Bola
untuk Anak Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan
pilihan. Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di
Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi
pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa
dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat
bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku sudah
menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana, ingin
hidup bahagia. Itu 25 tahun yang lalu. 22 tahun yang lalu, Pekerjaanku tidak
begitu elite, tapi 19 tahun yang lalu, Kamilaku gesit dan
lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat
dari meja ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak "Horeee,
Iya bisa terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang
senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak
jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara
"Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring,
atau meja kaca. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari
tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma
bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?" 18 tahun yang lalu, Hari ini Kamila ulang
tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah
dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya
karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi jadi pemain bola seperti yang sering
diucapkannya. "Nanti kalau sudah
besar, Iya mau jadi pemain bola!" tapi aku tidak suka dia menangis terus
minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa punya lawan
main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan
waktu kutunjukkan bola itu. "Horee, Iya jadi pemain bola." 17 Tahun yang lalu Iya, Iya. Bapak kan
sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia
nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa
tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu
hari Sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku sedang
asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin
ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan
kehati-hatianku dan "Iyaaaa..." Sebuah truk pasir telak menghantam
tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar,
dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam
menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku
mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania menangis
sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu tak belikan ia bola!" 15 tahun yang lalu, Perekonomianku morat
marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan
menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak
dibentak. Aku hanya bisa membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit
kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan
aku tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia
ingin penghasilan yang lebih besar untuk men 13 tahun yang lalu, Setahun sejak kepergian
Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak
terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP.
Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan
kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. Aku bekerja serabutan,
mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris,
menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia
ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan.
Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar. 10 tahun yang lalu, Aku sedih, semua
tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam
rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman
sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya. "Biar cantik kalo kere ya ke laut aje." Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi
anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga. "Sabar ya,
Nak!" hiburku. "Pak, Iya pake
jilbab aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya padaku. Dan aku menangis.
Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku.
Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia.
Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia
tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat
di bangku SMP. 7 tahun yang lalu, Aku merenung seharian.
Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah
bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri,
jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut.
Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari
pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena alasan
ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku
beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk
modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha
kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk
menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja. 4 tahun lalu, Kamila tak pernah telat
mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di sana. Dia bekerja sebagai seorang
pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang
disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka
perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia
sudah ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia
akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu
dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa
salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa
sunnah yang pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk
kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati
daripada aku. Dan aku bangga. 3 tahun 6 bulan yang
lalu, Inikah badai? Aku mendapat
surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan dia
diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami majikannya. Sesak
dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah
lembut tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta
bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir
setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan
airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai
dia memang bersalah. 2 tahun 6 bulan yang
lalu, Akhirnya putusan itu
jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantung
sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku
tak izinkan dia pergi apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak
belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar
sendiri. Wahai Allah kuatkan aku. Atas permintaan anakku
aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku ada di sisinya di saat
terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin
rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan
pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan
aku. "Bapak, Iya
Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin
menggantikannya. "Kenapa, Ya,
kenapa kamu membunuhnya sayang?" "Lelaki tua itu
ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya
dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan,
Pak!" Aku perih mendengar
itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku
bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia
kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon
keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di
Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu. 2 tahun yang lalu, Hari ini, anakku akan
dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir melihatnya. Aku mendengar dari
petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin
melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana. Petugas itu membuka
papan yang diinjak anakku. Dan 'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak
bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan mereka,
aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya
dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar
oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal. "Kania?" "Mas Har, kau .
!" "Kau ... kau bunuh
anakmu sendiri, Kania!" "Iya? Dia..dia .
Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku. "Ya, dia Iya kita.
Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar." "Tidak ... tidaaak
... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang tubuh kaku itu
sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan
secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang
gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku baru sadar, kalau dari
dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya. Setahun lalu, Sejak saat itu istriku
gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku tahu, aku belum pernah
menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin
dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan
jenazahnya padaku, dia sering berteriak, "Iya sayaaang, apalagi yang
pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini yang pecah adalah hatiku. Mungkin
orang tua kita memang benar, tak seharusnya kita menikah. Agar tak ada
kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah begitu Iya sayang? (true story/CN02) ================================================================= "Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'. It has silent message saying that I remember you when I wake up. Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB SMS di 0818-333582 =================================================================
SPONSORED LINKS
YAHOO! GROUPS LINKS
|