Re: [iagi-net-l] Gliding Tectonics dan Prospek HC (was : Geologic Transect ...)

2010-01-06 Terurut Topik untung
Penjelasan pak Awang menarik sekali karena saya sedang mempelajari apa iya
bahwa endapan Tersier di Jawa bukan merupakan suatu akuifer. Jadi bedanya
Pak Awang cari minyak saya coba untuk cari air di pegunungan Tersier untuk
mendukung pengembangan air tanah di desa tertinggal. (salam Untung)
 Pak Budi,
  
 Setelah banyak mempelajari struktur dan tektonik di berbagai wilayah di
 Indonesia, saya melihat bahwa kompresi lateral dengan penggerak utama
 tektonik lempeng tidak selalu menjadi satu-satunya penyebab kinematika
 elemen struktur dan tektonik. Banyak hal yang menuntut penjelasan lebih
 dari sekadar kompresi.
  
 Bahkan dengan konsep exhumation, yaitu terangkatnya kembali kerak benua
 yang pernah tenggelam di bawah kerak berasosiasi oseanik, saya tak akan
 melihat lagi bahwa seluruh pengangkatan yang terkenal itu (Himalaya,
 Kuching High, Meratus, Central Ranges of Papua, dsb.) semuanya karena
 tektonik lempeng semata. Memang, tektonik lempeng penggerak utamanya
 sehingga banyak mikro-kontinen bertubrukan, tetapi exhumation tak
 memerlukan tektonik lempeng yang lateral, ia hanya memerlukan kompensasi
 gravity, sebab naiknya kembali kerak kontinen yang pernah tenggelam itu
 terjadi karena perbedaan density kerak dan gravity. Saat ini exhumation
 sedang terjadi di banyak tempat ex collision di Indonesia (Timor, Banggai,
 Meratus, dsb.).
  
 Kemudian, apa yang sudah naik pun, wajar dan sering sekali diikuti oleh
 gerak runtuhan (collapse) di sebelahnya - ini hanya penyeimbangan
 isostasi, dan yang namanya isostasi selalu gravity-movement. Maka semua
 foredeep yang terbentuk di sebelah suatu zone collision harus dicurigai
 sebagai collapse gravity. Weber Deep, depresi laut paling dalam di
 Indonesia (7000 m) -lebih dari palung Sumatra dan Jawa, terjadi karena
 collapse gravity di depan jalur collision Tanimbar-Kei-Seram.
  
 Gliding tectonics semula dipicu oleh differential gravity movement.
 Definisi yang Pak Budi kutipkan dari American Journal of Science (1954)
 itu memuaskan. Begitulah gliding tectonics atau tektonik
 longsoran/lengseran itu, ia membutuhkan topografi yang tinggi (uplifted)
 dan topografi yang rendah (subsided). Di kedua topografi yang beda tinggi
 ini akan bermain gravity movement dan kalau di antara keduanya dihubungkan
 oleh suatu lereng, maka berjalanlah gravity movement melalui gliding
 tectonics. Gliding tectonics pun fenomena tektonik juga, hanya penyebab
 lipatan dan sesar di sini bukan gaya kompresi, melainkan gaya berat
 (gravity) ditambah progradasi sedimen.
  
 Gliding tectonics bisa bekerja dalam skala lokal maupun regional. Memang
 lebih banyak yang bekerja dalam skala regional sebab dalam skala regional
 perbedaan topografi tinggi rendah dan differential gravity movement-nya
 lebih nyata. Di wilayah alluvial fan, lebih banyak bekerja sistem runtuhan
 dalam bentuk molassic deposits yang disuplai dari tinggian sekitarnya ke
 rendahan yang ditempati kipas aluvial. Saya tak yakin gliding tectonics
 bekerja dengan baik di sini. Di wilayah delta mungkin saja, tetapi itu pun
 harus delta yang berprogradasi dalam jarak jauh dan ada tinggian regional
 di wilayah hinterland-nya. Syarat ini dipenuhi secara ideal oleh wilayah
 progradasi delta di Cekungan Kutei dengan tinggian hinterland-nya berupa
 Kuching High di sebelah utara Kalimantan Tengah. Bahwa gliding tectonics
 membentuk Samarinda Anticlinorium yang terkenal itu di wilayah ini pernah
 dibahas oleh van Bemmelen (1949), Rose dan Hartono (1976 -IPA), dan Ott
 (1987 -IPA).
  Dalam pandangan saya, itu penjelasan yang lebih memuaskan bagi asal
 Samarinda Anticlinorium dibandingkan penjelasan2 sesudahnya (oleh John
 Chambers  Tim Daley, Ken McClay, dll.).
  
 Di wilayah slope-lah (lebih dalam dari prodelta terutama di wilayah
 slope), gliding tectonics terutama bermain. Semua toe-thrusting di sini
 yang dipicu oleh decollement dalam kinematika thin-skinned tectonics
 berasamaan dengan progradasi sedimen, pada dasarnya adalah manifestasi
 gliding tectonics, yang tak memerlukan kompresi.
  
 Reservoir dan source dalam gliding tectonics akan berasal dari reworked,
 transported, dan re-deposited sediments turbidit yang berasal dari
 provenance di uplifted area di dekatnya yang tersingkap pada saat lowstand
 sea level. Contoh idealnya adalah di Makassar Strait dan Tarakan deep
 water. Semua lapangan produktif di laut dalam Makassar (West Seno
 misalnya) atau Aster di Tarakan deepwater adalah sedimen turbidit (baik
 reservoir maupun source-nya) yang berasal dari exposed seri delta-delta
 ancient Mahakam. Kemudian reservoir dan source ini terlibat dalam gliding
 tectonics yang membentuk toe-trusting.
  
 Di Jawa Tengah Utara (Serayu Utara), konsepnya akan sama, kita harus
 mencari reworked, transported dan redeposited sediments yang berasal dari
 uplifted Serayu Selatan atau northern platform Jawa Tengah, yang saat itu
 menjadi sumber sedimen untuk depresi Serayu Utara. Apakah ada batupasir
 turbidit saat itu, di mana diendapkan ? Inilah 

Bls: [iagi-net-l] Teknologi Akuisisi Seismik (was: Gliding Tectonics dan Prospek HC)

2010-01-06 Terurut Topik Bambang Gumilar
Mengutip alenia terakhir dari tulisan pak Awang di bawah ini tentang teknologi 
akuisisi seismik, saya tertarik untuk membaca ulang arsip-arsip beberapa tahun 
terakhir tentang kisah sukses Chevron di Gulf of Mexico dan di Angola yang 
berhasil mendisain akuisisi seismik untuk Sub-Salt. Berangkat dari ide yang 
sama, teknologi ini diteliti lagi dan dicoba untuk Sub-Basalt (volcanic) di 
Laut Utara. Ternyata berhasil dengan ditemukannya 'Rosebank' dan sudah banyak 
publikasi tentang ini. 
http://www.chevron.com/news/press/Release/?id=2007-07-17 (Press Release ini 
adalah domain publik). Juga di website  
http://www.faroebusinessreport.com/content/view/271/39/

Pertanyaannya selanjutnya, seandainya kita bisa melakukan 'seismic imaging' di 
Jawa Tengah Utara, apakah HC yang masih ada tidak ter-'thermal-cracked'? 
Mengingat kedalaman dan gradien geothermal di kawasan tersebut. Jika target-nya 
gas, mungkin masih susah bagi teknologi ini untuk diapplikasikan secara 
ekonomis (cost effective).

Wassalam,

-bg
www.linkedin.com/in/bambanggumilar 
 


- Pesan Asli 
Dari: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Cc: Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com; Geo Unpad 
geo_un...@yahoogroups.com; Forum HAGI fo...@hagi.or.id
Terkirim: Sel, 5 Januari, 2010 21:29:32
Judul: [iagi-net-l] Gliding Tectonics dan Prospek HC (was : Geologic Transect 
...)

Pak Budi,
 
Setelah banyak mempelajari struktur dan tektonik di berbagai wilayah di 
Indonesia, saya melihat bahwa kompresi lateral dengan penggerak utama tektonik 
lempeng tidak selalu menjadi satu-satunya penyebab kinematika elemen struktur 
dan tektonik. Banyak hal yang menuntut penjelasan lebih dari sekadar kompresi. 
 
Bahkan dengan konsep exhumation, yaitu terangkatnya kembali kerak benua yang 
pernah tenggelam di bawah kerak berasosiasi oseanik, saya tak akan melihat lagi 
bahwa seluruh pengangkatan yang terkenal itu (Himalaya, Kuching High, Meratus, 
Central Ranges of Papua, dsb.) semuanya karena tektonik lempeng semata. Memang, 
tektonik lempeng penggerak utamanya sehingga banyak mikro-kontinen bertubrukan, 
tetapi exhumation tak memerlukan tektonik lempeng yang lateral, ia hanya 
memerlukan kompensasi gravity, sebab naiknya kembali kerak kontinen yang pernah 
tenggelam itu terjadi karena perbedaan density kerak dan gravity. Saat ini 
exhumation sedang terjadi di banyak tempat ex collision di Indonesia (Timor, 
Banggai, Meratus, dsb.).
 
Kemudian, apa yang sudah naik pun, wajar dan sering sekali diikuti oleh gerak 
runtuhan (collapse) di sebelahnya - ini hanya penyeimbangan isostasi, dan yang 
namanya isostasi selalu gravity-movement. Maka semua foredeep yang terbentuk di 
sebelah suatu zone collision harus dicurigai sebagai collapse gravity. Weber 
Deep, depresi laut paling dalam di Indonesia (7000 m) -lebih dari palung 
Sumatra dan Jawa, terjadi karena collapse gravity di depan jalur collision 
Tanimbar-Kei-Seram.
 
Gliding tectonics semula dipicu oleh differential gravity movement. Definisi 
yang Pak Budi kutipkan dari American Journal of Science (1954) itu memuaskan. 
Begitulah gliding tectonics atau tektonik longsoran/lengseran itu, ia 
membutuhkan topografi yang tinggi (uplifted) dan topografi yang rendah 
(subsided). Di kedua topografi yang beda tinggi ini akan bermain gravity 
movement dan kalau di antara keduanya dihubungkan oleh suatu lereng, maka 
berjalanlah gravity movement melalui gliding tectonics. Gliding tectonics pun 
fenomena tektonik juga, hanya penyebab lipatan dan sesar di sini bukan gaya 
kompresi, melainkan gaya berat (gravity) ditambah progradasi sedimen.
 
Gliding tectonics bisa bekerja dalam skala lokal maupun regional. Memang lebih 
banyak yang bekerja dalam skala regional sebab dalam skala regional perbedaan 
topografi tinggi rendah dan differential gravity movement-nya lebih nyata. Di 
wilayah alluvial fan, lebih banyak bekerja sistem runtuhan dalam bentuk 
molassic deposits yang disuplai dari tinggian sekitarnya ke rendahan yang 
ditempati kipas aluvial. Saya tak yakin gliding tectonics bekerja dengan baik 
di sini. Di wilayah delta mungkin saja, tetapi itu pun harus delta yang 
berprogradasi dalam jarak jauh dan ada tinggian regional di wilayah 
hinterland-nya. Syarat ini dipenuhi secara ideal oleh wilayah progradasi delta 
di Cekungan Kutei dengan tinggian hinterland-nya berupa Kuching High di sebelah 
utara Kalimantan Tengah. Bahwa gliding tectonics membentuk Samarinda 
Anticlinorium yang terkenal itu di wilayah ini pernah dibahas oleh van Bemmelen 
(1949), Rose dan Hartono (1976 -IPA), dan Ott (1987 -IPA).
Dalam pandangan saya, itu penjelasan yang lebih memuaskan bagi asal Samarinda 
Anticlinorium dibandingkan penjelasan2 sesudahnya (oleh John Chambers  Tim 
Daley, Ken McClay, dll.).
 
Di wilayah slope-lah (lebih dalam dari prodelta terutama di wilayah slope), 
gliding tectonics terutama bermain. Semua toe-thrusting di sini yang dipicu 
oleh decollement dalam kinematika thin-skinned 

[iagi-net-l] The Only Living Earth : Destiny or By Chance ?

2010-01-06 Terurut Topik Awang Satyana
Bumi yang penuh kehidupan tingkat kompleks itu sebuah takdir yang telah diatur 
atau sekadar kebetulan saja ?
 
Kemajuan penelitian-penelitian astronomi, kosmologi (mempelajari asal muasal 
Alam Semesta), eksobiologi/astrobiologi (mempelajari kehidupan ekstraterestrial 
atau kehidupan di luar Bumi) dan planetary geology (mempelajari geologi 
planet-planet) serta semua publikasinya, menunjukkan bahwa Bumi kita yang penuh 
kehidupan kompleks (kompleks di sini adalah multisel dan memunculkan manusia 
seperti kita yang cerdas dan berteknologi) itu adalah sesuatu yang unik, bukan 
yang umum, di Alam Semesta. Bagaimana kehidupan kompleks itu bisa muncul di 
Bumi, dan kelihatannya sulit di tempat lain, akan menunjukkan bahwa ia memang 
dirancang untuk bisa dihuni –artinya suatu takdir yang telah diatur (destiny), 
bukan oleh suatu kebetulan belaka (by chance). 
 
Siapa yang mengaturnya ?  Orang beriman tentu tahu jawabannya. Dan, kemajuan 
ilmu pengetahuan menunjukkan ke arah itu, secara ringkas dalam suatu teori 
bernama “Rare Earth Theory” yang dipelopori oleh Peter Ward (geologist dan 
paleontologist) dan Donald Brownlee (astronomer dan astrobiologist) melalui 
buku mereka berjudul “Rare Earth : Why Complex Life Is Uncommon in the 
Universe” (Springer Verlag, 2000). Dan hampir sepuluh tahun setelah buku itu 
terbit, penelitian-penelitian astronomi, kosmologi, eksobiologi/astrobiologi 
dan planetary geology makin menguatkan teori Rare Earth. 
 
Sebuah DVD film dokumenter terbitan BBC (2008) dengan durasi tayang selama 
empat jam (tepatnya 248 menit) berjudul “Earth : The Power of the Planet” 
dengan narator Dr. Iain Stewart (geologist) baru selesai saya tonton. Dari lima 
episode-nya, satu di antaranya dialokasikan untuk menerangkan tentang apa itu 
teori Rare Earth. Dari film tersebut, diperdalam dengan publikasi-publikasi 
terbaru yang berhubungan dengan Rare Earth, saya ringkaskan di bawah ini untuk 
rekan-rekan semua. 
 
Rare Earth adalah suatu antitesis (kontra) terhadap teori lain yang lebih dulu 
populer yang dipelopori oleh Carl Sagan bernama “mediocrity” atau “Copernican 
principle”. Carl Sagan (alm.) adalah seorang astronomer dan exobiologist 
terkenal yang banyak menulis buku yang laku di pasaran (misalnya Cosmos –telah 
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia 1997 dengan 
kata pengantar oleh Prof. Bambang Hidayat-astronomer paling senior di 
Indonesia, The Pale Blue Dot yang dihiasi gambar-gambar dan foto-foto aduhai, 
Carl Sagan’s Universe yang sedikit teknis, dll.). Buku-bukunya sering ditulis 
dengan kata-kata puitis, sehingga nikmat dan ‘syahdu’ membacanya. Carl Sagan 
pun seorang selebritas dan ilmuwan yang sering muncul di televisi dan dia dekat 
dengan para penguasa Amerika Serikat. Maka, jutaan dollar US dialirkan 
Pemerintah AS untuk mendanai penelitian-penelitian yang mengobsesi Carl Sagan : 
kehidupan ekstraterestrial.
 Carl Sagan meyakini bahwa di Alam Semesta banyak kehidupan. Ide-idenya menjadi 
inspirasi film-film bertajuk ET (extra-terrestrial) –yang mendominasi film-film 
fiksi ilmiah pada era 80-an. Secara ringkas, program peneltian Carl Sagan dan 
timnya bernama SETI –search for extra-terrestrial intelligence. Banyak 
radio-teleskop dengan diameter lebar didirikan di gurun Arizona untuk menangkap 
sinyal-sinyal yang mungkin mambawa tanda-tanda kehidupan dari luar Bumi. Film 
“Contact” yang berkaitan dengan ini dan dibintangi oleh Jodie Foster adalah 
berdasarkan ide Carl Sagan tentang kontak dengan ET.
 
Namun demikian, meskipun telah lebih dari 20 tahun teleskop-teleskop radio 
dengan piringan parabola lebar itu diarahkan ke segenap penjuru langit, tak ada 
satu “beep” pun terbaca atau “terdengar” di layar monitor yang dipasang 24 jam 
selama puluhan tahun itu. Harapannya, “beep” itu adalah salam pembuka dari 
makhluk cerdas di luar Bumi (ETI) yang menyapa para manusia yang sangat 
berharap disapa. “Kalau ETI itu suatu hal yang umum di Alam Semesta,  mengapa 
tak pernah ada kontak ?” Pertanyaan ini terkenal sebagai Fermi paradox. “If the 
universe is teeming with aliens, where is everybody” (Webb, 2002). Sampai Carl 
Sagan sendiri meninggal pada tahun 1996, belum ditemukan tanda-tanda adanya 
kontak dengan ETI. Program SETI pun mulai dilecehkan kebanyakan orang, bahkan 
sebuah iklan minuman memanfaatkan radio telescope itu. Dua anak muda naik ke 
piringan parabola teleskop sambil minum minuman bersoda. Lalu mereka berserdawa 
 “bluuurrrppp” yang segera tertangkap di layar monitor para astronom dan 
menimbulkan kehebohan luar biasa di antara para peneliti sebab dikiranya ada 
kontak dengan ETI, padahal itu suara gas dari perut si anak muda di atas radio 
teleskop (huh...). Dana penelitian SETI pun otomatis berkurang dan kurang 
populer lagi, apalagi pembela utamanya telah tiada.
 
Apakah memang tak ada kehidupan lain yang kompleks (seperti di Bumi) di luar 
Bumi, di Alam Semesta yang begitu luas itu ? Apakah Alam Semesta itu hanya 
diciptakan untuk 

Bls: [iagi-net-l] Teknologi Akuisisi Seismik (was: Gliding Tectonics dan Prospek HC)

2010-01-06 Terurut Topik Awang Satyana
Pak Bambang,
 
Terima kasih atas infonya, nanti saya cek website-nya. Teman-teman 
geophysicists barangkali bisa berkomentar untuk masalah akuisisi seismik di 
onshore Jawa ini sebab saya melihat masih banyak sekali potensi migas terkubur 
di bawah volcanic cover Miosen-Kuarter ini, terutama di perbatasan antara Jawa 
Barat-Jawa Tengah dan Serayu Utara. Rembesan minyaknya, pada kedua area 
ini,paling kaya di Jawa.
 
Untuk Serayu Utara, kelihatannya lebih banyak rembesan minyak dibandingkan 
gas.Contoh minyak Cipluk yang saya peroleh kelihatannya light oil atau minyak 
dalam maximal maturity. Jadi masalah overmaturity mungkin tak perlu terlalu 
dikhawatirkan. Main-peak maturity untuk minyak kelihatannya masih terjadi di 
Serayu Utara.
 
salam,
Awang

--- Pada Rab, 6/1/10, Bambang Gumilar bgumilar_mail...@yahoo.co.id menulis:


Dari: Bambang Gumilar bgumilar_mail...@yahoo.co.id
Judul: Bls: [iagi-net-l] Teknologi Akuisisi Seismik (was: Gliding Tectonics dan 
Prospek HC)
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Tanggal: Rabu, 6 Januari, 2010, 11:13 PM


Mengutip alenia terakhir dari tulisan pak Awang di bawah ini tentang teknologi 
akuisisi seismik, saya tertarik untuk membaca ulang arsip-arsip beberapa tahun 
terakhir tentang kisah sukses Chevron di Gulf of Mexico dan di Angola yang 
berhasil mendisain akuisisi seismik untuk Sub-Salt. Berangkat dari ide yang 
sama, teknologi ini diteliti lagi dan dicoba untuk Sub-Basalt (volcanic) di 
Laut Utara. Ternyata berhasil dengan ditemukannya 'Rosebank' dan sudah banyak 
publikasi tentang ini. 
http://www.chevron.com/news/press/Release/?id=2007-07-17 (Press Release ini 
adalah domain publik). Juga di website  
http://www.faroebusinessreport.com/content/view/271/39/

Pertanyaannya selanjutnya, seandainya kita bisa melakukan 'seismic imaging' di 
Jawa Tengah Utara, apakah HC yang masih ada tidak ter-'thermal-cracked'? 
Mengingat kedalaman dan gradien geothermal di kawasan tersebut. Jika target-nya 
gas, mungkin masih susah bagi teknologi ini untuk diapplikasikan secara 
ekonomis (cost effective).

Wassalam,

-bg
www.linkedin.com/in/bambanggumilar 
 


- Pesan Asli 
Dari: Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com
Kepada: iagi-net@iagi.or.id
Cc: Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com; Geo Unpad 
geo_un...@yahoogroups.com; Forum HAGI fo...@hagi.or.id
Terkirim: Sel, 5 Januari, 2010 21:29:32
Judul: [iagi-net-l] Gliding Tectonics dan Prospek HC (was : Geologic Transect 
...)

Pak Budi,
 
Setelah banyak mempelajari struktur dan tektonik di berbagai wilayah di 
Indonesia, saya melihat bahwa kompresi lateral dengan penggerak utama tektonik 
lempeng tidak selalu menjadi satu-satunya penyebab kinematika elemen struktur 
dan tektonik. Banyak hal yang menuntut penjelasan lebih dari sekadar kompresi. 
 
Bahkan dengan konsep exhumation, yaitu terangkatnya kembali kerak benua yang 
pernah tenggelam di bawah kerak berasosiasi oseanik, saya tak akan melihat lagi 
bahwa seluruh pengangkatan yang terkenal itu (Himalaya, Kuching High, Meratus, 
Central Ranges of Papua, dsb.) semuanya karena tektonik lempeng semata. Memang, 
tektonik lempeng penggerak utamanya sehingga banyak mikro-kontinen bertubrukan, 
tetapi exhumation tak memerlukan tektonik lempeng yang lateral, ia hanya 
memerlukan kompensasi gravity, sebab naiknya kembali kerak kontinen yang pernah 
tenggelam itu terjadi karena perbedaan density kerak dan gravity. Saat ini 
exhumation sedang terjadi di banyak tempat ex collision di Indonesia (Timor, 
Banggai, Meratus, dsb.).
 
Kemudian, apa yang sudah naik pun, wajar dan sering sekali diikuti oleh gerak 
runtuhan (collapse) di sebelahnya - ini hanya penyeimbangan isostasi, dan yang 
namanya isostasi selalu gravity-movement. Maka semua foredeep yang terbentuk di 
sebelah suatu zone collision harus dicurigai sebagai collapse gravity. Weber 
Deep, depresi laut paling dalam di Indonesia (7000 m) -lebih dari palung 
Sumatra dan Jawa, terjadi karena collapse gravity di depan jalur collision 
Tanimbar-Kei-Seram.
 
Gliding tectonics semula dipicu oleh differential gravity movement. Definisi 
yang Pak Budi kutipkan dari American Journal of Science (1954) itu memuaskan. 
Begitulah gliding tectonics atau tektonik longsoran/lengseran itu, ia 
membutuhkan topografi yang tinggi (uplifted) dan topografi yang rendah 
(subsided). Di kedua topografi yang beda tinggi ini akan bermain gravity 
movement dan kalau di antara keduanya dihubungkan oleh suatu lereng, maka 
berjalanlah gravity movement melalui gliding tectonics. Gliding tectonics pun 
fenomena tektonik juga, hanya penyebab lipatan dan sesar di sini bukan gaya 
kompresi, melainkan gaya berat (gravity) ditambah progradasi sedimen.
 
Gliding tectonics bisa bekerja dalam skala lokal maupun regional. Memang lebih 
banyak yang bekerja dalam skala regional sebab dalam skala regional perbedaan 
topografi tinggi rendah dan differential gravity movement-nya lebih nyata. Di 
wilayah alluvial fan, lebih banyak bekerja sistem runtuhan dalam bentuk 

[iagi-net-l] BLOG IAGI : Intellectual White Space

2010-01-06 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
 Intellectual White
Spacehttp://geologi.iagi.or.id/2010/01/07/intellectual-white-space/
2010 January 7
 [image: nanangmanaf]

 Sharing dari Pak *Nanang Abdul Manaf (PERTAMINA-EP)*

Saya sangat terisnpirasi oleh guru dan senior saya Cak Andang Bachtiar
dengan pertanyaan : Apakah faktor-faktor yang mengarah adanya temuan-temuan
besar ?

Saya teringat ketika mengikui AAPG Conference tahun 2007 di Longbeach, CA,
ada presentasi yang sangat bagus, insightful, dan rupanya juga banyak
diminati oleh para peserta Conference. Robin Hamilton, Team Leader untuk
study Regional dari Shell International EP yang berkantor di Houston, Tx,
yang bertajuk :* Identifying New Material Hydrocarbon Plays : The Challenge
and an Approach.* read
more…http://geologi.iagi.or.id/2010/01/07/intellectual-white-space/#more-352

http://geologi.iagi.or.id/2010/01/07/intellectual-white-space/
http://geologi.iagi.or.id/2010/01/07/intellectual-white-space/#more-352


Re: [iagi-net-l] The Only Living Earth : Destiny or By Chance ?

2010-01-06 Terurut Topik Rovicky Dwi Putrohari
Yang hebat itu yang menciptakan faktor kebetulan ini !
wupst !  Pradox !


RDP
Langsung masuk ke TKP (Blog IAGI)

2010/1/7 Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com

 Bumi yang penuh kehidupan tingkat kompleks itu sebuah takdir yang telah
 diatur atau sekadar kebetulan saja ?

 Kemajuan penelitian-penelitian astronomi, kosmologi (mempelajari asal
 muasal Alam Semesta), eksobiologi/astrobiologi (mempelajari kehidupan
 ekstraterestrial atau kehidupan di luar Bumi) dan planetary geology
 (mempelajari geologi planet-planet) serta semua publikasinya, menunjukkan
 bahwa Bumi kita yang penuh kehidupan kompleks (kompleks di sini adalah
 multisel dan memunculkan manusia seperti kita yang cerdas dan berteknologi)
 itu adalah sesuatu yang unik, bukan yang umum, di Alam Semesta. Bagaimana
 kehidupan kompleks itu bisa muncul di Bumi, dan kelihatannya sulit di tempat
 lain, akan menunjukkan bahwa ia memang dirancang untuk bisa dihuni –artinya
 suatu takdir yang telah diatur (destiny), bukan oleh suatu kebetulan belaka
 (by chance).

 Siapa yang mengaturnya ?  Orang beriman tentu tahu jawabannya. Dan,
 kemajuan ilmu pengetahuan menunjukkan ke arah itu, secara ringkas dalam
 suatu teori bernama “Rare Earth Theory” yang dipelopori oleh Peter Ward
 (geologist dan paleontologist) dan Donald Brownlee (astronomer dan
 astrobiologist) melalui buku mereka berjudul “Rare Earth : Why Complex Life
 Is Uncommon in the Universe” (Springer Verlag, 2000). Dan hampir sepuluh
 tahun setelah buku itu terbit, penelitian-penelitian astronomi, kosmologi,
 eksobiologi/astrobiologi dan planetary geology makin menguatkan teori Rare
 Earth.

 Sebuah DVD film dokumenter terbitan BBC (2008) dengan durasi tayang selama
 empat jam (tepatnya 248 menit) berjudul “Earth : The Power of the Planet”
 dengan narator Dr. Iain Stewart (geologist) baru selesai saya tonton. Dari
 lima episode-nya, satu di antaranya dialokasikan untuk menerangkan tentang
 apa itu teori Rare Earth. Dari film tersebut, diperdalam dengan
 publikasi-publikasi terbaru yang berhubungan dengan Rare Earth, saya
 ringkaskan di bawah ini untuk rekan-rekan semua.

 Rare Earth adalah suatu antitesis (kontra) terhadap teori lain yang lebih
 dulu populer yang dipelopori oleh Carl Sagan bernama “mediocrity” atau
 “Copernican principle”. Carl Sagan (alm.) adalah seorang astronomer dan
 exobiologist terkenal yang banyak menulis buku yang laku di pasaran
 (misalnya Cosmos –telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan
 Obor Indonesia 1997 dengan kata pengantar oleh Prof. Bambang
 Hidayat-astronomer paling senior di Indonesia, The Pale Blue Dot yang
 dihiasi gambar-gambar dan foto-foto aduhai, Carl Sagan’s Universe yang
 sedikit teknis, dll.). Buku-bukunya sering ditulis dengan kata-kata puitis,
 sehingga nikmat dan ‘syahdu’ membacanya. Carl Sagan pun seorang selebritas
 dan ilmuwan yang sering muncul di televisi dan dia dekat dengan para
 penguasa Amerika Serikat. Maka, jutaan dollar US dialirkan Pemerintah AS
 untuk mendanai penelitian-penelitian yang mengobsesi Carl Sagan : kehidupan
 ekstraterestrial.
  Carl Sagan meyakini bahwa di Alam Semesta banyak kehidupan. Ide-idenya
 menjadi inspirasi film-film bertajuk ET (extra-terrestrial) –yang
 mendominasi film-film fiksi ilmiah pada era 80-an. Secara ringkas, program
 peneltian Carl Sagan dan timnya bernama SETI –search for extra-terrestrial
 intelligence. Banyak radio-teleskop dengan diameter lebar didirikan di gurun
 Arizona untuk menangkap sinyal-sinyal yang mungkin mambawa tanda-tanda
 kehidupan dari luar Bumi. Film “Contact” yang berkaitan dengan ini dan
 dibintangi oleh Jodie Foster adalah berdasarkan ide Carl Sagan tentang
 kontak dengan ET.

 Namun demikian, meskipun telah lebih dari 20 tahun teleskop-teleskop radio
 dengan piringan parabola lebar itu diarahkan ke segenap penjuru langit, tak
 ada satu “beep” pun terbaca atau “terdengar” di layar monitor yang dipasang
 24 jam selama puluhan tahun itu. Harapannya, “beep” itu adalah salam pembuka
 dari makhluk cerdas di luar Bumi (ETI) yang menyapa para manusia yang sangat
 berharap disapa. “Kalau ETI itu suatu hal yang umum di Alam Semesta,
 mengapa tak pernah ada kontak ?” Pertanyaan ini terkenal sebagai Fermi
 paradox. “If the universe is teeming with aliens, where is everybody” (Webb,
 2002). Sampai Carl Sagan sendiri meninggal pada tahun 1996, belum ditemukan
 tanda-tanda adanya kontak dengan ETI. Program SETI pun mulai dilecehkan
 kebanyakan orang, bahkan sebuah iklan minuman memanfaatkan radio telescope
 itu. Dua anak muda naik ke piringan parabola teleskop sambil minum minuman
 bersoda. Lalu mereka berserdawa
  “bluuurrrppp” yang segera tertangkap di layar monitor para astronom dan
 menimbulkan kehebohan luar biasa di antara para peneliti sebab dikiranya ada
 kontak dengan ETI, padahal itu suara gas dari perut si anak muda di atas
 radio teleskop (huh...). Dana penelitian SETI pun otomatis berkurang dan
 kurang populer lagi, apalagi pembela utamanya telah tiada.

 Apakah 

Re: [iagi-net-l] Gliding Tectonics dan Prospek HC (was : Geologic Transect ...)

2010-01-06 Terurut Topik Franciscus B Sinartio
Pak Awang,
Ulasan yang menarik sekali.
saya mau tanya mengenai lengseran nya ...
pertama,  apakah mekanisme gliding tektonik(lengseran) ini selalu memerlukan 
plastic zone dimana sediment-blocknya akan bergeser? jadi perlu shale/salt yang 
plastics dan mungkin juga perlu ketebalan tertentu?

pertanyaan kedua,
 di daerah extension, sering sekali terjadi rifting, lalu terendapkan synrift 
sediment, lalu post rift.   seandainya post-rift sedimentnya ada plastics 
sediment misalnya shale atau salt,  dan extension force terus berjalan, 
tersedia accomodation space yang bukan diisi dengan longsoran tetapi dengan 
lengseran (yang bisa besar sekali dimensinya). kemudian bisa saja terjadi 
toe-trust structure pada sediment diatas shale atau saltnya.  nah pertanyaan 
saya adalah bagaimana membedakan fenomena ini dengan gliding tectonic yang 
hanya disebabkan oleh gravity seperti yang Pak Awang deskripsikan.  yang paling 
penting adalah apakah perlu membedakannya dilihat dari mata eksplorasi migas?

Pertanyaan ketiga mengenai longsoran setelah toe-thrust terjadi.  apakah 
mungkin kualitas reservoir dari sand lebih baik setelah sand itu tersebut di 
rework  dan menjadi endapan turbidit?  dan apakah mungkin ada beberapa aliran 
turbidite di satu toe-thrust block?  jadi tidak tergantung dengan sungai yang 
ada di onshorenya.


terima kasih sebelumnya atas penjelasannya.

salam,
frank




From: unt...@dgtl.esdm.go.id unt...@dgtl.esdm.go.id
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Wed, January 6, 2010 5:28:40 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Gliding Tectonics dan Prospek HC (was : Geologic 
 Transect ...)

Penjelasan pak Awang menarik sekali karena saya sedang mempelajari apa iya
bahwa endapan Tersier di Jawa bukan merupakan suatu akuifer. Jadi bedanya
Pak Awang cari minyak saya coba untuk cari air di pegunungan Tersier untuk
mendukung pengembangan air tanah di desa tertinggal. (salam Untung)
 Pak Budi,
  
 Setelah banyak mempelajari struktur dan tektonik di berbagai wilayah di
 Indonesia, saya melihat bahwa kompresi lateral dengan penggerak utama
 tektonik lempeng tidak selalu menjadi satu-satunya penyebab kinematika
 elemen struktur dan tektonik. Banyak hal yang menuntut penjelasan lebih
 dari sekadar kompresi.
  
 Bahkan dengan konsep exhumation, yaitu terangkatnya kembali kerak benua
 yang pernah tenggelam di bawah kerak berasosiasi oseanik, saya tak akan
 melihat lagi bahwa seluruh pengangkatan yang terkenal itu (Himalaya,
 Kuching High, Meratus, Central Ranges of Papua, dsb.) semuanya karena
 tektonik lempeng semata. Memang, tektonik lempeng penggerak utamanya
 sehingga banyak mikro-kontinen bertubrukan, tetapi exhumation tak
 memerlukan tektonik lempeng yang lateral, ia hanya memerlukan kompensasi
 gravity, sebab naiknya kembali kerak kontinen yang pernah tenggelam itu
 terjadi karena perbedaan density kerak dan gravity. Saat ini exhumation
 sedang terjadi di banyak tempat ex collision di Indonesia (Timor, Banggai,
 Meratus, dsb.).
  
 Kemudian, apa yang sudah naik pun, wajar dan sering sekali diikuti oleh
 gerak runtuhan (collapse) di sebelahnya - ini hanya penyeimbangan
 isostasi, dan yang namanya isostasi selalu gravity-movement. Maka semua
 foredeep yang terbentuk di sebelah suatu zone collision harus dicurigai
 sebagai collapse gravity. Weber Deep, depresi laut paling dalam di
 Indonesia (7000 m) -lebih dari palung Sumatra dan Jawa, terjadi karena
 collapse gravity di depan jalur collision Tanimbar-Kei-Seram.
  
 Gliding tectonics semula dipicu oleh differential gravity movement.
 Definisi yang Pak Budi kutipkan dari American Journal of Science (1954)
 itu memuaskan. Begitulah gliding tectonics atau tektonik
 longsoran/lengseran itu, ia membutuhkan topografi yang tinggi (uplifted)
 dan topografi yang rendah (subsided). Di kedua topografi yang beda tinggi
 ini akan bermain gravity movement dan kalau di antara keduanya dihubungkan
 oleh suatu lereng, maka berjalanlah gravity movement melalui gliding
 tectonics. Gliding tectonics pun fenomena tektonik juga, hanya penyebab
 lipatan dan sesar di sini bukan gaya kompresi, melainkan gaya berat
 (gravity) ditambah progradasi sedimen.
  
 Gliding tectonics bisa bekerja dalam skala lokal maupun regional. Memang
 lebih banyak yang bekerja dalam skala regional sebab dalam skala regional
 perbedaan topografi tinggi rendah dan differential gravity movement-nya
 lebih nyata. Di wilayah alluvial fan, lebih banyak bekerja sistem runtuhan
 dalam bentuk molassic deposits yang disuplai dari tinggian sekitarnya ke
 rendahan yang ditempati kipas aluvial. Saya tak yakin gliding tectonics
 bekerja dengan baik di sini. Di wilayah delta mungkin saja, tetapi itu pun
 harus delta yang berprogradasi dalam jarak jauh dan ada tinggian regional
 di wilayah hinterland-nya. Syarat ini dipenuhi secara ideal oleh wilayah
 progradasi delta di Cekungan Kutei dengan tinggian hinterland-nya berupa
 Kuching High di sebelah utara Kalimantan Tengah. Bahwa gliding tectonics
 

RE: [iagi-net-l] 2012: One young scientist is worth more than twenty old politicians

2010-01-06 Terurut Topik Parvita Siregar
Nggak tuh Mas.  

Parvita H. Siregar
Chief Geologist
Salamander Energy Indonesia

Please consider the environment before you print
Disclamer:  This email (including any attachments to it) is confidential and is 
sent for the personal attention of the intended recipient only and may contain 
information that is priviledged, confidential or exempt from disclosure.  If 
you have received this email in error, please advise us immediately and delete 
it.  You are notified that using, disclosing, copying, distributing or taking 
any action in reliance on the contents of this information is strictly 
prohibited.


-Original Message-
From: measkari - TTP [mailto:meask...@ptadaro.com] 
Sent: Wednesday, December 09, 2009 9:32 AM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] 2012: One young scientist is worth more than twenty 
old politicians

Mba parvita,
Kalau boleh tahu , PT salamander itu bergerak di Trading Batubara juga
Saya lagi cari batubara
Barangkali ada stock?

Salam,

Edi

-Original Message-
From: Parvita Siregar [mailto:parvita.sire...@salamander-energy.com]
Sent: Wednesday, December 09, 2009 10:15 AM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] 2012: One young scientist is worth more than twenty 
old politicians

Saya ketiduran nonton filem ini saking bosennya.

Parvita H. Siregar
Chief Geologist
Salamander Energy Indonesia

Please consider the environment before you print
Disclamer:  This email (including any attachments to it) is confidential and is 
sent for the personal attention of the intended recipient only and may contain 
information that is priviledged, confidential or exempt from disclosure.  If 
you have received this email in error, please advise us immediately and delete 
it.  You are notified that using, disclosing, copying, distributing or taking 
any action in reliance on the contents of this information is strictly 
prohibited.


-Original Message-
From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:rovi...@gmail.com]
Sent: Thursday, November 19, 2009 9:15 AM
To: IAGI; Forum HAGI; geologi...@googlegroups.com
Subject: [iagi-net-l] 2012: One young scientist is worth more than twenty old 
politicians

2012: One young scientist is worth more than twenty old politicians,
kalimat President of The United States Thomas Wilson ini lebih
mengesankan ketimbang filemnya yang lebay. Bener juga filemnya penuh
dengan animasi yang boleh diacungi dua jempol. Trick kamera dengan
digital processing movie-nya memang yahuud.

Tapi geologinya ? Wuiih, kalau aku bilang lebay ... terlalu berlebihan.
Kesan naturalnya hilang kayaknya kalah sama naturalisnya Jurassic
Park-1. Mega earth block yang terangkat sebesar itu sepertinya tidak
akan mungkin terangkat setinggi itu, pasti akan patah sebelum
terangkat karena beban terlalu besar.

Tapi ... ah
Masak siy nonton filem kok malah mikir ngga menikmati ya ... ?

RDP


PP-IAGI 2008-2011:
ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
* 2 sekretariat (Jkt  Bdg), 5 departemen, banyak biro...

Ayo siapkan makalah!
Untuk dipresentasikan di PIT ke-39 IAGI, Senggigi, Lombok NTB, 4-6 Oktober 2010
Call for paper direncanakan Desember 2009
-
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
-
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI or 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
-



Disclaimer :
This electronic mail transmission may contain material that is legally 
privileged and confidential for the sole use of the intended recipient. Any 
review, reliance or distribution by others or forwarding without express 
permission is strictly prohibited. If you are not the intended recipient or the 
employee or agent responsible for delivery of this message to the intended 
recipient, you are hereby notified that any disclosure, copying, 

Re: [iagi-net-l] The Only Living Earth : Destiny or By Chance ?

2010-01-06 Terurut Topik Hendratno Agus
Betul pak Awang. Tuhan menciptkan ayat-ayatnya ada 2 : 1. ayat yang tercipta 
(hamparan alam semesta dan komplesitas bumi-langit itu) 2. ayat-ayat yang 
tertulis (4 kitab dari langitan yang diturunkan oleh Tuhan ke ummat manusia: 
Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran). Ayat-ayat yang terulis yang diturunkan ini 
sebetulnya sebagai penyempurna dari ayat-ayat yang tercipta (secara 
astronomis, geologis dengan elemen-elemen hidrosfer, atmosfer, litosfer, dan 
biosfer). Dalam banyak buku yang mengulas saintek dan agama, ada kemiripan 4 
kitab dalam melihat alam semesta dan bumi sebagai tempat yang sudah ditakdirkan 
sebagai paling sempurna untuk hunian manusia. Karena 4 kitab dari langit tsb 
diturunkan di planet bumi. Khusus Al-Quran : jelas di-state  dengan Khalifatul 
fil ardh. Hukum alamnya adalah kepemimpinan manuasi di bumi, titik. Tidak ada 
planet atau kehidupan yang sempurna sebagaimana di bumi ditemukan di extra 
terestrial.

weellaaah..., ada rapat lagi..
salam, agus hend





From: Rovicky Dwi Putrohari rovi...@gmail.com
To: iagi-net@iagi.or.id
Cc: Eksplorasi BPMIGAS eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com; Geo Unpad 
geo_un...@yahoogroups.com; Forum HAGI fo...@hagi.or.id
Sent: Thu, January 7, 2010 7:27:10 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] The Only Living Earth : Destiny or By Chance ?

Yang hebat itu yang menciptakan faktor kebetulan ini !
wupst !  Pradox !


RDP
Langsung masuk ke TKP (Blog IAGI)

2010/1/7 Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com

 Bumi yang penuh kehidupan tingkat kompleks itu sebuah takdir yang telah
 diatur atau sekadar kebetulan saja ?

 Kemajuan penelitian-penelitian astronomi, kosmologi (mempelajari asal
 muasal Alam Semesta), eksobiologi/astrobiologi (mempelajari kehidupan
 ekstraterestrial atau kehidupan di luar Bumi) dan planetary geology
 (mempelajari geologi planet-planet) serta semua publikasinya, menunjukkan
 bahwa Bumi kita yang penuh kehidupan kompleks (kompleks di sini adalah
 multisel dan memunculkan manusia seperti kita yang cerdas dan berteknologi)
 itu adalah sesuatu yang unik, bukan yang umum, di Alam Semesta. Bagaimana
 kehidupan kompleks itu bisa muncul di Bumi, dan kelihatannya sulit di tempat
 lain, akan menunjukkan bahwa ia memang dirancang untuk bisa dihuni –artinya
 suatu takdir yang telah diatur (destiny), bukan oleh suatu kebetulan belaka
 (by chance).

 Siapa yang mengaturnya ?  Orang beriman tentu tahu jawabannya. Dan,
 kemajuan ilmu pengetahuan menunjukkan ke arah itu, secara ringkas dalam
 suatu teori bernama “Rare Earth Theory” yang dipelopori oleh Peter Ward
 (geologist dan paleontologist) dan Donald Brownlee (astronomer dan
 astrobiologist) melalui buku mereka berjudul “Rare Earth : Why Complex Life
 Is Uncommon in the Universe” (Springer Verlag, 2000). Dan hampir sepuluh
 tahun setelah buku itu terbit, penelitian-penelitian astronomi, kosmologi,
 eksobiologi/astrobiologi dan planetary geology makin menguatkan teori Rare
 Earth.

 Sebuah DVD film dokumenter terbitan BBC (2008) dengan durasi tayang selama
 empat jam (tepatnya 248 menit) berjudul “Earth : The Power of the Planet”
 dengan narator Dr. Iain Stewart (geologist) baru selesai saya tonton. Dari
 lima episode-nya, satu di antaranya dialokasikan untuk menerangkan tentang
 apa itu teori Rare Earth. Dari film tersebut, diperdalam dengan
 publikasi-publikasi terbaru yang berhubungan dengan Rare Earth, saya
 ringkaskan di bawah ini untuk rekan-rekan semua.

 Rare Earth adalah suatu antitesis (kontra) terhadap teori lain yang lebih
 dulu populer yang dipelopori oleh Carl Sagan bernama “mediocrity” atau
 “Copernican principle”. Carl Sagan (alm.) adalah seorang astronomer dan
 exobiologist terkenal yang banyak menulis buku yang laku di pasaran
 (misalnya Cosmos –telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan
 Obor Indonesia 1997 dengan kata pengantar oleh Prof. Bambang
 Hidayat-astronomer paling senior di Indonesia, The Pale Blue Dot yang
 dihiasi gambar-gambar dan foto-foto aduhai, Carl Sagan’s Universe yang
 sedikit teknis, dll.). Buku-bukunya sering ditulis dengan kata-kata puitis,
 sehingga nikmat dan ‘syahdu’ membacanya. Carl Sagan pun seorang selebritas
 dan ilmuwan yang sering muncul di televisi dan dia dekat dengan para
 penguasa Amerika Serikat. Maka, jutaan dollar US dialirkan Pemerintah AS
 untuk mendanai penelitian-penelitian yang mengobsesi Carl Sagan : kehidupan
 ekstraterestrial.
  Carl Sagan meyakini bahwa di Alam Semesta banyak kehidupan. Ide-idenya
 menjadi inspirasi film-film bertajuk ET (extra-terrestrial) –yang
 mendominasi film-film fiksi ilmiah pada era 80-an. Secara ringkas, program
 peneltian Carl Sagan dan timnya bernama SETI –search for extra-terrestrial
 intelligence. Banyak radio-teleskop dengan diameter lebar didirikan di gurun
 Arizona untuk menangkap sinyal-sinyal yang mungkin mambawa tanda-tanda
 kehidupan dari luar Bumi. Film “Contact” yang berkaitan dengan ini dan
 dibintangi oleh Jodie Foster adalah berdasarkan ide Carl Sagan