Re: [media-dakwah] STATUS ANAK ZINA

2006-08-09 Terurut Topik yudith intanwidya
Assalamu'alaikum wr wb
  
  Aduh, afwan baru bangun neh lom gitu ngeh apa maksudnya.
  Emang ada ya yg namanya anak haram. Kok bisa sih disebut anak  haram? 
Yang haram itu yg mananya? Kenapa anak yg baru lahir itu yg  nanggung sebutan 
haram? Bukankah yg haram itu kelakuan emak dan bapak  si jabang bayi itu??
  
  Setau saya, anak yg lahir walaupun tanpa nasab itu adalah masih  menyandang 
nasab ibunya. Contohnya : nabi Isa a.s , nasabnya kan Isa  bin Maryam (klo gk 
salah inget neh)
  Afwan klo rada tulalit. Mohon penjelasan lbh lajut.
  Jazakumullah
  
  Wassalamu'alaikum wr wb

Henny [EMAIL PROTECTED] wrote:  
Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang
hamil di luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai
tindak lanjut dari keadaan yang sudah terlanjur tersebut orang biasanya
melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam ini adalah termasuk
pembunuhan) atau melakukan pernikahan. 


Pertanyaannya, apakah pernikahannya ini sah? 


Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus
menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya
tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita. 


Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW)
menganggap bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya,
ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi. 


lho, berarti pernikahaan kemarin hanya main-main dong, apakah boleh
main-main dengan agama? berarti hubungan yang dijalin selama belum nikah
ulang berarti zina dong (karena belum sah) 


Pencarian tentang ayat-ayat, hadis dan pendapat ulama mengenai permasalahan
ini Saya rangkum sbb :


Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina
baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu
merupakan dosa besar. 


QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.


QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.


QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui. 


[*]. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana
mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti
zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana
mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. 


Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak
memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa
mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu,
ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan
dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum
Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat. 


Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak
menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama, harus menunggu sampai
kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang
dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini
wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria
yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita
tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa
menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik
dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.
Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran
bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum
yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak
kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada
kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis. 


Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar
pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya
Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:Awalnya zina akhirnya
nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.Sahabat yang
mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang
disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50). 


Nasab 

[media-dakwah] STATUS ANAK ZINA

2006-08-01 Terurut Topik Henny

Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang
hamil di luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai
tindak lanjut dari keadaan yang sudah terlanjur tersebut orang biasanya
melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam ini adalah termasuk
pembunuhan) atau melakukan pernikahan. 


Pertanyaannya, apakah pernikahannya ini sah? 


Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus
menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya
tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita. 


Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW)
menganggap bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya,
ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi. 


lho, berarti pernikahaan kemarin hanya main-main dong, apakah boleh
main-main dengan agama? berarti hubungan yang dijalin selama belum nikah
ulang berarti zina dong (karena belum sah) 


Pencarian tentang ayat-ayat, hadis dan pendapat ulama mengenai permasalahan
ini Saya rangkum sbb :


Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina
baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu
merupakan dosa besar. 


QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.


QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.


QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui. 


[*]. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana
mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti
zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana
mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. 


Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak
memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa
mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu,
ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan
dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum
Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat. 


Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak
menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama, harus menunggu sampai
kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang
dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini
wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria
yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita
tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa
menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik
dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.
Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran
bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum
yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak
kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada
kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis. 


Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar
pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya
Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:Awalnya zina akhirnya
nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.Sahabat yang
mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang
disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50). 


Nasab anak


Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: 
Sa`ad bin Abu Waqqash dan Abdu bin Zam`ah terlibat perselisihan mengenai
seorang anak. Kata Sa`ad: Ini adalah anak saudaraku `Utbah bin Abu Waqqash,
yang dia amanatkan kepadaku, dia adalah putranya, perhatikanlah
kemiripannya! Abdu bin Zam`ah menyangkal dan mengatakan: Dia ini saudaraku,
wahai Rasulullah! Dia lahir di atas tempat tidur ayahku dari budak
perempuannya. Sejenak Rasulullah saw. memperhatikan kemiripan anak itu,
memang ada kemiripan yang jelas dengan Utbah. Kemudian beliau bersabda: Dia
adalah untukmu, wahai Abdu. Nasab seorang anak itu dari perkawinan yang sah,

RE: [media-dakwah] STATUS ANAK ZINA

2006-08-01 Terurut Topik Tampubolon, Mohammad-Riyadi
, 2006 9:04 AM
To: media-dakwah@yahoogroups.com
Subject: [media-dakwah] STATUS ANAK ZINA




Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang
hamil di luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai
tindak lanjut dari keadaan yang sudah terlanjur tersebut orang biasanya
melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam ini adalah termasuk
pembunuhan) atau melakukan pernikahan. 

Pertanyaannya, apakah pernikahannya ini sah? 

Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus
menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya
tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita. 

Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW)
menganggap bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya,
ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi. 

lho, berarti pernikahaan kemarin hanya main-main dong, apakah boleh
main-main dengan agama? berarti hubungan yang dijalin selama belum nikah
ulang berarti zina dong (karena belum sah) 

Pencarian tentang ayat-ayat, hadis dan pendapat ulama mengenai permasalahan
ini Saya rangkum sbb :

Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina
baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu
merupakan dosa besar. 

QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui. 

[*]. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana
mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti
zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana
mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. 

Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak
memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa
mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu,
ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan
dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum
Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat. 

Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak
menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama, harus menunggu sampai
kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang
dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini
wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria
yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita
tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa
menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik
dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.
Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran
bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum
yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak
kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada
kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis. 

Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar
pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya
Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:Awalnya zina akhirnya
nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.Sahabat yang
mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang
disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50). 

Nasab anak

Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: 
Sa`ad bin Abu Waqqash dan Abdu bin Zam`ah terlibat perselisihan mengenai
seorang anak. Kata Sa`ad: Ini adalah anak saudaraku `Utbah bin Abu Waqqash,
yang dia amanatkan kepadaku, dia adalah putranya, perhatikanlah
kemiripannya! Abdu bin Zam`ah menyangkal dan mengatakan: Dia ini saudaraku,
wahai Rasulullah! Dia lahir di atas tempat tidur ayahku dari budak
perempuannya. Sejenak Rasulullah saw. memperhatikan kemiripan anak itu,
memang ada kemiripan yang jelas dengan Utbah. Kemudian beliau bersabda: Dia
adalah