Re: [iagi-net-l] tsunami-genic normal faulting EQ vs. tsunami-genic thrust/reverse faulting EQ (was : Gempa Lagi 7.7 SR ...)
Terima kasih penjelasannya Pak Awang, dan sebagai tambahan kita perlu ingat bahwa suatu strike slip bisa saja punya releasing bend disuatu tempat dan restraining bend di tempat yang lain, tergantung tergantung bend nya (-90 derajat < sdt < 0 derajat) atau ( 0 < sdt < 90 derajat). Dan kalau yang releasing bend besar sudut nya lebih besar 45 derajat(?) maka bisa jadi pull apart basin. contoh di Kalimantan: 1.Adang fault: Wain Basin (releasing bend) sedangkan restraining bend nya: limestone build up di offshore selat makassar (sorry lupa apa nama fieldnya) (ini terjadi restarining bend sehingga ada tinggian di laut sehingga cocok untuk terumbu untuk hidup mungkin karena cukup)2, sinar matahari, dan tidak terganggu sama sediment yang datang dari P Kalimantan) 2. Mahakam Delta: releasing bend di depan mulut delta, sehingga terjadi delta, lalu restraining bed di laut dan juga di sebelah dalam pedalaman P Kalimantan. Saya tidak tahu nama dari strike slip fault nya. seingat saya waktu kerja di Vico belum dinamai. Fault ini yang memisahkan Badak+Nilam dengan lapangan2 di selatannya. Apakah ketiga danau yang ada pesutnya merupakan pull apart basin dari strike slip system ini ? contoh di Niger delta: 1.Niger delta releasing bend nya dan Charcoat seamount restraining bend nya. 2. ada lagi beberapa, tapi belum seratus persen disetujui ide nya sama team disini. he.. he..he... dari gempa dibalikin lagi ke HC exploration. contoh di Bengal Delta: mari kita tunggu ulasan Pak Awang. (sekalian delta yang di utara dan selatan Mahakam delta, banyak yang menamakan paleo Mahakam, saya rasa tidak cocok karena delta ini berbeda dengan mahakam delta. dan pada suatu saat pernah ketiga delta ini ada secara bersamaan.) happy hunting HC fbs - Original Message From: Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]> To: iagi-net@iagi.or.id; Geo Unpad <[EMAIL PROTECTED]>; Eksplorasi BPMIGAS <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Saturday, September 15, 2007 3:47:10 PM Subject: [iagi-net-l] tsunami-genic normal faulting EQ vs. tsunami-genic thrust/reverse faulting EQ (was : Gempa Lagi 7.7 SR ...) Pak Franc, Tsunami terjadi kalau ada kolom air laut yang terganggu oleh pematahan vertikal dasar laut. Kita mengartikan pematahan vertikal adalah dip-slip fault, yang menembus dasar laut dari rupture zone hiposentrum/pusat/fokus gempa dangkal. Semakin dangkal pusat gempa, semakin mungkin pematahannya sampai ke dasar laut. Semakin dalam pusat gempa semakin mungkin pematahannya hanya sebagai blind fault, atau sesar yang tak sampai ke permukaan. Berdasarkan statistik, gempa dangkal yang menyebabkan tsunami adalah gempa dengan pusat lebih dangkal dari 45 km dan pematahannya vertikal. Kita tahu pematahan vertikal (dip-slip) terdiri atas normal fault, reverse fault, dan thrust fault. Kalau dihubungkan dengan strike-slip fault seperti yang ditulis pak Franc, normal fault berkembang di lingkungan transtension atau releasing bend; sedangkan reverse dan thrust fault terjadi di tranpression atau restraining bend. Berdasarkan kejadian2 tsunami, baik pematahan vertikal blok dasar laut oleh normal fault dan reverse/thrust fault menyebabkan tsunami. Saya sependapat dengan pak Franc bahwa normal faulting akan menyebabkan tsunami yang lebih besar dibandingkan reverse/thrust fault. Alasan ini didasarkan kepada wilayah "vakum" (meminjam istilah pak Franc) yang lebih besar yang dihasilkan oleh sesar normal dibandingkan reverse/thrust fault. Reverse/thrust fault juga akan membentuk wilayah vakum, tetapi tak akan sebesar normal faulting. Wilayah vakum reverse/thrust fault akan terjadi di sayap hanging wall block akibat lapisan ini miring oleh penyesaran naik atau anjak. Sedangkan pada normal fault, wilayah vakumnya terbentuk lebih besar karena lapisan2 tiba-tiba runtuh atau seluruh hanging wall bocknya turun - jelas ini akan menciptakan wilayah vakum yang besar. Tsunami terjadi hanya sebagai usaha kolom air menuju keseimbangannya kembali. Dalam normal faulting earthquake (EQ), airlaut tiba2 akan bergerak mengisi wilayah vakum normal fault di dasar laut, maka massa air di pantai2 terdekat akan surut tiba2 sebab massa air tetap sebegitu volumenya. Lalu, sesaat setelah itu, karena efek "bounce back" (meminjam lagi istilah pak Franc), atau saya sebut ayunan osilasi gelombang laut, air laut yang tersedot dari pantai itu melalui proses mekanika fluida akan kembali ke pantai dengan kecepatan ratusan km/jam, dengan massa yang sama tetapi dengan efek kejut dan membawa energi yang luar biasa besarnya (megajoules). Karena menuju pantai semakin mendangkal sementara massa air laut adalah tetap, akibatnya terjadi gelombang tsunami (run up) yang bisa beberapa meter lebih tinggi daripada biasanya. Ketinggian gelombang tsunami juga akan ditentukan oleh morfologi pantai, puluhan sentimeter sampai puluhan meter pernah tercatat sebagai run up tsunami. Pada thrusting fault EQ, airlaut di
Re: [iagi-net-l] Gempa Situbondo, Reaktivasi LUSI dan Bangkitnya Gunung Kelud
PHHB / Pasukan Hentak Hentak Bumi atau VibroSeismic ala Rusia yang pernah dicoba di batupasir CSB diklaim oleh Rusia meningkatkan produksi field tsb . Sementara dipihak ownner mengklaim peningkatan produksi dari workover. Karena dalam waktu bersamaan ada dua kegiatan dan saling klaim .. kira-kira inkonklusif kali ya... Ada yang tahu. HF - Original Message - From: "Rovicky Dwi Putrohari" <[EMAIL PROTECTED]> To: Sent: Friday, September 14, 2007 5:04 PM Subject: Re: [iagi-net-l] Gempa Situbondo, Reaktivasi LUSI dan Bangkitnya Gunung Kelud Kalau yg dilakukan dengan vibroseismic itu yang dipengaruhi bukan batuannya, tetapi mempengaruhi "surface tension"-nya sehingga minyak lebih "mudah lepas" dari pegangannya :) Sehingga yang dilakukan bukan dengan tenaga yang besar tetapi memilih frekuensi dan amplitudo yang tepat. RDP On 9/14/07, kartiko samodro <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Apakah kenaikan dan penurunan produksi akibat gempa , tergantung juga dengan jenis formasinya ? kalau klastik (consolidated sampai unconsolidated) akan mengalami penurunan produksi karena reorganisasi dari matrix batuannya. sementara batuan clastic (overconsolidated ) atau gamping , akan mengalami kenaikan produksi karena tambahan fracturation karena gempa. mungkin ada yang punya pengalaman ? On 9/13/07, R.P. Koesoemadinata <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Sebaiknya BP Migas meminta para operator melaporkan apakah di lapangan2 > minyak dan gas itu terjadi kenaikan atau penurunan produksi atau hal2 > lain > sebagai akibat gempa yang dahsyat ini. > Juga perlu dipantau apakah terjadi mudvolcano yang baru (seperti halnya > di > Andaman waktu gempa Aceh) selain peningkatan aktivitas dari mudvolcano > yang > sudah ada akibat gempa besar ini. > Wassalam > RPK > - Original Message - > From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]> > To: "IAGI" ; "Geo Unpad" > <[EMAIL PROTECTED]>; > "Eksplorasi BPMIGAS" <[EMAIL PROTECTED]> > Sent: Thursday, September 13, 2007 11:27 PM > Subject: [iagi-net-l] Gempa Situbondo, Reaktivasi LUSI dan Bangkitnya > Gunung > Kelud > > > > Gempa Situbondo yang menggoncang ujung Jawa Timur dan sekitarnya pada > > Senin 10 September 2007 dengan kekuatan 4.5 SR ternyata tak hendak > > lekas-lekas lenyap. BMG mencatat sampai saat ini telah tercatat gempa > > susulan sebanyak 482 kali (!). Dari gempa sebanyak itu yang dirasakan > > hanyalah 61 kali dengan kekuatan 2-4 SR. Kapan gempa-gempa ini akan > pergi > > dari Situbondo, tidak ada yang bisa menduganya. > > > > Dua hari setelah gempa utama Situbondo menggoncang ujung utara > > wilayah > > tapal kuda Jawa Timur itu, hari Rabu kemarin, 12 September 2007, BPLS > > (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) mencatat volume semburan LUSI > > meningkat tajam, juga semburan H2S-nya. Semula, LUSI menyembur pada > 80.000 > > m3/hari, lalu naik menjadi sekitar 120.000 m3/hari. Sementara itu, > > kandungan gas H2S mencatat rekor tertingginya sejak LUSI menyembur, > yaitu > > mencapai 35 ppm, padahal biasanya rata-rata kandungan gas H2S sekitar > > 20 > > ppm. Pertambahan volume dadakan ini membuat BPLS lebih repot daripada > > biasanya. Puluhan truk dikerahkan untuk mengangkut material guna > > memperkuat tanggul. Ratusan karung pasir ditambah untuk memperkuat > tanggul > > utama. Pipa cadangan segera digunakan untuk membuang lumpur yang > mendadak > > berlebih. > > > > Gunung Kelud, gunung di sebelah baratdaya Kabupaten Sidoarjo, yang > > terletak di ujung sesar Watukosek, sekaligus menyembunyikan atau > > menghentikan sesar besar ini, juga bangkit kembali sejak beberapa > > hari > > terakhir ini. Maka, status gunung ditingkatkan dari Aktif Normal > > menjadi > > Waspada. Danau kawah Kelud yang terkenal itu semakin menunjukkan > > kegiatannya. Kegempaan, deformasi, visual, pengukuran suhu kawah, dan > data > > kimia air kawah menunjukkan bahwa gunung ini sedang bangkit lagi. > > > > Ketiga peristiwa geologi di atas apakah saling berhubungan ? Apakah > gempa > > Situbondo telah memprovokasi LUSI dan Kelud ? Silakan dipikirkan. > Hubungan > > temporal ada, hubungan spatial bisa ada bisa tidak. > > > > Tulisan di atas disarikan berdasarkan berita-berita di koran Media > > Indonesia dan Bisnis Indonesia Kamis 13 September 2007, dilengkapi > dengan > > komunikasi lisan bersama beberapa personal yang berhubungan langsung > > dengan LUSI. > > > > salam, > > awang > > > > > > - > > Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who > > knows. > > Yahoo! Answers - Check it out. > > > > > JOINT CONVENTION BALI 2007 > The 32nd HAGI, the 36th IAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and > Exhibition, > Bali Convention Center, 13-16 November 2007 > > > To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id > To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]
[iagi-net-l] tsunami-genic normal faulting EQ vs. tsunami-genic thrust/reverse faulting EQ (was : Gempa Lagi 7.7 SR ...)
Pak Franc, Tsunami terjadi kalau ada kolom air laut yang terganggu oleh pematahan vertikal dasar laut. Kita mengartikan pematahan vertikal adalah dip-slip fault, yang menembus dasar laut dari rupture zone hiposentrum/pusat/fokus gempa dangkal. Semakin dangkal pusat gempa, semakin mungkin pematahannya sampai ke dasar laut. Semakin dalam pusat gempa semakin mungkin pematahannya hanya sebagai blind fault, atau sesar yang tak sampai ke permukaan. Berdasarkan statistik, gempa dangkal yang menyebabkan tsunami adalah gempa dengan pusat lebih dangkal dari 45 km dan pematahannya vertikal. Kita tahu pematahan vertikal (dip-slip) terdiri atas normal fault, reverse fault, dan thrust fault. Kalau dihubungkan dengan strike-slip fault seperti yang ditulis pak Franc, normal fault berkembang di lingkungan transtension atau releasing bend; sedangkan reverse dan thrust fault terjadi di tranpression atau restraining bend. Berdasarkan kejadian2 tsunami, baik pematahan vertikal blok dasar laut oleh normal fault dan reverse/thrust fault menyebabkan tsunami. Saya sependapat dengan pak Franc bahwa normal faulting akan menyebabkan tsunami yang lebih besar dibandingkan reverse/thrust fault. Alasan ini didasarkan kepada wilayah "vakum" (meminjam istilah pak Franc) yang lebih besar yang dihasilkan oleh sesar normal dibandingkan reverse/thrust fault. Reverse/thrust fault juga akan membentuk wilayah vakum, tetapi tak akan sebesar normal faulting. Wilayah vakum reverse/thrust fault akan terjadi di sayap hanging wall block akibat lapisan ini miring oleh penyesaran naik atau anjak. Sedangkan pada normal fault, wilayah vakumnya terbentuk lebih besar karena lapisan2 tiba-tiba runtuh atau seluruh hanging wall bocknya turun - jelas ini akan menciptakan wilayah vakum yang besar. Tsunami terjadi hanya sebagai usaha kolom air menuju keseimbangannya kembali. Dalam normal faulting earthquake (EQ), airlaut tiba2 akan bergerak mengisi wilayah vakum normal fault di dasar laut, maka massa air di pantai2 terdekat akan surut tiba2 sebab massa air tetap sebegitu volumenya. Lalu, sesaat setelah itu, karena efek "bounce back" (meminjam lagi istilah pak Franc), atau saya sebut ayunan osilasi gelombang laut, air laut yang tersedot dari pantai itu melalui proses mekanika fluida akan kembali ke pantai dengan kecepatan ratusan km/jam, dengan massa yang sama tetapi dengan efek kejut dan membawa energi yang luar biasa besarnya (megajoules). Karena menuju pantai semakin mendangkal sementara massa air laut adalah tetap, akibatnya terjadi gelombang tsunami (run up) yang bisa beberapa meter lebih tinggi daripada biasanya. Ketinggian gelombang tsunami juga akan ditentukan oleh morfologi pantai, puluhan sentimeter sampai puluhan meter pernah tercatat sebagai run up tsunami. Pada thrusting fault EQ, airlaut di pantai bisa surut bisa tidak, bergantung kepada posisi vakum area limb thrust (sayap thrust) itu relatif terhadap pantai. Dalam kasus air menyurut, berarti vakum area dan vergency (arah) dari thrust/reverse frontal terhadap pantai. Hanya, seperti ditulis di atas, vakum area thrusting EQ lebih kecil dibandingkan vakum area normal faulting EQ, sehingga massa air yang dipindahkan pun lebih kecil; tetapi hunjaman thrusting perlu diperhitungkan juga sebagai efek pemindah massa air. Dan bila vergency hunjaman thrusting menuju pantai, maka ke situ pula kolom air akan dipindahkan, setelah sedikit melalui bounce back atau ayunan osilasi gelombang laut yang dipindahkan ke vakum area thrusting EQ (bila ada). Maka pak Franc, kedua dip-slip fault itu bisa menyebabkan tsunami; hanya yang normal fault EQ bisa lebih besar daripada yang thrusting EQ. Gempa2 di sepanjang palung Sumatra dan Jawa umumnya thrusting EQ karena batas lempengnya konvergen. Kasus "ledakan" pra-tsunami di Pangandaran, menurut pak Franc akibat efek airgun (seperti saat marine seismicsurvey) kolom air laut yang berlomba2 masuk ke wilayah vakum normal faulting EQ Pangandaran 17 Juli 2006. Saya kiranya kurang sependapat dengan pemikiran pak Franc sehingga suara ledakan itu tetap misteri yang harus dicari pemecahannya. Masalahnya, pematahan gempa Pangandaran bukan normal faulting, tetapi thrust faulting berdasarkan focal mechanism solution dan finite fault model-nya dengan strike N40 W dip 11 deg. Tsunami menyerbu pantai Pangandaran dengan ketinggian run up 2 meter, menyapu pantai Pangandaran, membunuh sekitar 350 orang. Thrust faulting EQ rata-rata memang menyebabkan run up tsunami 0-5 meter; tetapi dalam beberapa kasus run up-nya bisa sangat tinggi, seperti thrust faulting gempa Banyuwangi 2 Juni 1994, bermagnitude 7.8 yang membuat tsunami menyerbu pantai2 Banyuwangi dan Blambangan dengan run up setinggi 13 meter dan menewaskan 200 orang. Bandingkan dengan tsunami-genic normal faulting EQ yang biasanya membuat run up tsunami tinggi. Suatu normal faulting EQ pernah terjadi di perairan Australia pada 20 A