[media-dakwah] Hadits Dha'if tidak Dapat dijadikan Hujah

2005-12-21 Terurut Topik Ku HanyaOrangBiasa
  Hadits Dha’if Tidak Dapat Dijadikan Hujjah
  Oleh : Abu Tauam
   
  Berdasarkan sanadnya atau orang yang merawikannya maka oleh Imam Abu Isa At 
Tirmidzi (209 H – 279 H) derajat hadits dibagi menjadi 3 macam yaitu shahih, 
hasan dan dha’if.  Sebelumnya pada era Imam Ahmad bin Hambal (164 H – 241 H) 
derajat hadits hanya dibagi 2 yaitu shahih dan dha’if, sedangkan hadits dha’if 
dibagi menjadi 2 lagi yaitu hasan dan dha’if.  Maka yang dimaksud oleh Imam 
Ahmad bin Hambal membolehkan menggunakan hadits dha’if dalam fadhaa-ilul a’mal 
ataupun targhib wat tarhib adalah hadits dha’if yang hasan bukan hadits dha’if 
yang dha’if walaupun tingkat kedha’ifannya ringan.  Demikianlah penjelasan 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim Al Jauziyah.
   
  Salah satu alasan yang kuat  sebuah hadits dikatakan dha’if adalah karena ada 
salah seorang perawi hadits atau lebih memiliki kelemahan, diantara adalah 
orang tersebut hapalannya kurang kuat,  memiliki sifat pendusta, majhul atau 
tidak diketahui identitasnya dan lain sebagainya.  Berikut contoh haditsnya :
   
  Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Senantiasa Rasululullah SAW berqunut pada 
shalat shubuh sehingga beliau berpisah dari dunia” (HR. Ahmad, Baihaqi, 
Daruquthni, Hakim, Abdur Razzaq dan Abu Nu’aim)
   
  Pada sanad hadits tentang qunut terus menerus pada waktu shalat shubuh di 
atas terdapat rawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi yang dilemahkan oleh para 
ahli hadits :

   Imam Ahmad bin Hambal dan An Nasa’i berkata, “Ia (Ar Razi) bukan orang yang 
kuat riwayatnya”.  
   Imam Abu Zur’ah berkata, “(Ar Razi) banyak salahnya”  
   Imam Al Fallas berkata, “Ar Razi buruk hafalannya”  
   Imam Ibnul Madini berkata, “Ar Razi kepercayaan akan tetapi sering keliru 
dan suka salah” (Al Mizanul I’tidal 3 : 319)  
   Ibnu Hibban, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim telah melemahkan hadits Abu 
Ja’far Ar Razi ini.
   
  Hadits yang kedua,
   
  Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “… Apabila engkau telah selesai berdoa, maka 
usapkanlah mukamu dengan kedua telapak tanganmu itu” (HR. Ibnu Majah no. 1181)
   
  Hadits tersebut diatas dha’if karena ada seorang rawi bernama Shalih bin 
Hassan Al Nadhary.  Tentang dia para ulama mengomentari :

   Imam Bukhari berkata, “Mungkarul hadits (Orang yang diingkari haditsnya)”  
   Imam Abu Hatim berkata, “Mungkarul hadits, dha’if”  
   Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidak ada apa – apanya (maksudnya lemah)”  
   Imam An Nasa’i, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”  
   Imam Ibnu Ma’in, “Dia itu dha’if”  
   Imam Abu Dawud telah melemahkannya.
   
  Kemudian hadits yang berikutnya,
   
  Aisyah ra berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW ketika beliau hampir wafat, 
disisinya ada sebuah wadah berisi air, kemudian beliau memasukan tangannya ke 
dalam wadah tersebut, kemudian mengusap mukanya dengan air sambil membaca, ‘Ya 
Allah berilah pertolongan kepadaku dalam beratnya kematian atau sakaratul 
maut’” (HR. At Tirmidzi)
   
  Hadits tersebut dha’if karena ada perawi yang bernama Musa bin Sarjis yang 
majhul atau yang tidak dikenal identitasnya.  Disamping ada rawi yang majhul, 
matan (isi/redaksi) berbeda dengan hadits yang lain yang lebih shahih, 
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada Tuhan selain Allah, sesungguhnya bagi 
kematian itu adalah sakarat (rasa sakit yang sangat)” (HR. Bukhari) ( Kitab 
Dha’if Sunan At Tirmidzi no. 164 dan Takhrij Riyaadhus Shalihin no. 912)
   
  Demikian juga hadits yang isinya atau matannya bertentangan dengan Al Qur’an 
atau hadits yang lebih kuat periwayatannya maka hadits tersebut derajatnya 
dha’if, hadits ini juga sering disebut sebagai hadits syadz.  Berikut contoh 
hadits yang bertentangan dengan Al Qur’an yang terdapat Kitab Hayatush Shahabah,
   
  Ketika Rasulullah SAW kembali dari Thaif dan penduduknya yang telah beliau 
seru kepada Islam tapi mereka menolak dan menyakiti beliau.  Beliau SAW duduk 
dan berkata, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu lemahnya kekuatanku, sedikitnya 
usahaku dan hinanya aku atas manusia.  Kepada siapa Engkau meninggalkanku ?, 
kepada musuh yang memandangku dengan muka masam ataukah …”.  
   
  Hadits tersebut di atas sangat bertentangan dengan Al Qur’an yaitu pada ayat, 
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu” (QS Adh Dhuha 
ayat 3) maka dari itu hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits dha’if.
   
  Termasuk dikategorikan hadits dha’if jika suatu hadits memiliki sifat mursal 
yaitu tabi’in meriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW seperti hadits berikut 
ini,
   
  Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasannya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi 
Shallallahu ‘alaihi was sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan, 
“Allahumma laka shumtu …” (HR Abu Dawud no. 2358, Baihaqi 4/239 dan lainnya)
   
  Hadits tersebut di atas dikatakan mursal karena Mu’adz bin Zuhrah adalah 
seorang tabi’in bukan seorang sahabat, jadi ada sanadnya yang terputus antara 
sahabat dan tabi’in sehingga haditsnya dikategorikan dha’if.  
   
  Istilah 

[media-dakwah] Hadits Dha'if tidak dapat dijadikan Hujah/dalil

2005-09-06 Terurut Topik Ku HanyaOrangBiasa

Hadits Dha’if Tidak Dapat Dijadikan Hujjah

Oleh : Abu Tauam Al Khalafy

 

Berdasarkan sanadnya atau orang yang merawikannya maka oleh Imam Abu Isa At 
Tirmidzi (209 H – 279 H) derajat hadits dibagi menjadi 3 macam yaitu shahih, 
hasan dan dha’if.  Sebelumnya pada era Imam Ahmad bin Hambal (164 H – 241 H) 
derajat hadits hanya dibagi 2 yaitu shahih dan dha’if, sedangkan hadits dha’if 
dibagi menjadi 2 lagi yaitu hasan dan dha’if.  Maka yang dimaksud oleh Imam 
Ahmad bin Hambal membolehkan menggunakan hadits dha’if dalam fadhaa-ilul a’mal 
ataupun targhib wat tarhib adalah hadits dha’if yang hasan bukan hadits dha’if 
yang dha’if walaupun tingkat kedha’ifannya ringan.  Demikianlah penjelasan 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim Al Jauziyah.

 

Salah satu alasan yang kuat  sebuah hadits dikatakan dha’if adalah karena ada 
salah seorang perawi hadits atau lebih memiliki kelemahan, diantara adalah 
orang tersebut hapalannya kurang kuat,  memiliki sifat pendusta, majhul atau 
tidak diketahui identitasnya dan lain sebagainya.  Berikut contoh haditsnya :

 

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Senantiasa Rasululullah SAW berqunut pada 
shalat shubuh sehingga beliau berpisah dari dunia” (HR. Ahmad, Baihaqi, 
Daruquthni, Hakim, Abdur Razzaq dan Abu Nu’aim)

 

Pada sanad hadits tentang qunut terus menerus pada waktu shalat shubuh di atas 
terdapat rawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi yang dilemahkan oleh para ahli 
hadits :

   Imam Ahmad bin Hambal dan An Nasa’i berkata, “Ia (Ar Razi) bukan orang yang 
kuat riwayatnya”.
   Imam Abu Zur’ah berkata, “(Ar Razi) banyak salahnya”
   Imam Al Fallas berkata, “Ar Razi buruk hafalannya”
   Imam Ibnul Madini berkata, “Ar Razi kepercayaan akan tetapi sering keliru 
dan suka salah” (Al Mizanul I’tidal 3 : 319)
   Ibnu Hibban, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim telah melemahkan hadits Abu 
Ja’far Ar Razi ini.

 

Hadits yang kedua,

 

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “… Apabila engkau telah selesai berdoa, maka 
usapkanlah mukamu dengan kedua telapak tanganmu itu” (HR. Ibnu Majah no. 1181)

 

Hadits tersebut diatas dha’if karena ada seorang rawi bernama Shalih bin Hassan 
Al Nadhary.  Tentang dia para ulama mengomentari :

   Imam Bukhari berkata, “Mungkarul hadits (Orang yang diingkari haditsnya)”
   Imam Abu Hatim berkata, “Mungkarul hadits, dha’if”
   Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidak ada apa – apanya (maksudnya lemah)”
   Imam An Nasa’i, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”
   Imam Ibnu Ma’in, “Dia itu dha’if”
   Imam Abu Dawud telah melemahkannya.

 

Kemudian hadits yang berikutnya,

 

Aisyah ra berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW ketika beliau hampir wafat, 
disisinya ada sebuah wadah berisi air, kemudian beliau memasukan tangannya ke 
dalam wadah tersebut, kemudian mengusap mukanya dengan air sambil membaca, ‘Ya 
Allah berilah pertolongan kepadaku dalam beratnya kematian atau sakaratul 
maut’” (HR. At Tirmidzi)

 

Hadits tersebut dha’if karena ada perawi yang bernama Musa bin Sarjis yang 
majhul atau yang tidak dikenal identitasnya.  Disamping ada rawi yang majhul, 
matan (isi/redaksi) berbeda dengan hadits yang lain yang lebih shahih, 
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada Tuhan selain Allah, sesungguhnya bagi 
kematian itu adalah sakarat (rasa sakit yang sangat)” (HR. Bukhari) ( Kitab 
Dha’if Sunan At Tirmidzi no. 164 dan Takhrij Riyaadhus Shalihin no. 912)

 

Demikian juga hadits yang isinya atau matannya bertentangan dengan Al Qur’an 
atau hadits yang lebih kuat periwayatannya maka hadits tersebut derajatnya 
dha’if, hadits ini juga sering disebut sebagai hadits syadz.  Berikut contoh 
hadits yang bertentangan dengan Al Qur’an yang terdapat Kitab Hayatush Shahabah,

 

Ketika Rasulullah SAW kembali dari Thaif dan penduduknya yang telah beliau seru 
kepada Islam tapi mereka menolak dan menyakiti beliau.  Beliau SAW duduk dan 
berkata, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu lemahnya kekuatanku, sedikitnya 
usahaku dan hinanya aku atas manusia.  Kepada siapa Engkau meninggalkanku ?, 
kepada musuh yang memandangku dengan muka masam ataukah …”.  

 

Hadits tersebut di atas sangat bertentangan dengan Al Qur’an yaitu pada ayat, 
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tidak pula benci kepadamu” (QS Adh Dhuha 
ayat 3) maka dari itu hadits tersebut dikategorikan sebagai hadits dha’if.

 

Termasuk dikategorikan hadits dha’if jika suatu hadits memiliki sifat mursal 
yaitu tabi’in meriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW seperti hadits berikut 
ini,

 

Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasannya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi 
Shallallahu ‘alaihi was sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan, 
“Allahumma laka shumtu …” (HR Abu Dawud no. 2358, Baihaqi 4/239 dan lainnya)

 

Hadits tersebut di atas dikatakan mursal karena Mu’adz bin Zuhrah adalah 
seorang tabi’in bukan seorang sahabat, jadi ada sanadnya yang terputus antara 
sahabat dan tabi’in sehingga haditsnya dikategorikan dha’if.  

 

Istilah hadits mursal hampir sama dengan hadits munqati’,