*Ditulis Oleh Her Suharyanto
Ini adalah cerita teman lama saya, Beni namanya, yang tinggal di perumahan di
pinggiran Jakarta.
Suatu pagi dia keluar rumah dengan mobil untuk mengantar istrinya ke terminal
shuttle bus yang menghubungkan perumahan kami dengan sejumlah lokasi strategis
di Jakarta. Teman ini sendiri seorang pekerja
freelance yang sibuk, tapi selalu menyempatkan diri mengantar anak-anaknya ke
sekolah dan istrinya ke terminal, khususnya kalau tidak ada pekerjaan di luar
kota atau luar negeri.
Begitu roda mobilnya berputar, dia melihat Irma, tetangganya, baru saja menutup
pintu pagar. Tumben berangkat pagi, begitu pikir teman saya. Biasanya Irma
berangkat siang. Belum sempat melihat Beni, Irma sudah melambai ke arah tukang
ojek yang mangkal di ujung tikungan. Sedetik kemudian, mobil Beni sudah berada
di dekat Irma. Esther, istri Beni, langsung heboh berhai-hai dengan Irma. Dan
apa yang terjadi?
“Gue nebeng aja ya, ke terminal s
huttle bus…” teriaknya. Kemudian dia berteriak kepada si tukang ojek, “Pak,
maaf ya… nggak jadi.”
Mobil pun bergerak. Tetapi sekejap kemudian Beni sempat beradu pandang dengan
si tukang ojek. Ada rasa kecewa sekaligus rasa jengkel di mata tukang ojek itu.
Bukankah juga ada sebersit rasa benci dalam tatapan itu? Begitu pikir Beni.
Cara tukang ojek itu memandang terus terbayang di kepala Beni. Tiba-tiba saja
dia merasa bersalah telah merampas rejeki tukang ojek. Padahal jangan-jangan
Irma adalah calon penumpang pertamanya, yang akan memberinya uang untuk membeli
beras hari ini. Jangan-jangan dia sudah menunggu penumpang sejak subuh.
Jangan-jangan sampai sore nanti dia tidak dapat penumpang…
Terganggu dengan rasa bersalah itu, Beni memutuskan untuk menemui tukang ojek
yang sering mangkal di dekat rumahnya itu. Dia menyiapkan uang sepuluh ribu
rupiah untuk “ganti rugi plus”. Sebab tarif normal dari bloknya ke terminal
shuttle bus adalah enam ribu rupiah.
Di tikungan dekat rumahnya tukang ojek itu masih di sana, Ketika Beni lewat,
mata tukang ojek itu memandangnya . Beni menerjemahkan pandangan itu sebagai
teriakan, “Kamu sudah merampas rejeki anak istriku.”
Maka Beni memilih tak menunda waktu. Begitu memarkir mobil, dia langsung
mendekati si tukang ojek. Dengan setulus hati dia minta maaf, dan bermaksud
memberi uang “ganti rugi plus” itu kepada si tukang ojek.
Namun reaksi si tukang ojek sungguh di luar perkiraannya.
“Kantongin aja deh pak,” katanya dengan wajah dingin.
Tentu saja Beni kaget bukan main. Tapi dia berusaha tenang, dan terus berusaha
bicara baik-baik dengan si tukang ojek. Dia yakin, si tukang ojek pasti akan
memahami dan menerima niat baiknya. Hanya harus sabar.
Benar, lama kelamaan si tukang ojek mau buka mulut, bahkan kemudian cenderung
curhat. Selama ini, katanya, dia merasa warga kompleks Beni, terutama kaum ibu,
cenderung menghindari dirinya. Kalau ada pilihan, warga kompleks, begitu
istilah yang dia pakai, akan memilih tukang ojek lain, dan menghindari dirinya.
“Mungkin karena tampang saya sangar, Pak. Tapi mau gimana lagi, tampang saya
memang begini,” katanya.
Tetapi hal itu tidak membuatnya surut langkah. Sebaliknya, dia justru berpikir
bagaimana cara membuat para ibu dan remaja putri di kompleks itu merasa nyaman
memakai jasanya. Wajah boleh sangar, tetapi sebagai penyedia jasa dia ingin
profesional… begitulah kira-kira kalau kata-katanya diterjemahkan dalam bahasa
bisnis.
Menurut si tukang ojek, satu-satunya cara untuk menunjukkan bahwa dia tidak
berbeda dengan tukang ojek lain, bahkan lebih baik, adalah metode experiential
(ini bahasa saya). Ketika ada ibu-ibu yang terpaksa, karena tidak ada pilihan
lain, untuk memakai jasanya, dia akan memanfaatkan kesempatan itu untuk
membuktikan bahwa yang sangar hanya wajahnya.
“Saya usahakan bawa motor setenang mungkin, nggak ngebut,” katanya. Dia juga
akan memancing penumpangnya dengan obrolan ringan. Kalau penumpangnya senang
ngobrol dia akan meladeni sekaligus untuk menunjukkan jati dirinya. Tapi kalau
sang penumpang tidak suka ngobrol, dia akan diam, tetapi dia akan menjaga
kesopanan dan keramahannya. “Saya satu-satunya tukang ojek yang nggak pasang
tarif,” katanya.
Beni menjadi lebih paham. Tukang ojek itu kecewa bukan semata-mata kehilangan
uang enam ribu rupiah, tetapi kehilangan peluang melakukan experiential
marketing dengan pelanggan potensialnya. “Ibu itu belum pernah pakai saya…”
tuturnya.
Maka Beni kemudian bilang, “Pak, tolong ini terima saja. Cuman ini. Tapi saya
janji, saya akan bilang ke ibu-ibu kompleks ini tentang siapa sebenarnya Bapak.”
Beni memenuhi janjinya. Sasaran promosi pertamanya adalah Esther, kemudian
Irma, dan kemudian dua orang ini menjadi seperti aktivis MLM yang haus
downline. Dan cerita bermuara pada happy-ending, walau ini bukan bagian dari
cerita film Hollywood.
(Her Suharyanto,
h...@jurutulis.com)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
*** Jual Hajar Jahanam Cair Anti Ejakulasi Dini ***