi dan 
Blambangan dengan run up setinggi 13 meter dan menewaskan 200 orang.
   
  Bandingkan dengan tsunami-genic normal faulting EQ yang biasanya membuat run 
up tsunami tinggi. Suatu normal faulting EQ pernah terjadi di perairan 
Australia pada 20 A