Re: [iagi-net-l] Di Mana Pusat Sriwijaya : Argumen Geomorfologi

2008-08-18 Terurut Topik zaim

Pak Awang dan Rekans.
Tanggal 16 - 19 Juli lalu saya berkesempatan mengikuti dan
mempresentasikan makalah (berdua dengan Dr. Aswan)dalam Seminar
Internasional berjudul Peradaban Sriwijaya: Kebangkitan Sebuah Kerajaan
Maritim, yang diselenggarakan di Palembang.Hadir dalam seminar tersebut
para pakar sejarah dan arkeologi dari berbagai bidang disiplin dari
Amerika,Thailand, Belanda, Malaysia, Singapura, Australia,Cina,Scotlandia,
Inggris dan tentunya Indonesia, sedangkan dari ilmu kebumian saya dan Dr.
Aswan dari ITB serta Ir. M. Fadhlan dari Puslit Arkenas-Jakarta.
Dari paparan para pakar sejarah dan arkeologi, semua masihsependapat
bahwa pusat Kerajaan Srivijaya adalah di Palembang.
Paper kami berangkat dari data geologi (Kuarter) yang kami kumpulkan dari
lapangan pada tahun 1982 dan 1998,telah membuktikan dan mematahkan
pendapat Obdeyn (1940an - 1944) yang kemudian dianut oleh Soekmono (1954
dan 1978) dan Sartono (1978 dan 1982) serta Tjia dkk.(1968)yang menyatakan
bahwa pertambahan/perkembangan garis pantai di pantai timur Sumatera rata2
pertahunnya berkisar 75 - 100 m/tahun,terutama disungai2 besar seperti
Sungai Musi di Palembang dan Sungai Batanghari di Jambi.Namun dari studi
kami di lapangan, ternyata tidak mendapatkan adanya bukti2 dari Obdeyn
tersebut, dan hasil penelitian kami disupport oleh Mc Kinnon dari
Scotlandia.
Menarik sekali seminar Srivijaya Juli 2008 yang lalu, karena geologi dapat
berkontribusi memberikan data dan pemikiran untuk bidang2 non geologis.

Salam,

Yahdi Zaim
KK Geologi,
Prodi Teknik Geologi - FITB




 Kerajaan Sriwijaya (683-1377 M) adalah kerajaan maritim tertua di
 Indonesia dan merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang menguasai
 banyak wilayah : seluruh Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa
 Tenggara, Maluku dan Mindanao. Karena wilayah kekuasaannya itu, Sriwijaya
 di dalam literatur sejarah suka disebut sebagai Negara Nusantara I. Dalam
 hal keberadaannya, Sriwijaya punya periode kekuasaan tiga kali lebih
 panjang daripada Majapahit, meskipun Majapahit juga yang menaklukkan
 Sriwijaya.
  
 Para ahli sejarah, arkeologi dan ilmu-ilmu yang terkait (termasuk
 geologi), pernah bersilang pendapat soal pusat kerajaan besar ini.
 Literatur-literatur sejarah pernah menyebut pusat-pusat kerajaan ini di :
 Palembang, Jambi, Malaya, Thailand, bahkan Jawa.
  
 Adalah I-Tsing (Yi-Jing), musafir Cina yang belajar agama Budha di
 Sriwijaya yang menyebutkan bahwa pusat/kota Sriwijaya terletak di daerah
 khatulistiwa. I-tsing mendeskripsikan tempat itu sebagai : “apabila orang
 berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”.
 Coedes, ilmuwan Prancis sejak awal abad ke-20 mengajukan argumen bahwa
 pusat Sriwijaya terletak di sekitar kota Palembang sekarang (dalam
 Robequain, 1964, “Malaya, Indonesia, Borneo, and the Philippines”,
 Longman)
  
 Sukmono, arkeolog Indonesia pada suatu Kongres Ilmiah Pasifik tahun 1957
 (dipublikasi dalam “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah
 Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963) menantang argumen/hipotesis Coedes
 dan menyatakan bahwa pusat Sriwijaya di Jambi. Ini didasarkannya kepada
 analisis geomorfologi yang didukung foto udara. Sukmono diinspirasi oleh
 ahli geomorfologi Belanda Obdeyn yang pada tahun 1941-1944 mempublikasi
 seri paper tentang perkembangan geomorfologi Sumatra Selatan (dalam
 Tijdschrift. Kon. Ned. Aardr. Gen no 59-61 – hasil penelitian ini
 digunakan juga oleh Bemmelen (1949) dalam adikaryanya “The Geology of
 Indonesia”.
  
 Tahun 1954, Sukmono dibantu Angkatan Udara RI merekonstruksi pantai timur
 Sumatra di sekitar Palembang dan Jambi melalui telaah fotogrametri.
 Sukmono menemukan kesimpulan menarik : semua situs peninggalan Sriwijaya
 baik yang di sekitar Palembang maupun Jambi berlokasi bukan di tanah
 aluvial, tetapi di tanah perbukitan berbatuan sedimen Neogen. Penelitian
 ini pun menemukan bahwa Jambi dulunya berlokasi di suatu teluk pada muara
 Sungai Batanghari. Teluk tersebut menjorok masuk ke daratan sampai wilayah
 Muaratembesi sekarang. Sementara itu, Palembang justru terletak di sebuah
 ujung jazirah yang memanjang ke laut berpangkal dari Sekayu sekarang. Baik
 Jambi maupun Palembang saat ini berjarak 75 km dari laut di sebelah
 timurnya.
  
 Sukmono berkesimpulan, sebagai kerajaan maritim yang besar, Sriwijaya
 sebgai bandar besar lebih mungkin terletak di tepi sebuah teluk yang besar
 daripada di ujung jazirah yang sempit. Sukmono juga mengajukan
 argumen-argumen arkeologi di samping argumen geomorfologi.
  
 Pendapat Sukmono mendapat dukungan dari Sartono, geolog dan arkeolog ITB,
 juga Slametmuljana, ahli sejarah (dalam Slametmuljana, 1981 “Kuntala,
 Sriwijaya dan Suwarnabhumi”, Yayasan Idayu). Sartono berpendapat bahwa
 teluk di sekitar Jambi saat zaman Sriwijaya begitu besarnya sehingga orang
 mengira bahwa itu merupakan perbatasan antara Swarnadwipa (Jambi ke utara)
 dan Jawadwipa (Palembang, Lampung dan Jawa). Selat Sunda belum diketahui
 adanya atau 

[iagi-net-l] Di Mana Pusat Sriwijaya : Argumen Geomorfologi

2008-08-12 Terurut Topik Awang Satyana
Kerajaan Sriwijaya (683-1377 M) adalah kerajaan maritim tertua di Indonesia dan 
merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang menguasai banyak wilayah : seluruh 
Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Mindanao. 
Karena wilayah kekuasaannya itu, Sriwijaya di dalam literatur sejarah suka 
disebut sebagai Negara Nusantara I. Dalam hal keberadaannya, Sriwijaya punya 
periode kekuasaan tiga kali lebih panjang daripada Majapahit, meskipun 
Majapahit juga yang menaklukkan Sriwijaya.
 
Para ahli sejarah, arkeologi dan ilmu-ilmu yang terkait (termasuk geologi), 
pernah bersilang pendapat soal pusat kerajaan besar ini. Literatur-literatur 
sejarah pernah menyebut pusat-pusat kerajaan ini di : Palembang, Jambi, Malaya, 
Thailand, bahkan Jawa. 
 
Adalah I-Tsing (Yi-Jing), musafir Cina yang belajar agama Budha di Sriwijaya 
yang menyebutkan bahwa pusat/kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. 
I-tsing mendeskripsikan tempat itu sebagai : “apabila orang berdiri tepat pada 
tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Coedes, ilmuwan Prancis 
sejak awal abad ke-20 mengajukan argumen bahwa pusat Sriwijaya terletak di 
sekitar kota Palembang sekarang (dalam Robequain, 1964, “Malaya, Indonesia, 
Borneo, and the Philippines”, Longman)
 
Sukmono, arkeolog Indonesia pada suatu Kongres Ilmiah Pasifik tahun 1957 
(dipublikasi dalam “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah 
Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963) menantang argumen/hipotesis Coedes dan 
menyatakan bahwa pusat Sriwijaya di Jambi. Ini didasarkannya kepada analisis 
geomorfologi yang didukung foto udara. Sukmono diinspirasi oleh ahli 
geomorfologi Belanda Obdeyn yang pada tahun 1941-1944 mempublikasi seri paper 
tentang perkembangan geomorfologi Sumatra Selatan (dalam Tijdschrift. Kon. Ned. 
Aardr. Gen no 59-61 – hasil penelitian ini digunakan juga oleh Bemmelen (1949) 
dalam adikaryanya “The Geology of Indonesia”.
 
Tahun 1954, Sukmono dibantu Angkatan Udara RI merekonstruksi pantai timur 
Sumatra di sekitar Palembang dan Jambi melalui telaah fotogrametri. Sukmono 
menemukan kesimpulan menarik : semua situs peninggalan Sriwijaya baik yang di 
sekitar Palembang maupun Jambi berlokasi bukan di tanah aluvial, tetapi di 
tanah perbukitan berbatuan sedimen Neogen. Penelitian ini pun menemukan bahwa 
Jambi dulunya berlokasi di suatu teluk pada muara Sungai Batanghari. Teluk 
tersebut menjorok masuk ke daratan sampai wilayah Muaratembesi sekarang. 
Sementara itu, Palembang justru terletak di sebuah ujung jazirah yang memanjang 
ke laut berpangkal dari Sekayu sekarang. Baik Jambi maupun Palembang saat ini 
berjarak 75 km dari laut di sebelah timurnya. 
 
Sukmono berkesimpulan, sebagai kerajaan maritim yang besar, Sriwijaya sebgai 
bandar besar lebih mungkin terletak di tepi sebuah teluk yang besar daripada di 
ujung jazirah yang sempit. Sukmono juga mengajukan argumen-argumen arkeologi di 
samping argumen geomorfologi. 
 
Pendapat Sukmono mendapat dukungan dari Sartono, geolog dan arkeolog ITB, juga 
Slametmuljana, ahli sejarah (dalam Slametmuljana, 1981 “Kuntala, Sriwijaya dan 
Suwarnabhumi”, Yayasan Idayu). Sartono berpendapat bahwa teluk di sekitar Jambi 
saat zaman Sriwijaya begitu besarnya sehingga orang mengira bahwa itu merupakan 
perbatasan antara Swarnadwipa (Jambi ke utara) dan Jawadwipa (Palembang, 
Lampung dan Jawa). Selat Sunda belum diketahui adanya atau mungkin belum seluas 
sekarang, hanya teluk besar saja bukan selat (lihat tulisan saya terdahulu soal 
“para pendahulu Tarumanegara” di milis ini). Harrison (1954) “Zuid-Oost Azie : 
en beknopte geschiedenis” berpendapat bahwa Selat Sunda terbentuk akibat 
tenggelamnya wilayah ini akibat volkanisme dan gempa-gempa Krakatau sepanjang 
masa.
 
Masih menurut Sartono, di sekitar Jambi pada zaman Sriwijaya terdapat sebuah 
teluk purba yang dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh. Ini memanjang ke arah 
tenggara dan menjadi perbukitan Bukit Bakar dan Bukit Tutuhan serta Teluk 
Sirih. Ke arah barat, teluk tersebut berhenti di Pegunungan Barisan dan 
bercabang menjadi dua teluk kecil yaitu Teluk Tebo dan Teluk Tembesi. Di 
antaranya, terjepitlah Bukit Duabelas. Di Teluk Tebo bermuara Batang Tembesi 
dan anak-anak sungainya.
 
Adapun kota Palembang menempati suatu ujung jazirah sempit yang berupa bukit 
setinggi 26 meter di atas permukaan laut. Inilah yang dinamakan Bukit Seguntang 
(”guntang” dalam bahasa Melayu Kuno berarti terapung). Memang, ujung jazirah 
ini seolah-olah terapung diapit dua teluk sempit. 
 
Maka berdasarkan analisis paleogeografi (paleogeomorfologi), Sukmono dan 
Sartono berpendapat bahwa kota Sriwijaya yang besar tak mungkin berlokasi di 
suatu wilayah tanah genting berupa ujung jazirah sempit seperti Palembang, 
tetapi di kota Jambi yang terletak di tepi teluk yang besar (bandingkan dengan 
kota Jakarta yang berlokasi di tepi Teluk Jakarta).
 
Namun, pendapat Sukmono dan Sartono bukan merupakan pendapat final sekalipun 
cukup meyakinkan.