[media-dakwah] Learning from Eka Tjipta Wijaya

2006-02-28 Terurut Topik faisal Tofwandi
SAYA BELAJAR DI PINGGIR JALAN??

Bersama  ibu,  saya  ke  Makassar tahun 1932 pada usia sembilan tahun.
Kami berlayar  tujuh hari tujuh malam. Lantaran miskin, kami hanya bisa
tidur di tempat  paling  buruk  di  kapal,  di bawah kelas dek. Hendak
makan
Masakan enak, tak mampu. Ada uang lima dollar, tetapi tak bisa
dibelanjakan,
Karena untuk ke Indonesia saja kami masih berutang pada rentenir, 150
dollar.

Tiba  di  Makassar,  Eka  kecil  ? masih dengan nama Oei Ek Tjhong ?
segera
membantu  ayahnya  yang  sudah  lebih  dulu  tiba dan mempunyai toko
kecil.
Tujuannya  jelas,  segera  mendapatkan  150  dollar, guna dibayarkan
kepada
rentenir.  Dua  tahun  kemudian, utang terbayar, toko ayahnya maju. Eka
pun
minta Sekolah. Tapi Eka menolak duduk di kelas satu.
Tamat SD, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya karena masalah ekonomi. Ia
pun
mulai  jualan.  Ia  keliling  kota Makassar, menjajakan biskuit dan
kembang
gula. Hanya dua bulan, ia sudah mengail laba Rp. 20, jumlah yang besar
masa
itu.  Harga  beras  ketika itu masih 3-4 sen per kilogram. Melihat
usahanya
berkembang, Eka membeli becak untuk memuat barangnya.
Namun  ketika  usahanya  tumbuh  subur,  datang  Jepang menyerbu
Indonesia,
termasuk  ke Makassar, sehingga usahanya hancur total. Ia menganggur
total,
tak  ada  barang impor/ekspor yang bisa dijual. Total laba Rp. 2000 yang
ia
kumpulkan  susah  payah  selama  beberapa  tahun,  habis dibelanjakan
untuk
kebutuhan sehari-hari.
Di  tengah  harapan  yang  nyaris  putus,  Eka mengayuh sepeda bututnya
dan
keliling  Makassar. Sampailah ia ke Paotere (pinggiran Makassar, kini
salah
satu  pangkalan  perahu  terbesar  di luar Jawa). Di situ ia melihat
betapa
ratusan  tentara  Jepang  sedang mengawasi ratusan tawanan pasukan
Belanda.
Tapi  bukan  tentara  Jepang  dan  Belanda  itu yang menarik Eka,
melainkan
tumpukan  terigu,  semen,  gula, yang masih dalam keadaan baik. Otak
bisnis
Eka  segera  berputar.  Secepatnya  ia  kembali  ke  rumah  dan
mengadakan
persiapan  untuk membuka tenda di dekat lokasi itu. Ia merencanakan
menjual
makanan dan minuman kepada tentara Jepang yang ada di lapangan kerja
itu.
Keesokan harinya, masih pukul empat subuh, Eka sudah di Paotere. Ia
membawa
serta  kopi,  gula,  kaleng  bekas minyak tanah  yang diisi air, oven
kecil
berisi  arang  untuk  membuat  air  panas,  cangkir, sendok dan
sebagainya.
Semula  alat  itu  ia  pinjam  dari  ibunya. Enam ekor ayam ayahnya ikut
ia
pinjam.  Ayam  itu  dipotong  dan  dibikin ayam putih gosok garam. Dia
juga
pinjam  satu  botol  wiskey,  satu  botol brandy dan satu botol anggur
dari
teman-temannya.
Jam  tujuh  pagi  ia  sudah  siap jualan. Benar saja, pukul tujuh, 30
orang
Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja.
Tapi  sampai  pukul  sembilan  pagi,  tidak  ada pengunjung. Eka
memutuskan
mendekati  bos  pasukan  Jepang.  Eka  mentraktir  si Jepang makan minum
di
tenda.  Setelah  mencicipi  seperempat  ayam  komplit dengan kecap cuka
dan
bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, si Jepang bilang joto.
Setelah
itu, semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan minum di tenda
Eka.
Tentu saja ia minta izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang.
Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang-barang itu
dan
membayar  mereka  5  ? 10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan
becak.
Rumah  berikut  halaman  Eka,  dan  setengah  halaman tetangga penuh
terisi
segala  macam  barang.  Ia pun bekerja keras memilih apa yang dapat
dipakai
dan  dijual.  Terigu misalnya, yang masih baik dipisahkan. Yang sudah
keras
ditumbuk  kembali  dan  dirawat  sampai  dapat dipakai lagi. Ia pun
belajar
bagaimana menjahit karung.
Karena  waktu  itu  keadaan  perang,  maka suplai bahan bangunan dan
barang
keperluan  sangat  kurang. Itu sebabnya semen, terigu, arak Cina dan
barang
lainnya  yang  ia  peroleh dari puing-puing itu menjadi sangat berharga.
Ia
mulai  menjual  terigu.  Semula  hanya Rp. 50 per karung, lalu ia
menaikkan
menjadi Rp. 60, dan akhirnya Rp. 150. Untuk semen, ia mulai jual Rp. 20
per
karung, kemudian Rp. 40.
Kala  itu  ada  kontraktor  hendak  membeli semennya, untuk membuat
kuburan
orang  kaya.  Tentu  Eka  menolak,  sebab menurut dia ngapain jual semen
ke
kontraktor?  Maka Eka pun kemudian menjadi kontraktor pembuat kuburan
orang
kaya. Ia bayar tukang Rp. 15 per hari ditambah 20 persen saham kosong
untuk
mengadakan  kontrak pembuatan enam kuburan mewah. Ia mulai dengan Rp.
3.500
per  kuburan,  dan yang terakhir membayar Rp. 6.000. Setelah semen dan
besi
beton habis, ia berhenti sebagai kontraktor kuburan.
Demikianlah  Eka,  berhenti sebagai kontraktor kuburan, ia berdagang
kopra,
dan  berlayar berhari-hari ke Selayar (Selatan Sulsel) dan ke
sentra-sentra
kopra lainnya untuk memperoleh kopra murah.
Eka  mereguk  laba  besar, tetapi mendadak ia nyaris bangkrut karena
Jepang
mengeluarkan  peraturan  bahwa  jual beli minyak kelapa dikuasai
Mitsubishi
yang  memberi  Rp. 1,80 per kaleng. Padahal di pasaran harga per kaleng
Rp.

Re: [media-dakwah] Learning from Eka Tjipta Wijaya

2006-02-28 Terurut Topik Mustofa

intinya adalah nilai sehat adalah yg paling membuat bahagia dan yang paling
membuat bahagia ialah jika kita memiliki Aqidah Islam




 
faisal Tofwandi   
 
[EMAIL PROTECTED]To: media dakwah

hoo.co.id media-dakwah@yahoogroups.com   
 
Sent by:   cc:  
 
[EMAIL PROTECTED]Subject: [media-dakwah] 
Learning from Eka 
roups.com  Tjipta Wijaya
 

 

 
03/01/2006 09:59 AM 
 

 

 



SAYA BELAJAR DI PINGGIR JALAN??

Bersama  ibu,  saya  ke  Makassar tahun 1932 pada usia sembilan tahun.
Kami berlayar  tujuh hari tujuh malam. Lantaran miskin, kami hanya bisa
tidur di tempat  paling  buruk  di  kapal,  di bawah kelas dek. Hendak
makan
Masakan enak, tak mampu. Ada uang lima dollar, tetapi tak bisa
dibelanjakan,
Karena untuk ke Indonesia saja kami masih berutang pada rentenir, 150
dollar.

Tiba  di  Makassar,  Eka  kecil  ? masih dengan nama Oei Ek Tjhong ?
segera
membantu  ayahnya  yang  sudah  lebih  dulu  tiba dan mempunyai toko
kecil.
Tujuannya  jelas,  segera  mendapatkan  150  dollar, guna dibayarkan
kepada
rentenir.  Dua  tahun  kemudian, utang terbayar, toko ayahnya maju. Eka
pun
minta Sekolah. Tapi Eka menolak duduk di kelas satu.
Tamat SD, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya karena masalah ekonomi. Ia
pun
mulai  jualan.  Ia  keliling  kota Makassar, menjajakan biskuit dan
kembang
gula. Hanya dua bulan, ia sudah mengail laba Rp. 20, jumlah yang besar
masa
itu.  Harga  beras  ketika itu masih 3-4 sen per kilogram. Melihat
usahanya
berkembang, Eka membeli becak untuk memuat barangnya.
Namun  ketika  usahanya  tumbuh  subur,  datang  Jepang menyerbu
Indonesia,
termasuk  ke Makassar, sehingga usahanya hancur total. Ia menganggur
total,
tak  ada  barang impor/ekspor yang bisa dijual. Total laba Rp. 2000 yang
ia
kumpulkan  susah  payah  selama  beberapa  tahun,  habis dibelanjakan
untuk
kebutuhan sehari-hari.
Di  tengah  harapan  yang  nyaris  putus,  Eka mengayuh sepeda bututnya
dan
keliling  Makassar. Sampailah ia ke Paotere (pinggiran Makassar, kini
salah
satu  pangkalan  perahu  terbesar  di luar Jawa). Di situ ia melihat
betapa
ratusan  tentara  Jepang  sedang mengawasi ratusan tawanan pasukan
Belanda.
Tapi  bukan  tentara  Jepang  dan  Belanda  itu yang menarik Eka,
melainkan
tumpukan  terigu,  semen,  gula, yang masih dalam keadaan baik. Otak
bisnis
Eka  segera  berputar.  Secepatnya  ia  kembali  ke  rumah  dan
mengadakan
persiapan  untuk membuka tenda di dekat lokasi itu. Ia merencanakan
menjual
makanan dan minuman kepada tentara Jepang yang ada di lapangan kerja
itu.
Keesokan harinya, masih pukul empat subuh, Eka sudah di Paotere. Ia
membawa
serta  kopi,  gula,  kaleng  bekas minyak tanah  yang diisi air, oven
kecil
berisi  arang  untuk  membuat  air  panas,  cangkir, sendok dan
sebagainya.
Semula  alat  itu  ia  pinjam  dari  ibunya. Enam ekor ayam ayahnya ikut
ia
pinjam.  Ayam  itu  dipotong  dan  dibikin ayam putih gosok garam. Dia
juga
pinjam  satu  botol  wiskey,  satu  botol brandy dan satu botol anggur
dari
teman-temannya.
Jam  tujuh  pagi  ia  sudah  siap jualan. Benar saja, pukul tujuh, 30
orang
Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja.
Tapi  sampai  pukul  sembilan  pagi,  tidak  ada pengunjung. Eka
memutuskan
mendekati  bos  pasukan  Jepang.  Eka  mentraktir  si Jepang makan minum
di
tenda.  Setelah  mencicipi  seperempat  ayam  komplit dengan kecap cuka
dan
bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, si Jepang bilang joto.
Setelah
itu, semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan minum di tenda
Eka.
Tentu saja ia minta izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang.
Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang-barang itu
dan
membayar  mereka  5  ? 10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan
becak.
Rumah  berikut  halaman  Eka,  dan  setengah  halaman tetangga penuh
terisi
segala  macam  barang.  Ia pun bekerja keras memilih apa yang dapat
dipakai
dan  dijual.  Terigu misalnya, yang masih baik dipisahkan. Yang sudah
keras
ditumbuk  kembali  dan  dirawat  sampai  dapat dipakai lagi. Ia pun
belajar
bagaimana menjahit karung.
Karena  waktu  itu